Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pembimbing:
Dr. Ardi Ardian Sp.PD
Disusun Oleh:
Noreka Azizah Hayuningtyas
1910221050
i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepanitraan klinik dokter muda SMF Ilmu Penyakit
Dalam RSUD Pasar Minggu
Disusun Oleh:
Noreka Azizah H
1910221050
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan tugas
referat yang berjudul “Chronic Kidney Disease” dengan baik.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dr. Ardi Ardian Sp.PD selaku pembimbing penulis di kepaniteraan klinik SMF
Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Minggu periode 9 Desember 2019 – 15
Februari 2020 yang telah meluangkan waktu dan usahanya untuk memberikan
masukan, saran, dan pikiran pada referat ini sehingga referat ini dapat berjalan
dengan baik.
Penulis mohon maaf apabila masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan referat ini. Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga referat ini
dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Terima kasih atas pehatiannya.
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronis adalah salah satu masalah kesehatan masyarakat
di seluruh dunia, yang diakibatkan oleh gagalnya fungsi ginjal. Ginjal adalah
salah satu organ utama yang berfungsi menyaring dan membuang cairan sisa
metabolisme dari dalam tubuh. Fungsi ginjal yaitu sebagai ultrafiltrasi yaitu
proses ginjal dalam menghasilkan urine, keseimbangan elektrolit, pemeliharaan
keseimbangan asam basa, eritropoiesis yaitu fungsi ginjal dalam produksi
eritrosit, regulasi kalsium dan fosfor atau mengatur kalsium serum dan fosfor,
regulasi tekanan darah, ekresi sisa metabolik dan toksin (Sherwood,2016).
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronis adalah suatu
proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang terjadi > 3 bulan,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan dan sifatnya
ireversibel dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal (KDIGO,2012).
Penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) terjadi apabila kedua ginjal
sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk
kelangsungan hidup. Pada penyakit ginjal kronik terjadi kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju fultrasi glomerulus, dengan
manifestasi: kelainan patologis, terdapat tanda kelainan ginjal misalnya pada
saat pencitraan (imaging) atau laju filtrasi glomerulus kurang dari 60
ml/menit/1,73m2 (Price dan Wilson, 2006).
Saat ini jumlah CKD sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun.
Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran
kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya.
Sedangkan di Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5% atau 18 juta orang
dewasa yang terkena CKD (Thata, Mohani, Widodo, 2009). Banyak penyakit
dasar yang dapat menyebabkan gagal ginjal. Seperti contohnya, sekitar 30%
nefropati diabetik berkembang ke gagal ginjal. Hal ini dilihat dari hasil
mikroalbuminuria dan proteinuria. Oleh karena itu, albuminuria adalah faktor
penting resiko pada pasien penyakit ginjal kronis. Semua pasien diabetes pun
harus memiliki penilaian mikroalbuminuria setiap tahunnya. Penyebab yang
paling sering stadium akhir gagal ginjal merupakan kombinasi dari penyakit
diabetes, hipertensi, dan penyakit ginjal kronis (Atkins,2005).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral
ginjal berbentuk cembung, sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena
adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui hilus
adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik dan ureter. Ginjal
diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan
jaringan di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal
(Price dan Wilson, 2006). Secara umum struktur makroskopis ginjal terdiri dari
beberapa bagian:
b. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus
rektus, lengkung Henle dan tubulus pengumpul (ductus colligent).
e. Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area pembuluh darah, serabut saraf atau
duktus memasuki ginjal atau keluar dari ginjal.
2
f. Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul
dan calix minor.
i. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan
antara calix major dan ureter.
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal
terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi
sama. Setiap nefron terdiri dari Kapsula Bowman, yang mengitari kapiler
Glomerulus , Tubulus Kontortus Proksimal, Lengkung Henle, dan Tubulus
Kontortus Distal, yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Duktus berjalan
melalui korteks dan medulla renal untuk mengosongkan isinya ke dalampelvis
ginjal (Price dan Wilson, 2006).
4
proses endositosis dan diubah menjadi asam amino sehingga bisa kembali
ke dalam darah. Maka dari itu, urin akan terbebas dari protein.
5
tekanan dari tekanan darah kapiler glomerulus memiliki rata-rata 55 mmHg,
lebih tinggi daripada tekanan darah di kapiler lain dikarenakan diameter
arteriol aferen lebih besar daripada arteriol eferen. Karena peristiwa ini,
tekanan di arteriol aferen lebih tinggi dan cenderung mendorong plasma
darah keluar dari glomerulus melewati kapsula Bowman.
2) Tekanan osmotik koloid plasma
Akibat plasma protein tidak dapat di filtrasi ke kapsula Bowman dan
menetap di glomerulus, maka H2O yang berada di kapsula Bowman
cenderung tertarik kembali ke glomerulus karena terdapat perbedaan tekanan
osmotik. Besar tekanan osmotik memiliki rata-rata 30 mmHg, sedikit lebih
tinggi daripada tekanan di kapiler lainnya.
3) Tekanan hidrostatik kapsula bowman
Tekanan ini adalah tekanan yang cenderung mendorong cairan keluar
dari kapsula bowman yang besarnya sekitar 15 mmHg.
Berdasarkan penjumlahan ketiga tekanan diatas didapatkan tekanan netto
sebesar 10 mmHg (Sherwood, 2016).
1) Albuminuria >30mg/hari.
10
II. 2.2 Epidemiologi CKD
Saat ini jumlah CKD sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun.
Menurut (WHO, 2002) dan Burden of Disease, penyakit ginjal dan saluran
kemih telah menyebabkan kematian sebesar 850.000 orang setiap tahunnya.
Sedangkan di Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5% atau 18 juta orang
dewasa yang terkena CKD (Thata, Mohani, Widodo, 2009). Berdasarkan data
Kementrian Kesehatan prevalensi CKD di Indonesia sebesar 2% atau
sebanyak 499.800 orang (Kementrian Kesehatan, 2018).
G4 15 – 29 Penurunan berat
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar GFR, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut:
GFR (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)
72 X kreatinin plasma (mg/dl)
*) pada perempuan dikalikan 0,85
11
Kategori Albuminuria pada CKD menurut KDIGO (2012):
Tabel 2 Kategori Albuminuria pada CKD menurut KDIGO (2012)
Kategori AER (mg/d) Penjelasan
12
sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada CKD
akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada
keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat
mempunya efek inhibisi eritropoiesis.
- Sesak nafas
Adanya kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan
penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal tersebut
menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH ssehingga menyebabkan retensi
NaCl dan air volume ekstrasel meningkat (hipervolemia) volume cairan
berlebihan ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer LVH
peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan tekanan vena pulmonalis
peningkatan tekanan di kapiler paru edema paru sesak nafas
- Asidosis
Pada CKD, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan kemampuan
ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar bikarbonat
(HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik
meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron,
penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Derajat
asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila penurunan pH darah
kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dpaat
menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah.
Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul
yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk
mengurangi keparahan asidosis
- Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu
oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin
II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.
13
- Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas
oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
- Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah
(hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan
kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan
nyeri
- Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air
yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa
kram, diare dan muntah.
- Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui,
fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar
larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit (
berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
- Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang
(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam
plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun
terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak
berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal,
eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di
plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi
Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH
tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar
14
paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.
Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi
renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di
ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini merangsang
absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan kalsitriol,
maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat
keadaan hipokalsemia
- Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan
dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat
menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan
motilitas saluran cerna dan kelainan mental.
- Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari
kerusakan ginjal pada CKD seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi.
Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang
melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan
permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga
molekul protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas
melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik.
- Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada CKD adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat
terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran
15
darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari
10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi
dan menyebabkan koma uremikum.
16
b. Pemeriksaan Fisik
Umumnya pemeriksaan fisik pada gagal ginjal kronik tidak begitu membantu
namun dapat mengetahui etiologi atau komplikasi yang telah terjadi. Hal ini
disebabkan karena pada stadium awal, penderita gagal ginjal kronik masih belum
menunjukkan kelainan apapun. Tetapi, bila sudah menimbulkan komplikasi,
gejala akan sangat parah. Pada inspeksi penderita gagal ginjal kronik akan tampak
pucat. Pemeriksaan Pada palpasi dan perkusi ginjal akan dirasakan ginjal yang
semakin mengecil. Pemeriksaan palpasi dan perkusi jantung akan menunjukkan
pembesaran ventrikel kiri. Dan identifikasi murmur saat auskultasi. Pemeriksaan
perkusi paru-paru juga sering menimbulkan bunyi redup yang menunjukkan
terdapatnya edema paru (Amend WJ, 2008).
c. Pemeriksaan Penunjang
Kerusakan ginjal dapat dideteksi secara langsung maupun tidak langsung. Bukti
langsung kerusakan ginjal dapat ditemukan pada pencitraan atau pemeriksaan
histopatologi biopsi ginjal. Pencitraan meliputi ultrasonografi, computed tomography
(CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan isotope scanning dapat mendeteksi
beberapa kelainan struktural pada ginjal. Histopatologi biopsi renal sangat berguna untuk
menentukan penyakit glomerular yang mendasari (Scottish Intercollegiate Guidelines
Network, 2008).
Tabel 3 Evaluasi pada Pasien dengan CKD
Prosedur Informasi yang dicari
17
Pemeriksaan Biokimia Mengukur fungsi ginjal
Darah
- GFR - Mengukur besarnya kerusakan ginjal, dan
mengetahui durasi penurunan GFR >3 bulan
- Kreatinin - Mengetahui adanya peningkatan kadar kreatinin
serum
- Cystatin C - Kadarnya dalam darah dapat menggambarkan
GFR
Urinarius
Biopsi Ginjal Menentukan berdasarkan pemeriksaan patologi
penyakit ginjal
Sumber: Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008
18
Tabel 4 Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan
Derajatnya
Derajat LFG Rencana tatalaksana
(ml/menit/1,73m2)
1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,
evaluasi pemburukan (progression) fungsi
ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular
2 60-89 Menghambat perburukan(progression) fungsi
ginjal
3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi
4 15-30 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal
5 < 15 Tetapi pengganti ginjal
19
Diet dengan jumlah kalori 30-35 kkal/kgBB/hari, pengaturan asupan karbohidrat
50-60% dari kalori total, pengaturan asupan lemak 30-40% dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan tidak jenuh,
garam 2-3 gram/hari, kalium 40-70 mEq/kgBB/hari, fosfor 5-10 mg/kgBB/hari,
dan pembatasan jumlah protein sebagai berikut:
Tabel 5 Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik
20
e. Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium V,
yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa:
Hemodialisis
Mekanisme Hemodialisis
Pada hemodialisis, darah penderita dipompa oleh mesin kedalam kompartemen
darah pada dialyzer. Dialyzer mengandung ribuan serat (fiber) sintetis yang
berlubang kecil ditengahnya. Darah mengalir di dalam lubang serat sementara
cairan dialisis (dialisat) mengalir diluar serat, sedangkan dinding serat bertindak
sebagai membran semipermeabel tempat terjadinya proses
ultrafiltrasi. Ultrafiltrasi terjadi dengan cara meningkatkan tekanan hidrostatik
melintasi membran dialyzer dengan cara menerapkan tekanan negatif kedalam
kompartemen dialisat yang menyebabkan air dan zat-zat terlarut berpindah dari
darah kedalam cairan dialisat.
Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis
berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah hipotensi, kram
otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam,
dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium,
reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
21
hemodialisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis
dan hipoksemia. Kontraindikasi dari hemodialisis adalah perdarahan,
ketidakstabilan hemodinamik, dan aritmia.
Pasien hemodialisa harus mendapat asupan makanan yang cukup agar tetap dalam
gizi yang baik. Gizi kurang merupakan prediktor yang penting untuk terjadinya
kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan 1-1,2 g/KgBB/hari
dengan 50% terdiri atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium
diberikan 40-70 mEq/hari.
Indikasi dilakukannya hemodialisis pada penderita gagal ginjal stadium terminal
antara lain karena telah terjadi:
o Kelainan fungsi otak karena keracunan ureum (ensepalopati uremik).
o Gangguan keseimbangan asam-basa dan elektrolit, misalnya asidosis metabolik,
hiperkalemia, dan hiperkalsemia.
o Kelebihan cairan ( volume overload ) yang memasuki paru-paru sehingga
menimbulkan sesak nafas berat.
o Gejala-gejala keracunan ureum ( uremic symptoms )
Dialisis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari:
o Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata.
o K serum > 6mEq/L
o Ureum darah > 200 mg/dl
o pH darah < 7,1
o Anuria berkepanjangan (> 5 hari)
o Fluid overloaded atau kelebihan cairan yang memasuki paru-paru sehingga
menimbulkan sesak nafas berat.
22
II.2.7 Komplikasi CKD
Tabel 6 Komplikasi CKD berdasarkan derajatnya
Stadium Penjelasan LFG (ml/menit) Komplikasi
1 Kerusakan ginjal ≥ 90 -
dengan LFG normal
2 Kerusakan ginjal 60-89 Tekanan darah mulai
dengan penurunan LFG meningkat
ringan
3 Penurunan LFG sedang 30-59 - Hiperfosfatemia
- Hipokalsemia
- Anemia
- Hiperparatiroid
- Hipertensi
- Hiperhomosistenemia
4 Penurunan LFG berat 15-30 - Malnutrisi
- Asidosis metabolik
- Cenderung
hiperkalemia
- Dislipidemia
5 Gagal ginjal < 15 - Gagal jantung
- Uremia
23
Pada pasien dengan kondisi klinis anemia dan laju filtrasi glomerulus ≥60
ml/menit/1.73 m2
Setiap tahunnya pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus ≥ 30-59
ml/menit/1.73 m2
Dua kali per tahun dengan pasien< 30 ml/menit/1.73 m2
25
BAB III
RINGKASAN
26
DAFTAR PUSTAKA
Atkins. Chronic Kidney Disease: The Epidemiology of Chronic Kidney Disease. Kidney
International, Vol.67, Suppl 94 (2005); p.S14-S18.
Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic Renal Failure. In: Kasper DL,
Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 16th ed. New York; McGraw Hill; 2005.
P. 1653-63.
Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci A S ,
Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, editor. Harrison’s
principle of internal medicine. Ed 16. New York: 28 McGraw-Hill, Inc;
2005.p.1644-53.
27