Document PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Ipong-ipong (Fasciolaria salmo)


Keong ipong-ipong merupakan salah satu spesies dari kelas Gastropoda,
dan merupakan kelompok Moluska. Moluska merupakan filum yang paling
berhasil menduduki berbagai habitat. Terdapat lebih dari 60.000 spesies hidup dan
15.000 spesies fosil. Hidup sejak periode Cambrian, dan diduga sampai sekarang
sedang puncak perkembangan evolusinya (Suwignyo et al. 2005). Berikut dapat
kita lihat kalisifikasi toksonomis dari keong ipong-ipong menurut Dance (1977).
Filum : Moluska
Kelas : Gastropoda
Ordo : Neogastropoda
Famili : Fasciolariidae
Genus : Fasciolaria
Spesies : Fasciolaria salmo.
Bentuk morfologi cangkang keong ipong-ipong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)

Moluska memiliki keragaman yang sangat besar, hal ini dapat dilihat dari struktur
dan habitatnya. Komoditas ini menempati semua lingkungan laut, mulai dari tepi
laut berbatu yang merupakan daerah deburan ombak sampai ke hydrothermal vent
di laut dalam (Castro dan Huber 2007). Keong ipong-ipong (Fasciolaria salmo)
merupakan salah satu spesies dari kelas gastropoda yang memiliki bentuk
cangkang seperti kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde (gelung,
worl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua yang disebut apex, terdapat
bulu-bulu kecil sekeliling cangkang dan memiliki warna kuning kehijauan.
Cangkang dari keong terdiri dari 4 lapisan. Lapisan paling luar adalah
periostrakum, yang merupakan lapisan tipis terdiri dari bahan protein seperti zat
tanduk, disebut conchiolin atau conchin. Lapisan ini terdapat endapan pigmen
beraneka warna, yang menjadikan banyak cangkang siput terutama spesies laut
termasuk keong ipong-ipong ini yang memiliki warna sangat indah, kuning, hijau
cemerlang dengan bercak-bercak merah atau garis-garis cerah. Periostrakum
berfungsi untuk melindungi lapisan di bawahnya yang terdiri dari kalsium
karbonat terhadap erosi. Lapisan kalsium karbonat terdiri dari 3 lapisan atau lebih,
yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella dan paling
dalam adalah lapisan nacre atau hypostracum (Suwignyo et al. 2005).
Keong ipong-ipong merupakan kelas Gastropoda yang hidup di laut.
Gastropoda yang hidup di laut dapat dijumpai di berbagai jenis lingkungan dan
bentuknya telah beradaptasi dengan lingkungannya tersebut (Nontji 1987). Di laut
dalam gastropoda dapat hidup sampai pada kedalaman 5000 meter
(Plaziat 1984). Barnes (1987) menyebutkan beberapa jenis dari gastropoda hidup
menempel pada subtrat yang keras, akan tetapi ada juga yang hidup di subtrat
seperti pasir dan lumpur. Gastropoda juga dapat hidup di zona litoral, daerah
pasang surut dengan menempel pada terumbu karang, laut dalam maupun dangkal
bahkan ada yang hidup di air tawar (Berry 1972). Dilingkungan laut gastropoda
dapat ditemukan di daerah benthik, antara bebatuan dan pada subtrat lunak
(lumpur).

2.2 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan,
membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen
dan nitrogen reaktif (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan mempunyai peran
berupa penghambatan proses aterosklerosis, yaitu merupakan komplikasi dari
penyakit diabetes mellitus yang sangat berperan untuk terjadinya penyakit jantung
koroner (Musthafa et al. 2000). Rohman dan Riyanto (2005) menyatakan bahwa
antioksidan adalah sebagai senyawa yang dapat menghambat reaksi radikal bebas
dalam tubuh yang dapat menyebabkan penyakit karsinogenis, kardiovaskuler dan
penuaan. Antioksidan diperlukan karena tubuh manusia tidak memiliki sistem
pertahanan antioksidan yang berlebihan, sehingga apabila terjadi paparan radikal
berlebihan, maka tubuh akan membutuhkan antioksidan eksogen (berasal dari
luar) (Wiji dan Sugrani 2009).
2.2.1 Fungsi antioksidan
Fungsi utama antioksidan yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk
memperkecil tejadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil
terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian
dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam
makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan
Sunardi 2007). Antioksidan juga dapat menetralkan radikal bebas, seperti enzim
SOD (Superosida Dismutase), gluthatione, dan katalase. Antioksidan dapat
diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E
dan berkaroten serta senyawa fenolik (Prakasih 2001; Frei 1994; Trevor 1995
diacu dalam Andayani et al. 2008). Musthafa dan Lawrence (2000) menambahkan
bahwa antioksidan juga pada akhirnya berfungsi untuk menetralisir atau meredam
dampak negatif dari radikal bebas.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi.
Fungsi utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan
disingkat (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai
antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat
ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara
turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding
radikal bebas. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder, yaitu memperlambat laju
autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai
autooksidasi dengan pengubahan radikal bebas kebentuk lebih stabil
(Gordon 1990).
Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah dapat
menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi. Penambahan tersebut dapat
menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (Gambar 2).
Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif
stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul
tertentu membentuk radikal bebas baru (Gordon 1990). Menurut
Hamilton (1983), radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk
produk non radikal dapat dilihat pada Gambar 2.

Inisiasi ; R* + AH --------------------------RH + A*

Propagasi : ROO* + AH ------------------------- ROOH + A*

Gambar 2. Reaksi Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal bebas


(Sumber: Gordon 1990).

Antioksidan juga dapat berperan dalam menekan prolifersi (perbanyakan)


sel kanker, karena antioksidan berfungsi menutup jalur pembentukan sel ganas
(blocking agent) (Trilaksani 2003). Selain itu antioksidan juga berperan sebagai
agen antiaging yang melindungi kulit dari proses pengrusakan oleh paparan sinar
matahari dan radikal bebas, yang dapat menimbulkan keriput dan penuaan pada
kulit (Suryowinoto 2005).
2.2.2 Jenis-jenis antioksidan
Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya
antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan
yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami ( antioksidan
hasil ekstraksi bahan alami).
2.2.2.1 Antioksidan sintetik
Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaan
untuk makanan yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT),
propil galat (PG), Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan
tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk
tujuan komersial (Buck 1991). Antioksidan BHA memiliki kemampuan
antioksidan yang baik. Hal ini dapat dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-
tahap pengelolaan maupun stabilitasnya pada produk akhir seperti lemak hewan
yang digunakan dalam pemanggangan, akan tetapi BHA relatif tidak efektif jika
ditambahkan pada minyak tanaman. Antioksidan BHA bersifat larut lemak dan
tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih,
bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas
(Buck 1991; Coppen 1983).
Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, antioksidan ini akan
memberi efek sinergis yang baik jika digunakan bersama antioksidan BHA.
Antioksidan BHT berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena
relatif murah. Antioksidan sintetik lainnya yaitu propil galat. Propil galat
mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik
cairnya 148⁰C, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga
kemampuan antioksidannya rendah. Selain itu, propil galat memiliki sifat
berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta
memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck 1991).
Antioksidan TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak
dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan
antioksidan yang baik pada proses penggorengan tetapi rendah pada proses
pembakaran. Jika antioksidan TBHQ digabungkan dengan antioksidan BHA,
maka akan memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada proses
pemanggangan dan akan memberikan manfaat yang lebih luas . antioksidan
TBHQ dikenal berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan
cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan
Cu tetapi dapat berubah pink dengan adanya basa (Buck 1991).
Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan hampir
disetiap minyak tanaman. Akan tetapi saat ini tokoferol telah dapat diproduksi
secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, larut
dalam lipid karena rantai C panjang. Pengaruh nutrisi secara lengkap dari
tokoferol belum diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E.
Di dalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung
α->β->γ->δ-tokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik
δ->γ->β->α-tokoferol (Belitz dan Grosch 1987). Urutan tersebut kadang bervariasi
tergantung pada substrat dan kondisi-kondisi lain seperti suhu.
2.2.2.2 Antioksidan Alami
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, senyawa
antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan
sebagai bahan tambahan pangan (Pratt 1992). Menurut Pratt dan Hudson (1990),
kebanyakan senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami adalah berasal
dari tumbuhan.
Menurut Pratt dan Hudson (1990) senyawa antioksidan alami umumnya
adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan
flavonoid,turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik
polifungsional. Ditambahkan oleh Pratt (1992), golongan flavonoid yang memiliki
aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin, flavonol dan
kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam kafeat, asam ferulat, asam
klorogenat, dan lain-lain. Senyawa antioksidan alami polifenolik ini adalah
multifungsional dan dapat beraksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas,
pengkelat logam, dan peredam terbentuknya singlet oksigen.

2.3 Uji Aktivitas Antioksidan


Keberadaan senyawa antioksidan dalam suatu bahan dapat diketahui
melalui uji aktivitas antioksidan. Terdapat berbagai metode pengukuran aktivitas
antioksidan. Pada prisipnya metode-metode tersebut digunakan untuk
mengevaluasi adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi oleh senyawa
antioksidan yang terdapat dalam bahan pangan atau contoh ekstrak bahan alam
(Setyaningsih 2003).
Salah satu metode yang umum digunakan yaitu dengan menggunakan
radikal bebas stabil diphenilpycrylhydrazil (DPPH). Metode ini, larutan DPPH
yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi dengan senyawa antioksidan,
sehingga DPPH akan berubah menjadi diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-
radikal yang tidak barbahaya sebagaimana dapat dilihat pada gambar 3. berikut.
Meningkatnya jumlah diphenilpycrilhydrazine akan ditandai dengan berubahnya
warna ungu pada larutan menjadi warna kuning pucat (Molyneux 2004).

Gambar 3. Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine


Hasil dari metode DPPH umumnya dibuat dalam bentuk IC50 (Inhibitor
Concentration 50), yang didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau
sampel yang akan menyebabkan tereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin
besar aktivitas antioksidan maka nilai IC50 akan semakin kecil.
Molyneux (2004) menyatakan bahwa .Suatu senyawa antioksidan dinyatakan baik
jika nilai IC50-nya semakin kecil.

2.4 Ekstraksi Senyawa Bioaktif


Ekstraksi merupakan salah satu cara pemisahan yang paling banyak
digunakan untuk menarik atau memisahkan komponen bioaktif dari suatu bahan
baku. Ekstraksi dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan komponen yang
diinginkan dari suatu bahan dengan menggunakan pelarut yang dipilih sehingga
komponen yang diinginkan dapat larut (Ansel 1989). Winarno et al. (1973),
menambahkan ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa
zat menjadi komponen-komponen yang terpisah. Proses ekstraksi bertujuan untuk
mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung
komponen-komponen aktif.
Selama proses ekstraksi terdapat gaya yang bekerja akibat adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan cairan ekstraksi di luar
sel. Bahan pelarut yang mengalir ke dalam ruang sel akan menyebabkan
protoplasma membengkak dan bahan yang terkandung di dalam sel akan terlarut
sesuai dengan kelarutannya (Voight 1994).
Menurut Ansel (1989) dan Winarno et al. 1973, ekstraksi dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase
dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan
dengan menggunakan pelarut organik. Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi
dapat berlangsung bila terdapat kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa
yang diekstrak dengan senyawa pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut
yang berbeda dalam pelarut yang berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi
antara zat telarut dengan pelarut. Senyawa polar akan larut pada pelarut polar
juga, begitu juga sebaliknya.
Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH,
dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut
adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan, dan harga (Harborne 1987). Harborne (1987) mengelompokkan metode
ekstraksi menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi
sederhana terdiri atas:
a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam
pelarut dengan atau tanpa pengadukan;
b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;
c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk
melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;
d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.
Ekstraksi khusus terdiri atas:
a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk
melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;
b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana
sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang
berlawanan;
c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang
menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz

2.5 Metabolit Sekunder


Metabolit sekunder adalah suatu zat yang dibiosintesis terutama dari
banyak metabolit-metabolit primer seperti asam amino, asetol koenzim-A, asam
mevalonat, dan zat antara (Intermediate) dari alur shikimat (Shikimic acid)
(Herbert 1995). Metabolit sekunder sangat bervariasi jumlah dan jenisnya dari
setiap organisme. Beberapa dari senyawa tersebut telah diisolasi sebagian
diantaranya memberikan efek fisiologis dan farmakologis yang lebih dikenal
sebagai senyawa kimia aktif (Copriady et al. 2005).
Makhluk hidup dapat menghasilkan bahan organik sekunder (metabolit
sekunder) atau bahan alami melalui reaksi sekunder dari bahan organik primer
(karbohidrat, lemak, protein). Bahan organik sekunder (metabolit sekunder) ini
umumnya merupakan hasil akhir dari suatu proses metabolisme. Bahan ini
berperan juga pada proses fisiologi. Bahan organik sekunder itu dapat dibagi
menjadi tiga kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid dan terpenoid, tetapi pigmen
dan porfirin juga termasuk di dalamnya (Purwanti 2009).
Zat metabolit sekunder memiliki banyak jenis, adapun jenis dari metabolit
sekunder yang dapat kita ketahui antara lain kumarin (Copriandy et al. 2005),
azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin (Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat
metabolit sekunder sangat banyak.Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan sebagai
antioksidan, antibiotik, antikanker, antikoagulan darah, menghambat efek
karsinogenik (Copriandy et al. 2005), selain itu metabolit sekunder juga dapat
dimanfaatkan sebagai antiagen pengendali hama yang ramah lingkungan
(Samsudin 2008).

2.6 Analisis Fitokimia


Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam
senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu
mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya,
penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Senyawa
fitokimia bukanlah zat gizi , namun kehadirannya dalam tubuh dapat membuat
tubuh lebih sehat, lebih kuat dan lebih bugar (Astawan dan Kasih 2008). Alasan
melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif
penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar
bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987).
2.6.1 Alkaloid
Alkaloid pada umumnya mencangkup senyawa bersifat basa yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai
bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Sirait (2007) menyatakan alkaloid
adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk
berdasarkan prinsip pembentukan campuran. Alkaloid biasanya tanpa warna,
seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit
yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar. Alkaloid merupakan
turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan
suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloid dipisahkan dari kandungan
tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai Kristal
hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987).
Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga antara lain, alkaloid
sesungguhnya, protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah
racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologis yang luas, hampir tanpa
terkecuali bersifat basa, umumnya mengandung nitrogen dalam cincin
heterosiklik, diturunkan dari asam amino, dan biasanya terdapat ditanaman
sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan amin yang relatif
sederhana dimana di dalam nitrogen asam amino tidak terdapat cincin
heterosiklik, dan diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat
basa. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino, dan biasanya
senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996). Berikut struktur kimia dari
alkaloid pada Gambar 4.

Gambar 4. Struktur alkaloid


(Sumber: Pulatova dan Khazanovich 1962)

2.6.2 Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna,
berbentuk Kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan optik aktif (Harborne 1987).
Triterpenoid dapat dibagi menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen
sebenarnya, steroid, saponin, dan glokisida jantung (cardiac glycoside). Beberapa
triterpen dikenal dengan rasanya, terutama rasa pahit (Sirait 2007).
Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat
diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, sehingga
golongan senyawa ini cenderung tidak larut air (Wilson dan Gisvold 1982).
Adapun contohnya seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D.
Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu
lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan
dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Hasil penelitian Silva et al. (2002)
menunjukkan bahwa komponen steroid yang diekstrak dari daun Agave attenuata
memiliki aktivitas anti-inflamasi, walaupun aktivitas ini diikuti dengan efek
hemolitik yang tidak diinginkan. Komponen steroid dapat meningkatkan aktivitas
hemolitik karena steroid memiliki afinitas lebih tinggi dari kolesterol pada
membran eritrosit. Struktur dari steroid dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur steroid


(Sumber: Shaddack 2005)

2.6.3 Flavonoid
Senyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua
inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki
karakteristik bentuk hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B
biasanya 4-,3,4-, atau 3,4,5-terhidroksilasi (Sastrohamidjojo 1996). Senyawa ini
dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah
ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid berupa senyawa fenol,
oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak
(Harborne 1987).
Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu
menunjukkan pita swrapan kuat pada daerah spectrum UV dan spectrum tampak.
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan
aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula-
mula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sekitar
sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon,
glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon dan isoflavon (Harborne 1987)
Flavonoid pada tumbuhan berfungsi dalam pengaturan fotosintesis, kerja
antimikroba dan antivirus, dan kerja terhadap serangga (Robinson 1995). Adapun
fungsi flavonoid dalam kehidupan manusia yaitu sebagai stimulant pada jantung,
hesperidin mempengaruhi pembuluh darah kapiler. Flavon terhidrolisasi berkerja
sebagai diuretik dan antioksidan pada lemak (Sirait 2007).
2.6.4 Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam
lebih dari 90 suku tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula
pereduksi (glikon) dan bukan gula (aglikon). Glikon bersifat mudah larut dalam
air dan glikosida-glikosida mempunyai tegangan permukaan yang kuat
(Winarno 1997). Selain itu saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang
menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering
menyebabkan heomolisis sel darah merah (Robinson 1995). Sifatnya sebagai
senyawa aktif permukaan disebabkan adanya kombinasi antara aglikon lipofilik
dengan gula yang bersifat hidrofilik (Houghton dan Raman 1998). Banyak
saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum
ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap sewaktu
mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti
terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada sapogenin
karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Struktur saponin secara umum
disajikan pada Gambat 6.

Gambar 6. Struktur umum saponin


(Sumber: Yamasaki 1999)
2.6.5 Fenol Hidrokuinon
Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan
mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua
gugus hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu
juga terdapat fenol monosiklik sedarhana, fenilpropanoi, dan kuinon fenolik
(Harborne 1987).
Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti
kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan
identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama
biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo
dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol
tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan
hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).
Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit
dalam air, tetapi umunya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan
terdeteksi dari tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi
yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa
tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara.
Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida dan oksidasi ulang
dapat terjadi hanya dengan mengocok larutan tersebut diudara (Harborne 1987).
Antioksidan yang termasuk dalam golonhan ini biasanya mempunyai
intensitas warna yang rendah atau kadang-kadang tidak bewarna dan banyak
digunakan karena tidak beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian
besar antioksidan yang dihasilkan oleh alam dan sejumlah kecil antioksidan
sintesis, serta banyak digunakan dalam lemak atau bahan pangan berlemak.
Beberapa contoh yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon gossypol,
pyrogallol, catechol resorsinol dan eugenoli (Ketaren 1986).
2.6.6 Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia dan hewan
yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Melalui proses fotosintesis, klorofil tanaman
dengan sinar matahari mampu membentuk karbohidrat dari karbon dioksida (CO 2)
yang berasal dari udara dan air dari tanah. Proses fotosintesis menghasilkan
karbohidrat sederhana glukosa dan oksigen yang dilepas di udara
(Almatsier 2006).
Karbohidrat dapat dikelompokkan menjadi monosakarida, oligosakarida,
serta polisakarida. Monosakarida merupakan suatu molekul yang dapat terdiri dari
lima atau enam atom C, sedangkan oligosakarida merupakan polimer dari 2-10
monosakarida, dan pada umumnya polisakarida merupakan polimer yang terdiri
lebih dari 10 monomer monosakarida (Winarno 2008). Karbohidrat mempunyai
peran penting untuk mencegah pemecahan protein tubuh yang berlebihan,
timbulnya ketosis, kehilangan mineral dan berguna untuk metabolisme lemak dan
protein dalam tubuh (Budiyanto 2002).
2.6.7 Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak
mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat,
sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus
glukosanya (Winarno 2008).
Gula pereduksi teroksidasi oleh zat pengoksidasi lemah, seperti larutan
Benedict dan Fehling (reduksi Cu2+ menjadi Cu+) dan peraksi Tollens (reduksi
Ag+ menjadi Ag). Beberapa dari reaksi ini digunakan sebagai uji klinis unutk
mendeteksi gula dalam air seni yang menunjukkan penyakit diabetes
(Pine et al. 1988) .
Sifat sebagai reduktor pada monosakarida dan beberapa disakarida
disebabkan oleh adanya gugus aldehida atau keton bebas dalam molekul
karbohidrat. Sifat ini dapat digunakan untuk keperluan identifikasi karbohidrat
maupun analisis kuantitatif. Pereaksi Benedict berupa larutan yang mengandung
kuprisulfat, natrium karbonat dan natrium sitrat. Glukosa dapat mereduksi ion
Cu2+ menjadi Cu+ yang kemudian mengendap sebagai Cu2O. adanya natrium
karbohidrat dan natrium sitrat membuat pereaksi Benedict bersifat basa lemah.
Endapan yang terbentuk dapat bewarna hijau, kuning atau merah bata. Warna
endapan ini tergantung pada konsentrasi karbohidrat yang diperiksa
(Poedjiadi 1994).
2.6.8 Peptida
Dua asam amino berikatan melalui suatu ikatan peptide (-CONH-) dengan
melepas sebuah molekul air. Reaksi keseimbangan ini cenderung untuk berjalan
ke arah hidrolisis daripada sintesis. Pembentukan ikatan tersebut memerlukan
banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis tidak memerlukan energi. Gugus
karboksil suatu asam amino berkaitan dengan gugus amino dari molekul asam
amino lain menghasilkan suatu dipeptida dengan melepaskan molekul air
(Winarno 2008).
2.6.9 Asam amino
Bila suatu protein dihidrolisis dengan asam, alkali, atau enzim akan
dihasilkan campuran asam-asam amino. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah
gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hydrogen dan gugus R yang
terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R
merupakan rantai cabang. Semua asam amino berkonfigurasi α dan mempunyai
konfigurasi L kecuali glisin yang tidak mempunyai atom C asimetrik. Hanya asam
amino L yang merupakan komponen protein (Winarno 2008).
Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, pI) berada dalam bentuk
ion dipolar atau disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus
amino mendapat tambahan sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi.
Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang
rendah misalnya pada pH 1.0 gugus karboksilatnya tidak terdisosiasi, sedang
gugus aminonya menjadi ion. Pada pH tinggi misalnya pada pH 11.0 karboksilnya
terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak (Winarno 1997).
Ninhidrin adalah pereaksi yang digunakan secara luas untuk mengukur
asam amino secara kuantitatif. Pereaksi itu bereaksi dengan hampir semua asam
amino, menghasilkan senyawa bewarna lembayung (prolina memberikan warna
kuning) (Pine et al. 1988).

Anda mungkin juga menyukai