Anda di halaman 1dari 149

Sanjaya

BAHAN AJAR MATA KULIAH KIMIA FISIKA


DENGAN MENERAPKAN MODEL PROJECT BASE LEARNING

KURIKULUM 2017
PENDIDIKAN KIMIA FKIP UNSRI

Disusun
Oleh
DR. SANJAYA, M.Si
Drs. JEJEM MUJAMMIL, M.Si
Drs. M. HADELI L., M.Si.

PALEMBANG
2018
1
Kimia Fisika berbasis proyek

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan Puji Syukur ke hadlirat Allah SWT, telah


diselesaikan pengembangan bahan ajar mata kuliah Kimia Fisika kurikulum
2017 untuk pengajaran pada Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan
Pendidikan MIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sriwijaya.
Bahan ajar mata kuliah Kimia Fisika ini merupakan pengembangan
bahan ajar mata kuliah Kimia Fisika I kurikulum 2013. Hal ini disebabkan
oleh perubahan kurikulum pendidikan di Prodi Kimia dari kurikulum 2013
ke kurikulum 2017. Perubahan kurikulum dari kurikulum 2013 ke kurikulum
2017, disebabkan perubahan paradigma pendidikan, dimana pada kurikulum
sebelumnya pengajaran berpusat pada dosen, maka pada kurikulum terbaru
pengajaran harus berpusat pada mahasiswa. Perubahan kurikulum dengan
sendirinya diikuti oleh perubahan pada faktor faktor yang mendukung
kurikulum, antara lain Bahan ajar. Bahan ajar ini sudah menyesuaikan
dengan paradigma baru, yaitu bahan ajar yang berpusat pada mahasiswa.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Universitas Sriwijaya yang telah memberikan dana penelitian skim
Penelitian Unggulan Kompetitif dana PNBP tahun 2018, sehingga
terselesaikannya bahan ajar ini.

Inderalaya, Oktober 2018


Penulis,

Sanjaya, dkk.

2
Sanjaya

DAFTAR ISI

No. Halaman
1. Tugas Satu PERSAMAAN KEADAAN GAS IDEAL 4
2. Tugas Dua PERSAMAAN KEADAAN GAS NYATA 12
3. Tugas Tiga ENERGI DALAM 28
4. Tugas Empat ENTHALPI 40
5. Tugas Lima ENTHALPI REAKSI 48
6. Tugas Enam PROSES LINGKAR 55
7. Tugas Tujuh ENTROPI 61
8. Tugas Delapan HUKUM III TERMODINAMIKA 75
9. Tugas Sembilan POTENSIAL KIMIA 87
10. Tugas Sepuluh TETAPAN KESETIMBANGAN 93
11. Tugas Sebelas PERGESERAN KESETIMBANGAN 103
12. Tugas Dua belas KRITERIA KESETIMBANGAN FASA 112
13. Tugas Tiga belas SYSTEM DUA DAN TIGA KOMPONEN 121

3
Kimia Fisika berbasis proyek

TUGAS 1
DISKUSI PERSAMAAN KEADAAN GAS IDEAL

1.A. Bacalah dengan cermat uraian tentang persamaan keadaan gas


ideal berikut.
1. A.1. PENDAHULUAN

Keadaan suatu gas ditentukan oleh sejumlah parameter, antara lain Volume (V), Suhu
(T), jumlah mol (n), dan Tekanan (P).

V = V (T, n, P) (1.1)

secara matematik dituliskan sebagai berikut:

dV = (V/T)p,n dT + (V/n)T,P dn + (V/P)T,n dP (1.2)

Terdapat tiga kuosien dalam Persamaan (1.2): kuosien pertama, (V/T)p,n, (V/n)T,P, dan
(V/P)T,n menyatakan perubahan volum yang diakibatkan oleh berubahnya suhu pada
tekanan dan jumlah mol yang tetap, dan seterusnya. Perubahan total gas karena perubahan
suhu, jumlah mol zat, dan tekanan dapat diketahui jika semua kuosiennya juga diketahui.
Hubungan antara parameter-parameter gas membentuk suatu persamaan yang disebut
persamaan keadaan gas. Untuk Gas ideal disebut persamaan keadaan gas ideal, sedangkan
untuk gas nyata, dikenal persamaan van der Waals, persamaan virial, dan sebagainya.

1. A.2. PERSAMAAN KEADAAN GAS IDEAL

Gas ideal adalah gas teori yang tidak ditemui dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan gas
nyata yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari disebut gas nyata. Gas ideal diasumsikan
bersifat: molekul-molekul gas tidak mempunyai volume, dan antara sesama molekul gas
tidak ada interaksi, baik tarik menarik maupun tolak menolak.

Sifat Gas ideal di atas dapat dimiliki gas nyata bila gas nyata berada pada suhu yang
tinggi dan tekanan yang rendah. Pada suhu yang tinggi gas nyata memiliki energi kinetik
yang besar, yang mengungguli interaksi antar molekul gas; dan pada tekanan yang rendah
volume gas dalam satu satuan volume sangat kecil sehingga dapat diabaikan dibandingkan
dengan volume dimana gas itu berada. Penggabungan Hukum Gay-Lussac dan Charles,
Hukum Boyle, dan Hukum Avogadro menghasilkan persamaan keadaan gas ideal.

1. A.2.1. Hukum Gay-Lussac dan Charles


Menurut hukum Gay-Lussac dan Charles, pada tekanan tetap volum sejumlah tertentu
gas berbanding lurus dengan suhu termodinamik (suhu mutlak, suhu Kelvin):

4
Sanjaya

V≈T atau V = kT (1.3)


V2/T2 = V1/T1 = V/T = k (1.4)

Untuk mendapatkan kuosien pertama, maka persamaan (1.3) diturunkan terhadap T, pada
tekanan dan jumlah mol tetap, dan diperoleh persamaan :
(V/T)p,n, = k (1.5)
karena k = V/T
maka (V/T)p,n, = V/T (1.6)

1. A.2.2. Hukum Boyle


Menurut hukum Boyle; pada suhu tetap, volum sejumlah tertentu gas berbanding terbalik
dengan tekanannya. Secara matematika dirumuskan dengan persamaan :
V≈1/P atau V = k’ / P
V P = k’ atau V1P1 = V2P2 = k‟ (1.7)
Persamaan (1.7) diturunkan terhadap P pada suhu dan jumlah mol tetap, diperoleh
persamaan
(V/P)T,n = - (k‟ / P2) (1.8)
Karena k‟ = V P maka didapat
(V/P)T,n = - (V P / P2) = - (V / P) (1.9)

1. A.2.3. Hukum Avogadro


Menurut hukum Avogadro, pada suhu dan tekanan tetap, volume gas berbanding lurus
dengan jumlah molnya.
V≈n V = k” n atau V/n = k” (1.10)

Persamaan (1.10) berarti bahwa pada suhu dan tekanan yang tetap, jika jumlah mol
berubah maka volumnya akan berubah sesuai perbandingan V/n yang selalu tetap.
V2 / n2 = V1 / n1 = V/n = k” (1.11)

Turunan persamaan (1.10) terhadap n, dan disubstitusikan dengan persamaan (1.11) maka
akan diperoleh persamaan

(V/n)T,P = k = V/n (1.12)

1. A.2.4. Penurunan Persamaan Gas Ideal.


Dengan mensubstitusikan persamaan (1.6), (1.9), dan (1.12) ke dalam persamaan (1.2),
akan dihasilkan persamaan
dV = (V/T) dT + {-(V/P)} dP + (V/n) dn (1.13)
apabila dikalikan dengan 1/V, maka persamaan (1.13) menjadi

dV/V = dT/T -dP/P + dn/n (1.14)

5
Kimia Fisika berbasis proyek
kemudian persamaan (1.14) diintegrasikan sehingga menjadi

ln V = ln T – ln P + ln n + ln R (1.15)
ln R adalah tetapan integrasi. Persamaan (1.15) di antilog kan, sehingga diperoleh
PV = nRT (1.16)
Persamaan (1.16) disebut persamaan keadaan gas ideal. Untuk perhitungan gas nyata
yang tidak terlalu kuantitatif, maka persamaan gas ideal dapat digunakan sebagai suatu
pendekatan yang cukup memadai. Jika suatu gas bersifat ideal maka perbandingan (PV/T)
akan selalu memiliki nilai yang tetap, meskipun variabelnya berubah. Dengan ungkapan lain,
PV/T = R (1.17)
Hasil eksperimen diperoleh harga tetapan ( R ) sebesar 0,08205 L atm mol-1 K-1 .
Dalam satuan internasional (SI) tetapan R adalah 8,314 m3 Pa mol-1 K-1 .

1. A.2.5. Hukum Dalton

Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan total adalah jumlah tekanan parsial semua
komponen gas-gas yang terdapat di dalam campuran gas. Jika sejumlah volume V berisi
campuran gas ideal, dimana jumlah total mol semua gas dalam volum V dinyatakan dengan
nt
PV = nt RT (1.18)
Misalkan terdiri dari empat jenis gas dengan jumlah mol masing-masing n1, n2, n3, dan n4,
maka persamaan gas menjadi
PV = (n1+ n2+n3 + n4) RT atau P = (n1+ n2+ n3+ n4) RT/ V (1.19)
Tekanan P adalah tekanan total dari keempat gas tersebut, sehingga tekanan masing-masing
gas dapat dinyatakan sebagai berikut:
P1 =n1 RT/ V (1.20 a)
P2 =n2 RT/ V (1.20 b)
P3 =n3 RT/ V (1.20 c)
P4 =n4 RT/ V (1.20 d)
Dengan menjumlahkan persamaan (1.20a; 1.20b; 1.20c dan 1.20d) didapat hasil
P = P1 + P2 + P3 + P4 = (n1 + n2 + n3 + n4) RT/ V = nt RT/ V (1.21)
P = P1 + P2 + P3 (1.22)
Pi / P = (ni RT/ V) / (nt RT/ V) = ni / nt = xi (1.23)
Pi = xi P dengan xi fraksi mol gas I (1.24)

1. A. 3. ISOTERM, ISOBAR, DAN ISOMETRIK GAS IDEAL


Untuk setiap mol gas ideal, maka persamaan keadaan gas ideal menjadi.
PV = RT (1.25)

6
Sanjaya

Kurva pada Gambar (1.1) memperlihatkan bahwa P dan V dapat berupa sebagai variabel
bebas atau terikat, pada suhu tertentu ( merupakan variabel terikat). Setiap titik yang terdapat
pada kurva itu menentukan pasangan nilai P dan V, sehingga satu titik dengan titik lainnya
dalam kurva tersebut menggambarkan keadaan gas yang berbeda-beda.
Pada Gambar (1.1), kurva yang diberi label T1, T2, dan T3, adalah kumpulan titik-titik
yang menyatakan keadaan-keadaan gas ideal pada suhu T1, T2, dan T3. Kurva-kurva tersebut
disebut kurva isoterm. Isoterm gas ideal berupa hiperbola yang ditentukan oleh hubungan
P = (RT) 1/V (1.26)
Pada suhu yang sama, tekanan gas berbanding terbalik dengan volumnya. Artinya
semakin besar tekanan, maka volum gas menjadi semakin kecil, atau sebaliknya. Selain grafik
isoterm yang dapat digambarkan untuk persamaan keadaan gas ideal dapat juga dilihat pada
grafik isobar dan isokhor, seperti ditunjukkan pada gambar (1.2) dan (1.3).

4
T3 = 487 K
P/ (101.325 kPa)

3
T2 = 312 K
2 T1 = 122 K
kPa)

0 10 20 30 40 50
3
V /(dm /mol)

Gambar 1.1. Isoterm gas ideal

Pada gambar (1.2) setiap titik menghubungkan himpunan nilai-nilai untuk koordinat V
dan T. Gambar (1.2) di atas menunjukkan hubungan volum molar dengan suhu sebagai garis
lurus. Titik-titik yang terdapat dalam satu garis menyatakan keadaan-keadaan gas ideal pada
tekanan yang sama, dan disebut isobar. Keadaan gas ideal ini dijelaskan oleh persamaan
(1.27)

R
V= ─ T (1.27)
P

7
Kimia Fisika berbasis proyek

1 atm

2 atm

V /(dm3/mol) 3 atm

100 200 300 400 500 T/K

Gambar 2. Isobar gas ideal

Persamaan (1.27) menyatakan bahwa pada tekanan tetap volum gas berbanding lurus
dengan suhunya. Artinya, semakin besar suhu gas tersebut, semakin besar pula volum
molarnya.

10 dm3/mol

20 dm3/mol
P / 101,325 kPa

30 dm3/mol

0 100 200 300 400 T/K

Gambar. 1.3. Isometrik gas ideal


Gambar (1.3) menunjukkan hubungan tekanan dan suhu gas ideal sebagai garis lurus yang
menyatakan pada volum molar yang tetap, semakin tinggi suhu, semakin besar tekanan yang
ditimbulkan gas ideal. Hubungan nya dinyatakan oleh persamaan 1.28 :

R
P= ─ T (1.28)
V

Keadaan ini disebut isometrik ( isokhor).

8
Sanjaya

1. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

9
Kimia Fisika berbasis proyek
1. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
……………………………………………………………………………………………

10
Sanjaya

1. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK


Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

11
Kimia Fisika berbasis proyek

TUGAS 2
DISKUSI PERSAMAAN KEADAAN GAS NYATA

2.A. BACALAH DENGAN CERMAT URAIAN TENTANG PERSAMAAN


KEADAAN GAS IDEAL BERIKUT.
2.A.1. FAKTOR KOMPRESIBILITAS
Perhitungan Gas nyata yang tidak terlalu kuantitatif dapat menggunakan persamaan gas
ideal. Persamaan gas ideal akan lebih akurat digunakan bila gas nyata diterapkan pada suhu
tinggi dan tekanan yang sangat rendah. Jika gas nyata yang dieksperimenkan berada pada suhu
rendah dan tekanan tinggi, penggunaan persamaan gas ideal tidak sesuai dengan hasil
eksperimen. Persamaan gas ideal harus disesuaikan dengan gas nyata agar sesuai dengan hasil
eksperimen, dan disebut persamaan gas nyata. Penyesuaian persamaan gas ideal dengan
menambah adanya antaraksi sesama molekul, dan volum molekul. Sehingga ada
penyimpangan tekanan dan volum. Penyimpangan volum, dinyatakan dengan faktor
kompresibilitas, Z, yaitu :
Z ≡ (V / Vid ) = PV / RT (2.1)
Dengan V adalah volume molar gas nyata, dan Vid volume molar gas ideal.
Hubungan Z dengan tekanan dari beberapa gas nyata ditunjukkan dalam gambar 2.1 berikut.

H2
1,5
N2
Gas ideal
1,0
CH4
Z
CO2
0,5

0 100 200 300


P /(101,325 kPa)

Gambar 2.1. Aluran nilai Z terhadap P untuk beberapa gas pada suhu 0 0C

Perhatikan Gambar (2.1) nilai Z sebagai fungsi tekanan pada suhu O oC untuk beberapa
gas. Faktor kompresibilitas gas ideal, Z, adalah 1 dan tidak bergantung pada suhu serta
tekanan, sedangkan untuk gas nyata nilai Z belum tentu 1, karena dipengaruhi oleh suhu dan
tekanan ; Z = Z (T,P). Dari gambar (2.1) terlihat bahwa untuk gas hydrogen, nilai Z lebih besar

12
Sanjaya

daripada zat lain pada semua rentang tekanan. Untuk gas nitrogen, nilai Z lebih kecil dari pada
satu pada tekanan rendah, tetapi lebih besar daripada satu pada tekanan tinggi. Gas metana dan
karbondioksida penyimpangan nilai Z dari satu lebih besar lagi. Disamping itu dari gambar
terlihat pada tekanan mendekati nol nilai Z untuk semua gas nyata akan sama dengan gas ideal.
Secara matematik dinyatakan dengan persamaan berikut :

PV
Z = ── =1 (2.2)
RT P→ O

Perhatikan kenaikan tekanan pada gambar di atas. Beberapa gas mempunyai Z<1, artinya
PV<RT. Gas ini lebih mudah dikompresi daripada gas ideal. Pada kenaikan tekanan
selanjutnya, semua gas mempunyai Z>1, yakni PV>RT. Pada keadaan ini gas lebih sulit untuk
dikompresi daripada gas ideal. Pikirkan sifat ini dengan gaya antarmolekul. Pada tekanan
rendah, molekul-molekul gas terpisah jauh, sehingga gaya antar molekul yang dominant
adalah gaya tarik menarik. Pada tekanan yang lebih tinggi, jarak rata-rata antar molekul
berkurang, sehingga gaya tolak antar molekul menjadi dominan.
Pengaruh suhu terhadap nilai Z dengan variasi tekanan, P, dari gas metana digambarkan
pada gambar 2.2. Terlihat bahwa pada suhu rendah (200oC) gas metana memiliki sifat yang
jauh dari gas ideal, tetapi pada suhu tinggi mendekati sifat gas ideal (Z=1).

200 K
3 500 K

1000 K
Z 2

1 Gas ideal

0 300 600 900


P /(101,325 kPa)
Gambar 2.2. Aluran nilai Z terhadap P untuk gas metana pada berbagai suhu

Pada suhu yang sangat tinggi, sejumlah tertentu gas, volum gas menjadi tak hingga,
kerapatannya mendekati nol. Penyimpangan dari keadaan ideal disebabkan oleh gaya antar
molekul dan volum molekulnya sendiri yang tidak nol. Pada kerapatan menuju nol, molekul yang
satu dengan molekul yang lainnya terpisah jauh, sehingga gaya antar molekul menjadi nol. Pada
volum yang sangat besar (tak terhingga), volum molekulnya sendiri dapat diabaikan dibandingkan
dengan volum (tak hingga) yang ditempai oleh gas tersebut. Oleh karena itu persamaan keadaan
gas ideal dapat dipenuhi oleh gas nyata pada kerapatan gas mendekati nol.

13
Kimia Fisika berbasis proyek
2.A.2. PERSAMAAN VAN DER WAALS
Gas nyata menyimpang dari gas ideal disebabkan karena volume molekul dan antar aksi
molekul, sehingga volum dan tekanan gas untuk gas nyata perlu dikoreksi dari gas ideal.
Volum wadah, V, harus terdiri atas volum gas dan volum bebas untuk gerak molekul.
nRT
V = nb + ─── (2.3)
Pideal

Dengan b adalah suatu tetapan sebagai koreksi terhadap volum, yang nilainya tergantung pada
jenis gas. Penyusunan ulang persamaan (2.3) menghasilkan
nRT
Pideal = ─── (2.4)
V-nb

Tekanan gas nyata dikoreksi terhadap gas ideal. Tekanan gas nyata lebih rendah dari tekanan
gas ideal.
2
n
P = P ideal -a─ (2.5)
V

dengan a adalah suatu tetapan yang nilainya tergantung pada jenis gas, sehingga persamaan
(2.5) menjadi

nRT an2
P = ─── ─ ── (2.6)
V– nb V2

atau

n2a
P + ── (V– nb) = nRT (2.7)
V2

Persamaan (2.7) ini adalah persamaan gas nyata yang dikenal sebagai Persamaan
Keadaan Gas Van der Waals. Tetapan a dan b bergantung pada jenis gas. Beberapa nilai a dan
b untuk gas-gas tertentu ditunjukkan dalam dalam tabel 2.1.

Tabel 2.1. Konstanta van der Waals beberapa gas

Nama Gas a/(Pa m6mol-2) b/(10-6m3mol-1)


He 0,0035 23,70
H2 0,0247 26,61
N2 0,1408 39,13
O2 0,1378 31,83
Cl2 0,6579 56,22
NO 0,1358 27,89
H2O 0,5536 30,49
CO2 0,3640 42,67
CH4 0,2283 42,78

14
Sanjaya

2. A.3. PERSAMAAN VIRIAL


Meskipun gas nyata dengan persamaan van der Waals lebih teliti dibandingkan dengan
persamaan gas ideal, namun pada tekanan tinggi persamaan van der Waals tidak memuaskan,
terutama jika digunakan suhu kritis yang tinggi. Untuk keadaan yang demikian, Kammerlingh
Onnes mengajukan suatu persamaan keadaan yang disebut persamaan keadaan gas virial,
dengan bentuk umum adalah sebagai berikut,
B C D E
PV = RT 1 + ── ‎+‎‎── + ── + ── + …… (2.8)
V V2 V3 V4
dengan B, C, D dan seterusnya adalah koefisien virial kedua, ketiga, keempat dan seterusnya,
yang merupakan fungsi suhu dan bergantung pada jenis gas. Dalam bentuk lain persamaan
tersebut dinyatakan dengan
PV = RT (1 + B’P ‎+ C’P2 + D’P3 + ……) (2.9)
dengan B’, C’ D’, dan seterusnya merupakan fungsi suhu.
Nilai-nilai koefisien virial untuk gas van der Waals dapat ditentukan dengan cara
membandingkan persamaan (2.8) terhadap persamaan gas van der Waals, yang keduanya
dinyatakan dalam bentuk fungsi Z terhadap volum. Dengan mengabaikan bentuk suku yang
lebih tinggi, bentuk persamaan (2.8) menjadi
PV B C
Z = ─── = 1 + ── ‎+‎‎── (2.10)
RT V V2

Kemudian persamaan van der Waals untuk 1 mol gas

RT a
P = ─── ─ ── dapat dinyatakan dalam bentuk
V–b V2
PV 1 a
Z = ─── = ─── ─‎‎‎‎── (2.11)
RT 1-b/V RTV

Pada tekanan rendah nilai b/ V kecil dibandingkan satu, sehingga suku pertama pada ruas
kanan persamaan (2.11) dapat diselesaikan dengan menggunakan deret. Dalam deret
dinyatakan bahwa bila x lebih kecil daripada satu, maka hasilnya sebagai berikut :
1
─── = 1 + x + x2 + x3 + …
1- x
dan persamaan (2.11) menjadi

b b 2 a
Z = 1 + ── + ─ + ……. ─ ─── (2.12)
V V RTV
Atau
a 1 b 2
Z = 1 + b ─ ── ─ + ─ + ………………….. (2.13)
RT V V

15
Kimia Fisika berbasis proyek
Dengan membandingkan persamaan (2.10) dengan (2.13) maka didapat
B = b – (a/RT) dan C = b2

2.A.4 Persamaan Beatle-Bridgeman


Persamaan keadaan gas nyata lain yang cukup teliti adalah persamaan keadaan Baetle-
Bridgeman yang dirumuskan dalam bentuk persamaan virial sebagai berikut:

β γ δ
PV = RT + ── ‎+‎‎── + ── (2. 14)
V V2 V3

Dengan β, γ, dan δ masing-masing adalah


Ao c
β = RT Bo ‎─‎‎── ─ ──
RT T3
Aoa Boc
γ = RT ─ Bob ‎+‎‎── ─ ──
RT T3

Bobc
δ = RT ─── (2.15)
T3

Persamaan keadaan Beatle-Bridgeman memiliki 5 tetapan selain R, yakni Ao, a, Bo, b, dan c

2.A. 5. Persamaan Berthelot


Persamaan yang teliti untuk digunakan pada tekanan rendah (sekitar 1 atm atau lebih
rendah) adalah persamaan Berthelot yang sudah dimodifikasi dinyatakan sebagai berikut:

RT 9PTc 6Tc2
P = ── ‎ 1 +‎‎‎──── 1 ─ ─── (2.16)
V 128PcT T2

Dengan Pc dan Tc berturut-turut adalah tekanan kritis dan suhu kritis gas. Persamaan ini sering
digunakan untuk menghitung volum dan massa relatif gas.

2.A.6 ISOTERM GAS NYATA


Gambar 2.3. di bawah menunjukkan hubungan antara tekanan dengan volum gas nyata
pada berbagai suhu. Misalkan suatu gas berada dalam tabung berpiston pada keadaan yang
ditandai dengan titik A, suhunya dipertahankan tetap pada T1, secara perlahan piston ditekan
sehingga volumnya berubah dari V1 menjadi V2. Sesuai dengan berkurangnya volum, tekanan
meningkat secara perlahan sampai V2 tercapai. Pengurangan volum sepanjang V2 sampai V3
ternyata tidak mengubah tekanan, sementara itu pengurangan sedikit saja V3 menjadi V4 mampu
meningkatkan tekanan yang sangat besar, dari Pe ke P’.

16
Sanjaya

Ts
P’
• T3
P
Tc

Pe T2
• T1

V4 V3 V2 V1
V
Gambar 2.3 Isoterm gas nyata

Pada V2 tetesan cairan mulai muncul. Proses kondensasi terjadi sepanjang perubahan
volum dari V2 sampai V3. Selama perubahan volum dari V2 ke V3 cairan yang terbentuk makin
banyak. Sementara tekanannya tetap Pe, yakni tekanan uap saat kesetimbangan antara cairan dan
uapnya pada suhu T1. Pada V3 jejak terakhir gas menghilang pada tekanan uap kesetimbangan (Pe)
cairan. Selanjutnya pengurangan volum sedikit saja akan meningkatkan tekanan secara tajam dari
Pe ke P‟, karena cairan hampir tidak dapat ditekan.
Garis kesetimbangan (V2 menuju V3) akan semakin pendek pada isoterm yang lebih
tinggi, yang pada akhirnya pada suhu kritis (biasa disebut isoterm kritis) garis tersebut menjadi
sebuah titik. Selanjutnya jika suhunya pada isoterm yang lebih tinggi lagi bentuk kurva berubah
menjadi mirip dengan bentuk kurva gas ideal.
Salah satu contoh isoterm gas nyata adalah isoterm gas CO2. Pada suhu 13,1 oC gas CO2
memperlihatkan tekanan kesetimbangan yang cukup panjang. Makin tinggi suhunya, garis
kesetimbangan tersebut semakin pendek. Pada suhu 31,1 oC garis kesetimbangan menghilang.
Suhu ini merupakan isoterm kritis untuk gas CO2. Di atas suhu ini isoterm menjadi mirip dengan
isoterm gas ideal. Gas hanya dapat dicairkan (dikondensasi) di bawah suhu kritisnya. Di atas suhu
kritis gas tak mungkin dicairkan (bersifat seperti gas ideal).

2.A.7. Isoterm van der Waals


Gambar (2.4) memperlihatkan bentuk isoterm untuk gas nyata, dengan anggapan bahwa
gas ini mengikuti persamaan gas van der Waals.

17
Kimia Fisika berbasis proyek

P E
Pc • T3

C
A D Tc
Pe • • •
T2
B
V ′
V" V‫׳״‬
V
Gambar 2.4. Isoterm gas van der Waals

Jelas terlihat kemiripan isoterm ini dengan isoterm pada gambar (2.3). Perbedaannya
terletak pada bagian datar kurva. Menurut isoterm van der Waals, pada bagian ini, untuk setiap
tekanan tertentu terdapat tiga nilai volum. Pada suhu kritis, ketiga nilai volum tersebut berimpit
menjadi satu titik, dan merupakan titik belok.
Perhatikan kembali persamaan van der Waals yang dinyatakan dalam persamaan tekanan
sebagai fungsi volum molar:

RT a
P = ─── ─ ── (2.17)
V– b V2

Pada saat V sangat besar persamaan (2.17) mendekati persamaan gas ideal, karena jika V
sangat besar maka a / V2 sangat kecil dibandingkan dengan RT / (V - b), dan juga b « V. Hal ini
berlaku pada suhu tinggi, yaitu T3.
Pada suhu rendah dan volum kecil, suku-suku dalam persamaan (2.17) tidak dapat
diabaikan. Pada suhu yang lebih rendah dari suhu kritis (T2), kurva membentuk nilai maksimum
dan minimum, yaitu C dan B, dan memiliki tiga macam nilai volum pada tekanan tertentu. Hal ini
tidak mengherankan, karena persamaan van der Waals merupakan suatu persamaan pangkat tiga.
Kurva bagian DC dan AB pada kurva suhu T2 dapat dihasilkan secara eksperimen. Jika
volum suatu gas pada suhu T2 diturunkan secara bertahap, tekanan akan meningkat sampai
tercapai titik D. Pada titik ini kondensasi mulai terjadi, namun demikian dapat pula terjadi bahwa
cairan tidak terbentuk, sehingga pengurangan volum selanjutnya mengakibatkan peningkatan
tekanan sepanjang garis DC. Pada bagian ini tekanan gas melampaui tekanan uap kesetimbangan,
Pc. Oleh karena itu, titik-titik tersebut menyatakan terjadinya supersaturated (atau supercooled)
uap. Jika volum suatu cairan pada suhu T2 ditingkatkan, tekanan akan turun secara drastis sampai
titik tekanan kesetimbangan. Pada titik ini uap akan terbentuk, akan tetapi, dapat juga terjadi

18
Sanjaya

bahwa uap tidak terbentuk, sehingga peningkatan volum selanjutnya menghasilkan pengurangan
tekanan sepanjang garis AB. Titik-titik yang terdapat dalam garis AB menyatakan keadaan
superheated liquid. Keadaan supersaturated dan superheated uap adalah keadaan metastabil.
Garis BC yang terdapat dalam kurva van der Waals secara eksperimen tidak dapat
diperoleh. Pada bagian ini lereng kurva memiliki nilai positip. Peningkatan volum sistim akan
mengakibatkan peningkatan tekanan dan penurunan volum akan mengakibatkan penurunan
tekanan. Keadaan pada bagian BC adalah keadaan unstabel.

2.A.8. Keadaan Kritis Gas van der Waals


Perhatikan kembali persamaan keadaan gas van der Waals dalam bentuk
a
P + ── ( V– b) = RT
V2

Dengan menggunakan sifat distribusi, kemudian hasilnya dikalikan dengan V2/P,


persamaan van der Waals dapat diubah menjadi

RT a ab
V 3 ─ b + ── V 2 + ─ V – ─ = 0 (2.18)
P P P

Persamaan (2.18) adalah persamaan pangkat tiga, yang berarti bahwa untuk P dan T tertentu ada
tiga nilai volum, misalnya pada Pc dan T2 dalam gambar (2.4). Pada ketiga volum tersebut ada
kesetimbangan antara fasa cair dan uap. Daerah kesetimbangan 2 fasa tersebut makin menyempit
dengan naiknya suhu, sehingga akhirnya tercapai suhu dan tekanan kritis, yakni T dan P di atas
mana gas tak mungkin dikondensasi. Volum pada keadaan ini disebut volum kritis, Vc.
Nilai volum kritis dapat diperoleh dengan cara menggunakan sifat turunan pertama dan
kedua dari persamaan van der Waals yang dinyatakan dalam keadaan kritis, menjadi

RTc a
Pc = ─── ─ ── (2.19)
Vc– b Vc 2

Pada titik belok berlaku

P  2P
── = 0 dan ── =0 (2.20)
V Tc V 2 Tc

Oleh karena itu, jika persamaan (2.19) diturunkan terhadap volum akan diperoleh

Pc RTc 2a
── = ─ ──── + ── = 0 (2.21)
Vc Tc (Vc– b)2 Vc3

19
Kimia Fisika berbasis proyek

 2Pc 2RTc 6a
── = ──── ─ ── = 0 (2.22)
Vc 2 Tc (Vc– b)3 Vc4

diperoleh nilai tetapan van der Waals, yang dinyatakan dalam besaran-besaran kritis, yaitu :
a = 3 Vc2Pc dan b = ⅓ Vc (2.23)
Dengan menggunakan persamaan (2.23) dapat diketahui nilai-nilai tekanan dan volume pada
keadaan kritis, dan diperoleh hasil
3RTc
Pc = ─── (2.24)
8Vc

3RTc
Vc = ─── (2.25)
8Pc

8PcVc
R = ──── (2.26)
3Tc
Nilai tetapan kritis untuk beberapa gas tertera pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Keadaan kritis beberapa gas


Gas Pc/(M Pa) Vc / (10-6 m3) Tc / K
He 0,229 62 5,25
H2 1,30 65 33,2
N2 3,40 90 126
O2 5,10 75 154
CO2 7,40 95 304
SO2 7,80 123 430
H2O 22,10 57 647
Hg 360,00 40 1900

2.A.9. Hukum Keadaan Sehubungan


Substitusi nilai-nilai a,b, dan R (persamaan 2.23 dan 2.26) ke dalam persamaan van der
Waals menghasilkan persamaan

8PcVc T 3 Pc Vc2
P = ──────── ─ ──── (2.27)
3Tc (V– Vc /3) V2
Persamaan ini dapat disusun ulang menjadi

P 8 ( T / Tc ) 3
── = ──────── ─ ──── (2.28)
Pc 3( V / Vc ) ─ 1 ( V/ Vc )2

Persamaan 2.28 ternyata hanya mengandung hubungan P/Pc, T/Tc dan V/Vc. Besaran-
besaran tersebut dikenal sebagai variabel tereduksi, yakni: tekanan tereduksi, diberi simbol π atau
Pr; suhu tereduksi, diberi simbol τ atau Tr ; dan volum tereduksi, diberi simbol ф atau Vr .

π = P/Pc τ = T/Tc ф = V/Vc

20
Sanjaya

Dengan demikian persamaan van der Waals dapat dinyatakan dalam variabel
tereduksinya
8τ 3
π = ─── ─ ── (2.29)
3ф -1 ф2

Persamaan (2.29) menyatakan hubungan antara satu variabel tereduksi dengan dua
variabel tereduksi lainnya. Persamaan ini merupakan pernyataan matematis dari hukum keadaan
sehubungan, yang menyatakan bahwa: “jika dua atau lebih zat mempunyai tekanan tereduksi dan
suhu tereduksi yang sama, maka volum tereduksinya akan sama pula”.
2.A.10. Faktor kompresibilitas sebagai fungsi tekanan tereduksi
Faktor kompresibilitas atau faktor daya mampat (Z) merupakan ukuran keidealan suatu
gas. Bagi gas ideal, Z = 1, sedangkan bagi gas nyata Z ≠ 1. Makin menyimpang Z dari nilai satu,
makin tidak ideal gas yang bersangkutan. Jika suatu gas diketahui faktor daya mampatnya, maka
perhitungan yang teliti dari volum dapat dilakukan melalui persamaan (2.30).
PV
Z = ─── (2.30)
nRT
Faktor kompresibilitas bergantung pada jenis gas, suhu, serta tekanan. Para ahli telah
mengembangkan suatu metoda untuk menentukan Z yang berlaku untuk sebuah gas. Metoda ini
didasarkan atas kenyataan bahwa faktor kompresibilitas merupakan fungsi universal dari tekanan
tereduksi dan suhu tereduksi.
Diagram alir Z yang dialurkan terhadap tekanan tereduksi, Pr, pada berbagai suhu
tereduksi, Tr, dapat dilihat pada gambar 2.5. Grafik ini berlaku umum, dan dapat digunakan untuk
menghitung berbagai data mengenai gas nyata.

Gambar 2.5. Faktor kompresibilitas, Z, terhadap tekanan tereduksi, Pr,


pada berbagai suhu tereduksi

2.A.11. SUHU BOYLE


Suhu Boyle didefinisikan sebagai suhu dimana plot nilai Z terhadap tekanan, P,
mendekati garis Z =1 secara asimtot apabila P mendekati nol adalah
Z
── =0 (2.31)
P→ 0 P T

21
Kimia Fisika berbasis proyek
Untuk gas van der Waals, suhu Boyle dapat ditentukan sebagai berikut. Pertama persamaan van
der Waals diubah dalam bentuk nilai Z sebagai fungsi P. Kemudian persamaan tersebut
diturunkan terhadap P pada suhu tetap dengan catatan V sangat besar. Akhirnya diterapkan aturan
suhu Boyle pada hasil turunannya.
a P b 2
Z = 1 + b ─ ── ─ + ─ P2 (2.32)
RT RT RT

Z a 1 b 2
── = b ─ ── ─ + 2 ─ P =0 (2.33)
P T RT RT RT

karena

Z
── =0 maka
P→ 0 P T

a 1
b ─ ── ── = 0 (2.34)
RTB RTB

karena
1 a
── ≠ 0 maka b = ── (2.35)
RTB RTB

Sehingga Tb = a/Rb (2.36)

2.A.12. PENENTUAN MASSA MOLEKUL GAS NYATA


Pada tekanan rendah, gas nyata cenderung bersifat seperti gas ideal. Sifat ini dapat
dimanfaatkan untuk menentukan massa molekul relatif suatu gas nyata, dengan menggunakan
pendekatan  /P terhadap tekanan, P.
Pada tekanan rendah, untuk gas van der Waals, persamaan dapat dinyatakan sebagai
P(V-nb) = nRT
Atau PV = n(RT + bP)
RT + bP
P =  ───── (2.37)
M

 M / RT
─ = ────── (2.38)
P 1 + bP/RT
Pada tekanan rendah persamaan (2.38) dapat diperluas menjadi
 M Mb
─ = ── ─ ─── P (2.39)
P RT (RT) 2

22
Sanjaya

Plot  /P terhadap P merupakan garis lurus, dengan kemiringan –Mb/(RT)2 dan intersep
M/RT. Massa molekul relatif gas dapat diperoleh hanya dari intersep.

2.A.13. KOEFISIEN EKSPANSI TERMAL DAN KOMPRESIBILITAS


Gay Lussac melakukan pengukuran volum sejumlah tertentu gas pada tekanan tetap dan
ditemukan bahwa volum gas merupakan fungsi linear dan suhu. Ini dinyatakan dengan
persamaan.
V = a + bt (2.40)
dengan t adalah suhu, a dan b adalah suatu tetapan. Aluran volum sebagai fungsi suhu
ditunjukkan dalam gambar (2.6). Perpotongan garis pada sumbu tegak adalah a = Vo, volum
pada suhu O oC, sedangkan kemiringan kurva adalah b = (V/t)P,n. Jadi persamaan (2.40) dapat
ditulis ulang

V
V = Vo + ── t (2.41)
 t P,n
V/dm3

30

20

Vo 10

-40 -20 0 20 40 60 80 100


t / oC
Gambar 2.6. Volum sebagai fungsi suhu
Dengan demikian untuk suatu gas dengan massa tertentu pada tekanan tetap peningkatan
volum per derajat adalah ( V/ t)P,n, sehingga peningkatan volum relatif per derajat pada suhu 0
o
C adalah (1/Vo) ( V/ t)P,n. Besaran ini disebut koefisien ekspansi termal pada 0 oC, dan diberi
simbol 0.
1 V
 0 = ─ ── (2.42)
Vo  t P,n
Dari persamaan (2.41) dan (2.42) dapat dihasilkan bentuk persamaan lain, yaitu
1
V = Vo o ─ + t (2.43)
o

Dari persamaan (2.43) lahir transformasi koordinat, yakni dari skala temperatur Celsius
ke skala temperatur baru, Kelvin.

23
Kimia Fisika berbasis proyek
1
T= ─ + t (2.44)
o

dengan 1/o = 273,15 oC dan T adalah suhu mutlak, dalam satuan Kelvin, t adalah suhu dalam
satuan derajat Celsius.
Eksperimen Charles menunjukkan bahwa harga o sama untuk gas apapun dan tak
bergantung tekanan. Koefisien ekspansi termal secara umum dinyatakan dengan

1 V
 = ─ ── (2.45)
V T P,n

Jika koefisien ekspansi termal merupakan ukuran sampai sejauh mana perubahan volum
relatif suatu zat untuk setiap derajat perubahan suhu pada tekanan tetap, maka koefisien
kompressibilitas, merupakan ukuran sampai sejauh mana perubahan volum relatif suatu zat untuk
setiap satuan perubahan tekanan pada suhu tetap. Koefisien kompressibilitas,, dapat kita
nyatakan sebagai

-1  V
 = ─ ── (2.46)
Vo  P T,n

2. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

24
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
2. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK

25
Kimia Fisika berbasis proyek
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
2. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK

26
Sanjaya

Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
TUGAS 3. ENERGI DALAM

27
Kimia Fisika berbasis proyek

3.A. Bacalah dengan cermat uraian tentang Energi Dalam berikut.


3.A.1 BEBERAPA PENGERTIAN DASAR
Sistim dan lingkungan
Sistim adalah sistim kimia, yaitu sesuatu atau sejumlah zat atau campuran zat-zat yang
dibatasi oleh sifat-sifat fisik atau konseptual yang sifat-sifatnya dapat dipelajari atau menjadi
pusat perhatian. Diluar atau selain sistim tersebut dinamakan lingkungan. Sistim berdasarkan
interaksi dengan lingkungan dapat dibedakan atas tiga sistim, seperti ditunjukkan pada tabel
berikut :
Tabel 3.1. Sifat-sifat sistim dan perbedaannya
No Nama sistim Pertukaran
Energi Materi
1 Sistim tersekat Tidak terjadi Tidak terjadi
2 Sistim tertutup terjadi Tidak terjadi
3 Sistim terbuka terjadi terjadi

Untuk menghasilkan sistim tersekat, dapat dilakukan dengan menggunakan termos hampa
udara, atau busa plastik (stereofoam). Sistim tertutup dapat dibuat dengan menggunakan bahan
gelas atau logam. Sistim terbuka banyak sekali ditemukan dalam percobaan-percobaan di
laboratorium, seperti percobaan yang dilakukan dengan menggunakan tempat terbuka,
misalnya gelas piala, tabung reaksi dan sebagainya.
Keadaan Sistim dan Persamaan Keadaan
Keadaan sistim didefinisikan sebagai sifat-sifat yang mempunyai nilai tertentu apabila
sistim ada dalam kesetimbangan pada kondisi tertentu. Keadaan sistim ditentukan oleh
beberapa variabel sistim, yaitu (1) variabel intensif, variabel yang nilainya tidak bergantung
pada besar dan ukuran sistim, seperti suhu (T), tekanan (P), massa jenis (), volum spesifik (v),
volum molar (V), dan sebagainya; (2) variabel ekstensif yaitu variabel yang nilainya
bergantung pada besar dan ukuran sistim, seperti: Volum total (V), massa (m), jumlah mol (n),
dan sebagainya.
Hubungan antara variabel-variabel sistim dinyatakan dalam persamaan keadaan. Misalnya
persamaan keadaan gas ideal, persamaan van der Waals, dan sebagainya.
Fungsi Keadaan
Fungsi keadaan merupakan sifat setiap sistim yang hanya tergantung pada keadaan awal
dan keadaan akhir. Di dalam termodinamika dikenal beberapa fungsi keadaan, yaitu: Energi
dalam (u; U) entalpi (h; H), entropi (s; S), energi bebas Gibbs (g; G), dan energi bebas
Helmholtz (a; A). Salah satu sifat penting dari fungsi keadaan diferensialnya merupakan
differensial total (diferensial eksak). Beberapa sifat deferensial total ialah sebagai berikut:

28
Sanjaya

2
1. Jika ∫ dz = z2 – z1, maka dz adalah diferensial total
1
2. Jika o∫ dz = 0, maka dz adalah diferensial total
3. Berlaku formula Euler: jika dz = M(x,y) dx + N(x,y) dy maka

M N
── = ── (3.1)
y x x y

Perubahan Keadaan
Cara suatu sistim mengalami perubahan dari satu keadaan ke keadaan yang lain biasa
dikenal dengan proses. Proses yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
pertama proses reversibel, proses yang berlangsung tak terhingga lambatnya, sehingga setiap
saat sistim selalu berada dalam keadaan kesetimbangan (quasy-static = seolah-olah static).
Salah satu contoh proses reversibel adalah proses perubahan fasa pada titik transisi air.
H2O (l, 100 oC, 1 atm)  H2O (g, 100 oC, 1 atm) (3.2)
Perhatikan tanda fasa untuk kedua H2O pada persamaan reaksi di atas. Sebelah kiri
persamaan reaksi, air berfasa cair (l), berkesetimbangan dengan air berfasa gas, pada suhu dan
tekanan yang sama. Sebaliknya perubahan terjadi juga dari fasa gas menjadi fasa cair. Proses
reversibel dapat berlangsung pada suhu tetap (isotermal), tekanan tetap (isobar), volume tetap
(isokhor), entropi tetap (isentrop), dan secara adiabat (tak ada perpindahan kalor antara sistim
dengan lingkungannya). Semua proses yang tidak memenuhi proses reversibel disebut
irreversibel, dan proses ini banyak terjadi di alam sekitar kita.
Kalor
Kalor biasanya dilambangkan dengan q atau Q, merupakan salah satu bentuk energi yang
dapat dipertukarkan oleh sistim dan lingkungan karena adanya perbedaan suhu. Untuk
memudahkan pemahaman, Q bernilai positip apabila sistim menerima kalor dari lingkungan.
Pertukaran kalor ini digambarkan dengan gambar 5.1.

Q (+) Sistim Q (-)

Lingkungan

Gambar 3.1. Pertukaran kalor antara sistim dengan lingkungan


Kalor yang diserap sistim untuk menaikkan suhunya sebesar satu derajat disebut kapasitas
kalor, biasanya dinyatakan dengan simbol C, secara matematika dirumuskan dengan
persamaan (3.3).
Q
C = ── (3.3)
ΔT

29
Kimia Fisika berbasis proyek
Kapasitas kalor untuk setiap satu mol zat biasa disebut kapasitas kalor molar, C.
Sedangkan kapasiatas kalor untuk setiap gram atau setiap kilogram biasa disebut kalor
spesifik, c (JK-1g-1). Hubungan antara ketiganya dinyatakan dengan persamaan (3.4).
C = nC = mc (3.4)
dengan n adalah jumlah mol zat, dan m adalah jumlah massa zat

Kerja
Setiap bentuk energi yang bukan kalor yang dipertukarkan antara sistim dan lingkungan
disebut kerja (w, W). Nilai kerja, W, diberi tanda negatif apabila sistim melakukan kerja,
apabila sistim menerima kerja, W diberi tanda positip. Secara sederhana perhatikan gambar
3.2.

W (-)
W (+) Sistim

Lingkungan

Gambar 3.2. Pertukaran kerja antara sistim dengan lingkungannya

Telah dikenal bahwa terdapat berbagai macam bentuk kerja; ada kerja listrik, kerja
mekanik, kerja magnetik, kerja volum, dan sebagainya. Kerja yang dibahas adalah kerja
volum, yaitu kerja yang menyertai perubahan keadaan (volum) sistim akibat ekspansi atau
kompresi suatu zat (pada umumnya terjadi pada gas).
Kerja ekspansi satu langkah
Untuk menggambarkan keadaan suatu sistim yang mengalami ekspansi satu langkah
diperlukan dua keadaan, yaitu keadaan volum awal dan volum akhir, volum sistim membesar
melawan tekanan lingkungannya. Kita tinjau suatu gas yang terdapat di dalam tabung yang
dilengkapi dengan piston yang diasumsikan tidak bermassa dan dapat bergerak tanpa gesekan.
Tabung direndam dalam thermostat sehingga suhunya tetap selama perubahan keadaan.
Keadaan ini digambarkan pada gambar 3.3. Mula-mula piston ditahan di S. Di atas piston
diletakkan benda bermassa m. Massanya harus cukup kecil sehingga ketika penahan S dibuka
gas mengalami ekspansi, piston akan bergerak naik sampai di penahan S‟.
Kerja yang dilakukan sistim sebesar W = mgh, dengan m adalah massa benda, g adalah
gravitasi, dan h adalah jarak perpindahan benda. Gunakan hubungan mg = PlA, untuk
menyatakan hubungan antara kerja sistim dengan perubahan volumnya.

30
Sanjaya

M
S’ S’

M
h
S S
T,P2,V2
T,P1,V1

(a) keadaan awal (a) keadaan akhir


Gambar 3.3. Ekspansi satu langkah

W = - P1 Δ V
W = - P1 ( V2 – V1) (3.5)
Keterangan : W : kerja total yang menyertai perubahan keadaan sistim;
Pl : tekanan luar (lingkungan) yang disebabkan oleh massa m;
V2 : volum sistim keadaan akhir;
V1 : volum sistim keadaan awal.
Tanda - karena sistim melakukan kerja.

Kerja yang dilakukan sistim tersebut dapat digambarkan pada gambar 3.4.

P2 •

P1,V1 P1,V2
Pl •
Rentang
P1
V1 V2 V
Gambar 3.4. Jumlah kerja yang dihasilkan pada ekspansi satu langkah
Dari gambar (3.4) terlihat bahwa rentang P1 ada diantara 0 dan P2, karena proses
ekspansi, Pl tidak mungkin lebih besar dari pada P2. Perlu diketahui pula bahwa persamaan
(3.5) berlaku bukan hanya untuk kerja ekspansi melainkan juga kerja kompresi. Jika terjadi
kompresi, sistim menerima kerja, dan W akan bertanda positip. Pada kompresi, V2 < V1, dan
adanya tanda negatif pada persamaan (3.5) secara otomatis akan menghasilkan W bertanda
positip.

Kerja ekspansi dua langkah


Penentuan keadaan sistim dapat juga dilakukan lebih dari dua keadaan. Apabila keadaan
sistim ditentukan pada tiga keadaan maka kerjanya dinamakan kerja ekspansi dua langkah (2
tak) Perubahan keadaan sistimnya dapat digambarkan seperti pada gambar (3.5)

31
Kimia Fisika berbasis proyek

Pl

Pl

Pl V2

V♥
V1
awal tengah akhir

Gambar 3.5. Perubahan keadaan pada ekspansi dua langkah

Kerja total yang dilakukan sistim diperoleh dengan menjumlahkan kerja pada langkah
pertama dan langkah kedua seperti persamaan berikut.
W = W langkah pertama + W langkah kedua
Secara grafik, kerja yang dihasilkan pada sistim dua langkah dapat digambarkan seperti
pada gambar 3.6. Daerah yang diarsir menyatakan jumlah kerja yang terjadi pada ekspansi
dua langkah. Untuk sistim yang sama, jumlah kerja yang terjadi dapat berbeda apabila sistim
tersebut bekerja dengan langkah berbeda. Sistim dengan perubahan keadan pada langkah yang
lebih banyak akan disertai dengan kerja yang lebih besar. Hal ini dapat dilihat dari luas daerah
yang diarsir. Daerah yang diarsir pada sistim yang bekerja dua langkah lebih besar daripada
yang bekerja satu langkah. Dengan demikian semakin banyak langkah yang dilakukan maka
kerjanya akan semakin besar pula.

• P1,V1
P

P‟

P” P2,V2

V1 V‟ V2 V
Gambar 3.6. Kerja yang dihasilkan pada ekspansi dua langkah

Ekspansi Reversibel
Sistim yang melakukan langkah sangat banyak memiliki perubahan volum sangat kecil
untuk setiap langkahnya. Untuk menyatakan volum yang sangat kecil itu dinyatakan dengan
dV, sedangkan kerja yang dihasilkan untuk setiap perubahan volumnya dinyatakan dengan dW,
tanda d digunakan untuk menyatakan bahwa kerja bukan merupakan fungsi keadaan.
Hubungan antara kerja dan perubahan volumnya dinyatakan secara matematika sebagai
persamaan (3.6).

32
Sanjaya

dW = -Pl dV (3.6)
dengan Pl adalah tekanan lingkungan. Apabila dV sedemikian kecilnya sehingga tekanan
sistim senantiasa berkesetimbangan dengan tekanan lingkungannya maka sistim ini bekerja
secara reversibel. Pada sistim ini tekanan luar dapat dianggap sama dengan tekanan sistim (P),
Pl = P, sehingga persamaan (3.6) menjadi
dW = -P dV (3.7)
Karena P pada persamaan (3.7) merupakan tekanan sistim maka dapat digunakan
persamaan keadaan sistim. Apabila sistim tersebut mengikuti sifat gas van der Waals maka P
dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan keadaan gas van der Waals, dan sebagainya. Jumlah
total kerja yang dihasilkan pada ekspansi reversibel dapat diperoleh dengan jalan
mengintegrasikan persamaan (3.7)
V2
W=
V1
∫ -P dV (3.8)

Kerja yang dilakukan pada proses reversibel diperlihatkan pada gambar (3.7). Daerah yang
diarsir menyatakan jumlah total kerja yang dihasilkan pada proses reversibel yang dibatasi dari
keadaan awal (1) sampai keadaan akhir (2). Dari grafik ini, jika dibandingkan dengan grafik-
grafik sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa pada proses reversibel kerja yang dilakukan oleh
sistim merupakan kerja maksimum.

P
• P1,V1

P2,V2

V1 V2 V

Gambar 3.7. Kerja yang dihasilkan pada ekspansi reversibel

Kerja Kompresi
Kerja kompresi merupakan kebalikan dari kerja ekspansi. Persamaan yang digunakan
untuk menentukan kerja kompresi sama dengan persamaan yang digunakan untuk menyatakan
kerja ekspansi. Namun demikian karena di dalam kompresi volum akhir lebih kecil daripada
volum awal, dalam setiap tahap ΔV bernilai negatif, sehingga kerja total sistim adalah positip.
Ini dapat berarti bahwa pada kompresi, sistim menerima kerja dari lingkungannya sehingga
energinya bertambah. Jika proses ekspansi reversibel diperoleh kerja maksimum, maka pada
proses kompresi reversibel, kerja yang diterima oleh sistim merupakan kerja minimum.

33
Kimia Fisika berbasis proyek
3.A.2. ENERGI DALAM DAN PERUBAHANNYA
Energi didefinisikan sebagai kemampuan sistim untuk melakukan kerja. Keseluruhan
energi yang dimiliki suatu sistim dalam keadaan tertentu disebut energi dalam, U. Energi
dalam merupakan suatu fungsi keadaan, hanya bergantung pada keadaan sistim, tidak
bergantung pada jalan yang dilalui sistim. Misalnya, jika suatu sistim mengalami perubahan
dari keadaan awal (yang memiliki U1) ke keadaan akhir (yang memiliki U2) maka energi
dalam sistim akan berubah sebanyak Δ U = U akhir – U awal = U2 – U1.
Jumlah maupun macam perubahan yang dialami oleh sistim tidak akan mempengaruhi
nilai ΔU, ΔU hanya ditentukan oleh keadaan awal dan akhir sistim. Hubungan antara Δ U
dengan bentuk energi lain dapat dirumuskan sebagai berikut:
ΔU=Q+W (3.9)
Persamaan ini merupakan suatu bentuk rumusan matematis dari Hukum Pertama
Termodinamika, yang merupakan bentuk lain dari hukum kekekalan energi. Hukum pertama
Termodinamika merupakan konsep empiris. Dalam persamaan ini tersirat bahwa energi tidak
dapat diciptakan atau dihilangkan, energi hanya dapat diubah menjadi bentuk lain, yaitu kalor
dan kerja. Dalam bentuk perubahannya yang sangat kecil biasanya dirumuskan dengan
persamaan (3.10)
d U = dQ + dW (3.10)
Persamaan (3.10) mempunyai arti bahwa energi dalam sistim berubah sebesar d U jika
sistim menyerap atau mengeluarkan sejumlah kecil kalor (dQ) dan melakukan atau menerima
sejumlah kecil kerja (dW).
Jika kerja yang dilakukan sistim dibatasi hanya pada kerja volum melawan tekanan
lingkungan yang tetap, maka persamaan (3.6) dapat disubstitusikan ke dalam persamaan
(3.10), sehingga menjadi persamaan (3.11)
d U = dQ – Pl dV (3.11)
Dengan menggunakan persamaan (3.11) kita dapat menjelaskan sifat-sifat sistim yang
bekerja berdasarkan perubahan volum, diantaranya:
1. Jika proses berlangsung isokhor, dV = 0, maka perubahan energi dalam sistim sama dengan
jumlah kalor yang diterima sistim, dU = dQ atau ΔU = Q. Pada volum tetap, semua kalor
yang diterima sistim digunakan untuk meningkatkan energi dalamnya.
2. Jika sistim disekat sempurna (adiabat), dQ = 0, maka energi dalam sistim akan berkurang
pada saat sistim melakukan kerja terhadap lingkungan, atau sebaliknya energi sistim akan
bertambah jika sistim menerima kerja dari lingkungan.

3.A.3 ENERGI DALAM SEBAGAI FUNGSI SUHU DAN VOLUM


Untuk suatu sistim tertutup (jumlah dan macam zat tidak mengalami perubahan), energi
dalam sistim dipengaruhi oleh suhu dan volum, energi dalam sebagai fungsi suhu dan volum.

34
Sanjaya

U = U (T,V)
Pengaruh perubahan kedua variabel tersebut terhadap perubahan energi dalam dirumuskan
seperti persamaan (3.12)

U U
dU = ── dT + ── dV (3.12)
T V V T

Perubahan energi dalam sistim merupakan penjumlahan dari perubahan energi dalam
yang disebabkan karena perubahan suhu pada volum tetap dan perubahan energi dalam yang
disebabkan perubahan volum pada suhu tetap. Jumlah total perubahan energi dalam dapat
ditentukan apabila kuosien-kusien suku pertama dan kedua dinyatakan dalam bentuk yang
dapat diukur. Untuk mendapatkan kuosien diferensial suku pertama dapat dilakukan dengan
cara substitusi persamaan (3.11) ke dalam persamaan (3.12).

U U
dQ – Pl dV = ── dT + ── dV (3.13)
T V V T

jika proses berlangsung pada volum tetap, dV = 0, persamaan (3.13) menjadi


U
dQ V = ── dT (3.14)
T V
atau
U dQ V
── = ── = CV (3.15)
T V dT
Nilai kuosien (U/V)T dapat ditentukan melalui percobaan yang dilakukan oleh Joule.

Thermometer Pengaduk

A B •

Penangas

Gambar 6.1. Gambaran percobaan Joule


Dari persamaan (3.15) diperoleh bahwa perubahan energi dalam pada volum tetap,
kuosien pertama tidak lain merupakan kapasistas kalor sistim pada volum tetap (CV), dan
besaran ini dapat diukur secara eksperimen. Dengan demikian pada volum tetap berlaku
persamaan (3.16).
dU = CVdT (3.16)

35
Kimia Fisika berbasis proyek
Dalam percobaannya, Joule menggunakan set alat seperti yang digambarkan pada gambar
(6.1). Dua labu A dan B dihubungkan oleh pipa yang dilengkapi kran. Semula labu A diisi
dengan gas yang bersifat ideal, dengan tekanan P, sedangkan labu B dihampakan. Alat ini
kemudian direndam dalam bejana berisi air yang dilengkapi dengan pengaduk dan thermometer.
Setelah suhunya berkesetimbangan dengan air yang dapat dilihat melalui thermometer, kran
dibuka dan gas memuai hingga mengisi labu A dan B secara merata. Setelah menunggu beberapa
lama, hingga sistim berkesetimbangan lagi dengan air, suhu air dibaca lagi. Joule mengamati
ternyata tidak ada perbedaan suhu air sebelum dan sesudah kran dibuka.
Interpretasi terhadap percobaan tersebut dapat diungkapkan sebagai berikut: Gas memuai
terhadap tekanan hampa, Pl = 0, berarti tidak ada kerja yang dilakukan sistim, sehingga dW= 0,
sehingga dU = dQ. Oleh karena suhu tidak berubah, dT = 0, maka dQ = 0 sehingga dU = 0.
Apabila data eksperimen ini diterapkan pada persamaan 2.12 maka diperoleh persamaan (3.17).

U
dU = ── dV = 0 (3.17)
V T
Dalam percobaan tersebut volum berubah, yang berarti dV ≠ 0, sehingga yang paling
mungkin adalah nilai kuosiennya yang nol

U
── = 0 (3.18)
V T

Berdasarkan percobaan Joule, untuk gas ideal, kuosien perubahan energi dalam yang
disebabkan oleh berubahnya volum pada suhu tetap mempunyai nilai nol. Atau energi dalam
bukan fungsi volum.
Percobaan lebih lanjut, yang dilakukan oleh Joule-Thomson, memperlihatkan bahwa
persamaan (3.18) tidak berlaku untuk gas nyata. Untuk gas nyata kuosien tersebut mempunyai
nilai, meskipun sangat kecil. Dengan demikian, perubahan energi dalam untuk gas nyata dapat
ditentukan dengan menggunakan persamaan (3.19).

U
dU = CV dT + ── dV (3.19)
V T

3. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

36
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

37
Kimia Fisika berbasis proyek
3. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

38
Sanjaya

3. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK


Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

39
Kimia Fisika berbasis proyek

TUGAS 4. ENTHALPI

4.A. Bacalah dengan cermat uraian tentang Enthalpi berikut.

4.A.1 ENTALPI DAN PERUBAHANNYA


Percobaan di laboratorium lebih banyak dilakukan pada tekanan tetap daripada volum
tetap. Perubahan keadaan sistim yang berlangsung pada tekanan tetap dapat digambarkan oleh
gambar (4.1)

M
P2 =P
P1 =P
T2,P1,V2
T1, ,V1

(a) keadaan awal (a) keadaan akhir


Gambar 4.1. Perubahan keadaan pada tekanan tetap

Sebuah silinder yang bebas bergerak diberi beban dengan massa m, sehingga tekanannya
P. Mula-mula sistim berada pada keadaan P1 = P, V1, dan T1. Kemudian sistim mengalami
pemuaian sehingga keadaannya berubah menjadi P2 = P, V2, dan T2. Berdasarkan Hukum
pertama termodinamika,
d U = dQP – PdV
Oleh karena tekanan tetap, integrasi persamaan ini dengan mengambil batas-batas dari
keadaan 1 sampai 2 diperoleh persamaan (4.1).
U2 – U1 = QP – P(V2 – V1) (4.1)
Penyusunan ulang persamaan tersebut menghasilkan persamaan (4.2).
QP = (U2 + PV2) – (U1 + PV1) (4.2)
Oleh karena P1 = P2 = P, maka persamaan (4.2) dapat diubah menjadi persamaan (4.3)
QP = (U2 + P2V2) – (U1 + P1V1) (4.3)
P dan V merupakan fungsi keadaan sistim, perkaliannya merupakan fungsi keadaan sistim,
dan jumlah dari perkaliannya dengan energi dalam U menyatakan fungsi keadaan baru, yang
disebut dengan entalpi, dan diberi simbol H. Dengan demikian diperoleh rumusan baru, yakni :
H = U + PV (4.4)
Dengan menggunakan persamaan (4.4) maka persamaan (4.3) menjadi
QP = H2 – H1 = Δ H atau dQP = dH (4.5)

40
Sanjaya

Persamaan (4.5) menyatakan bahwa kalor yang diserap sistim dari lingkungannya yang
berlangsung pada tekanan tetap, sama dengan peningkatan entalpi sistim.
4.A.2 ENTALPI SEBAGAI FUNGSI SUHU DAN TEKANAN
Entalpi sebagai fungsi suhu dan tekanan, secara matematis dituliskan sebagai berikut.
H = H(T,P) (4.6)
Bentuk diferensial totalnya adalah

H H
dH = ── dT + ── dP (4.7)
T P P T
Untuk menentukan nilai perubahan entalpi totalnya harus diketahui nilai-nilai kuosien
suku pertama dan kedua. Nilai kuosien tersebut besarnya dapat diukur secara eksperimen
dengan cara mengatur variabel-variabelnya.
Untuk suatu proses yang berlangsung pada tekanan tetap, dP = 0, maka persamaan (4.7)
berubah menjadi

H
dH = ── dT (4.8)
T P
Pada tekanan tetap dH = dQP, maka substitusinya terhadap persamaan (4.8) menghasilkan

H
dQP = ── dT (4.9)
T P
Penyusunan ulang persamaan (4.9) menghasilkan persamaan (4.10) berubah menjadi

H dQP
── = ── (4.10)
T P dT
Nilai dQP/dT tidak lain merupakan kapasitas kalor pada tekanan tetap, CP, sehingga
persamaan (4.10) menjadi

H
── = CP (4.11)
T P
Dengan demikian, pada tekanan tetap berlaku persamaan (4.11) yang dapat diungkapkan
dalam bentuk lain menjadi
dH = CP dT (4.12)
Persamaan (4.11) disubstitusikan ke dalam persamaan (4.7) sehingga menghasilkan
persamaan (4.13)

H
dH = CP dT + ── dP (4.13)
P T
Untuk mengetahui nilai kuosien (H / P)T ini Joule-Thomson melakukan percobaan
seperti yang digambarkan pada gambar (4.2).

41
Kimia Fisika berbasis proyek

M t t„ M‟
P1 P2

T1,P1, V1 T2,P2, V2
A

Gambar 4.2. Skema percobaan Joule-Thomson


Gambar (4.2) menunjukkan suatu gas yang mengalir dengan stabil melewati sebatang
pipa, yang terisolasi secara baik, sesuai dengan arah panah. Pada Posisi A terdapat penghalang
yang terbuat dari cakram berpori. Oleh karena ada penghalang, maka terdapat penurunan
tekanan gas (setelah melewati A) yang dapat diukur oleh pengukur tekanan M dan M‟. Data
yang terukur pada percobaan ini adalah perubahan suhu yang diakibatkan oleh perubahan
tekanan. Batas sistim bergeser sesuai dengan gas yang disertai dengan massa yang sama.
Anggaplah satu mol gas melewati penghalang. Volum pada sisi kiri pembatas berkurang
sebesar V1. Jika gas ditekan sebesar P1 oleh gas dibelakangnya, kerja sistim sebesar
0
Wkiri = - ∫ P1 dV (4.14)
V1

sedangkan volum di sebelah kanan meningkat sebesar V2 yang menyebabkan tekanan sebesar
P2, kerja sistim sebesar
V2
Wkanan = - ∫ P2 dV (4.15)
0

Jumlah kerja sistim adalah sebesar


W = Wkiri + Wkanan

V2
∫ P1 dV ∫P2dV
0
W =- - (4.16)
V1 0

= - P1(-V1) – P2V2
= P1V1 – P2V2
Karena diisolasi, sistim tidak mengalami perubahan kalor, persamaan hukum pertama
termodinamika menjadi ΔU = W total. Substitusi kerja total tersebut ke dalam persamaan
diperoleh.
ΔU = P1V1 – P2V2
U2 – U1 = P1V1 – P2V2
(U2 + P1V1 ) – (U1 + P2V2) = 0
ΔH = 0

42
Sanjaya

Nilai ini menunjukkan bahwa percobaan yang dilakukan tersebut berlangsung pada
entalpi sistim yang tetap, sehingga persamaan (4.13) berubah menjadi

H
── dP = - CP dT
P T

H T
── = - CP ── (4.17)
P T P H

Penyusunan persamaan (4.17) menghasilkan besaran baru yaitu (T/P)H,. Besaran ini
disebut koefisien Joule Thomson, μJT. Nilai koefisien Joule-Thomson ini dapat diperoleh
secara eksperimen, dan untuk gas ideal nilainya nol.
Dari uraian di atas maka perubahan entalpi sistim sebagai fungsi suhu dan tekanan dapat
dinyatakan dalam persamaan (2.38)
dH = CP dT - CP μJT dP (4.18)

4.A.3 HUBUNGAN CP DENGAN CV


Perhatikan dua persamaan berikut.
dU = dQ - PldV
U
dU = Cv dT + ── dV (4.19)
V T
Bila digabung maka menjadi
U
dQ = Cv dT + ── dV + PldV (4.20)
V T

Untuk perubahan pada tekanan tetap dengan Pl = P, maka persamaan (4.20) menjadi
U
dQ = Cv dT + ── + P dV (4.21)
V T
Jika persamaan (4.21) dibagi dengan dT, dan karena CP = dQP/dT, maka didapat
persamaan yang menunjukkan hubungan Cp dan Cv, yaitu:

U V
Cp - Cv = ── + P ── (4.22)
V T T P

Untuk gas ideal, berdasarkan percobaan Joule diketahui nilai


(U/V)T = 0, dan ( V/ T)P = nR/P,
sehingga persamaan (4.22) menjadi
Cp - Cv = nR (4.23)

43
Kimia Fisika berbasis proyek

4.A.4 HUKUM PERTAMA TERMODINAMIKA PADA PROSES ADIABAT DAN


REVERSIBEL

Sistim yang sedang dipelajari disini dianggap tidak mengalami perubahan jumlah
molekulnya, sehingga n merupakan suatu tetapan. Sementara itu, pada proses adiabat tidak
terjadi pertukaran kalor antara sistim dan lingkungannya, sehingga dQ = 0; sedangkan pada
proses reversibel berlaku Pl = P. Dengan menggunakan nilai-nilai ini menurut Hukum Pertama
Termodinamika, untuk gas ideal berlaku
Cv dT = - P dV (4.24)
Dengan mengubah nilai P sesuai dengan persamaan keadaan gas ideal, maka akan
diperoleh persamaan (4.25)

Cv nR
── dT = - ── dV (4.25)
T V
Integrasi persamaan (4.25) dengan batas T1 sampai T2 dan V1 sampai V2 dan dengan
menggunakan hubungan Cp dan Cv diperoleh persamaan (4.26)

T2 V1
Cv ln ── = (Cp – Cv) ln ── (4.26)
T1 V2
Penyusunan ulang persamaan tersebut diperoleh

T2 Cp V1
ln ── = ── – 1 ln ── (4.27)
T1 Cv V2
Dengan Cp/Cv = , maka persamaannya menjadi

T2 V1
ln ── =  – 1 ln ─ (4.28)
T1 V2
Akhirnya diperoleh hubungan
( – 1)
T2 V1
─ = ─ (a) (4.29)
T1 V2
Berdasarkan persamaan (4.29) dapat diturunkan hubungan variabel-variabel sistim
lainnya, seperti: tekanan dengan suhu, dan tekanan dengan volum, yang menghasilkan
persamaan

P1 V1 γ
= P2 V2 ( ) (b) (4.30)
dan
y ( – 1)
T2 P2
─ = ─ (c) (4.31)
T1 P1

44
Sanjaya

4. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

45
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….…
………………………………………………………………………………………….
4. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

46
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
4. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

47
Kimia Fisika berbasis proyek

TUGAS 5. ENTALPI REAKSI

5.A. Bacalah Dengan Cermat Uraian Tentang Enthalpi Reaksi Berikut.


5.A.1 PENGERTIAN TERMOKIMIA
Termokimia adalah ilmu yang mempelajari kalor yang menyertai perubahan fisik atau
reaksi kimia. Kalor yang menyertai proses pada volum tetap merupakan perubahan energi
dalam, sedangkan kalor yang menyertai proses yang berlangsung pada tekanan tetap adalah
perubahan entalpi. Persamaan termokimia secara lengkap dituliskan sebagai berikut

 A( ) →  B () Δ H = QP (5.1)


 dan  adalah koefisien pereaksi dan produk, A dan B .  adalah wujud untuk masing-
masing pereaksi dan produk. QP adalah kalor reaksi.
Misal untuk reaksi pembentukan air,
H2 (g) + ½ O2(g)  H2O (l)  Hf

Jika  Hf dinyatakan dalam entalpi molar zat, diperoleh


 Hf (H2O, l) = H (H2O, l) - H (H2, g) - ½ H (O2, g) (5.2)
Penyusunan ulang persamaan tersebut diperoleh
H (H2O, l) =  Hf (H2O, l) + H (H2, g) - ½ H (O2, g) (5.3)
Atau secara umum
H senyawa =  Hf (senyawa) +  H (unsur) (5.4)
Persamaan ini memperlihatkan bahwa entalpi molar suatu senyawa adalah sama
dengan total entalpi unsur-unsur yang menyusun senyawa tersebut ditambah dengan
entalpi pembentukan senyawanya.
Berdasarkan pada persamaan tersebut, dapat ditentukan besarnya perubahan
entalpi reaksi,  Hr , suatu reaksi kimia, yaitu
 Hr , suatu =  Hfo (produk) -  Hfo (pereaksi) (5.5)

5.A.2. ENTALPI PELARUTAN


Perubahan entalpi pelarutan adalah kalor yang menyertai proses penambahan sejumlah
tertentu zat terlarut ke dalam sejumlah tertentu zat pelarut pada suhu dan tekanan tetap.
Terdapat dua macam entalpi pelarutan, yaitu entalpi pelarutan integral dan entalpi pelarutan
differensial.

48
Sanjaya

Entalpi pelarutan integral adalah entalpi satu mol zat terlarut dilarutkan ke dalam n mol
pelarut.
X + n H2O  X. n H2O HS = …..kJ (5.6)
Persamaan tersebut menyatakan bahwa satu mol zat X dilarutkan ke dalam n mol air. contoh
beberapa entalpi pelarutan integral :.
HCl (g) + 10 H2O  HCl.10H2O HS = - 69,01 kJ mol-1
HCl (g) + 25 H2O  HCl.25H2O HS = - 72,03 kJ mol-1
HCl (g) + 40 H2O  HCl.40H2O HS = - 72,79 kJ mol-1
Entalpi pelarutan integral pada pengenceran tak hingga adalah
HCl (g) +  H2O  HCl. H2O HS = - 74,85 kJ mol-1
Jika sejumlah dn padatan murni i, dengan perubahan entalpi Hio, ditambahkan pada T
dan P tetap ke dalam suatu larutan yang memiliki perubahan entalpi Hio, maka kalor yang
diserapnya adalah :
dQ = (Hi - Hio) dn atau
dQ/dn = Hi - Hio (5.7)
dQ/dn disebut sebagai kalor (entalpi) pelarutan differensial.

5.A.3 ENTALPI PEMBENTUKAN DAN ENTALPI PEMBAKARAN


Entalpi pembentukan suatu senyawa ialah perubahan entalpi yang menyertai
pembentukan satu mol senyawa dari unsur-unsurnya, Hf . Disepakati bahwa perubahan
entalpi semua zat yang diukur pada suhu 298,15 K (untuk mempersingkat selanjutnya ditulis
298 K) dan tekanan 1 atm dinyatakan sebagai perubahan entalpi standar, Hof . Berdasarkan
perjanjian, entalpi standar unsur dalam bentuknya yang paling stabil pada 298 K dan 1 atm
sama dengan nol. Misalnya unsur gas mulia, S rombik, P putih, C grafit, dan banyak kristal logam
memiliki perubahan entalpi standar nol. Selain itu, senyawa-senyawa dwi atom seperti O2,
H2, Cl2, dan sebagainya, umumnya juga memiliki perubahan entalpi standar nol.
Contoh reaksi pembentukan :
C (g) + 2 H2(g)  CH4(g) Hof = - 74,81 kJ mol-1
2C (g) + 3 H2(g)  C2H6(g) Hof = - 84,68 kJ mol-1

Kalor yang timbul dari reaksi pembakaran / oksidasi sempurna satu mol zat pada suhu
dan tekanan standar disebut perubahan entalpi pembakaran. Contoh persamaan termokimia
reaksi pembakaran alkohol,
C2H5OH (l) + 3 O2 (g)  2 CO2 (g) + 3 H2O (l) Hoc = - 1365,75 kJ mol-1

5.A.4 HUKUM HESS

49
Kimia Fisika berbasis proyek
Hukum Hess menyatakan bahwa, entalpi reaksi adalah jumlah total perubahan entalpi
untuk setiap tahapnya. Dengan kata lain: Untuk suatu reaksi keseluruhan tertentu, perubahan
entalpi selalu sama, tak peduli apakah reaksi itu dilaksanakan secara langsung ataukah
secara tidak langsung dan lewat tahap-tahap reaksi yang berlainan.

5.A.5 HUBUNGAN ENERGI DALAM DAN ENTALPI


Entalpi reaksi dapat juga ditentukan dari data energi dalam. Data perubahan energi dalam
didapatkan dari hasil eksperimen pada volum tetap. Dengan menggunakan pendekatan bahwa
reaksi berlangsung pada suhu yang sama, sementara tekanannya berubah, maka penentuan
perubahan entalpi sistim adalah sebagai berikut.
Reaktan (T, V, P)  Produk (T, V, P) (5.8)
H = U + PV (5.9)
 H =  U +  PV =  U + (P’ –P)V (5.10)
Perubahan tekanan sebelum dan sesudah reaksi untuk zat padat dan cair sangat kecil,
pengaruhnya terhadap harga entalpi sistim sangat kecil, sehingga dapat diabaikan, maka
H=U (5.11)
Perubahan tekanan antara sebelum dan sesudah reaksi untuk sistim yang melibatkan gas
tidak dapat diabaikan begitu saja. Perubahan tekanan, sebagai akibat terjadinya perubahan
wujud gas, harus diperhitungkan . Jika gas yang dihasilkan dapat dianggap ideal, didapat
hubungan antara perubahan entalpi dengan perubahan energi dalam reaksi sebagai berikut.
 H =  U + (P’ –P)V =  U + (n’ – n) RT =  U +  n RT (5.12)
dengan n’ dan n adalah jumlah mol produk dan pereaksi.

5.A.6 ENTALPI IKATAN DAN ENERGI IKATAN


Entalpi ikatan didefinisikan sebagai kalor yang menyertai disosiasi ikatan dari suatu
ikatan pada molekul gas menjadi unsur-unsurnya. Misalkan, gas oksigen terdisosiasi menjadi
atom-atom oksigen.
O2 (g)  2 O (g) Ho298 = 498,34 kJ mol-1 (5.13)
Nilai 498,43 kJ disebut entalpi ikatan molekul oksigen. Berdasarkan data entalpi ikatan
dapat ditentukan energi ikatan antar atom-atom dalam molekul. Untuk menyelesaikan masalah
ini, semua spesies dianggap sebagai gas ideal, sehingga dapat digunakan hubungan
 U =  H -  n RT (5.14)
untuk reaksi disosiasi oksigen di atas,  n = 1, sehingga
U = 498,34 kJ – (1 mol)(8,314 JK-1mol-1)(298,15 K)(10 -3kJ/J)
= 495,86 kJ

50
Sanjaya

Perubahan energi dalam ini adalah besarnya energi rata-rata yang harus diberikan untuk
memutuskan ikatan satu mol dari molekul oksigen pada suhu 25 oC. Pada suhu ini molekul
oksigen berada dalam keadaan bervibrasi dan berotasi. Molekul dalam keadaan ini
memerlukan energi lebih kecil untuk memutuskan ikatannya daripada dalam keadaan dasar.
Pada nol K, semua molekul berada dalam keadaan dasar. Jika  U dikoreksi terhadap nol K,
maka didapat energi ikatan.
298

U298 = U0 +  CV dT (5.15)


0

Berdasarkan data CV (0, g) = 3/2 R dan CV (O2, g) 5/2 R, sehingga CV = 2 (3/2R) – 5/2 R =
½R
298

U0 = 495,86 kJ - 0,5 R  dT


0

U0 = 495,86 kJ - (1/2 mol) (8,314 J K-1mol-1)(298,15 K)(10-3 KJ/J)


= 495,86 kJ – 1,24 KJ
= 494,62 kJ

Energi ini adalah energi ikatan oksigen-oksigen ikatan rangkap, biasa disebut energi
ikatan.

5.A.7 MENENTUKAN ENTALPI REAKSI PADA BERBAGAI SUHU


Entalpi reaksi dipengaruhi oleh suhu. Jika suhu berubah maka entalpi reaksinya juga
berubah. Harga entalpi reaksi pada berbagai suhu dapat ditentukan dari data entalpi yang sudah
ada. Pada penentuan entalpi reaksi di atas digunakan nilai Cp. Nilai Cp dianggap merupakan
suatu tetapan, tidak terpengaruh oleh perubahan suhu. Sedangkan Cp merupakan fungsi suhu.
Dari data ini kita dapat menentukan nilai entalpi pada berbagai suhu.
Misalnya untuk reaksi berikut:
aA+bBcC +dD (5.16)
entalpi reaksinya diberikan oleh
Hr = (c Hf.,c + d Hf,d) – (a Hf,a + b Hf. b) (5.17)
jika persamaan ini diturunkan terhadap suhu pada tekanan tetap diperoleh
H Hf.,C Hf,D Hf,A  Hf. B
 = c  + d  - a  - b  (5.18)
T P T P T P T P T P

= c Cp.C + d Cp.D - a Cp.A - b Cp.B (5.19)


=  Cp (5.20)
atau dapat juga dinyatakan dalam bentuk

51
Kimia Fisika berbasis proyek

d (Hr ) =  Cp dT (5.21)
Persamaan (5.21) dikenal sebagai persamaan Kirchoff, dan dapat digunakan untuk
menentukan perubahan entalpi reaksi pada sembarang suhu dengan jalan mengintegrasikannya

5. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

52
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
5. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

53
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
5. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

54
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

6. PROSES LINGKAR
6.A. Bacalah Dengan Cermat Uraian Tentang PROSES LINGKAR
Jika suatu sistim yang berubah dari satu keadaan menuju ke keadaan lain, dan
kemudian kembali ke keadaan semula maka proses tersebut dikatakan mengalami
proses lingkar.

6.A.1 PROSES LINGKAR CARNOT


Sadi Carnot (1824), secara teori berhasil menemukan suatu cara untuk
menghitung kerja maksimum yang dapat diperoleh suatu mesin yang bekerja secara
reversibel antara dua, suhu tinggi (Tt) dan suhu rendah (Tr).
Proses tersebut terdiri atas empat tahap reversibel, yakni :
1. Pemuaian secara isoterm pada suhu tinggi (Tt),
2. Pemuaian secara adiabat, sehingga suhu turun dari Tt ke Tr,
3. Pemampatan secara isoterm pada suhu Tr,
4. Pemampatan secara adiabat sehingga sistim kembali kekeadaan semula.
Berdasarkan pada Hukum Pertama Termodinamika, dapat dihitung jumlah kerja
, kalor dan perubahan energi dalam untuk setiap langkahnya, yaitu :
Langkah 1 :
Proses yang berlangsung adalah pemuaian isoterm pada Tt dan reversibel,
sehingga
∆U1 = 0
W1

Karena V2 >V1 maka Q1 bernilai positif, yang berarti bahwa ada sejumlah kalor
yang masuk ke dalam sistim.
Langkah 2 :
Proses yang berlangsung adalah pemuaian adiabat dan reversibel, sehingga
Q2

55
Kimia Fisika berbasis proyek

∆U1 ∆U2
W2 =

Langkah 3 :
Proses yang berlangsung adalah pemampatan isoterm pada Tr dan reversibel,
sehingga
∆U3 = 0
W3

Q3 = W3

Oleh karena V4 < V3 maka Q bernilai negatif, yang berarti bahwa ada sejumlah
kalor yang dilepaskan dari sistim.
Langkah 4 :
Proses yang berlangsung adalah pemampatan adiabat dan reversibal sehingga
Q4 = 0
W4 = ∆U4 =

Gambar 6.1. Siklus karnot

Dari keempat langkah tersebut, kerja total merupakan jumlah kerja untuk proses
lingkar diberikan lambing Wlkr.
Wlkr = W1 + W2 + W3 + W4
=

=-

56
Sanjaya

Wlkr = nR(Tr – Tt) ln

6.A.2 EFISIENSI MESIN KALOR CARNOT


Untuk mesin kalor carnot, transformasinya dapat dinyatakan pada gambar dibawah
ini :
Waduk dengan suhu tinggi

Q1

Wlkr
Mesin
Kalor

Q3
Waduk dengan suhu rendah

Gambar 6.2. Skema mesin kalor Carnot

Perbandingan jumlah total kerja yang dihasilkan oleh sistim terhadap jumlah total
kalor yang diserapnya dari sumber bersuhu tinggi disebut efisiensi mesin kalor.

E=- =

Tanda negatif diperlukan karena Wlkr bernilai negatif, sehingga dengan sendirinya
efisiensi menjadi positif
6.A.3 MESIN PENDINGIN DAN POMPA KALOR CARNOT

Sumber dengan suhu tinggi (Tt)

Q1

Wlkr
Mesin
Pendingin

57
Kimia Fisika berbasis proyek

Q3
Sumber dengan suhu rendah (Tr)
Gambar 6.3. Mesin Pendingin Karnot
Perbandingan antara kalor yang dilepaskan dari sumber bersuhu rendah terhadap
kerja yang masuk ke dalam sistim biasa disebut dengan koefisien penampilan, diberi
symbol η.

η= =

6. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

58
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
6. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

59
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
6. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

60
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

7 ENTROPI

7.A Bacalah dengan cermat uraian tentang Entropi


Persamaan efisiensi mesin kalor dapat dinyatakan sebagai perbandingan kalor :

E=

Karena semua proses reversibel, maka :

E= (7.1)

Efisiensi dapat juga dinyatakan dalam perbadingan suhu, yakni

E= (7.2)

Subtitusi persamaan 1 ke dalam persamaan 2 menghasilkan

=
(7.3)

= - (7.4)

= - (7.5)

+ =0 (7.6)

Secara umum dapat ditulis:

=0 (7.7)

Atau,

=0 (7.8)

Berdasarkan uraian di atas, maka perubahan entropi akan didefinisikan sebagai

dS = (7.9)

Jika keadaan sistim berubah dari keadaan 1 ke keadaan 2, maka perubahan


entropinya adalah sebesar

∆S = (7.10)

61
Kimia Fisika berbasis proyek

7.A.1 ENTROPI SEBAGAI FUNGSI SUHU DAN VOLUM


Telah dikemukakan bahwa entropi merupakan suatu fungsi keadaan. Oleh karena
itu, nilainya bergantung pada variabel-variabel keadaan seperti suhu, volum, dan tekanan.
Entropi merupakan fungsi suhu dan volum, secara matematika dituliskan sebagai
berikut.
S = S(T,V) (7.11)
Diferensial totalnya dinyatakan sebagai
 S   S 
dS    dT    dV (7.12)
 T V  V T
Persamaan (7.12) menyatakan perubahan entropi jika suhu dan volum berubah,
masing-masing sebesar dT dan dV.
Untuk mengevaluasi kedua kuosien tersebut dapat dilakukan dengan
menggunakan bantuan rumusan Hukum Pertama Termodinamika, yakni
dU = dQrev + dWrev
Jika prosesnya reversibel dan kerja yang dilakukan hanya merupakan kerja volum,
maka
dQrev = dU + PdV (7.13)
Untuk memperoleh perubahan entropi, persamaan (7.13) dibagi dengan suhu, sehingga
dihasilkan
1 P
dS  dU  dV (7.14)
T T
dU sebagai fungsi T dan V dinyatakan dengan
 U 
dU = CvdT +   dV (7.15)
 V  T
subtitusi persamaan ini untuk dU ke dalam persamaan (7.15) menghasilkan persamaan
Cv 1  U  P
dS = dT    dV  dV (7.16)
T T  V  T T

Cv 1  U  
= dT   P     dV (7.17)
T T  V  T 
Berdasarkan persamaan (7.14) dan persamaan (7.17) diperoleh hubungan-
hubungan kedua kuosien yang sedang dicari, yaitu :

62
Sanjaya

 S  C
   v (7.18)
 T  v T

 S  1  U  
  = P     (7.19)
 V  T T   V  T 
Jika proses berlangsung pada volume tetap, maka persamaan (7.17) menjadi
Cv
dS = dT (7.20)
T
Persamaan (7.20) digunakan untuk menghitung perubahan entropi sistim pada volume
tetap.
Jika proses berlangsung pada suhu tetap, maka persamaan (7.17) menjadi

1   U  
dS = P     dV (7.21)
T   V  T 
Jika persamaan (7.18) diturunkan terhadap volum, maka diperoleh persamaan
sebagai berikut :
2S 1 C v
 (7.22)
VT T V
Dengan menggunakan hubungan dU = CvdT, atau Cv = (U / T ) v diperoleh persamaan

2S 1  2U
 (7.23)
VT T VT
Jika persamaan (7.19) diturunkan terhadap suhu, diperoleh persamaan berikut.

2S 1  P   2U  1   U  
     P     (7.24)
TV T  T  v TV  T 2   V  T 
Karena S merupakan fungsi keadaan maka dS merupakan diferensial eksak,
sehingga turunan S terhadap T dan V memiliki nilai yang sama dengan turunan S
terhadap V dan T.
2S 2S
 (7.25)
TV VT
Dengan menggunakan Persamaan (7.25), subtitusi Persamaan (7.23) ke dalam Persamaan
(7.24) menghasilkan

1  P   2U  1   U   1  U
2

    2  P     
T  T V TV  T   V  T  T VT

63
Kimia Fisika berbasis proyek

 P  1  U  
   P     (7.26)
 T  v T   V  T 
Dengan membandingkan Persamaan (7.19) dan Persamaan (7.26) diperoleh
hubungan sebagai berikut
 P   S 
    (7.27)
 T V  V  T
Dengan bantuan aturan siklik, yang diterapkan pada variabel-variabel V, P, dan T
didapat hubungan
 P   T   V 
       1
 T V  V  P  P  T

 P  1
  (V )  1
 T V V
Dengan menggunakan hubungan
1  V 
  
V  T  P

1  V 
Dan      diperoleh hubungan
V  P  T

 P  
   (7.28)
 T V 
Dengan  dan  masing – masing adalah koefisien ekspansi termal dan koefisien
kompresibilitas, yang nilainya masing-masing dapat ditentukan dari eksperimen.
Melalui subtitusi persamaan (7.27) dan ke dalam persamaan (7.28) ternyata
didapat bahwa kuosien ( S / V ) T tidak lain adalah perbandingan nilai koefisien ekspansi
termal terhadap koefisien kompresibilitas.
Dari paparan diatas, diferensial total untuk entropi sebagai fungsi suhu dan volum,
dengan subtitusi persamaan (7.18) dan persamaan (7.28) ke dalam persamaan (7.14)
adalah
CV 
dS = dT  dV (7.29)
T 
Untuk mengetahui perubahan entropi sistim sebagai akibat dari perubahan suhu dan
volum dapat dilakukan dengan cara integrasi persamaan (7.29).

7.A.2 ENTROPI SEBAGAI FUNGSI SUHU DAN TEKANAN

64
Sanjaya

Dengan cara yang sama, apabila entropi dinyatakan sebagai fungsi suhu dan
tekanan, secara matematika dirumuskan sebagai berikut,
S = S(T, P)
Diferensial totalnya dinyatakan dalam bentuk persamaan (7.30)
 S   S 
dS =   dT    dP (7.30)
 T  P  P T
Persamaan (7.30) menyatakan perubahan entropi jika suhu dan tekanan berubah, masing-
masing sebesar dT dan dP. Penyelesaian persamaan (7.30) dilakukan dengan
menggunakan hubungan energi dalam dan entalpi, H = U + PV, dalam bentuk diferensial
totalnya sebagai berikut
dH = dU + PdV + VdP (7.31)
Subtitusi rumusan Hukum Pertama Termodinamika ke dalam persamaan (7.31),
dengan anggapan sistim berlangsung reversibel didapatkan persamaan (7.32).
dH = dQrev + VdP (7.32)
Untuk mendapatkan rumusan mengenai dS, sesuai dengan persamaan (7.10), Persamaan
(7.32) dibagi oleh suhu, kemudian disusun ulang, sehingga diperoleh bentuk Persamaan
(7.33).
1 V
dS = dH  dP (7.33)
T T
Persamaan (7.33) merupakan bentuk lain dari persamaan dasar (7.15), tetapi
menyatakan hubungan perubahan entropi terhadap perubahan entalpi dan tekanan. Jika
dH dinyatakan dengan dT dan dP, seperti telah dibahas di muka, yakni :
 H 
dH  C P dT    dP
 P  T
kemudian subtitusikan persamaan ini ke dalam persamaan (7.33) di dapat persamaan
CP 1  H  
dS  dT     V  dP (7.34)
T T  P  T 
Perhatikan bentuk persamaan (7.30) dan (7.34), keduanya menyatakan perubahan
entropi dalam bentuk dT dan dP, keduanya identik. Dari kedua persamaan tersebut
diperoleh hubungan sebagai berikut.
 S  C
   P (7.35)
 T  P T
dan

65
Kimia Fisika berbasis proyek

 S  1  H  
     V  (7.36)
 P  T T  P  T 
Persamaan (7.35) sudah dapat diperoleh dari data eksperimen secara langsung,
sedangkan persamaan (7.36) masih perlu dievaluasi.
Evaluasi lebih lanjut terhadap persamaan (7.36), dapat diperoleh dengan
menurunkan persamaan (7.35) terhadap tekanan dan terhadap suhu.
Turunan Persamaan (7.35) terhadap tekanan adalah sebagai berikut.
2S 1 C P
 (7.37)
PT T P
 H 
Dengan menggunakan persamaan    C P diperoleh persamaan
 T  P

2S 1 2H
 (7.38)
PT T PT
Jika Persamaan (7.36) diturunkan terhadap suhu, akan diperoleh persamaan (7.39).

2S 1   2 H  V   1  H  
       V  (7.39)
TP T  TP  T  P  T 2  P  T 
Oleh karena S merupakan fungsi dari keadaan, maka turunan S terhadap T dan P
memiliki nilai yang sama dengan turunan S terhadap P dan T
2S 2S
 (7.40)
TP PT
Subtitusi persamaan (7.38) dan persamaan (7.39) ke dalam persamaan (7.40) diperoleh

1   2 H  V   1  H   1 2H
     2   V  
T  TP  T  P  T  P  T  T PT

1  H    V 
   V     (7.41)
T  P  T   T  P
Membandingkan persamaan (7.36) dan (7.41) diperoleh hubungan sebagai berikut
 S   V 
      V (7.42)
 P  T  T  P
dengan  adalah koefisien ekspansi termal, dapat diperoleh dari eksperimen. Diferensial
total untuk entropi sebagai fungsi suhu dan tekanan dinyatakan dengan persamaan (7.43).
CP
dS = dT  V dP (7.43)
T

66
Sanjaya

Untuk mengetahui perubahan entropi sistim sebagai akibat dari perubahan suhu
dan tekanan integrasikan persamaan (7.43).

7.A.3 Entropi pada berbagai proses reversibel


Proses-proses transisi yang berlangsung pada suhu dan tekanan tetap seperti
perubahan wujud (penyubliman, penguapan dan pelelehan) atau perubahan bentuk
kristal (transformasi) pada umumya berlangsung secara reversibel. Perubahan entropi
untuk sistim-sistim tersebut dapat ditentukan yaitu :
2 dQrev
S   (7.44)
1 T
Karena proses berlangsung isoterm, diperoleh :
Qrev
S 
T
Qrev adalah kalor yang menyertai proses transisi pada tekanan tetap, maka dapat
ditulis menjadi :
H
S  (7.45)
Tc
Dengan Tc adalah suhu transisi.

7.A.4 PERUBAHAN ENTROPI PADA PROSES IRREVERSIBEL


Perubahan entropi untuk proses irreversibel dapat ditentukan dengan cara
memecah proses tersebut menjadi beberapa tahap yang reversibel. Oleh karena entropi
merupakan fungsi keadaan, jalan yang ditempuh oleh sistim tidak penting. Perubahan
entropi hanya ditentukan oleh keadaan awal dan akhir. Besarnya perubahan tersebut dapat
dihitung dengan menggunakan hukum Hess.
Soal latihan
Pembekuan satu mol air lewat dingin (supercooled) pada suhu - 10oC adalah
proses irreversibel. Diketahui perubahan entalpi kristalisasi air cair pada 0oC,
 H = - 6004 J/mol. Kapasitas kalor air 75,3 J/K mol dan untuk air padat (es) 36,8
J/Kmol pada rentang suhu tersebut. Tentukan perubahan entropi ketika satu mol
air cair pada – 10oC berubah menjadi es pada – 10oC pada tekanan tetap ?
Jawab :
Analisis soal :

67
Kimia Fisika berbasis proyek

Diketahui :n = 1 mol
H2O(l) Pembekuan H2O(s)
T1 = - 10oC = 263 K Pada supercooled T1 = - 10oC = 263 K
Ccair = 75,3 J/K mol  H = - 6004 J/mol C padat = 36,8 J/K mol
Dicari : perubahan entropi pembekuan air pada – 10oC, ∆S = ? J/K
Rencana penyelesaian :

H2O (l ,273 K) ∆S2 H2O (s ,273 K)

∆S1 ∆S3

H2O (l ,263 K) ∆S = ? H2O (s ,263 K)

Menurut hukum Hess ,∆S = ∆S1 + ∆S2 + ∆S3


Cp
dS = dT  VdP
T
Cp
Pada P tetap,dP = 0 sehingga dS = dT
T
273 Ccair
∆S3 =  263 T
dT

H
∆S2 =
T
263 Ces
∆S3 =  273 T
dT

Penyelesaian :
∆S = ∆S1 + ∆S2 + ∆S3
273 Ccair H 263 Ces
=  263 T
dT +
T
+ 
273 T
dT

273 H 263
= Ccair ln + + Ces ln
263 T 273
273 H
= (Ccair  Ces ) ln +
263 T
273 n H
= (Ccair  Ces)n ln +
263 T

68
Sanjaya

Perhitungan ;
273 n H
∆S = (Ccair  Ces)n ln +
263 T
1mol (6004 ) J / mol
= ( 75,3 – 36,8 ) J/K mol . 1 mol (1,0373) +
273 K
= ( 1,446 – 22,0) J/K
= - 20,6 J/K
Kesimpulan : Entropi sistim dalam proses pembekuan satu mol air pada suhu – 10oC
menurun sebesar 20,6 J/K.

7.A.5 ENTROPI PENCAMPURAN GAS IDEAL


Perhatikan dua gas ideal, n1 mol gas 1 pada T dan P tertentu dan n2 mol gas 2 pada
T dan P yang sama dicampurkan maka masing-masing akan saling berdifusi pada suhu
dan tekanan yang tetap. Proses ini merupakan proses irireversibel. Untuk menentukan
perubahan entropi yang terjadi dalam proses irireversibel ini, harus ditentukan proses
reversibelnya. Tahap pertama adalah memandang pemuaian gas secara isotermal dan
reversibel terhadap volum akhir V = V1 + V2. Perubahan entropinya dihitung dari
persamaan (4.28), yang pada suhu tetap dirumuskan sebagai
dS = dV = vdV (7.46)

Dengan menggunakan persamaan gas ideal, P = nRT / V, yang diturunkan terhadap suhu
diperoleh

v= (7.47)

Substitusi persamaan (7.47) kedalam persamaan (7.46) didapatkan persamaan


dS = dV (7.48)

Berdasarkan persamaan (7.48) nilai perubahan entropi pada tahap ini dapat
ditentukan dari integrasinya.
Untuk gas 1
∆S1 = dV
= n1 R ln
= - n1 R ln
= - n1 R ln = - n1 R ln X1

69
Kimia Fisika berbasis proyek

Dengan cara yang sama, untuk gas 2 diperoleh


∆S2 = - n2 R ln X2
Dengan X1 dan X2 masing-masing adalah fraksi mol untuk gas 1 dan gas 2. Perubahan
entropi untuk tahap pertama adalah jumlah total perubahan entropi setiap gas.
∆S = - n1 R ln X1 – n2R ln X2 (7.49)
Pada tahap kedua, dipandang bahwa gas-gas yang telah berekspansi bercampur
secara reversibel pada suhu tetap dan volum yang tetap V. Pada tahap ini, karena gasnya
ideal, maka energi dalam kedua gas hanya merupakan fungsi suhu, sehingga ∆U = 0.
Demikian pula dengan W karena volumenya tetap, maka W = 0. Oleh karena itu
berdasarkan pada hukum pertama termodinamika tidak ada kalor yang diserap oleh gas.
Akibatnya, pada tahap ini entropi sistim tidak berubah. Dengan demikian entropi
pencampuran ∆Smix, sama dengan persamaan (4.49) dan dengan mengubah n1 menjadi X
diperoleh :
∆Smix = - nR(X1 ln X1 + X2 ln X2)
Jika terdapat N gas ideal yang dicampurkan, entropi pencampurannya dinyatakan sebagai
berikut.
∆Smix = - nR ln X1

7.A.6 ENTROPI PADA REAKSI KIMIA


Berbeda dengan besaran-besaran termodinamika yang telah dibahas di muka,
seperti energi dalam dan entalpi, entropi mutlak suatu zat dapat ditentukan. Data entropi
untuk suatu zat atau unsur yang terdapat dalam tabel biasanya diukur pada 298,15 K.
berdasarkan data dari tabel tersebut, perubahan entropi suatu reaksi kimia dapat
ditentukan.
Misalnya untuk reaksi, yang digambarkan secara umum,
αA + βb → γC + δD
perubahan entropinya diberikan persamaan
∆So = Soproduk – Sopereaksi
(7.51)
= (γSºC + δSºD) – (αSºA + βSºB)
Ketergantungan entropi reaksi terhadap suhu dapat diperoleh dengan
mendiferensialkan persamaan (7.51) terhadap suhu. Jika diferensial dilakukan pada
tekanan tetap, diperoleh hasil

70
Sanjaya

P = P - P

(7.52)
Integrasi persamaan (7.52) pada suhu To dan T didapatkan

∆ = ∆ + dT

(7.53)
Dengan menggunakan persamaan (7.53) perubahan entropi reaksi kimia pada berbagai
suhu dapat ditentukan.

7.A.7 PERUMUSAN HUKUM KEDUA TERMODINAMIKA


Hukum kedua Termodinamika dapat dirumuskan dalam berbagai cara. Clausius
menyatakan hukum kedua termodinamika sebagai berikut : “Adalah tidak mungkin
memindahkan kalor dari benda yang bersuhu dingin ke benda yang bersuhu lebih panas
tanpa melakukan suatu kerja terhadapnya”. Bentuk lainnya adalah berdasarkan besaran
entropi, dipaparkan berikut ini.
Telah dibahas terdahulu bahwa pada proses reversibel selalu menghasilkan kerja
maksimal, sehingga menghasilkan efisiensi maksimal. Berbeda dengan proses sebaliknya,
efisiensi untuk proses irreversibel adalah lebih kecil daripada proses reversibel,
єirr < єrev
dengan єirr dan єrev adalah efisiensi pada proses irreversibel dan efisiensi pada proses
reversibel. Jika kalor yang diserap pada suhu T dan T‟ masing-masing adalah Q dan Q‟,
maka berdasrkan persamaan (7.3) dan (7..4) dapat diperoleh
<

<

+ < 0

Atau secara umum, dapat ditulis dalam bentuk


< 0

Perhatikan sekarang untuk proses lingkar irreversibel ABA, yang terdiri atas
langkah irreversibel AB, dan satu langkah reversibel BA. Untuk proses lingkar tersebut
berlaku

71
Kimia Fisika berbasis proyek

+ <0

+ < 0

+ ( - ) < 0

( - ) >

∆S >

Dengan ∆S adalah perubahan entropi untuk proses irreversibel AB, Q adalah kalor yang
diserap sistim, dan T adalah suhu. Apabila proses tersebut berlangsung dalam sistim
tersekat, maka đQ = 0 sehingga ∆S > 0.
Proses-proses spontan yang terjadi dialam semesta bersifat irreversibel. Sementara
itu, ditinjau dari pertukaran kalornya, alam semesta merupakan sistim tersekat. Oleh
karena itu dapat diambil kesimpulan bahwa: “Semua proses yang terjadi di alam semesta
selalu berlangsung kearah peningkatan entropi”. Pernyataan ini merupakan rumusan
Hukum Kedua Termodinamika.

7. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

72
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
7. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

73
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
7. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

74
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

8. HUKUM KETIGA TERMODINAMIKA

8.A Bacalah dengan cermat uraian tentang Hukum termodinamika ke


tiga berikut ini
Kita tinjau transformasi suatu padatan dari suhu 0 absolut ke suhu T di bawah titik
lelehnya, yang terjadi pada tekanan tetap.

Padatan (0,P) → Padatan (T,P)

Perubahan entropinya, pada P tetap sesuai dengan yang dinyatakan oleh


persamaan

T C
S  S  S   P dT
T 0 0 T
Atau
T C
S  S   P dT (8.1)
T 0 0 T
Oleh karena Cp positif, integral persamaan (8.1) akan bernilai positif, sehingga
entropinya dapat meningkat karena suhu. Pada nol Kelvin, entropi memiliki nilai S0 yang
paling kecil. Pada tahun 1913, M. Plank mengusulkan bahwa nilai S0 adalah nol untuk
setiap kristal murni dan kristal sempurna. Pernyataan ini kemudian dikenal sebagai
Hukum Ketiga Termodinamika : Entropi kristal murni yang sempurna adalah nol pada
suhu nol absolut.
Jika hukum ketiga termodinamika diterapkan terhadap persamaan (8.1), diperoleh
persamaan :
T CP
ST   dT (8.2)
0 T

75
Kimia Fisika berbasis proyek

ST disebut entropi (mutlak) padatan pada suhu T dan tekanan P. Jika tekanannya 1 atm,
maka entropi itu disebut entropi standar, S T0 , sehingga dapat ditulis menjadi
T C
ST0   P dT
0 T

8.A.1 ENTROPI STANDAR ZAT PADAT PADA TITIK LELEHNYA


Jika suatu perubahan yang terjadi pada proses pelelehan menyangkut peningkatan
entropi, konstribusi perubahannya harus disertakan dalam perhitungan entropinya cairan.
Misalnya suatu padatan meleleh pada keadaan standar (tekanan 1 atm), kemudian setelah
semua meleleh (mencair) suhunya meningkat terus. Entropi standar pada proses ini
dinyatakan dengan persamaan,

CPO s  H Fusi CP0 l 


Tf 0 T
S 
0
T dT   dT (8.3)
0
T T f Tf
T

Untuk mengevaluasi S T0 berdasarkan persamaan (8.3), diperlukan data mengenai ∆Hof, Tf,
Cp (s), dan Cop (l) pada rentang suhu yang diinginkan. Data ini dapat diperoleh melalui
percobaan. Akan tetapi pada suhu yang sangat rendah, pengukuran sangat sulit dilakukan.
Pengukuran kapasitas panas seringkali hanya dapat dilakukan samapai suhu sekitar 10-15
K. Pada suhu ini kapasitas panas padatan memenuhi hukum Debye “T pangkat tiga”
secara akurat.

CV  aT 3 (8.4)

Dengan a suatu tetapan yang khas untuk suatu zat. Pada suhu ini Cp ≈ Cv. Oleh karena itu
hukum Debye tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi integral Cp/T pada rentang
suhu 0 K sampai suhu pengukuran terendah T‟. Dengan demikian integral pertama pada
persamaan (8.4) dapat ditulis

Tm
C P0 s  T'
C P0 s  Tm
C P0 s 
0 T dT  0 T dT   T dT
T
(8.5)

Integral suku pertama ruas kanan pada persamaan (8.5) dapat dievaluasi dengan cara :

C P0 s 
T' T'
aT 3 1 3 1 0
0 T dT  0 T dT  3 aT  3 CP

76
Sanjaya

Untuk mengevaluasi integral suku kedua ruas kanan pada persamaan (8.5)
dapat dilakukan dengan memasukkan data C P0 , hasil pengukuran dan

C Po
mengintegralkan dT pada rentang suhu T‟ sampai Tm.
T
C Po
Cara lain yang dapat dilakukan adalah cara grafik. Pada cara ini, hasil
T
pengukuran dialurkan terhadap T atau C P0 terhadap In T. Luas di bawah kurva

adalah nilai integralnya.

8.A.2 ENTROPI STANDAR ZAT PADAT PADA TITIK DIDIHNYA


Entropi suatu zat padat pada titik didihnya dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut

CPO s  H fusi Tb C l  HUap T C g 


0 O 0 O
Tm
STO   dT    P dT    P dT (8.6)
0 T Tm Tm T Tb Tb T
Perubahan yang dialami oleh zat padat menjadi gas adalah sebagai berikut : semula
padatan berubah menjadi cair, kemudian menjadi gas.

8.A.3 Entropi Sebagai Kriteria Kespontanan Proses

Menurut hukum konsentrasi energi, energi alam semesta adalah tetap, maka
pertukaran kalor sistim dan lingkungannya bersama-sama dalam satu sistim tersekat,
sehingga entropi sistim dan lingkungannya bersama-sama berada dalam sistim tersekat
pula. Oleh karena itu, dapat juga dikatakan bahwa kedua nilai entropi ini berperan sebagai
kriteria kespontanan proses. Berdasarkan pada persyaratan tersebut maka arah proses
dapat diramalkan sebagai berikut :
1. Jika ∆Ssistim + ∆Slingkungan > 0 proses akan berlangsung
2. Jika ∆Ssistim + ∆Slingkungan < 0 proses tidak akan berlangsung
3. Jika ∆Ssistim+ ∆Slingkungan = 0 proses berlangsung seimbang.

Perhatikan kembali hukum kedua termodinamika, setiap proses yang berlangsung


dalam sistim tersekat ΔS ≥ 0. Hukum ini tidak berlaku bagi reaksi kimia, jika reaksi kimia
dilangsungkan dalam sistim tidak tersekat. Pada umumnya reaksi kimia berlangsung pada

77
Kimia Fisika berbasis proyek

suhu dan volum atau tekanan tetap. Oleh karena itu perlu dicari fungsi lain untuk
menentukan berlangsung tidaknya suatu reaksi.
Untuk proses reversibel berlaku hubungan
TdS = đQrev (8.7)
Persamaan (8.7) menyatakan kondisi kesetimbangan. Untuk perubahan keadaan yang
berlangsung irreversibel, persamaan tersebut menjadi
TdS >đQ (8.8)
Kedua hubungan itu dapat digabung menjadi satu, yakni
TdS ≥ đQ Atau đQ – TdS ≤0 (8.9)
Dengan menggunakan hukum pertama termodinamika, untuk sistim yang hanya
melangsungkan kerja volum, persamaan (8.9) menjadi
dU + PdV – TdS ≤ 0 (8.10)
Tanda lebih kecil (<) digunakan untuk proses irreversibel, sedangkan tanda sama
dengan (=) untuk proses reversibel.

8.A.4 Fungsi Energi Bebas Helmholtz


Pada volum tetap, dV = 0, Persamaan (8.10) menjadi
dU – TdS ≤ 0
Apabila suhu tetap, TdS = d (TS), sehingga persamaan menjadi
dU – d (TS) ≤ 0 atau d (U – TS) T.V ≤ 0 (8.11)
Fungsi U – TS merupakan keadaan fungsi baru, yang disebut energi bebas Helmholtz,
dan diberi symbol A.
A = U – TS (8.12)
Sehingga
(dA)T.V ≤ 0 (8.13)
Jadi bagi sistim yang hanya melakukan kerja volum pada T.V tetap, perubahan yang
spontan akan disertai dengan penurunan energi bebas Helmholtz, A. A akan turun sampai
dicapai keadaan minimum, yakni keadaan kesetimbangan dengan dA = 0.
Arti fisik dari fungsi energi bebas Helmholtz dapat diperoleh dari fungsi
turunannya, yaitu:
dA = dU –TdS – SdT (8.14)
Untuk proses yang berlangsung secara reversibel
dU = đQrev + đWrev = TdS + đWrev, dan dT = 0, sehingga
dA = đWmaks
78
Sanjaya

atau nilai integrasinya


ΔA = Wrev (8.15)
Perubahan energi bebas Helmholtz adalah kerja volum maksimum yang
dihasilkan oleh suatu proses reversibel yang berlangsung pada suhu tetap.

8.A.5 FUNGSI ENERGI BEBAS GIBBS


Untuk sistim yang berlangsung reversibel, Pl ≈ P (tekanan sistim), Jika sistim
berlangsung pada tekanan tetap, maka PdV = d (PV) dan pada T tetap TdS = d (ST),
sehingga
dU + PdV – TdS ≤ 0

d (U + PV – TS)T.P ≤ 0
d (H – TS)T.P ≤ 0 (8.16)
dengan H – TS merupakan fungsi keadaan baru yang disebut energi bebas Gibbs, dan
diberi symbol G.
G = H – TS atau G = U + PV – TS
Sehingga
(dG)T.V ≤ 0 (8.17)
Pada T dan P tetap, perubahan yang spontan disertai dengan penurunan energi bebas
Gibbs sampai tercapai keadaan minimum pada kesetimbangan. Dengan kata lain syarat
kesetimbangan bagi sistim yang hanya melakukan kerja volum pada T dan P tetap adalah
dG = 0. Arti fisik dari energi bebas Gibbs dapat diperoleh dari fungsi turunannya, yaitu
dG = dU + PdV + VdP – TdS – SdT (8.18)
Pada T dan P tetap, dG = dU + PdV – TdS dan dengan menerapkan hukum pertama
termodinamika untuk proses yang reversibel: dU = dQrev + dWrev, dan dQrev = TdS,
persamaan (8.18) menjadi
dG = đWrev + PdV (8.19)
Jika kerja diuraikan ke dalam kerja volum dan kerja lain yang bukan kerja volum maka
đWrev = - PdV + đWrev lain (8.20)
đWrev + PdV = đWrev lain
sehingga
dG = đWrev lain (8.20.a)
atau dalam bentuk integrasinya

79
Kimia Fisika berbasis proyek

ΔG = Wrev lain (8.20.b)


Jadi berdasarkan parsamaan (8.20) penurunan energi bebas Gibbs merupakan
kerja maksimum selain kerja volum yang dapat dilakukan oleh sistim dalam proses yang
reversibel pada suhu dan tekanan tetap. Sebagai contoh, sel aki yang digunakan pada T, P
tetap ( ada dalam kontak terbuka dengan lingkungannya) jika dapat diupayakan
pengaliran arus listriknya reversibel, maka tenaga listrik yang dikeluarkannya sama
dengan penurunan energi bebas Gibbs dari sel aki tersebut.

8.A.6 Energi bebas sebagai fungsi variabel-variabel sistim


Perhatikan kembali persamaan (8.14)
dA = dU – TdS – SdT
subsitusi hukum pertama termodinamika, untuk proses reversibel, akan didapat
persamaan baru, yakni
dA = - SdT – PdV (8.21)
Jadi, energi bebas Helmholtz merupakan fungsi dari variabel suhu dan volum. Hubungan
lain untuk energi bebas ini dapat diperoleh dari turunan total A = A (T,V) sebagai berikut
 A   A 
dA    dT    dV (8.22)
 T V  V  T
berdasarkan persamaan (8.21) dan (8.22) didapat hubungan-hubungan:
 A 
   S (8.23)
 T V

 A 
   P (8.24)
 V T
Untuk energi bebas Gibbs, dari persamaan (8.18) dapat juga diturunkan
hubungan-hubungan lain. dG = dU + PdV +VdP – TdS – SdT
Dengan menggunakan hukum pertama termodinamika, untuk proses reversibel dU = TdS
– PdV, akan didapat persamaan baru, yakni
dG = -SdT + VdP (8.25)
Berdasarkan persamaan (8.25), energi bebas Gibbs merupakan fungsi dari variabel suhu
dan tekanan. Secara matematik hal tersebut dituliskan G = G (T,P) dan turunan totalnya
adalah
 G   G 
dG    dT    dP (8.26)
 T  P  P  T
Berdasarkan persamaan (8.25) dan (8.26) didapat hubungan-hubungan

80
Sanjaya

 G 
   S (8.27)
 T  P

 G 
  V (8.28)
 P  T
8.A.7 Persamaan Gibbs-Helmholtz
Apabila perbandingan energi bebas Gibbs dengan suhu, G/T, diturunkan terhadap
suhu (pada tekanan tetap) akan diperoleh hubungan sebagai berikut
 G 1  G  G
      2 (8.29)
T  T  P T  T  P T
Substitusikan persamaan (8.27) ke dalam (8.29) didapat persamaan
 G S G TS  G    H
    2  (8.30)
T  T  P T T T2 T2

Persamaan (8.30) dikenal dengan persamaan Gibbs-Helmholtz, dan sangat berguna untuk
menentukan energi bebas pada berbagai suhu.
Analog dengan persamaan (8.30), untuk perubahan energi bebas Gibbs yang
diakibatkan oleh suhu dapat ditentukan sebagai berikut
  G  H
   2 (8.31)
T  T P T
Dengan menggunakan persamaan (8.31), nilai perubahan energi bebas Gibbs pada
berbagai suhu dapat ditentukan.

8.A.8 Perhitungan energi bebas reaksi kimia


Perhitungan nilai energi bebas untuk reaksi kimia dapat ditentukan dengan
beberapa cara diantaranya adalah: pertama karena umumnya reaksi kimia berlangsung
pada suhu dan tekanan tetap, maka berlaku
ΔG = ΔH – TΔS (8.32)
Cara yang kedua adalah dengan menggunakan energi Gibbs pembentukan standar ΔGof
untuk zat murni. Misalnya untuk reaksi kimia, secara umum sebagai berikut
αA + βB γC + δD
Perubahan energi bebas Gibbs ditentukan dengan persamaan (8.33)
ΔGo = Σ ΔGof. produk – Σ ΔGof.pereaksi (8.33)

81
Kimia Fisika berbasis proyek

8.A.9 Energi Bebas Sebagai Kriteria Kespontanan Proses


Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan bahwa kriteria kespontanan suatu
proses untuk sistim tersekat dilihat berdasarkan nilai perubahan entropinya. Untuk sistim
yang tidak tersekat, tidak berlaku ΔS > 0 pada proses yang spontan. Akan tetapi jika
sistim tak tersekat tersebut dipandang bersama-sama dengan lingkungannya maka dapat
dianggap sebagai sistim tersekat. Oleh karena itu untuk sistim seperti ini yang mengalami
perubahan yang spontan, selalu ditandai dengan ΔSsistim + ΔSlingkungan > 0. hal ini
merupakan salah satu kelemahan cara penentuan arah proses berdasarkan perubahan
entropi, karena harus ditentukan nilai ΔS lingkungannya.
Jika kita ingin menentukan spontan tidaknya suatu proses berdasarkan sifat atau
variabel sistim maka dapat digunakan persamaan (8.13) untuk proses pada T, P tetap atau
persamaan (8.17) untuk proses pada T, P tetap. Menurut persamaan yang terakhir ini arah
proses dapat ditentukan, yakni:
1. Jika ΔG < 0: proses berlangsung secara spontan.
2. Jika ΔG = 0: proses berada dalam kesetimbangan.
3. Jika ΔG > 0: proses berlangsung tidak spontan.

8.A.10 PERSAMAAN DASAR DAN HUBUNGAN MAXWELL


Selain sifat-sifat mekanik seperti, P dan V, sistim memiliki tiga sifat-sifat dasar
penting yaitu T, U, dan S, dan tiga sifat gabungan yakni H, A, dan G.
Dengan membatasi kerja yang dilakukan hanya kerja volum, kombinasi hukum
termodinamika pertama dan kedua untuk proses reversibel dinyatakan dalam persamaan
berikut
dU = TdS – PdV (8.34)
Persamaan (8.34) merupakan persamaan dasar.
Dengan menggunakan definisi fungsi-fungsi gabungan, yaitu H = U + PV, A = U
– TS, dan G = U + PV – TS, kemudian setiap fungsi ini diturunkan, maka akan diperoleh
persamaan-persamaan sebagai berikut.
dH = TdS + VdP (8.35)
dA = -SdT – PdV (8.36)
dG = -SdT + VdP (8.37)
Keempat persamaan ini dikenal dengan persamaan dasar termodinamika,
meskipun sebetulnya persamaan (8.34) yang berupa persamaan dasar. Oleh karena
kesederhanaan persamaan-persamaan tersebut maka S dan V merupakan variabel alamiah
82
Sanjaya

untuk energi bebas Helmholtz; serta T dan P merupakan variabel alamiah untuk energi
bebas Gibbs.
Berdasarkan persamaan dasar tersebut, dengan menggunakan sifat diferensial
total, dapat diperoleh empat hubungan Maxwell, yaitu:

 T   P 
     8.38
 V  S  S V

 T   V 
    8.39
 P  S  S  P

 S   P 
    8.40
 V T  T V

 S   V 
     8.41
 P T  T  P

Dari keempat persamaan diatas yang paling bermanfaat adalah persamaan (8.40)
dan persamaan (8.41), karena persamaan tersebut kuosiennya memiliki besaran-besaran
yang dapat diukur secara eksperimen, yakni:
 P   V 
  dan  
 T V  T  P
Persamaan (8.38) menyatakan bahwa pada entropi tetap, perubahan suhu yang
diakibatkan oleh berubahnya volum sama dengan berkurangnya tekanan yang diakibatkan
oleh perubahan entropi pada volum tetap, sedangkan persamaan (8.39) menyatakan
bahwa perubahan suhu yang disebabkan oleh berubahnya tekanan pada entropi tetap sama
dengan perubahan volum yang disebabkan karena berubahnya entropi pada tekanan tetap.
Arti fisik dari hubungan lain, yaitu persamaan (8.40) dan (8.41) dapat anda rumuskan
sendiri.

8. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.

83
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

84
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
8. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

85
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

9. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK


Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

86
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

9. POTENSIAL KIMIA
9.A. Bacalah dengan cermat uraian tentang Potensial Kimia berikut
Sampai sejauh ini persamaan-persamaan dasar termodinamika yang telah
diturunkan hanya berlaku untuk sistim dengan komposisi tetap, artinya tidak terjadi
transfer materi dengan lingkungannya (sistim tertutup). Meskipun banyak reaksi kimia
dilakukan dalam ruang tertutup, namun reaksi yng sedang berlangsung dapat dipandang
sebagai suatu sistim terbuka. Pada sistim ini zat pereaksi dianggap keluar dari sistim dan
dianggap keluar dari sistim dan zat hasil reaksi masuk ke dalam sistim.
Untuk sistim dengan komposisi yang berubah-ubah, perlu dicari pengaruh
perubahan komposisi tersebut terhadap persamaan-persamaan termodinamika. Hasil dari
persamaan-persamaan tersebut digunakan untuk menurunkan syarat-syarat tercapainya
kesetimbangan kimia.
Dari persamaan dasar untuk sistim dengan komposisi yang berubah, sistim
terbuka, energi bebas Gibbs juga merupakan fungsi dari jumlah mol zat yang keluar da
masuk ke dalam sistim, 1, n2, n3,.. ni. Dengan ni adalah jumlah zat yang terlibat dalam
sistim.
Secara matematika didefinisian seperti persamaan (9.1)
G = G(T, P, n1, n2, .. ni) (9.1)
Diferensial totalnya adalah :

 G   G  N
 G 
dG =   dT +
 T  P ,nn
  dP +
 P  T ,ni
  n
i 1 
 dni (9.2)
i  T , P ,n

Suku ni pada persamaan tersebut menyatakan bahwa semua zat dibuat tetap pada
diferensial dan nj menyatakan bahwa semua zat tetap kecuali dalam turunannya. Dalam

87
Kimia Fisika berbasis proyek

 G 
hal ini j  i. Misalkan   berarti bahwa T, P dan semua zat kecuali n1 adalah
 P  T , P ,nj 1
tetap pada diferensiasi.
Jika komposisi sistim tidak berubah (tetap), yakni dn1=0, d2=0 dan seterusnya,
maka persamaan (9.2) berubah menjadi :
 G   G 
dG =   dT +   dP (9.3)
 T  P ,ni  P  T ,ni
Jika persamaan (9.3) dibandingkan dengan persamaan dasar termodinamika, dG=
-SdT + VdP, maka dapat dinyatakan bahwa :
 G 
  = -S (9.4)
 T  P ,ni
Dan
 G 
  =V (9.5)
 P  T ,ni
Sehingga persamaan (9.2) berubah menjadi :
N
dG = -SdT + VdP +   dn
i 1
i i (9.6)

Dari persamaan (9.6) didefinisikan besaran baru yaitu potensial kimia, yang diberi
simbol µ, secara matematika dituliskan persamaan sebagai berikut.
 G 
µ =   (9.7)

 i  T , P ,nj i
n

dengan µi adala potensial kimia komponen i. Dengan menggunakan persamaan (9.7)


tersebut, maka persamaan (9.6) dapat dinyatakan sebagai berikut.
N
dG = -SdT + VdP +   dn
i 1
i i (9.8)

Persamaan (9.8) adalah salah satu persamaan dasar bagi sistim terbuka
menghubungkan perubahan G dengan perubahan suhu, tekanan, dan jumlah mol zat.
Berdasarkan persamaan (5.8) dapat dicari besaran termodinamika yang lainnya.
Misalkan untuk perubahan energi dalam, dU. Dari persamaan G=U+PV-TS didapatkan
dG=dU + PdV + VdP – TdS – SdT
susun ulang menjadi dU = dG – PdV –VdP + TdS + SdT (9.9)
substitusi persamaan 9.8 dengan 9.9 diperoleh

88
Sanjaya

N
dU = TdS –PdV +   dn
i 1
i i (9.10)

Dengan menggunakan persamaan dasar termodinamika untuk besaran energi


dalam, dU=TdS-PdV, yang diterapkan pada sistim dengan komposisi tetap dan dari
persamaan (9.10) diperoleh pernyataan lain untuk potensial kimia, yaitu :
 U 
µ =   (9.10)

 i  S ,V ,nj i
n

Perlu diperhatikan, perbedaan potensial kimia yang dinyatakan dengan energi


bebas Gibbs dan dengan variabel tetapnya energi dalam. Untuk kasus pertama, variabel
yang dibuat tetap adalah suhu dan tekanan, sedangkan pada kasus kedua adalah entropi
dan volume. Dengan bantuan persamaan dasar termodinamika yang lainnya dapat
diturunkan persamaan dasar sistim terbuka lainnya, yaitu :
N
dH = TdS + VdP +   dn
i 1
i i (9.11)

N
dA = -SdT –PdV +   dn
i 1
i i (9.12)

Dengan potensial kimianya didefinisikan sebagai berikut.


 H   A 
µ =   dan µ =   9.13

 i  S , P ,nj i
n 
 i  T ,V ,nj i
n

Tinjaulah persamaan (9.8) yang diterapkan pada suhu dan tekanan tetap, maka
akan diperoleh persamaan
N
dG =   dn
i 1
i i 9.14

Jika sistimnya hanya terdiri atas satu zat maka persamaan (9.14) berubah menjadi
dG = µdn 9.15
Susun ulang persamaan tersebut
dG G
µ= = =G 9.16
dn n
Persamaan (9.16) menyatakan bahwa potensial kimia zat murni merupakan energi
bebas Gibss molar. Di dalam campran, potensial kimia masing-masing suku, µi,
merupakan energi bebas Gibss parsial molar dari zat i, dan energinya dinyatakan dengan
G= n 
i
i i 9.17

89
Kimia Fisika berbasis proyek
9. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI
Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

90
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
10. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

91
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
11. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

92
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

10. TETAPAN KESETIMBANGAN

10.A. Bacalah dengan cermat uraian tentang Tetapan Kesetimbangan berikut


Mari kita tinjau suatu sistim yang berisi campuran dari beberapa zat kimia yang
dapat bereaksi menurut persamaan :
v1A1 + v2A2 v3A3 + v4A4 (10.1)
Dengan prinsip kesetimbangan muatan, untuk persamaan reaksi diatas dapat
dituliskan sebagai berikut :
0 = v3A3 + v4A4 – v1A1 – v2A2 (10.2)
Koefisien stoikiometri, vi (dibaca nu i), bertanda negatif untuk pereaksi dan bertanda
positif untuk hasil reaksi, maka persamaan (10.2) dapat dinyatakan dengan
0 =∑ viAi (10.3)
Perhatikan bahwa reaksi berlangsung atau tidak dalam arah yang dituliskan
ditunjukkan oleh energi Gibbs dari campuran akan naik atau turun. Jika energi Gibbs-
nya turun dengan berlangsung reaksi, maka reaksi akan berjalan spontan dalam arah
yang dituliskan. Reaksi akan terus berlangsung disertai dengan penurunan energi
Gibbs sampai mencapai nilai minimum, yakni saat tercapainya keadaan
kesetimbangan.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pada T dan P tetap, perubahan energi
Gibbs dari sistim seperti yang dinyatakan pada persamaan (9.15) berubah menjadi

93
Kimia Fisika berbasis proyek

dG = μi dni (10.4)

dni merupakan perubahan mol zat yang disebabkan oleh reaksi. Perubahan ini tidak
independen, melainkan bergantung satu sama lain karena zat-zat bereaksi dalam
perbandingan stoikiometris.
Jika kita mulai pada sistim reaksi dari keadaan tidak setimbang dengan jumlah zat
A1 = n1.0 dan A2 = n2.0, dengan subskrip nol menunjukkan komposisi awal. Pada saat
tertentu ada sejumlah A1 dan A2 telah bereaksi. Untuk menyatakan sampai sejauhmana
reaksi berlangsung digunakan istilah cakupan reaksi (extent of reaction), dan diberi
simbol ξ (dibaca ksi). Jika v1 mol zat A1 telah bereaksi dengan v2 mol zat A2
menghasilkan v3 mol zat A3 dan v4 mol zat A4, maka dikatakan bahwa telah terjadi 1
mol reaksi, atau sama dengan 1 mol. Jika 0,3v3 mol zat A3 dan 0,3v4 mol zat A4, maka
telah mencapai 0,3 mol.
Selama reaksi berlangsung, jumlah mol untuk pereaksi dan hasil reaksi akan
mengalami perubahan sesuai dengan jumlah cakupan reaksinya. Untuk hasil reaksi
jumlahnya akan bertambah sebanyak
n3 = n3.0 + v3 ξ dan n4 = n4.0 + v4 ξ
Sedangkan untuk pereaksi, jumlahnya berkurang sebanyak
n1 = n1.0 + v1 ξ dan n2 = n2.0 + v2 ξ
Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap saat reaksi, jumlah masing-masing zat
yang ada dinyatakan melalui persamaan
ni = ni.0 + vi ξ (10.5)
Karena ni.0 dan vi bernilai tetap, maka turunan dari persamaan (10.5) menghasilkan
dni = vi dξ (10.6)
Subsitusi Persamaan (10,4) dengan Persamaan (10.6) menghasilkan
dG = vi μi dξ (10.7)
susun ulang persamaan tersebut, dengan menambahkan variabel-variabelnya yang
tetap, didapat persamaan
dG/dξ = vi μi (10.8)
Persamaan (10.8) menyatakan perubahan energi Gibbs sistim karena perubahan
cakupan reaksi. Jika nilainya negatif, energi Gibbs sistim turun dan reaksi berjalan
spontan dalam arah yang dituliskan. Sebaliknya, jika nilainya positif, keberlangsungan
reaksi dalam arah yang dituliskan akan meningkatkan energi Gibbs sistim, yang berarti
bahwa reaksi berjalan tidak spontan. Sedangkan jika nilainya sama dengan nol, energi
94
Sanjaya

bebas Gibbs mencapai nilai minimum dan sistim berada dalam keadaan
kesetimbangan.
Jadi kriteria kesetimbangan bagi reaksi kimia adalah
dG = 0 (10.9)
Atau
Vi μi = 0 (10.10)
Ruas kiri Persamaan (10.9) merupakan bentuk dari perubahan energi bebas Gibbs,
yakni penjumlahan energi bebas hasil reaksi dikurangi dengan penjumlahan energi
bebas pereaksi
ΔG = vi μi (10.11)
Ingat bahwa i bagi zat dalam campuran merupakan energi bebas Gibbs molar parsial
zat i tersebut, μi = i. Oleh karena itu, sesuai dengan persamaan (10.11) maka
ΔG = = vi μ i (10.12)
Dan pada keadaan kesetimbangan nilainya sama dengan nol.
ΔG = ∑ vi μi = 0 (10.13)
Contohnya untuk reaksi pembakaran nitrogen menghasilkan nitrogen monoksida
N2(g) + O2(g) 2NO(g)
Akan tercapai kesetimbangan jika perubahanan energi bebasnya sama dengan nol
ΔG = 2 μi NO - μi N2 - μi O2 = 0

10.A.2 KONSEP TETAPAN KESETIMBANGAN


Perhatikan persamaan (10.14) didapatkan
G   vi (  i0  RT ln ai )
i

  vi  i0  RT  vi ln ai (10.14)
i i

Dengan G 0   vi  i0 , maka persamaan (10.14) menjadi


i

G  G 0  RT  ln aivi (10.15

Atau dapat juga dituliskan dengan


G  G 0  RT ln  aivi (10.16)
Tinjaulah suatu reaksi umum
aA + bB = cC + dD

95
Kimia Fisika berbasis proyek

dengan a,b,c, dan d masing-masing menyatakan koefisien zat A,B,C, dan D. Potensial
masing-masing komponen dinyatakan dengan
 A   A0  RT ln a A (10.17)

 B   B0  RT ln a B (10.18)

C   C0  RT ln aC (10.19)

 D   D0  RT ln a D (10.20)
Dengan mensubstitusikan Persamaan (10.17) s.d (10.18) ke dalam persamaan
(10.13) diperoleh persamaan
G  c C  d D  a A  b B

 c C0  cRT ln aC  d D0  dRT ln a D  a A0  aRT ln a A b B0  bRT ln a B

 c C0  d D0  (a A0  b B0 )  RT c ln aC  d ln a D  a ln a A  b ln a B 

aCc a Dd
 G  RT ln a b
0
(10.21)
a AaB
Perbandingan aktivitas masing-masing pereaksi disebut kuosien reaksi, diberi
symbol Q.
aCc a Dd
Q a b (10.22)
a AaB
Substitusi Persamaan (10.22) ke dalam Persamaan (10.21) didapat
G  G 0  RT ln Q (10.23)
Pada kesetimbangan nilai G  0 . Sehingga menjadi
 ac ad 
0  G 0  RT ln  Ca Db 
 (10.24)
 a AaB  stb
Atau
 ac ad 
G 0   RT ln  Ca Db 
 (10.25)
 a AaB  stb
Pada suhu tetap, kuosien pada persamaan (10.25) bernilai tetap. Besaran ini
disebut tetapan kesetimbangan termodinamika, K.
 aCc a Dd 
K   a b 
 (10.26)
 a AaB  stb
Persamaan (10.25) dapat dituliskan menjadi
G 0   RT ln K (10.27)

96
Sanjaya

10.A.3 TETAPAN KESETIMBANGAN Kp, Kx, dan Kc.


Untuk reaksi antara gas-gas ideal, ai  Pi , sehingga Persamaan (10.25) menjadi

 PCc PDd 
G   RT ln  a b
0

 (10.26)
 PA PB  stb

PCc PDd
Kuosien pada keadaan setimbang dinyatakan dengan Kp. Sehinggga untuk
PAa PBb
gas ideal
G 0   RT ln K P (10.27)
Untuk mengungkapkan tetapan kesetimbangan dalam bentuk fraksi mol, kita
gunakan hukum Dalton untuk gas, yakni
Pi  X iP
Dengan Pi : tekanan parsial komponen i
Xi : fraksi mol komponen i
P : tekanan total
Jika hubungan ini disubstitusikan ke dalam rumusan Kp maka diperoleh
 X C P c  X D P d
KP 
 X A P a  X B P b
X Cc X Dd c  d  a b
 a b P
XAXB

KP  K X P
i

Atau

KX  KPP  i
 
(10.28)

 i adalah jumlah koefisien stoikimetris ruas kanan dikurangi dengan jumlah

koefisien ruas kiri. Untuk gas ideal, KP tak bergantung pada tekanan. Berapapun
tekanannya, KP akan berharga tetap, tetapi KX bergantung pada tekanan, kecuali
 i  0. Hubungan antara KP dan KC dapat diperoleh dengan menggunakan
persamaan gas ideal
Pi = ni RT / V atau Pi = CiRT (10.29)
Dengan demikian maka

97
Kimia Fisika berbasis proyek

CC RT c C D RT d
KP 
C A RT a C B RT b
CCc C Dd
= ( RT ) c  d a b
C Aa C Bb

K P  K C RT  i

(10.30)
Dengan KC tetapan kesetimbangan dinyatakan dalam Konsentrasi molar. Dari
persamaan (10.30) KP akan sama dengan KC jika  i  0.

10.A.4 PERHITUNGAN TETAPAN KESETIMBANGAN


Tetapan kesetimbangan, K, dapat ditentukan melalui persamaan (10.27) jika G o
diketahui. Karena pentingnya G o pada penentuan K, maka pada bagian ini akan dibahas
terlebih dahulu mengenai G o .
G o reaksi biasanya dihitung dari energi Gibbs pembentukan standar, mengenai
G of , yaitu perubahan energi bebas Gibbs pada reaksi pembentukan 1 mol senyawa

dari unsur-unsurnya dengan semua pereaksi dan hasil reaksi pada keadaan standar.
Seperti halnya pada entalpi standar zat, energi Gibbs unsur-unsur pada
keadaannya yang paling stabil pada 25 oC dan 1 atm diberi harga nol. Misalnya
 O2 , g   0,  Br2 , l   0,  C, grafit   0,  H 2 , g   0
Untuk reaksi pembentukan CH4, dengan menggunakan persamaan reaksi
C (grafit) + 2H2 (g) → CH4 (g)
G of CH 4 , g    (CH 4 , g )   C, grafit   2 H 2 , g 

G of (CH 4 , g )   (CH 4 , g )

Jadi energi Gibbs pembentukan standar untuk setiap senyawa sama dengan energi
Gibbs molar standar senyawa tersebut.
Untuk reaksi umum
1 A1   2 A2   3 A3   4 A4

Greaksi
o
 3  Ao3   4  Ao4  1  Ao1   2  Ao2

Karena  io  G of .i , maka

G   3 G of . A3   4 G of . A4  1G of . A1   2 G of . A2

G   i G of .i (10.31)
i

98
Sanjaya

Harga G of senyawa dapat dilihat pada tabel besaran-besaran termodinamika.

Harga G of yang umum terdapat pada tabel besaran-besaran termodinamika

dinyatakan pada 25oC. jika ingin menghitung K dari G o pada suhu yang lain, maka

G o harus diketahui dan dinyatakan sebagai fungsi suhu :

G   RT ln K
GTo ditentukan dari persamaan Gibbs-Helmholtz, dan ∆HTo (pada persamaan Gibbs-
Helmholtz) ditentukan dari persamaan Kirchoff. Untuk lebih jelasnya kita tinjau
kembali reaksi umum berikut
1 A1   2 A2   3 A3   4 A4
Pada umumnya, kapasitas kalor pada tekanan tetap, Cp, untuk setiap zat dinyatakan
dengan C p.i  ai  bi T  ci T 2

Perbedaan kapasitas kalor antara hasil reaksi dengan pereaksi dapat dinyatakan dengan
: C p.i  ai  bi T  ci T 2

Dengan ai   i ai bi   i bi ci   i ci


  (H o

 
  C P  ai  (bi T )  (ci )T
o 2
(10.31)
 T P
Integral dari Persamaan (10.31) menghasilkan bentuk:

 dH
o

  ai  (bi )T  (ci )T 2 dT 
H To  H Io  (ai )T  12 (bi )T 2  13 (ci )T 3

H Io : tetapan integrasi, yang nilainya dapat dievaluasi dari entalpi pembentukan

standar, H of , biasanya pada 25oC.

H To   vi H of i.298  (ai )298  12 (bi )( 298) 2  13 (ci )( 298) 3

Harga H ofI .298 diperoleh dari tabel.

  G  Ho
Dari persamaan Gibbs-Helmholtz     2T
T  T P T

 G 
  H o ai T 1 bi T 2 1 ci T 3
 T    2I  2 3 (10.32)
 T  T T2 T2 T2
 
 P

99
Kimia Fisika berbasis proyek

Integrasi persamaan (10.32) menghasilkan


GTo H Io
  (ai ) ln T  12 (bi )T  16 (ci )T 2  G Io
T T
GTo  H Io  (ai )T ln T  12 (bi )T 2  16 (ci )T 3  GIoT (10.33)

G Io dapat dievaluasi dari G of , pada 25oC.

G Io 
1
T

GTo  H Io  (ai )T ln T  12 (bi )T 2  16 (ci )T 3 
G Io 
1
298
 Gi
o
f .298  H Io  (ai )( 298) ln 298  12 (bi )298   16 (ci )( 298) 3
2

Nilai G Io yang sudah diperoleh dimasukkan ke persamaan (10.33) untuk memperoleh

GTo . Persamaan ini dapat digunakan untuk menentukan G o pada suhu berapapun,

tergantung yang diinginkan.


Cara yang lebih mudah untuk menentukan G o adalah dengan menggunakan

Persamaan GT  H T  TST


H pada T tersebut dapat ditentukan melalui persamaan Kirchoff, yaitu
T
C P
H T  H 298 
298
 T
dT

S T dapat ditentukan melalui persamaan


T
C P
S T  S 298  
298
T
dT

Dengan demikian GTo pada satu suhu tertetnu, T, dapat ditentukan.


Jika ∆G°T sudah diketahui, maka dapat dihitung K pada suhu yang dinyatakan.

10. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

100
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

101
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
10.C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

102
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
10.D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

103
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….…
………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

11. PERGESERAN KESETIMBANGAN

11.A Bacalah dengan cermat uraian tentang Pergeseran Kesetimbangan

Untuk melihat secara langsung pengaruh suhu terhadap tetapan kesetimbangan,


kita mulai dari persamaan (11.1)
∆Go = - RT ln K (11.1)
Disusun ulang menjadi
G o
ln K   (11.2)
RT
Untuk mengetahui kebergantungan K terhadap T, maka persamaan (11.2) diturunkan
terhadap T pada tekanan tetap.
 G o 

d ln K 1 
  T  (11.3)
dT R  T 
  P

Dari persamaan Gibbs-Helmholtz :


 G o 
  H O
 T   2
 T  T
  P
Subtitusi persamaan terakhir ke dalam persamaan (11.3) menghasilkan :
d ln K H o
 (11.4)
dT RT 2

104
Sanjaya

Jika ∆Ho dianggap tetap (tak bergantung suhu), misalnya pada selang T yang kecil.
Maka integrasi dari persamaan (11.4) menghasilkan :
H o
ln K  
RT
1
Jika kita alurkan ln K terhadap akan diperoleh garis lurus dengan kemiringan
T
H o
 . Dengan demikian kita dapat menentukan kalor reaksi melalui pengukuran
R
tetapan kesetimbangan pada rentang suhu tertentu. Jika persamaan (11.4)
diintegrasikan antara dua suhu, T1 dan T2 dan dengan pengandaian ∆Ho bukan fungsi
suhu menghasilkan :

H o 1 1
ln K 2  ln K 1     
R  T2 T1 
Atau
K 2 H o  T2  T1 
ln    (11.5)
K1 R  T1T2 

Analisa persamaan (11.5) menunjukkan bahwa untuk reaksi yang berlangsung


secara endoterm (∆Ho > 0), jika T nya dinaikkan, maka harga K akan semakin besar,
dan jika T diturunkan maka harga K akan turun pula. Untuk reaksi eksoterm jika T
dinaikkan harga K akan mengecil dan jika T diturunkan, harga K akan semakin besar.
Dalam bentuk lain kita nyatakan bahwa kenaikan suhu akan mengeser kesetimbangan
ke arah zat dengan entalpi tinggi dan penurunan suhu akan menggeser kesetimbangan
ke arah entalpi rendah.

11.A.1 KESETIMBANGAN HETEROGEN


Kesetimbangan heterogen terjadi jika zat – zat yang terlibat dalam kesetimbangan
lebih dari satu fasa. Reaksi kimia yang melibatkan lebih dari satu fasa, rumusan untuk
tetapan kesetimbangannya sama saja, hanya saja perlu pengetahuan tambahan
mengenai aktivitas zat padat dan zat cair murni.
Kita tinjau penguraian termal kalsium karbonat dalam suatu tempat tertutup.
CaCO3 ( s)  CaO( s)  CO2 ( g )
Tetapan kesetimbangan termodinamikanya adalah

105
Kimia Fisika berbasis proyek

aCaO .aCO2
K (11.6)
aCaCO3

Berdasarkan konsensus, aktivitas padatan murni (dan cairan murni) pada keadaan
standarnya (yakni pada 1 atm) adalah sama dengan satu, jadi aCaO = 1 dan aCaCO3 =1.

Dengan demikian persamaan (11.6) menjadi K = f CO2 . Jika diasumsikan gas bersifat ideal

maka : Kp = pCO2 (11.7)

11.A.2 PERGESERAN KESETIMBANGAN


Pada bagian ini pembahasan akan dibatasi pada pengaruh perubahan dari beberapa
variabel keadaan terhadap posisi kesetimbangan dari reaksi gas-ideal. Kita akan
meninjau dampak pengaruh perubahan satu variabel termodinamika terhadap sistim
yang telah mencapai kesetimbangan.
Perubahan Suhu secara Isobar
Pengaruh perubahan suhu terhadap kesetimbangan dapat dilihat dari persamaan

d ln K P H O

dT RT 2

1
Karena d ln y = dy, maka persamaan di atas dapat ditulis
y

1 dK P H O
 (11.8)
K P dT RT 2

dK P H O
 KP (11.9)
dT RT 2

Karena KP dan RT2 bertanda positif, maka tanda dKP/dT tergantung pada tanda ΔHo.
Jika ΔHo positif, reaksi endoterm, maka dKP/dT positif. Kenaikan suhu (dT>0) akan
meningkatkan KP (dKP>0). Pada rumusan KP, tekanan parsial produk sebagai
pembilang, sehingga jika KP naik artinya terjadi peningkatan tekanan parsial produk
dan penurunan tekanan parsial reaktan. Karena Pi = XiP, dan P dibuat tetap, maka
perubahan fraksi mol sebanding dengan perubahan tekanan parsial. Jadi untuk reaksi
endoterm, peningkatan suhu pada tekanan tetap akan menggeser kesetimbangan ke
arah kanan (produk). Sebaliknya (masih untuk reaksi endoterm), jika terjadi penurunan
suhu (dT<0) maka akan terjadi pula penurunan KP berarti terjadi penurunan tekanan

106
Sanjaya

parsial produk pada keadaan kesetimbangan yang baru. Artinya penurunan suhu pada
reaksi endoterm akan menggeser kesetimbangan ke arah kiri, pereaksi.
Untuk reaksi eksoterm, ΔHo negatif, sehingga (dKP/dT) negatif dan kenaikan suhu
(dT>0) menyebabkan penurunan KP (dKP<0). Jadi pada reaksi eksoterm kenaikan suhu
akan menggeser kesetimbangan ke arah kiri (reaktan), sementara itu penurunan suhu
akan menggeser kesetimbangan ke arah produk (kanan). Dapat disimpulkan bahwa
pengaruh perubahan suhu (pada tekanan tetap) akan menyebabkan pergeseran
kesetimbangan yang cenderung untuk menetralkan/meniadakan/mengurangi dampak
dari pengaruh perubahan suhu tersebut. Misalnya untuk reaksi eksoterm, jika T
dinaikkan pada P tetap kesetimbangan akan bergeser sedemikian rupa untuk
mengurangi dampak dari kenaikan suhu tersebut, yakni ke arah sistim yang
membutuhkan kalor. Untuk reaksi maju yang bersifat eksoterm, maka kenaikan suhu
mengakibatkan pergeseran ke arah kiri yang akan mendinginkan sistim.
Perubahan Tekanan secara Isotermal
Jika volume pada sistim diubah secara isotermal, maka tekanan totalnya, P, dan
tekanan parsial masing-masing gas, Pi, juga berubah. Tetapi karena KP tak tergantung
pada P (KP merupakan fungsi dari T), maka perubahan ini tidak mempengaruhi nilai
KP. Nilai Kx, bergantung pada P (kecuali Συi = 0) melalui persamaan
KP = KxPΣυi

KP
KX = KPP-Συi atau K X  (11.10)
P i

Jadi untuk reaksi Συi > 0, kenaikan P secara isotermal atau akan menurunkan KX
dan menggeser kesetimbangan ke arah kiri, dan penurunan P secara isotermal akan
menaikkan KX dan menggeser kesetimbangan ke arah kanan. Untuk reaksi dengan Συi
< 0, kenaikan P secara isotermal akan menaikkan harga KX dan menggeser
kesetimbangan ke arah kanan, dan penurunan P secara isotermal akan menggeser
kesetimbangan ke arah kiri. Jika Συi = 0, perubahan tekanan secara isotermal tidak
mempengaruhi keadaan kesetimbangan. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa
perubahan tekanan secara isotermal akan mengakibatkan pergeseran kesetimbangan
yang cenderung untuk meniadakan/mengurangi dampak dari perubahan tekanan
tersebut. Jadi kenaikan tekanan akan menyebabkan sistim kesetimbangan bergeser ke
arah jumlah mol yang lebih kecil (yang mengakibatkan terjadinya penurunan tekanan).
Jika Συi > 0, jumlah mol reaktan lebih kecil daripada produk, maka kenaikan tekanan

107
Kimia Fisika berbasis proyek

akan menggeser kesetimbangan ke arah kiri, dan jika Συi < 0, (jumlah mol produk
lebih kecil daripada reaktan), maka kenaikan tekanan akan menggeser kesetimbangan
ke arah kanan.
Alternatif lain untuk melihat pengaruh perubahan tekanan terhadap keadaan
kesetimbangan adalah sebagai berikut. Kita tinjau reaksi dengan Συ positif, contohnya,
PB2
A 2B. Kita definisikan QP sebagai: QP  , dengan PA dan PB adalah
PA
tekanan parsial gas A dan B. jika sistim ada dalam kesetimbangan, QP = KP, dan jika
sistim tak setimbang QP ≠ KP. Jika kesetimbangan telah tercapai, kemudian kita
naikkan tekanannya dua kali dari semula pada T tetap (secara isotermal dengan
mengkompressi campuran). Nilai KP tak berubah (karena T tak berubah). Karena P =
Xi P, kenaikan tekanan P, dua kali dari semula akan menaikkan PA dan PB menjadi dua
kali dari nilai semula. Kenaikan ini menyebabkan pembilang naik menjadi empat kali
semula dan penyebut dua kali semula. Dengan demikian QP naik menjadi dua kali
semula. Sebelum tekanannya dinaikkan QP = KP (karena sistim ada dalam
ksesetimbangan). Tetapi setelah tekanan dinaikkan, QP juga naik dan melampaui nilai
KP. Sistim tak lagi ada dalam keadaan setimbang. Untuk mencapai keadaan
kesetimbangan lagi QP harus turun. QP turun jika kesetimbangan bergeser ke arah kiri,
yang mengakibatkan PB turun dan PA naik. Jadi kenaikan tekanan akan menggeser
reaksi kesetimbangan A 2B ke arah kiri, ke arah jumlah mol yang lebih kecil.
Penambahan Gas Inert secara Isokhor
Misalkan kita menambahkan gas inert pada campuran kesetimbangan pada T, V
tetap. Karena Pi = niRT/V, tekanan parsial masing-masing gas dalam reaksi tak
dipengaruhi oleh adanya penambahan gas inert. Akibatnya:
QP = ∏ Pii (11.11)
tak terpengaruh dan tetap sama dengan KP. Jadi penambahan gas inert pada T, V tetap
tidak menggeser kesetimbangan.
Penambahan gas Inert secara Isobar
Misalkan kita menambahkan gas inert pada campuran kesetimbangan, dengan P
dan T tetap. Untuk menjaga P tetap pada saat penambahan gas inert, maka V harus
naik. Karena Pi = niRT/V, maka kenaikan V akan menurunkan tekanan parsial masing-
masing gas dalam sistim kesetimbangan, Pi. Jika Συi ≠ 0 maka kuosien Persamaan
(11.11) akan dipengaruhi dan tidak lagi sama dengan KP dan kesetimbangan akan

108
Sanjaya

bergeser. Jika Συ positif, kenaikan volum akan menurunkan pembilang dari QP lebih
daripada (melampaui) penurunan penyebut, sehingga kesetimbangan akan bergeser ke
arah kanan sampai QP sama lagi dengan KP. Jika Συi negatif, kesetimbangan akan
bergeser ke kiri.
Penambahan Gas Reaktan
Pada reaksi A + B 2C + D, misalnya kita tambahkan A pada campuran
kesetimbangan A, B, C, dan D menjaga T dan V tetap. Karena Pi = niRT/V,
penambahan A ini akan meningkatkan PA tetapi tak mengubah tekanan parsial gas lain.
Karena PA muncul dalam penyebut dari kuosien (11.11) (ingat υA negatif),
penambahan A pada T, V tetap akan menyebabkan QP lebih kecil daripada KP. Dengan
demikian kesetimbangan akan bergeser ke arah kanan, untuk meningkatkan QP sampai
sama kembali dengan KP. Jadi penambahan A pada T, V tetap menggeser
kesetimbangan ke arah kanan, yakni dengan mengurangi A yang ditambahkan melalui
reaksi A dengan B membentuk C dan D. Sama halnya jika kita menambahkan produk
pada T, V tetap akan menggeser kesetimbangan ke kiri, dengan mengkonsumsi zat
yang ditambahkan.
Kesimpulan yang sama mungkin terpikirkan jika kita menambahkan reaktan pada
T dan P tetap. Hasil yang mengejutkan akan diperoleh untuk keadaan tertentu di mana
penambahan reaktan pada T , P tetap akan menggeser kesetimbangan ke arah zat yang
ditambahkan.
Perhatikan Contoh pada kesetimbangan gas
N2 + 3H2 = 2 NH3.
Misalkan kesetimbangan tercapai pada T dan P tertentu dengan KX = 8,33.
2
X NH 3
KX = 8,33 = .
X N 2 X H3 2

Jika jumlah n (N2) = 3,00 mol, dan n (NH3) = 1 mol ada pada T dan P tersebut,
maka QX = ∏i(Xi)υi, akan dapat dihitung.

 15 
2

35 15 
QX = 3
= 8,33. Karena QX = KX, sistim ada dalam kesetimbangan.

Apa yang terjadi jika kemudian ke dalam sistim tersebut pada T , P tetap kita
tambahkan 0,1 mol N2? Penambahan menyebabkan harga QX berubah.

109
Kimia Fisika berbasis proyek
2
 1 
QX =  5,1 = 8,39
3
 3,1  1 
 5,1 5,1
harga QX sekarang melampaui harga KX, dengan demikian kesetimbangan akan
bergeser ke kiri untuk mengurangi QX sampai menjadi 8,33, pergeseran ini akan
meningkatkan N2. Jadi penambahan N2 pada kondisi ini akan menggeser
kesetimbangan ke arah peningkatan N2. hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Meskipun peningkatan N2 akan meningkatkan X N 2 , tapi hal ini juga akan menurunkan

X H 2 (dan X NH 3 ). Dan fakta menunjukkan bahwa X H 2 berpangkat tiga pada penyebut

dari QX, sehingga penurunannya lebih besar daripada kenaikan X N 2 dan penurunan

X NH 3 . Sebagai akibatnya, QX meningkat. Jadi dalam hal ini penambahan N2 pada T , P

tetap mengakibatkan kesetimbangan bergeser ke arah pembentukan N2.

11. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

110
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
11.C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

111
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
11.D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

112
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

12. KRITERIA KESETIMBANGAN FASA


12.A. Bacalah dengan cermat uraian tentang Kriteria Kesetimbangan
Fasa

Fasa adalah bagian yang serba sama dari suatu sistim, yang dapat dipisahkan
secara mekanik; serba sama dalam hal komposisi kimia dan sifat – sifat fisika. Jadi
suatu sistim yang mengandung cairan dan uap masing – masing mempunyai bagian
daerah yang serbasama. Dalam fasa uap kerapatannya serba sama di semua bagian
pada uap tersebut. tetapi nilai kerapatannya berbeda dengan di fasa uap. Contoh
lainnya adalah air yang berisi pecahan – pecahan esmerupakan suatu sistim yang
terdiri atas dua fasa, yaitu fasa yang berwujud padat (es) dan fasa yang berwujud cair
(air).
Sistim yang hanya terdiri atas campuran yang berwujud gas saja hanya ada satu
fasa pada kesetimbangan sebab gas selalu bercampur secara homogen. Dalam sistim
yang hanya terdiri atas wujud cairan – cairan pada kesetimbangan bias terdapat satu
fasa atau lebih, tergantung pada kelarutannya. Padatan – padatan biasanya mempunyai
kelarutan yang lebih terbatasdan pada suatu sistim padat yang setimbang biasa terdapat
beberapa fasa padat yang berbeda.
Jumlah komponen dalam suatu sistim merupakan jumlah minimum dari spesi
yang secara kimia independent yang diperlukan untuk menyatakan komposisi setiap
fasa dalam sistim tersebut.

113
Kimia Fisika berbasis proyek

Cara praktis untuk menentukan jumlah komponen adalah dengan menentukan


jumlah total spesi kimia dalam sistim dikurangi dengan jumlah reaksi – reaksi
kesetimbangan yang berbeda yang dapat terjadi antara zat – zat yang ada dalam sistim
tersebut. Sebagai contoh kita tinjau sistim yang terdiri ats tiga spesi yakni PCl5, PCl3
dan Cl2. Sistim memang terdiri dari tiga spesi, tetapi hanya ada dua komponen karena
adanya kesetimbangan yang terjadi pada sistim tersebut :
PCl5  PCl3 + Cl2
Dari dua spesi di atas dapat dipilih dan ditentukan jumlah molnya masing – masing,
sedangkan jumlah mol spesi ketiga dapat ditentukan melalui keadaan kesetimbangan,
X PbCl 3 X Cl2
Kx =
X PCL 5

Sebagai akibatnya, hanya dua spesi yang secara kimia independent, spesi ketiga
tidak independent. Jadi hanya ada dua komponen untuk sistim di atas. Pada sistim lain
yaitu air- etanol, ada dua spesi. Jumlah komponennya juga ada karena tidak dikenal
kesetimbangan yang menghubungkan keduanya pada suhu biasa.
Untuk menguraikan keadaan kesetimbangan dari suatu sistim yang terdiri atas
beberapa fase dengan beberapa spesi kimia, kita dapat menentukan mol masing –
masing spesi dalam setiap fasa serta suhu (T) dan tekanan (P). Akan tetapi penentuan
mol tidak akan tidak dilakukan karena massa setiap fasa dalam sistim tidak menjadi
perhatian kita. Massa atau ukuran dari setiap fasa mempengaruhi pada kesetimbangan
fasa, karena kesetimbangan fasa ditentukan oleh kesamaan dalam potensial kimia
(akan dijelaskan secara rinci pada bagian lain), yang merupakan variabel intensif.
Sebagai contoh, dalam sistim dua fasa yang terdiri atas larutan AgBr dengan padatan
AgBr pada T dan P tertentu, kosentrasi kesetimbangan dari AgBr yang larut (dalam
larutan jenuh) tidak bergantung pada massa dari masing – masing fasa, jadi tidak
penting apakah terdapat sedikit atau banyak padatan AgBr atau sevolume besar
larutan, asal kedua fasa ada dalam keadaan kesetimbangan, konsentrasi kesetimbangan
dalam larutan tersebut mempunyai nilai tertentu pada T dan P tertentu. Jumlah variabel
intensif independent yang diperlukan untuk menyatakan keadaan suatu sistim disebut
derajat kebebasan dari sistim tersebut. Kita akan lihat nanti bahwa tak semua variabel
– variabel intensif independent.

12.A.1 KRITERIA KESETIMBANGAN FASA

114
Sanjaya

Telah diuraikan di bagian kesetimbangan kimia, perubahan energi Gibbs yang


disebabkan oleh perubahan suhu, tekanan, dan mol zat dinyatakan melalui persamaan
dG = -SdT + VdP +   dn
i
ii i (12.1)

ii potensial kimia, didefinisikan sebagai

 G 
ii =   (12.2)
 ni T , P , ni
merupakan besaran intensif karena merupakan turunan dari sifat ekstensif terhadap sifat
ekstensif lainnya. Oleh karena itu nilainya harus sama di semua tempat dalam satu sistim
pada keadaan kesetimbangan.
Kita tinjau suatu sistim di dua tempat bagian / bagian α dan β dengan potensial
kimia zat i masing – masing i dani . Andaikan terjadi pemindahan d dni mol zat I
dari fasa α ke fasa β pada suhu, tekanan, dan jumlah mol zat lainnya tetap, perubahan
energi Gibbs di kedua fasa tersebut dinyatakan dengan dGα = μiα dniα dan dGβ = μiβ dniβ.
Perubahan energi Gibbs total dari sistim adalah
dG = dGα + dGβ (12.3)
dG = μiα dniα + μiβ dniβ+ (12.4)
β α
Berdasarkan konversi materi : dni = - dni , oleh karena itu persamaan (12.4) menjadi
dG = (μiα - μiβ) dniα (12.5)
Jika pemindahan suatu zat tersebut berlangsung spontan harus disertai dengan penurunan
energi Gibbs
dG = (μiα - μiβ) dniα < 0 (12.6)
karena aliran/pemindahan I terjadi dari fasa α ke fasa β maka dniα bernilai negatif.
Dengan demikian , dari persamaan (12.6) diperoleh
μiα - μiβ > 0 atau μiα > μiβ (12.7)
Dengan kata lain, perpindahan I yang spontan akan terjadi dari fasa α ke fasa β, atau dari
fasa dengan potensial kimia besar ke fasa lain yang potensial kimianya lebih rendah.
Aliran atau perpindahan ini akan terus berlangsung sampai potensial kimia nya lebih
rendah. Aliran atau perpindahan ini akan terus berlangsung sampai potensial zat kimia i di
semua fasa dalam sistim menjadi sama. Secara matematis hal ini dapat dilihat dari
persamaan (12.5). Jika sistim telah mencapai kesetimbangan, maka persamaan (12.5)
menjadi
dG = (μiα - μiβ) dniα = 0 (12.8)

115
Kimia Fisika berbasis proyek

karena dniα ≠ 0, maka


μiα = μiβ (12.9)
Persamaan ini merupakan syarat kesetimbangan antara dua fasa untuk zat murni
pada suhu dan tekanan tertentu. Jadi pada kesetimbangan potensial kimia zat I di fasa α
sama dengan potensial kimia I di fasa β atau secara umum dapat dinyatakan bahwa pada
keadaan keseimbangan, potensial kimia setiap zat i harus sama di semua fasa.
Pada dasarnya, suatu sistim disebut setimbang secara termodinamika jika dipenuhi
kriteria kesetimbangan termal, kesetimbangan mekanik, dan kesetimbangan material.
Jika Tα > Tβ , panas akan mengalir spontan dari fasa α ke fasa β sampai Tα = Tβ .
Jika Pα > Pβ kerja akan “mengalir” spontan dari fasa α ke fasa β sampai Pα = Pβ
. Jika μiα > μiβ maka zat I akan mengalir spontan dari fasa α ke fasa β sampai μiα
= μiβ.
Fumgsi keadaan T menentukan ada tidaknya kesetimbangan termal antara fasa.
Fungsi keadaan P menentukan ada tidaknya kesetimbangan mekanik antar fasa. Fungsi
keadaan μ menentukan ada tidaknya kesetimbangan material antar fasa.

12.A.2 ATURAN FASA GIBBS


Jika suatu sistim mengandung satu atau lebih komponen dalam satu atau lebih fasa
pada keadaan kesetimbangan, ada satu hubungan umum yang penting yang dipenuhi
antara jumlah fasa (p), komponen (c), dan derajat kebebasan (ƒ).
Kita tinjau sistim dengan c komponen dan p fasa. Variabel pc ini tak semuanya
independent, karena ada hubungan tertentu di antara variabel tersebut. Yang pertama
adalah jumlah fraksi mol dalam setiap fasa harus sama dengan satu.
X 1 + X 2 + ……..+ X c = 1 (12.10)
Untuk setiap fasa, ada persamaan seperti pada persamaan (12.10). Jadi untuk p fasa ada
sejumlah p persamaan seperti itu. Yang kedua adalah karena sistim ada dalam
kesetimbangan seperti yang dinyatakan pada persamaan (12.9). Untuk setiap komponen
ada satu persamaan :
μiα = μiβ = μ 1  ..........  1p (12.11)
Karena persamaan (6.11) maka untuk sistim pada p fasa hanya mengandung p – 1
persamaaan, ada (p – 1) tanda sama dengan untuk setiap komponen pada fasa p fasa. Jadi
untuk c komponen ada c( p – 1) persamaan. Oleh karena itu jumlah total variabel fasa-
konsentrasi dikurangi jumlah syarat – syarat persamaan (6.10) dan (6.11) menghasilkan

116
Sanjaya

pc – p – c(p-1) = c – p
Dengan menambahkan 2 untuk T dan P, kita peroleh derajat kebebasan sistim
ƒ = c- p+2 (6.12)
Persamaan 6.12 dikenal dengan aturan fasa, dikemukan oleh J. Wilard Gibbs.

12.A.3 PERSAMAAN CLAPEYRON


Berdasarkan persamaan (12.9) dapat dilihat bahwa syarat kesetimbangan antara
dua fasa untuk Zat murni pada T dan P tertentu adalah

    (12.13)
Jika tekanan diubah menjadi P+dP, suhu kesetimbangan akan berubah menjadi T+dT
dan nilai dari masing-masing µ akan berubah menjadi µ+dµ . Jadi pada T+dT dan p+dP
syarat kesetimbangannya adalah

   d      d  (12.14)
Dengan mengurangkan persamaan (12.13) terhadap Persamaan (12.14) akan diperoleh

d   d  (12.15)
Berdasarkan persamaan Termodinamika fundamental, kita peroleh dµ secara eksplisit
dalam bentuk dP dan dT adalah sebagai berikut
   
d    S dT  V dP dan d    S dT  V dP
Substitusi keduanya pada persamaan (12.15) menghasilkan
   
 S dT  V dP   S dT  V dP
Penyusunan ulang persamaan tersebut menjadi
   
( S  S )dT  (V  V )dP (12.16)
Jika terjadi perubahan dari α  β maka
   
S  S  S dan V  V  V
Dengan demikian, dari persamaan (12.16) diperoleh
dP  S
 (12.17)
dT V
Untuk perubahan fasa pada kesetimbangan (bersifat reversibel),
H
S  , sehingga Persamaan (12.17) menjadi
T

117
Kimia Fisika berbasis proyek

dP  H
 (12.18)
dT TV
Persamaan (12.18) disebut dengan Persamaan Clapeyron.

12.A.4 PERSAMAAN CLAUSIUS-CLAPEYRON


Untuk kesetimbangan padat cair, Persamaan (12.18) mempunyai bentuk
 H fus
dP  dT (12.19)
TV fus

Sehingga
Tm`
 H fus dT
P2


P1
dP  
Tm V fus T
(12.20)

Jika  H fus dan V fus tidak bergantung pada T dan P , Persamaan (12.20) menjadi

 H fus Tm`
P2  P1  ln (6.21)
V fus Tm
`
Dengan Tm adalah titik leleh pada tekanan P1 dan T m titik leleh pada tekanan P2 .
`
Karena T m – Tm biasanya sangat kecil, maka logaritmanya dapat diperluas menjadi

Tm`  T  Tm`  Tm   T `  Tm  Tm`  Tm


ln  ln  m   ln 1  m
 


Tm  Tm   Tm  Tm

1 2 1 2 1 4
Untuk x << 1, ln(1  x)  x  x  x  x  .........
2 3 4
Dengan demikian Persamaan (12.12) menjadi
H T (12.22)
P 
fus

V fus Tm

Untuk kesetimbangan fasa terkondensasi, baik padat ataupun cair dengan uapnya
kita mempunyai
dp  S H
  (12.23)
dT V T (V g  V c )

Dengan  H merupakan kalor penguapan molar cairan atau kalor sublimasi molar dari

padatan dan V c adalah volum molar padatan atau cairan. Pada umumnya V g  V c  V g
RT
dan dengan mengasumsikan gas sebagai gas ideal , V g  , maka Persamaan (12.23)
p
menjadi

118
Sanjaya

dp  H P d ln p  H
 Atau  (6.24)
dT RT 2 dT RT 2
Persamaan (12.24) dikenal sebagai persamaan Clausius-Clapeyron. Jika  H tidak
bergantung pada suhu, maka integrasi persamaan tersebut menghasilkan

H
P2 T

 d ln P   RT 2
dT
P1 To

P H 1 1  H H
ln        (12.25)
Po R  T To  RT RTo

Dengan Po adalah tekanan uap pada To dan P tekanan uap pada T. Jika Po = 1 atm, maka
To adalah titik didih normal cairan (titik sublimasi normal dari padatan), dengan demikian
H H (12.26)
ln p  
RTo RT
1
Dari Persamaan (12.26) dapat dilihat bahwa jika ln P dialurkan terhadap akan
T
diperoleh kurva linier dengan kemiringan sama dengan H . Perpotongan terhadap

R

1
sumbu tegak pada = 0 menghasilkan  H . Jadi kemiringan dan perpotongan tadi dapat
T R

ditentukan baik  H maupun To . Kalor penguapan dan sublimasi seringkali ditentukan


melalui pengukuran tekanan uap zat tersebut sebagai fungsi suhu.

12. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

119
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
12. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

120
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
12. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

121
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

13. SISTIM DUA DAN TIGA KOMPONEN

13.A. Bacalah dengan cermat uraian tentang Sistim Dua Dan Tiga Komponen
13. A.1 SISTIM DUA KOMPONEN
Sistim dua komponen, biasa disebut sistim biner, memiliki jumlah komponen dua
(c=2), sehingga aturan fasanya ( = c-p+2) menjadi  = 4-p. Untuk sistim satu fasa
(p=1) derajat kebebasanya () sama dengan tiga. Jadi ada tiga variabel intensif
independen yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistim tersebut, yakni T, P,
dan fraksi mol.
Biasanya, satu dari ketiga variabel tersebut dibuat tetap, sehingga dua variabel
sisanya dapat digambarkan dalam diagram fasa dua dimensi. Variabel yang biasa
dipilih tetap adalah P atau T.
Perhatikan sistim dua komponen yang membentuk larutan ideal berikut ini, dan
diagram fasa yang ditinjau hanya bagian cair-uapnya saja.
Larutan ideal adalah larutan yang memenuhi Hukum Roult pada semua rentang
konsentrasi. Menurut hukum Roult, tekanan uap jenuh berbanding lurus dengan fraksi
molnya.
Pi = Xi Pio (13.1)
Dengan Pi menyatakan tekanan uap (jenuh) I diatas larutan pada suhu T, Xi
menyatakan fraksi mol i dalam larutan ideal, dan Pto menyatakan tekanan uap (jenuh)
pelarut murni i pada suhu T.
Pada suhu tertentu (tetap) kita dapat menggambarkan diagram fasa tekanan, P,
terhadap fraksi mol, X. Untuk itu marilah kita tinjau suatu larutan ideal yang terdiri

122
Sanjaya

atas cairan A dan B dengan komposisi tertentu yang ada dalam suatu silinder yang
dilengkapi piston dan dimasukkan dalam suatu penangas bersuhu tetap . mula-mula
kita atur tekanan luar pada piston cukup tinggi sehingga sistim seluruhnya ada dalam
keadaan cair (titik C pada gambar 13.1)

Gambar 13.1 Diagram Fasa P-x untuk larutan ideal pada T tetap
Setelah itu tekanannya diturunkan dibawah titik C. Pada suatu ketika akan dicapai
suatu tekanan yang menyebabkan cairan tepat mulai menguap (titik D). Dititik D,
cairan mempunyai komposisi yang sama dengan komposisi cairan semula, karena
cairan yang menguap masih sangat sedikit (tak hingga kecilnya). Komposisi uapnya
dapat dinyatakan dengan
PA
X A.V  (13.2a)
P
PB
X B.V  (13.2b)
P
Dengan mensubstitusikan persamaan (13.2) ke persamaan (13.1) diperoleh hubungan
antara fraksi mol uapnya dengan komposisi larutannya.
Po A
X A.V  X A. (13.3a)
P
PoB
X B.V  X B . (13.3b)
P
Dengan P = PA + PB, tekanan sistim.
Dari perbandingan persamaan (13.3) kita peroleh
o
X A.V X P
 A. A o (13.4)
X B.V X B. PB

Jika A lebih mudah menguap, maka PAo>PBo. Dengan demikian maka


X A.V X
 A.
X B.V X B .

123
Kimia Fisika berbasis proyek

Jadi uap diatas larutan lebih kaya akan zat A, yang lebih mudah menguap,
dibandingkan dengan cairanya.
Jika tekanan diturunkan lagi (secara isotermal) dibawah titik D, maka cairan yang
menguap akan lebih banyak lagi dan akhirnya cairan tepat habis menguap dititik F.
Dibawah F hanya terdapat uap saja. Setiap titik antara D dan F menyatakan adanya
cairan dan uapnya bersama-sama dalam kesetimbangan.
Eksperimen yang sama dapat diulang-ulang dengan komposisi awal yang berbeda-
beda. Hasil kurvanya seperti terlihat pada gambar (13.1). untuk setiap titik di garis  ,

cairan dengan komposisi X  tepat mulai menguap. Tekanan uap dari cairan ini adalah

P  PA  PB  X A. P o A  X B. P o B  X A. P o A  (1  X A. ) P o B


P  PB  ( P o A  PB ) X A.
o o
Atau (13.5)
Persamaan (13.5) merupakan persamaan garis lurus tekanan uap total, P, terhadap
X A. yang dimulai dari PBo untuk X A.  0 dan berakhir di PAo untuk X A.  1 .

Karena sepanjang garis  tersebut cairan baru mulai menguap, maka fraksi molnya
sama dengan fraksi mol dalam cairannya. Kurva sepanjang garis v zat cair tepat habis
menguap, sehingga X keseluruhan sama dengan fraksi mol dalam fasa uapnya, Xv. Jadi
garis v merupakan aluran P terhadap Xv. Untuk memperoleh P sebagai fungsi Xv, kita
dapat menyatakan dalam bentuk XA,V. Untuk itu X A. pada persamaan (13.5) diubah
menjadi XA,V. Dari persamaan (13.5) diperoleh
o
X A,V X A, PA
 (13.6)
1  X A,V (1  X A, ) PB
o

Penyelesaian untuk XA,  menghasilkan


o
AA,V PB
X A, (13.7)
X A,V ( PB  PA )  PA
o o o

Substitusi persamaan (13.7) kepersamaan (13.3) menghasilkan


o
PA P o B
P (13.8)
X A,V ( PB  PA )  PA
o o o

Persamaan (13.8) menyatakan hubungan antara P dan XA,V. Kurva yang


dihasilkan dari persamaan ini akan sesuai dengan garis v.
Perhatikan sekarang Perubahan keadaan sistim dengan penurunan tekanan secara
isotermal. Dalam sistim tertutup, maka komposisi sistim secara keseluruhan tetap pada
fraksi mol A sama dengan XA pada (gambar 13.2), proses ini dinyatakan oleh garis

124
Sanjaya

vertikal, dari titik C ke K. Dititik C sistim ada dalam keadaan cair, dan tetap cair ketika
tekanan diturunkan sampai dicapai titik D. Dititik D mulai muncul uap dengan
komposisi XA,1. uap yang muncul pertama kali ini lebih kaya dengan zat A (yang lebih
mudah menguap), dibandingkan dengan cairannya. Penurunan tekanan selanjutnya
akan mencapai titik E. Selama penurunan tekanan ini(dari PD ke PE) komposisi cair
bergerak sepanjang garis G-1. Dititik E, cairan mempunyai komposisi XA,3 dan uapnya
mempunyai komposisi XA,2. Kita lihat bahwa cairan terakhir yang tersisa lebih kaya
dengan zat yang lebih sukar menguap (zat B). Penurunan tekanan selanjutnya akan
masuk ke daerah uap.
Dari titik F ke titik K, praktis hanya terjadi ekspansi dari uap, dengan komposisi
uap yang sudah pasti sama dengan komposisi cairan semula, XA. Uap yang terbentuk
diatas cairan saat tekanan diturunkan, lebih kaya dengan zat yang lebih mudah
menguap. Ini merupakan dasar dari salah satu metoda pemisahan, yaitu destilasi secara
isotermal.

Gambar 13.2 Perubahan tekanan secara isotermal pada diagram


P-x cair-uap larutan ideal

Cara ini sangat bermanfaat untuk memisahkan campuran yang mudah terurai jika
didestilasi dengan cara biasa. Cara ini tidak bisa digunakan, kecuali jika cara-cara lain
tidak cocok.
Diagram fasa P-X cair-uap pada suhu tetap dari dua cairan yang
membentuk larutan ideal terdiri dari atas tiga daerah. Setiap titik yang ada diatas kurva
atas (kurva cairan) ada dalam keadaan cair dan titik yang ada didalam kurva bawah
(kurva uap) ada dalam keadaan uap. Setiap titik yang ada diantara kedua kurva
menyatakan keadaan sistim dimana cairan dan uapnya terdapat bersama-sama dalam
keadaan kesetimbangan. Daerah ini disebut sebagai daerah cair-uap. Jadi titik E pada

125
Kimia Fisika berbasis proyek

gambar (13.2) yang ada dalam daerah ini, terdapat didaerah dua fasa yakni fasa cairan
dengan komposisi H dan fasa uapnya dengan komposisi I, sementara komposisi
keseluruhan dititik E adalah XA. Garis horizontal HEI disebut dengan garis dasi.
Didaerah antara kurva cair dan kurva uap tidak dapat diperoleh fasa tunggal
(homogen), melainkan selalu berada dalam dua fasa, cair dan uapnya. Satu titik yang
ada dalam daerah dua fasa dengan komposisi keseluruhan tertentu mempunyai
komposisi uap dan cair yang ada diujung garis dasinya.
Di daerah dua fasa, sistim mempunyai derajat kebebasan =2-2+2=2. Karena T
nya tetap, maka  menjadi 1. Jadi pada suhu tertentu, cukup satu variabel dari P, XV,
X, yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistim. Sampai sejauh ini kita sudah
menggunakan XA,  atau XA,V untuk menyatakan keadaan sistim. Sebenarnya bisa saja
kita menggunakan XB,V atau XB,  untuk menyatakan keadaan sistim, karena kita
mempunyai hubungan XA,  +XB,  =1 dan XA,V dan XB,V =1. Jika kita pilih tekanan
untuk menyatakan keadaan sistim di daerah dua fasa, maka perpotongan garis
horizontal dikurva cair dan uapnya menghasilkan X  dan XV nya langsung. Jika
XA  yang dipilih untuk menyatakan keadaan sistim, maka perpotongan garis vertikal
(pada XA,  ) dengan kurva cair akan menghasilkan nilai P. Dari nilai P ini maka nilai
XA,V dapat segera diketahui.
Di daerah dua fasa, daerah (  +v) pada gambar (13.2), komposisi sistim secara
keseluruhan dapat bervariasi antara batas-batas XV dan Xl tergantung pada jumlah
relatif cairan dan uap yang ada. Jumlah relatif uap dan uap yang ada dapat dihitung
dengan aturan lever (lever-rule). Panjang segmen garis antara titik E dan H dalam
gambar (13.2) kita nyatakan dengan EH dan antara E dan I dinyatakan dengan EI ; nA,
 dan nA,V merupakan jumlah mol komponen A, masing-masing dalam fasa cair dan
uapnya; maka nA = (nA,  + nA,V). Jika n  dan nV merupakan jumlah mol total cairan
dan uap yang ada, n = n  +nV maka dari gambar (13.2) diperoleh
EH= X A  X A,3 dan EI = X A, 2  X A

n A n A,  n A,V nA
EH =  EI = 
n n nV n
Kalikan EH dengan n  dan EI dengan nV lalu dikurangkan
nA
( EH )n  ( E I )nV  (n  nV )  (n A,  n A,V )
n
( E H )n  ( E I )nV  (n A  n A )  0

126
Sanjaya

Jadi
n (EI )
( E H )n  ( E I )nV atau  (13.9)
nV ( E H )
Persamaan (13.9) disebut dengan aturan lever. Jika titik E lebih dekat ke garis
cair (titik H), sistim mengandung cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah uapnya. Jika titik E lebih dekat ke garis uap (ke titik I), jumlah cairan yang ada
relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah uap yang ada. Dan jika titik E
berimpit dengan titik H, maka EH nol dan nV harus sama dengan nol, jadi hanya
terdapat cairan saja. Penurunan aturan lever di atas dapat diterapkan untuk setiap
sistim dua komponen dua fasa, tidak hanya kesetimbangan uap-cair saja. Jadi jika ada
dua fasa  dan , n dan n adalah jumlah total mol dalam fasa  dan  dan   dan  
merupakan panjang garis dari suatu titik (didaerah dua fasa) ke garis fasa  dan fasa ,
maka analog dengan persamaan (13.9) kita peroleh
n   = n   (13.10)
Kadang-kadang, dalam diagram fasa digunakan (sebagai absis) fraksi berat atau persen
berat (bukan XA). Dalam keadaan seperti ini, aturan lever menjadi
m   = m   (13.11)
dengan m dan m masing-masing adalah masssa dari fasa  dan .
Diagram suhu-komposisi
Diagram fasa yang diuraikan pada bagian sebelumnya, gambar (13.2) merupakan
diagram tekanan – komposisi pada suhu tetap. Kita dapat pula menggambarkan
diagram fasa pada tekanan tetap dengan mengalurkan T terhadap X. Diagram T-X
pada P tetap untuk larutan ideal yang bersesuaian dengan gambar (13.2) diperlihatkan
pada gambar (13.3).
TB0 dan TA0 masing-masing adalah titik didih zat B murni dan A murni.
Perhatikan bahwa daerah cair uap pada gambar (13.3) mempunyai kemiringan yang
terbalik dengan dearah cair-uap gambar (13.2). Hal ini sesuai dengan fakta bahwa
cairan A mempunyai tekanan uap yang lebih tinggi, artinya zat tersebut mempunyai
titik didih yang lebih rendah (lebih mudah mendidih) dibandingkan dengan B.

127
Kimia Fisika berbasis proyek

Gambar 13.3 Diagram fasa suhu terhadap komposisi fasa air uap untuk larutan ideal

Perhatikan bahwa daerah cair pada gambar (13.3) ada di bagian bawah diagram
(berbeda dengan gambar (13.2) dimana daerah cair ada di bagian atas diagram).Hal
ini disebabkan oleh karena pada tekanan tetap, cairan lebih stabil pada suhu rendah
dan pada suhu tinggi, uapnya yang lebih stabil. Kurva yang lebih bawah pada
Gambar (13.3) menyatakan komposisi cairan sedangkan kurva yang lebih atas
menyatakan komposisi uapnya. Sebetulnya daerah cair atau uap dalam diagram fasa
tidak perlu dihafalkan. Kita hanya perlu sedikit berpikir untuk menyatakan lokasi
daerah cair atau uap tersebut. Cairan lebih stabil pada suhu rendah, artinya ada di
bagian bawah diagram T-X, dan juga cairan lebih stabil pada tekanan tinggi, bagian
atas diagram P-X. Hal yang sejalan dapat diterapkan untuk menentukan daerah bagi
fasa uap pada diagram T-X maupun P-X.
Bagaimanakah cara menggambarkan kedua kurva pada gambar (13.3)? Kita dapat
mulai dari PA0 (T) dan PB0 (T), tekanan uap dari A dan B murni sebagai fungsi dari
suhu. Hal ini bisa diperoleh melalui percobaan langsung atau dari persamaan
Clausius-Clapeyron. Jika tekanan tetap pada P, maka P=PA + PB, dengan PA dan PB
masing-masing adalah tekanan parsial A dan B dalam uapnya. Dari hukum Raoult
diperoleh :
P  X A l P 0 A (T )  (1 X A.l ) P 0 B (T ) (13.12)

Atau
P  P 0 B (T )
X A.t 
P 0 A (T )  P 0 B (T )
Karena PA0 dan PB0 diketahui sebagai fungsi suhu, maka kita dapat menggunakan
persamaan (13.12) untuk mendapatkan XA.l pada berbagai T. Dengan demikian dapat
kita peroleh kurva cairan (kurva bawah). Untuk mendapatkan kurva uap, kita gunakan
hubungan :

128
Sanjaya

PA X A.l P 0 A
X Av   (13.13)
P P
Substitusi persamaan (13.12) kedalam persamaan (13.13) menghasilkan :
P 0 A (T ) ( P  P 0 B (T ) )
X Av  (13.14)
P P 0 A (T )  P 0 B (T )
Persamaan (13.14) merupakan persamaan XA,V sebagai fungsi dari T. Dengan
demikian dapat diperoleh kurva uap (kurva atas).
Prinsip-prinsip yang digunakan ketika membahas diagram P-X dapat diterapkan
dengan cara yang sama untuk diagram T-X. Pada P tetap untuk sistim dua komponen,
dari aturan fasa diperoleh derajat kebebasan, f=3-p. Di daerah satu fasa, f=2, ada dua
variabel yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistim. Sementara di daerah dua
fasa, f=1, hanya satu variabel saja yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistim.
Setiap titik dalam diagram T-X menggambarkan satu keadaan sistim. Titik yang ada di
bagian paling atas dari diagram T-X adalah keadaan gas dan titik yang terletak di
bagian paling bawah adalah keadaan cair. Titik diantara kurva cair dan uap (daerah
tengah) menggambarkan keadaan dimana cairan dan uapnya terdapat bersama-sama
dalam kesetimbangan. Garis dasi di darah cair-uap menghubungkan komposisi cair
dan uap yang ada bersama-sama pada suhu tertentu. Aturan level juga dapat digunakan
pada diagram T-X.
Jika kita panaskan sistim dengan komposisi XA secara isobar, uap mulai muncul
di titik L. Peningkatan suhu selanjutnya akan menghasilkan uap yang lebih banyak.
Cairan akan semakin kaya dengan zat yang lebih sukar menguap, Zat B dengan titik
didih yang lebih tinggi. Ketika titik M dicapai, tepat semua cairan berubah menjadi
uapnya.
Uap pertama yang muncul ketika larutan dengan komposisi X A dididihkan
terdapat pada titik Q. Komposisi dari uap ini adalah XA,1. Jika uap ini dikeluarkan dari
sistim dan didinginkan, akan diperoleh cairan dengan komposisi XA,1. Pemanasan
cairan ini sampai mendidih akan menghasilkan uap awal dengan komposisi XA,2 (titik
R). Pengulangan proses ini secara berkelanjutan pada akhirnya akan menghasilkan
distilat yang semakin kaya dengan komponen cairan yang lebih mudah menguap
sementara residunya semakin kaya dengan cairan yang lebih sulit menguap, disamping
sederet fraksi dengan komposisi diantara keduanya.

129
Kimia Fisika berbasis proyek

13.A. 2 SISTIM DUA KOMPONEN CAIR UAP TAK IDEAL


Diagram fasa cair-uap untuk sistim tak ideal diperoleh melalui pengukuran
tekanan dan komposisi uapnya dalam kesetimbangan dengan cairan yang diketahui
komposisinya. Jika larutan sedikit tak ideal, kurvanya mirip dengan larutan ideal dan
tidak ada perubahan yang signifikan. Akan tetapi jika larutan menyimpang cukup
besar dari keadaan ideal, akan diperoleh maksimum atau minimum pada kurva P-Xt.
Untuk larutan yang mengalami deviasi positif dari hukum Raoult akan diperoleh
maksimum pada kurva P-Xl Gambar (13.4).

Gambar 12.4 Diagram cair uap dengan tekanan campuran maksimum

Campuran yang ideal atau menyimpang sedikit dari keidealan dapat dipisahkan ke
dalam komponen-komponennya melalui distilasi bertingkat. Tetapi jika penyimpangan
besar sampai diperoleh kurva maksimum atau minimum dalam kurva P-X atau kurva
minimum dan maksimum dalam kurva T-X, maka campuran seperti ini tak dapat
dipisahkan kedalam komponen-komponennya melalui distilasi bertingkat.
Campuran dengan komposisi cairan XA pada Gambar (13.4.b) jika dididihkan
akan mempunyai komposisi uap yang sama dengan cairannya. Karena penguapan tidak
mengubah komposisi cairannya, keseluruhan sampel cair akan mendidih pada suhu
konstan. Larutan yang mempunyai titik didih konstan seperti ini disebut azeotrop. Titik
didih larutan azeotrop mirip dengan suatu zat murni dan sangat berbeda dengan
kebanyakan larutan dari dua cairan yang mendidih pada rentang suhu tertentu.
Distilasi bertingkat dari larutan yang membentuk azeotrop akan menghasilkan
pemisahan larutan menghasilkan A murni dan azeotrop (jika XA > X‟A) atau B murni
dan azeotrop jika XA < X‟A.
Azeotrop yang paling dikenal adalah azeotrop yang terbentuk antara air dan
etanol. Pada 1 atm, komposisi azeotrop ini adalah 96% berat etanol, dengan titik didih
78,20C, dibawah titik didih air dan etanol. Komposisi azeotrop bergantung pada

130
Sanjaya

tekanan . Jadi perubahan tekanan akan menghasilkan perubahan komposisi azeotrop,


dan juga titik didihnya.
Untuk larutan yang tidak membentuk azeotrop, seperti pada Gambar (13.3), uap
yang berada dalam kesetimbangan dengan cairannya selalu lebih kaya dengan
komponen bertitik didih lebih rendah (lebih mudah menguap). Akan tetapi jika
terbentuk azeotrop dengan titik didih minimum, seperti yang dapat dilihat pada gambar
(13.4), untuk cairan dengan komposisi tetrentu (Xt > X‟A), uapnya lebih kaya dengan
komponen bertitik didih lebih tinggi (lebih sukar menguap).
Untuk penyimpangan negatif yang cukup besar dari hukum Raoult akan diperoleh
minimum pada kurva P-XA, dan maksimum pada kurva T-X dengan azeotrop bertitik
didih maksimum (Gambar 13.5 a dan b). Jika penyimpangan positif dari keidealan
cukup besar, kedua cairan satu sama lain dapat saling larut (misibel) sebagian.

Gambar 13.5 Diagram cair-uap dengan tekanan campuran minimum

13.A. 3 Sistim Dua Komponen Cair-Cair


Dua cairan dikatakan misibel sebagian jika A larut dalam B dalam jumlah yang
terbatas, dan demikian pula dengan B, larut dalam A dalam jumlah yang terbatas.
Bentuk yang paling umum dari diagram fasa T-X cair-cair pada tekanan tetap,
biasanya 1 atm, dapat dilihat pada gambar (13.6).

131
Kimia Fisika berbasis proyek

Gambar 13.6 Diagram fasa T-X cair-cair untuk dua cairan yang misibel sebagian

Diagram ini dapat diperoleh secara ekspreimen dengan menambahkan suatu zat
cair kedalam cairan murni lain pada tekanan tertentu dengan variasi suhu. Sebagai
contoh kita mulai dari cairan B murni yang secara bertahap ditambahkan sedikit demi
sedikit cairan A pada suhu tetap T1. Sistim dimulai dari titik C (murni zat B) dan
bergerak kearah kanan secara horizontal sesuai denan penambahan zat A. Dari titik C
ke titik D diperoleh satu fasa, artinya A yang ditambahkan larut dalam B. Di titik D
diperoleh kelarutan maksimum cairan A dalam cairan B pada suhu T1. Penambahan A
selanjutnya akan menghasilkan sistim dua fasa (dua lapisan), yakni lapisan pertama
(L1 larutan jenuh A dalam B dengan komposisi XA, 1 dan lapisan kedua (L2) larutan
jenuh B dalam A dengan komposisi XA,2. Kedua lapisan ini disebut larutan konyugat,
terdapat bersama-sama di daerah antara D dan F. Komposisi keseluruhan ada diantara
titik D dan F. Di titik F komposisi keseluruhan adalah XA,3. Jumlah relatif kedua fasa
dalam kestimbangan ditentukan dengan aturan lever. Di E, lapisan pertama lebih
banyak dari lapisan kedua. Penambahan A selanjutnya akan mengubah komposisi
keseluruhan semakin ke kanan, sementara komposisi kedua lapisan akan tetap XA,1 dan
XA,2. Perbedaan akibat penambahan A secara terus menerus terletak pada jumlah
relatif lapisan pertama dan kedua. Semakin ke kanan jumlah relatif lapisan pertama
akan berkurang sedangkan lapisan kedua akan bertambah. Di titik F,A yang
ditambahkan cukup untuk melarutkan semua B dalam A membentuk suatu larutan
jenuh B dalam A. Dengan demikian sistim di F menjadi satu fasa. Dari F ke G,
penambahan A hanya merupakan pengenceran larutan B dalam A. Untuk mencapai
titik G diperlukan penambahan jumlah A yang tak terhingga banyaknya, atau bisa saja
melakukan percobaan mulai dari A murni pada suhu T1, titik G, lalu dilakukan
penambahan B sedikit sedikit sampai dicapai titik F dan seterusnya.
Jika percobaan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi akan diperoleh batas
kelarutan yang berbeda. Semakin tinggi suhu, kelarutan masing-masing komponen
satu sama lain meningkat, sehingga daerah dua fasa semakin menyempit. Kurva
kelarutan pada akhirnya bertemu di satu titik pada suhu konsolut atas, atau disebut
juga suhu kelarutan kritis, TC. Di atas TC cairan saling melarut sempurna dalam
berbagai komposisi. Contoh sistim yang mengikuti kurva seperti ini adalah sistim air
fenol dengan t C = 65,850 C.

132
Sanjaya

Ada juga pasangan cairan yang kelarutannya bertambah dengan turunnnya suhu.
Untuk sistim seperti ini diperoleh suhu konsolut bawah. Contoh sistim seperti ini
adalah air–trietilamina. Diagram fasanya dapat dilihat pada gambar (13.7 a). Suhu
konsolut bawah air-trietilatina adalah 18,50 C.
Ditemukan juga sistim yang mempunyai suhu kelarutan kritis atas dan bawah
sekaligus, meskipun sangat jarang, contohnya adalah sistim nikotin-air yang diagram
fasanya dapat dilihat pada gambar (13.7 b). Suhu konsolut atasnya sekitar 2100C dan
suhu konsolut bawahnya sekitar 610C.
Aturan fasa untuk suatu sistim pada tekanan tetap adalah f=c-p+1. Untuk sistim
dua komponen f=3-p. Di daerah dua fas, f=1, hanya diperlukan satu variabel saja yang
diperlukan untuk menyatakan keadaan sistim. Jika variabel yang dipilih adalah suhu,
maka titik potong garis dasi dengan kurva menghasilkan komposisi kedua larutan
konyugat. Sama halnya jika variabel yang dipilih adalah komposisi salah satu larutan
konyugat, maka dapat ditentukan suhu dan komposisi larutan konyugat lainnya. Untuk
daerah satu fasa, f=2, ada dua variabel yang diperlukan untuk menyatakan keadaan
sistim. Jadi suhu dan komposisi larutan keduanya harus dinyatakan dengan jelas.

Gambar 13.7 Diagram fasa T-x cair-cair


13.A.4 Sistim Dua Komponen Padat-Cair
Ada banyak ragam jenis kesetimbangan dua komponen padat-cair. Beberapa
diantaranya akan dibahas dibagian ini.
Kedua komponen misibel dalam fasa cair dan immisibel dalam fasa padat.
Jenis kesetimbangan ini dimiliki oleh dua zat yang dapat saling larut dalam
keadaan cairannya, sementara di fasa padatnya terdapat komponen-komponen
murninya (tidak membentuk larutan padat/tidak saling melarutkan). Jika larutan cair A
dan B diturunkan suhunya, pada suatu saat akan muncul padatan. Suhunya disebut
sebagai titik beku larutan. Pada suhu ini terdapat dua fasa, cair dan padat. Oleh karena
itu f = c – p+2=2-2+2=2, sistim mempunyai dua derajat kebebasan. Biasanya proses

133
Kimia Fisika berbasis proyek

dilakukan pada tekanan tetap, sehingga sistim menjadi univarian, jadi cukup suhu saja
atau komposisi saja yang diperlukan untuk menyatakan keadaan sistim (misalnya :
dipilih variabel komposisi saja maka titik bekunya sudah tertentu); setiap larutan
mempunyai titik beku tertentu. Jika titik beku sederet larutan cair dengan berbagai
komposisi ditentukan lalu dialurkan terhadap komposisi cairannya akan diperoleh
kurva CE dan DE seperti yang terlihat pada Gambar (13.8).

Gambar 13.8 Diagram fasa untuk cairan misibel dan padatan immisibel

Titik C dan D merupakan titik beku A murni dan B murni. Penambahan B


terhadap A akan menurunkan titik bekunya sepanjang garis CE, begitu pula
penambahan A terhadap B akan menurunkan titik beku sepanjang garis DE. Jika
larutan yang kaya akan A, yakni larutan dengan komposisi antara A dan Xe, maka
akan terpisah zat padat A, sementara larutan yang kaya akan B yakni larutan dengan
komposisi antara Xe dan B, didinginkan akan terbentuk zat pada B. Jadi kurva CE dan
DE dapat dipandang sebagai kondisi suhu dimana larutan (cair) pada berbagai
komposisi ada dalam keadaan kesetimbangan dengan padatan A (untuk kurva CE) dan
dengan padatan B (untuk kurva DE). Di titik E kedua kurva bertemu, sehingga baik
padatan A maupun B keduanya ada dalam kesetimbangan dengan larutannya. Titik E
merupakan suhu beku terendah dari setiap campuran cair A dan B, yang juga
merupakan titik leleh terendah dari setiap campuran cair A dan B. Oleh karena itu titik
E disebut titik eutetic (Yunani : mudah meleleh), dan merupakan suhu terendah bagi
keberadaan fasa cair.
Dari uraian diatas dapat kita nyatakan bahwa daerah diatas kurva CED merupakan
daerah cair, hanya fasa cair yang ada, karena suhunya diatas titik leleh setiap
campuran. Derajat kebebasan di daerah ini, f = c – p+2=2-1+2=3, tapi karena
tekanannya sudah tertentu maka f = 2, jadi perlu dinyatakan suhu dan komposisi

134
Sanjaya

larutannya untuk menyatakan keadaan sistim. Dibawah ini kurva FEG, hanya terdapat
fasa padat. Didaerah ini dua fasa padat, yakni A murni dan B murni. Menurut aturan
fasa, sistimnya pada tekanan tetap adalah sistim univarian. Karena komposisi setiap
fasa sudah tertentu, yakni zat murni masing – masing, maka variabelnya hanya suhu.
Daerah CEF merupakan daerah dua fasa, yakni fasa padat A murni, dan fasa cair.
Daerah DEG juga dua fasa, fasa padat B dan fasa cair.
Sekarang kita secara lebih terinci apa yang terjadi pada proses pendinginan secara
isobar dari larutan A dan B dengan komposisi XA. Kita mulai dari titik H lalu turun
secara vertical sampai di titik S. Garis HIJKS disebut garis isopleth, yakni garis
dengan komposisi tetap. Di titik H, campuran (larutan) A dan B ada dalam keadaan
cair. ketika suhu mencapai T1, padatan B mulai membeku. Ketika B membeku, nilai XA
dalam larutan (cair) akan meningkat, dan titik bekunya akan terus diturunkan. Pada
suhu T2, terdapat kesetimbangan antara padatan B (XB =1) dan larutan dengan
komposisi yang dinyatakan titik M, yakni X”A. Seperti telah dibahas dibagian
sebelumnya, garis MJN merupakan garis dasi. Berdasarkan aturan lever maka nB, S

(nA,l + nBl) = MJ / JN,dengan nB, sejumlah mol padatan B yang berkesetimbangan


dengan larutan (cair) yang terdiri atas nA,l mol A dan nB, l mol B. Di titik I, nB,S = 0.
Penurunan suhu sepanjang garis IJK mengakibatkan jarak horizontal terhadap IME
meningkat, artinya terjadi peningkatan padatan B dengan berkurangnya suhu. Pada
suhu T3, suhu eutectic, diperoleh titik K. Di titik K, larutan mempunyai komposisi Xe
(titik E), dan A maupun B keduanya membeku. Jumlah relatif A dan B yang
membeku bergantung pada komposisi eutectic dari larutan Xe. Keseluruhan larutan
yang ada akan membeku pada suhu T3 tanpa mengalami perubahan komposisi lagi. Di
titik K ada tiga fasa dalam kesetimbangan, yakni padatan A, padatan B dan larutan.
Derajat kebebasan untuk tiga fasa : f=2-3+2=1, karena tekanan sudah tertentu maka tak
ada derajat kebebasan sistim invarian, suhu harus tetap konstan di T3 sampai semua
larutan membeku dan jumlah fasa berkurang menjadi 2. Di bawah T3 penurunan suhu
hanya mendinginkan campuran padatan A dan padatan B.
Jika prosesnya dibalik dan dimulai dari titik S (padatan A dan padatan B), cairan
pertama yang terbentuk akan mempunyai komposisi Xe. Campuran padatan tersebut
akan meleleh pada rentang suhu T3 sampai T1. Titik leleh yang tajam merupakan salah
satu tes yang biasa digunakan orang kimia organik untuk menguji kemurnian suatu
senyawa. Jika titik lelehnya ada dalam rentang suhu tertentu, artinya zat yang diuji

135
Kimia Fisika berbasis proyek

merupakan campuran, bukan merupakan senyawa murni. Campuran padat dengan


komposisi eutiktik akan meleleh seluruhnya pada satu suhu (T3). Demikian pula
larutan A dan B dengan komposisi eutektik akan membeku seluruhnya pada suhu T3
menghasilkan campuran eutektik padatan A dan B. Oleh karena itu dulu pernah
muncul anggapan yang salah yang menduga bahwa sistim eutiktik adalah suatu
senyawa, padahal bukan. Pengujian miskroskopis memperlihatkan bahwa padatan
eutiktik terdiri atas campuran kristal A dan kristal B.
Sekarang kita tinjau proses isotermal pada suatu suhu tertentu, T4 yakni sepanjang
garis horizontal RUVWXY. Titik R menyatakan zat padat A murni pada suhu T4.
Sejumlah zat B ditambahkan pada A hingga komposisinya sampai di titik U. Titik U
ini terletak di daerah 2 fasa, yakni fasa padat A murni dan larutan (cair) dengan
komposisi V. Semua B yang ditambahkan akan meleleh jauh di bawah titik lelehnya
dan lelehan B akan melarutkan sebagian A sampai komposisi cairannya ada di V. Dari
aturan lever dapat diperoleh jumlah relatif cairan yang ada di titik U cukup kecil. Pada
penambahan B selanjutnya B akan terus meleleh dan melarutkan lebih banyak bagi A,
untuk membentuk larutan V, jadi titik bergerak dari U ke V. Ketika titik V dicapai, B
yang telah ditambahkan cukup untuk melarutkan semua padatan A semula
membentuk larutan jenuh A dalam B. Penambahan B selanjutnya hanya akan
mengencerkan larutan dan titik keadaan bergerak melalui daerah cair dan V ke W. Di
W larutannya jenuh dengan B. Penambahan B selanjutnya tidak mengubah komposisi
larutannya, zat padatan B yang ditambahkan tetap sebagai padatannya.
Sistim dengan diagram fasa seperti yang terlihat pada Gambar (13.8) disebut
sistim eutetik sederhana. Contoh sistim seperti ini adalah Sn-Pb, Si-Al, KCl-AgCl,
benzena-naftalena, Bi-Cd dan sebagainya.

Metoda Percobaan
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menentukan diagram fase melalui
percobaan adalah dengan analisa termal, melalui cara ini suatu campuran dengan
komposisi yang diketahui dipanaskan sampai pada suhu yang cukup tinggi sehingga
terbentuk cairan yang homogen. Lalu campuran cairan tersebut didinginkan dengan
kecepatan yang teratur dan suhu sistim diukur sebagai fungsi dari waktu. Percobaan
yang sama di ulang untuk beberapa cairan dengan komposisi yang berbeda –beda
untuk memperoleh satu set kurva pendinginan.Variabel waktu, t, kira – kira sebanding
dengan jumlah kalor Q yang dikeluarkan sistim, sehingga kemiringan dT/dt dari kurva
136
Sanjaya

pendinginan kira –kira berbanding terbalik dengan kapasitas kalor sistim,Cp = dQ/dT.
Kurva pendinginan untuk sistim eutektik sederhana (Gambar 13.8), diperlihatkan pada
gambar ( 13.9 ).
Jika B cair murni didinginkan ( kurva 1 ), suhu pada titik beku B, TBo konstan
sampai semua sampel membeku. Kapasitas kalor sistim B (s) + B ( l) pada TBo adalah
tak hingga. Adanya sedikit penurunan dibawah titik beku A disebabkan oleh
“supercooling”. Sesudah semua sampel membeku, suhu turun ketika B didinginkan,
kurva 2 adalah untuk campuran cair dengan komposisi H pada gambar ( 13.9 ).

Gambar 12.9. Kurva pendinginan

Ketika B mulai membeku di T1, pada kurva pendinginan terlihat adanya penurunan
dalam kemiringannya, perubahan kemiringan ini disebabkan adanya kapasitas kalor
sistim B ( s ) + larutan cair lebih besar daripada sistim yang hanya mengandung larutan
cair saja, karena sebagian kalor dikeluarkan pada perubahan cairan B menjadi
padatannya, ketika sistim mencapai suhu eutektiknya, semua cairan yang tersisa
membeku pada suhu konstan dan kurva kemiringan menjadi horizontal.

Kedua komponen membentuk senyawa dengan titik leleh kongruen


Jika komponen A dan B membentuk suatu senyawa padat AB, dengan fase cairnya
misibel, sementara fase padatnya immisibel maka diagram kesetimbangan padat –
cairnya akan mengikuti gambar ( 13.10 ). Gambar (13.10 ) akan lebih mudah dipahami
dengan membayangkan bahwa diagram tersebut terdiri atas dua diagram eutektik
sederhana yang berdampingan antara A – AB dan AB –B.

137
Kimia Fisika berbasis proyek

Gambar 13.10 Diagram fasa padat cair dengan senyawa bertitik leleh kongruen

Disebelah kiri garis DD‟ merupakan gambaran dari kesetimbangan fase dua komponen
A dan AB, sementara sebelah kanan garis DD‟ merupakan gambaran kesetimbangan
fase AB dan B. Larutan cair dibagian atas diagram merupakan campuran cair A, B,
dan AB, jika larutan ini didinginkan akan terpisah padatan A, B dan AB tergantung
pada komposisi larutannya. Saat mencapai salah satu dari dua suhu eutektik, barulah
akan dimulai muncul padatan kedua. Dititik D, fase cair dan padatannya memiliki
komposisi yang sama, sehingga D dianggap sebagai titik lelehnya senyawa AB. Jadi
senyawa AB dikatakan memiliki titik leleh yang kongruen, tidak ada perubahan
komposisi pada dan cairannya.
Jika dua komponen membentuk lebih dari satu senyawa diagram fasenya akan
memiliki kurva yang mirip dengan gambar ( 13.10 ). Jika senyawa yang terbentuk ada
n senyawa, maka diagram fase padat – cairnya dapat dipandang terdiri atas ( n + 1 )
diagram fase eutektik sederhana yang diletakkan secara berdampingan. Sebagai contoh
diagram fase untuk pembentukan dua macam senyawa A2B dan AB2 dari dua
komponen A dan B diperlihatkan pada gambar ( 13.11) dan contoh lainnya adalah
sistim air – feriklorida seperti yang terlihat pada gambar.

Gambar 13.11. Diagram fasa padat-cair dua komponen yang membentuk


dua senyawa bertitik leleh kongruen

Kedua komponen membentuk senyawa dengan titik leleh inkongruen

138
Sanjaya

Pada sistim seperti yang terlihat dalam gambar (13.10 ), senyawa yang terbentuk
memiliki titik leleh yang lebih tinggi dari kedua komponennya. Pada situasi seperti ini
selalu diperoleh bentuk diagram fase seperti gambar (13.10), ada dua titik eutektik
dalam diagram. Akan tetapi jika titik leleh senyawa ada dibawah salah satu konstituen
penyusunnya muncul dua kemungkinan, kemungkinan yang pertama akan diperoleh
diagram fase seperti yang terdapat pada gambar ( 13.12 ). Masing –masing bagian dari
diagram merupakan diagram eutektik sederhana seperti gambar (13.9) kemungkinan
yang kedua digambarkan dengan sistim kalium – natrium seperti yang terlihat pada
gambar (13.13). Jika senyawa padat murni, Na2K, dinaikkan suhunya, titik keadaan
bergerak sepanjang garis AB, di B terbentuk cairan dengan komposisi C, karena cairan
ini akan lebih kaya dengan kalium dibandingkan senyawa semula, maka terdapat
sebagian natrium padat yang tetap tidak meleleh, jadi pada pelelehan terjadi reaksi
disosiasi.

Gambar 13.12.a Sistem H2O – Fe2Cl6 Gambar 13.12.b Sistem dengan titik
dengan titik leleh senyawa leleh senyawa yang
yang kongruen inkongruen

Reaksi ini disebut reaksi peritektik atau reaksi fase, senyawanya Na2K, dikatakan
meleleh secara inkongruen, karena lelehannya memiliki komposisi yang berbeda
dengan senyawanya. Karena dititik B ini terdapat tiga fase ,yakni padatan Na2K,
padatan Na dan cairan, maka derajat kebebasannya f = 0. Sistim invarian. Meskipun
ada kalor mengalir kedalam sistim suhunya akan tetap sama,yakni dalam hal ini 7 oC,
sampai semua senyawa padat meleleh. Lalu suhu akan naik kembali. Titik keadaan
akan bergerak sepanjang garis BEF dan sistim terdiri atas natrium padat dan larutan.
Dititik F natrium padat tepat habis meleleh dan diatas F sistim hanya terdiri atas satu
fase cair.
Penurunan suhu larutan dengan komposisi G membalik perubahan diatas. Di F
mulai muncul natrium padatan, penurunan lebih lanjut menyebabkan jumlah natrium

139
Kimia Fisika berbasis proyek

padat bertambah dan komposisi cairan bergerak sepanjang FC. Di B terdapat cairan
dengan komposisi C bersama –sama dengan padatan natrium dan padatan Na2K.
Reaksi terjadi sampai cairan dan natrium padat keduanya bereaksi secara simultan,
sehingga ketika titik keadaan bergerak sepanjang BA hanya ada Na2K padat.
Jika cairan dengan komposisi I didinginkan natrium padat mulai muncul di J, dan
komposisi cairan bergerak sepanjang JC ketika kristal natrium terbentuk makin
banyak. Pada titik K terbentuk Na2K padat karena reaksi peritektik.
K(l) + 2 Na (s) ---- Na2K(s)
Jumlah natrium pada komposisi I tidak cukup untuk mengubah semua cairan C
menjadi senyawanya. Karena itu kristal natrium yang ada akan bereaksi semuanya
akan tetapi C (l) masih bersisa, setelah natrium padat habis suhu akan turun, Na2K
mengkristal dan komposisi cairan bergerak sepanjang CM. Di L, garis dasi MLN
menunjukkan bahwa Na2K, titik N terdapat bersama – sama dengan cairan M, ketika
titik 0 dicapai cairan memiliki komposisi eutektik P. Sistim invarian sampai cairan
habis membentuk kalium padat dan Na2K padat.
Jika sistim dengan komposisi Q didinginkan natrium padat mulai muncul di R,
pendinginan selanjutnya menyebabkan natrium padat tambah banyak dan komposisi
cairan bergerak sepanjang garis RC. Dititik S muncul padatan Na2K hasil reaksi
peritektik. Cairan yang ada bereaksi semua dengan Na padat karena komposisi asal (Q)
lebih kaya akan Na dibandingkan dengan Na2K, maka pada reaksi peritektik berikut
Na(s) + C (l) -------- Na2K(s)
Na padat tidak habis bereaksi, tetapi C (l) habis bereaksi dan titik keadaan turun ke
titik T dengan penurunan suhu sehingga di T terdapat campuran padat Na2K dan
natrium.

Kedua komponen membentuk larutan padat


Ada pasangan zat tertentu yang dapat membentuk larutan padatan. Dalam larutan
padat A dan B tidak ada kristal A ataupun B. Larutan nikel dan tembaga adalah salah
satu contohnya. Kedua zat yakni nikel dan tembaga dapat saling melarut dalam semua
komposisi difase padatnya. Diagram fase sistim tembaga nikel dapat dilihat pada
gambar ( 13.13 ). Kurva pada gambar ( 13.13a) merupakan kurva cair dan kurva
bawahnya merupakan kurva padat, Interpretasi diagram ini sama dengan interpretasi
diagram cair – uap. Selain diagram seperti yang terdapat pada gambar (13.13.a),
dikenal pula sistim biner yang membentuk larutan padat dengan titik leleh maksimum

140
Sanjaya

maupun minimum, lihat gambar ( 13.13.b). Diagram fasenya mirip dengan kurva cair
– uap pada sistim yang membentuk azetrop. Akan tetapi campuran dengan kurva titik
leleh maksimum lebih jarang ditemukan.

Gambar 13.13.a. Diagram fasa Gambar 13.13.b. Larutan padat dengan


tembaga-nikel titik leleh minimum

Kedua komponen misibel dalam fasa cair dan misibel sebagian dalam fasa padat
Seringkali ditemukan dua zat yang dapat saling larut dalam berbagai komposisi
pada fase cair, sementara pada fase padat kedua zat saling melarutkan hanya dalam
batas-batas tertentu saja. Jadi pada batas – batas konsentrasi tertentu dapat diperoleh
dua larutan padat konjugat. Gejala ini mirip dengan larutan cair yang misibel sebagian.
Padatan A dapat larut dalam sejumlah padatan B yang dapat larut dalam sejumlah
tertentu padatan A. Tetapi jika konsentrasi – konsentrasi ini dilampaui akan diperoleh
dua fase padat, masing-masing larutan padatan A dalam B dan larutan padatan B
dalam padatan A. Diagram fase yang paling umum untuk sistim seperti ini dilihat pada
gambar (13.14).

Gambar 13.14 Diagram fasa padat-cair; misibel dalam fasa cair dan misibel
sebagian dalam fasa padat

141
Kimia Fisika berbasis proyek

Jika larutan cair dengan komposisi R didinginkan, dititik S mulai terpisah fase
padat, yang dalam hal ini disebut sebagai fase  , yakni larutan padatan B dalam A.
Komposisi larutan padatan ini dinyatakan dengan X, diujung garis dasi SX.
Pendinginan selanjutnya mengakibatkan jumlah B dalam larutan padat bertambah.
Dititik T, larutan cair memiliki komposisi Z dan larutan padat memiliki komposisi Y.
Perbandingan jumlah larutan pdat dan cair dinyatakan oleh perbandingan garis TZ/TY.
Dititik Y dapat dilihat bahwa jumlah B dalam larutan padat tersebut lebih banyak
dibandingkan dalam larutan padat dititik X. Dititik U lelehannya memiliki komposisi
eutektik dan kedua fase padat sekarang membeku, yakni fase  ( padatan A yang jenuh
dengan B ) dan fase  ( padatan B yang jenuh dengan A ). Di titik ini terdapat tiga
fase,dua fase padat dan satu fase cair, dengan demikian derajat kebebasan pada P tetap
adalah f = c-p+1 = 2-3+1=0, jadi sistim invarian. Pendinginan lebih lanjut sampai di V
diperoleh dua larutan padat bersama – sama, yakni: padatan  dengan komposisi M
dan padatan  dengan komposisi N.
Suatu kesulitan yang muncul adalah difusi molekul,atom atau ion melalui
padatan sangat rendah, dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai
kesetimbangan dalam fase padat. Dititik T, padatan yang berkestimbangan dengan
lelehannya memiliki komposisi Y, sementara padatan yang pertama muncul memiliki
komposisi X. Jadi sistim perlu dibiarkan dititik T untuk waktu yang lama sebelum fase
padat menjadi homogen dengan komposisi Y semua. Dalam membicarakan diagram –
diagram ini kita asumsikan kesetimbangan telah dicapai dan mengesampingkan
kesulitan percobaannya.
Kalau kita bandingkan titik eutektik pada gambar ( 13.14 ) dengan gambar ( 13.8 )
dapat dilihat bahwa pada titik eutektik gambar ( 13.8 ) cairannya bekesetimbangan
dengan fase padatan murni A dan B, sementara pada gambar (13.14) fase padat yang
berkesetimbangan dengan cairannya bukan zat murninya melainkan larutan padat yang
dinyatakan dengan titik O dan P. Dapat kita lihat bahwa sistim dengan kurva seperti
pada gambar (13.14) sebenarnya merupakan kurva antara gambar (13.8 ) (fase
padatnya immisibel ) dan gambar 13.13.b (larutan padat yang memiliki titik leleh
minimum). Jika padatan dalam gambar (13.14) kita bayangkan menjadi semakin dan
semakin misibel, titik O dan P akan semakin mendekat dan pada akhirnya akan
bertemu disatu titik, dan kurvanya akan sama dengan gambar (13.13.b).Sebaliknya jika
padat semakin kurang misibel, maka titik O dan P akan semakin menjauh dan pada

142
Sanjaya

akhirnya akan berimpit masing-masing dengan A murni dan B murni seperti yang
terlihat pada gambar (13.8 ).
Contoh sistim yang mempunyai kurva seperti pada gambar (13.14) adalah sistim
emas-nikel, bismut-timbal, kadmium-timbal, perak klorida - tembaga (I) klorida dan
sebagainya. Ada pula sistim padat-cair yang membentuk larutan padat, mempunyai
kurva yang berbeda dengan (13.14), seperti yang terlihat pada gambar ( 13.15 )

Gambar 13.15 Diagram fasa padat-cair dengan titik peritektik

Kurva ini dapat kita bayangkan terbentuk dari kurva kelarutan padat-padat yang
misibel sebagaian (mirip dengan kurva kelarutan cair-cair pada gambar 13.14 dan
kurva larutan padat kontinu seperti gambar 13.13a).
Jika padatan  dengan komposisi F dipanaskan, maka padatan tersebut akan mulai
meleleh dititik G membentuk campuran dua fasa yakni padatan  dan larutan cair
dengan komposisi awal N. Ketika dicapai titik H, sisa dari fasa  mencair membentuk
larutan cair dengan komposisi M dan padatan fasa  dengan komposisi R.
(s) (s) + larutan cair
Pada transisi ini, fasa yang ada 3, yakni fasa , , dan cairan; dengan derajat
kebebasan  = 2-3+2=1, tapi karena P tetap maka sistim mempunyai derajat kebebasan
0, dan transisi dari  menjadi  dan cairan harus terjadi pada suhu tertentu (disebut
suhu peritektik atau suhu transisi). Pemanasan selanjutnya sesudah keadaan transisi H
mengakibatkan sistim masuk kearah  dan larutan cair pada akhirnya kedaerah satu
fasa, larutan cair.

13.A.5 SISTIM TIGA KOMPONEN


Untuk sistim tiga komponen, derajat kebebasan,  = 3-p+2=5-p, ada 4 derajat
kebebasan. Tak mungkin menyatakan sistim seperti ini dalam bentuk grafik yang

143
Kimia Fisika berbasis proyek

lengkap dalam tiga dimensi, apalagi dalam dua dimensi. Oleh karena itu biasanya
sistim dinyatakan pada suhu dan tekanan tetap, dan derajat kebebasanya menjadi=3-
p; jadi derajat kebebasanya paling banyak dua, dan dapat dinyatakan dalam suatu
bidang. Pada suhu dan tekanan tetap, variabel yang dapat digunakan untuk menyatakan
keadaan sistim tunggal, yakni XA, XB, XC yang dihubungkan melalui XA+XB+XC = 1.
komposisi salah satu komponen sudah tertentu jika dua komponen lainya diketahui.
Untuk menyatakan dalam suatu grafik, Gibbs dan Rozenboom menggunakan suatu
segitiga samasisi. Titik A, B, dan C pada setiap sudut segitiga masing-masing
menyatakan 100%A, 100%B, dan 100%C (gambar 13.16). setiap titik dalam segitiga
tersebut jika dihubungkan secara tegak lurus kesisi-sisinya akan diperoleh
penjumlahan ketiga garis ini selalu konstan, sama dengan tinggi segitiga tersebut, h.
Pada gambar (13.16), DE+ DF +DG = h dalam hal ini tinggi segitiga dinyatakan
dalam 100 satuan, sehingga panjang garis DE, DF, dan DG masing – masing sama
dengan persentase dari A, B, dan C (bisa dalam persen mol atau dalam persen berat),
jadi setiap komposisi dari sistim dapat dinyatakan oleh suatu titik didalam segitiga atau
pada segitiga tersebut.

Gambar 13.16. Sistem koordinat segitiga yang digunakan


dalam diagram fasa terner

Untuk memudahkan pada gambar (13.16) digambarkan garis –garis yang sejajar
dengan sisi segitiga dengan rentang jarak yang sama. Pada suatu garis yang sejajar
dengan AB komposisi C tetap. Titik H yang ada pada gambar menyatakan 25%A, 50%
B, dan 25%C. Sepanjang garis AB persentase C nol, artinya setiap titik pada AB sesuai
dengan sistim biner A dan B.
Untuk sistim tiga komoponen ini,pembahasan dibatasi hanya pada sistim terner
cair – cair saja. Salah satu contoh sisitem ini adalah aseton – air – dietileter (“eter”)

144
Sanjaya

pada 1 atm dan 300C. Pada keadaan ini air dan aseton misibel, demikian pula eter dan
aseton misibel, akan tetapi air dan eter misibel sebagian. Diagram fase sistim ini dapat
dilihat pada gambar (13.17).

Gambar 13.17. Diagram fasa cair-cair system aseton-air-eter


pada 30 oC dan 1 atm koordinat merupakan persen mol

Daerah diatas kurva CFKHD merupakan daerah satu fase, setiap titik yang
ada dibawah kurva menyatakan adanya dua fase cair dalam kesetimbangan. Garis –
garis yang ada dalam daerah ini merupakan garis dasi yang ujungnya menyatakan
komposisi kedua fase. Berbeda halnya dengan sistim biner yang garis dasinya
horizontal, garis dasi pada sistim terner ini tidak seperti itu.
Kedudukan garis dasi ditentukan melalui analisis kimia dari setiap fase.Pada gambar
(13.17), sistim dengan komposisi keseluruhan G terdiri atas dua fase, yakni fase  ,
eter yang larut dalam air dengan komposisi F dan fase  , air yang larut dalam eter
dengan komposisi H. Kemiringan garis dasi FGH menunjukkan bahwa aseton dalam
fase  lebih banyak daripada fase  .
Titik K adalah titik batas yang didekati oelh garis dasi dimana kedua fase dalam
kesetimbangan menjadi semakin dan semakin mirip. Titik K disebut dengan „plait
point”, dan kurva CFKHD disebut dengan kurva “binodal”. Jika ada dua pasang cairan
yang misibel sebagian, misalnya pasangan A – B dan B – C, maka kurva binodalnya
akan muncul seperti pada gambar (13.18.a). Pada suhu yang lebih rendah, kedua kurva
binodal pada gambar (13.18.a) bisa overlap. Jika overlapnya sedemikian rupa sehingga
plait pointnya saling bergabung satu sama lain, maka daerah dua fase menjadi berubah
seperti pada gambar (13.18.b)

145
Kimia Fisika berbasis proyek

Gambar 13.18 Dua pasang cairan yang misibel sebagian

Jika kurva binodal tak bertemu di plait point, diagramnya memiliki bentuk seperti terlihat
pada gambar (13.18.c). Setiap titik dalam segitiga kecil ABC menyatakan keadaan sistim
dimana tiga lapisan cair yang memilikikomposisi A,B,dan C terdapat bersama –sama.

13. B. BUAT RANGKUMAN DARI MATERI


Rangkumlah materi di atas. Tulislah hasil rangkuman anda di bawah ini.
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

146
Sanjaya

…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
13. C. DISKUSIKAN RANGKUMAN MATERI DALAM KELOMPOK
Diskusikanlah hasil rangkuman anda dalam diskusi kelompok. Tulis hasil diskusi kelompok.
di bawah ini ………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

147
Kimia Fisika berbasis proyek
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
13. D. SIMPULKAN HASIL DISKUSI KELOMPOK
Simpulkanlah hasil diskusi kelompok untuk menemukan inti dari materi kuliah ini. Hasil
diskusi tulislah di bawah ini : …………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………….

148
Sanjaya

149

Anda mungkin juga menyukai