Anda di halaman 1dari 27

A.

TINJAUAN KASUS

1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2013).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan
langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan
kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2013).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Sjamsuhidayat, 2010).

2. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau
luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.Penyebab patah tulang
paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila
tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2012:627).
Menurut Carpenito (2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka
dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2012:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
a. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
b. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat kejadian kekerasan.
c. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal seperti kongenital,
peradangan, neuplastik dan metabolic.

3. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat dibagi menjadi:
a. Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan
biasanya megalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b. Fraktur tidak komplit (inkomplit) adalah patah yang hanya terjadi
pada sebagian dari garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup (closed) adalah hilangnya atau terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar atau bila jaringan kulit yang
berada diatasnya/ sekitar patah tulang masih utuh.
d. Fraktur terbuka (open/compound) adalah hilangnya atau
terputusnya jaringan tulang dimana fragmen-fragmen tulang
pernah atau sedang berhubungan dengan dunia luar. Fraktur
terbuka dapat dibagi atas tiga derajat, yaitu :
1) Derajat I
a) Luka < 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka
remuk
c) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kontinuitif
ringan
d) Kontaminasi minimal
2) Derajat II
a) Laserasi > 1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse
c) Fraktur kontinuitif sedang
d) Kontaminasi sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi.
Fraktur derajat III terbagi atas:
a) IIIA : Fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak
b) IIIB : Fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak
terdapat pelepasan lapisan periosteum, fraktur
kontinuitif
c) IIIC : Trauma pada arteri yang membutuhkan perbaikan
agar bagian distal dapat diperthankan, terjadi kerusakan
jaringan lunak hebat
4. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel- sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan
yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut
syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom
compartment. (Brunner & Suddarth, 2002)

5. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:
a. Deformitas (perubahan struktur dan bentuk) disebabkan
oleh ketergantungan fungsional otot pada kesetabilan otot.
b. Bengkak atau penumpukan cairan/darah karena kerusakan
pembuluh darah, berasal dari proses vasodilatasi, eksudasi
plasma dan adanya peningkatan leukosit pada jaringan di sekitar
tulang.
c. Spasme otot karena tingkat kecacatan, kekuatan otot yang
sering disebabkan karena tulang menekan otot.
d. Nyeri karena kerusakan jaringan dan perubahan struktur yang
meningkat karena penekanan sisi-sisi fraktur dan pergerakan bagian
fraktur.
e. Kurangnya sensasi yang dapat terjadi karena adanya gangguan
saraf, dimana saraf ini dapat terjepit atau terputus oleh fragmen
tulang.
f. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan
tulang, nyeri atau spasme otot.
g. Pergerakan abnorrmal.
h. Krepitasi, sering terjadi karena pergerakan bagian fraktur
sehingga menyebabkan kerusakan jaringan sekitarnya.

6. Komplikasi

Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam


beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48
jam atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan
fungsi ekstremitas permanen jika tidak ditangani segera. Adapun
beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:

a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan
darah eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan
yang rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan
vertebra karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat
terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma,
khususnya pada fraktur femur pelvis.
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera
remuk dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-
30 tahun. Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam
darah karna tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau
karna katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan
memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam
aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk
emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok
otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera,
gambaran khasnya berupa hipoksia, takipnea, takikardi dan pireksia.
c. Sindrom Kompertemen
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan
tekanan interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Peningkatan tekanan intra
kompartemen akan mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan
tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi gangguan sirkulasi dan fungsi
jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut terisi oleh otot, saraf
dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta otot-otot
individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen
ditandai dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut
nadi yang hilang. Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di
anggota gerak dan paling sering disebabkan oleh trauma, terutama
mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai atas.
d. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia
tulang yang berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini
sering dijumpai pada kaput femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid,
os. Lunatum, dan os. Talus (Suratun, 2008).
e. Atropi Otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran
normal. Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu sel-
sel parenkim yang menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien
fraktur, atrofi terjadi akibat otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga
metabolisme sel otot, aliran darah tidak adekuat ke jaringan otot (Suratun,
dkk, 2008).

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnosik meliputi :
a. Foto polos Umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP
dan lateral, untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
b. Pemeriksaan radiologi lainnya Sesuai indikasi dapat dilakukan
pemeriksaan berikut, antara lain : radioisotope scanning tulang,
tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk memperlihatkan
fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah Ht mungkin meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi
fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
e. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
Menurut Doenges dalam Jitowiyono (2010:21). Beberapa pemeriksaan
yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
a. Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi/luasnya fraktur/trauma

b. Scan tulang, scan CT/MRI: memperlihatkan fraktur, juga dapat


digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

d. Hitung darah lengkap: HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi)


atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur) perdarahan
bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel.
e. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.

f. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,


transfusi multipel, atau cidera hati. Golongan darah, dilakukan
sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang
bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.

8. Penatalaksanaan Medis
Tindakan penanganan fraktur dibedakan berdasarkan bentuk dan lokasi
serta usia.

Berikut adalah tindakan pertolongan awal pada penderita fraktur :

a. Kenali ciri awal patah tulang memperhatikan riwayat trauma yang


terjadi karena benturan, terjatuh atau tertimpa benda keras yang
menjadi alasan kuat pasien mengalami fraktur.
b. Jika ditemukan luka yang terbuka, bersihkan dengan antiseptik dan
bersihkan perdarahan dengan cara dibebat atau diperban.
c. Lakukan reposisi (pengembalian tulang ke posisi semula) tetapi hal
ini tidak boleh dilakukan secara paksa dan sebaiknya dilakukan oleh
para ahli dengan cara operasi oleh ahli bedah untuk mengembalikan
tulang pada posisi semula.
d. Pertahankan daerah patah tulang dengan menggunakan bidai atau
papan dari kedua posisi tulang yang patah untuk menyangga agar
posisi tetap stabil.
e. Berikan analgetik untuk mengaurangi rasa nyeri pada sekitar
perlukaan.

f. Beri perawatan pada perlukaan fraktur baik pre operasi maupun post
operasi.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi patahan


tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu
selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Penatalaksanaan
yang dilakukan adalah :
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh
bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam
(golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan :
pembersihan luka, exici, hecting situasi, antibiotik.
Ada bebearapa prinsipnya yaitu :

1) Harus ditegakkan dan ditangani dahulu akibat trauma yang


membahayakan jiwa airway, breathing, circulation.
2) Semua patah tulang terbuka adalah kasus gawat darurat yang
memerlukan penanganan segera yang meliputi pembidaian,
menghentikan perdarahan dengan perban tekan, menghentikan
perdarahan besar dengan klem.
3) Pemberian antibiotika.

4) Debridement dan irigasi sempurna.

5) Stabilisasi.

6) Penutup luka.

7) Rehabilitasi.
8) Life saving
Semua penderita patah tulang terbuka harus di ingat sebagai
penderita dengan kemungkinan besar mengalami cidera
ditempat lain yang serius. Hal ini perlu ditekankan mengingat
bahwa untuk terjadinya patah tulang diperlukan suatu gaya
yang cukup kuat yang sering kali tidak hanya berakibat total,
tetapi berakibat multi organ. Untuk life saving prinsip dasar
yaitu : airway, breath and circulation.
9) Semua patah tulang terbuka dalam kasus gawat darurat.
Dengan terbukanya barier jaringan lunak maka patah tulang
tersebut terancam untuk terjadinya infeksi seperti kita ketahui
bahwa periode 6 jam sejak patah tulang tebuka luka yang
terjadi masih dalam stadium kontaminsi (golden periode) dan
setelah waktu tersebut luka berubah menjadi luka infeksi. Oleh
karena itu penanganan patuah tulang terbuka harus dilakukan
sebelum golden periode terlampaui agar sasaran akhir
penanganan patah tulang terbuka, tercapai walaupun ditinjau
dari segi prioritas penanganannya. Tulang secara primer
menempati urutan prioritas ke 6. Sasaran akhir di maksud
adalah mencegah sepsis, penyembuhan tulang, pulihnya fungsi.
10) Pemberian antibiotika
Mikroba yang ada dalam luka patah tulang terbuka sangat
bervariasi tergantung dimana patah tulang ini terjadi.
Pemberian antibiotika yang tepat sukar untuk ditentukan hany
saja sebagai pemikiran dasar. Sebaliklnya antibiotika dengan
spektrum luas untuk kuman gram positif maupun negatif.

11) Debridemen dan irigasi


Debridemen untuk membuang semua jaringan mati pada darah
patah terbuka baik berupa benda asing maupun jaringan lokal
yang mati. Irigasi untuk mengurangi kepadatan kuman dengan
cara mencuci luka dengan larutan fisiologis dalam jumlah
banyak baik dengan tekanan maupun tanpa tekanan.
12) Stabilisasi.
Untuk penyembuhan luka dan tulang sangat diperlukan
stabilisasi fragmen tulang, cara stabilisasi tulang tergantung
pada derajat patah tulang terbukanya dan fasilitas yang ada.
Pada derajat 1 dan 2 dapat dipertimbangkan pemasangan
fiksasi dalam secara primer. Untuk derajat 3 dianjurkan
pemasangan fiksasi luar. Stabilisasi ini harus sempurna agar
dapat segera dilakukan langkah awal dari rahabilitasi penderita.
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi
fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasfanatomis.
3) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu
dengan cara reduksi terbuka diikuti fiksasi eksternal (open
reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal
adalah memungkinkan stabilisasi fraktur sekaligus menilai
jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.
Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian
antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan
radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa
latihan-latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga
tujuan utama penanganan fraktur bisa tercapai, yakni union
(penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara
anatomis (penampakan fisik organ anggota gerak; baik,
proporsional), dan sembuh secara fungsional (tidak ada
kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan).
4) ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan
internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur. Fungsi
ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini
berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur
tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
5) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi
fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang
benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna
meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik
gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan
untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
6) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala
upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak.
Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan.
Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri,
perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
2. Asuhan Keperawatan Teoritis
A. Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama,
bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan,pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa
medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan
lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
1. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
2. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
4. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
5. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan,
apakahbertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan
sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan
kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan
bisa diketahui luka kecelakaan yang lain .
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit- penyakit tertentu seperti kanker tulang
dan penyakit paget’s yang menyebabkan raktur patologis yang
sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes
dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut
maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik.
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Gambaran Umum
1. Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
a. Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b. Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan,
sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan
baik fungsi maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a. Sistem Integumen: Terdapat erytema, suhu sekitar
daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri
tekan.
b. Kepala: Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik,
simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c. Leher: Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada
penonjolan, reflek menelan ada.
d. Muka: Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada
perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi,
simetris, tak oedema.
e. Mata: Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
f. Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
g. Hidung: Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan
cuping hidung.
h. Mulut dan Faring: Tak ada pembesaran tonsil, gusi
tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
i. Thoraks: Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan
dada simetris.
j. Paru
1. Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau
tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien
yang berhubungan dengan paru.
2. Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus
raba sama.
3. Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau
suara tambahan lainnya.
4. Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada
wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.
k. Jantung
1. Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
2. Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
3. Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-
mur.
l. Abdomen
1. Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
2. Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler,
hepar tidak teraba.
3. Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang
cairan.
4. Auskultasi: Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
m. Inguinal-Genetalia-Anus: Tak ada hernia, tak ada
pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
b. Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian
distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status
neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
1. Look (inspeksi); Perhatikan apa yang dapat dilihat antara
lain:
a. Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun
buatan seperti bekas operasi).
b. Cape au lait spot (birth mark).
c. Fistulae.
d. Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
e. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-
hal yang tidak biasa (abnormal).
f. Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
g. Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
2. Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang
memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun
klien.Yang perlu dicatat adalah:
a. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan
kelembaban kulit. Capillary refill time Normal 3– 5 “
b. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi
atau oedema terutama disekitar persendian.
c. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak
kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot:
tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan
yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler.
Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu
dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri
atau tidak, dan ukurannya.
d. Move (pergerakan terutama lingkup gerak. Setelah
melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah
terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi
keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat
dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah
gerakan aktif dan pasif.
3. Pengkajian Perioperatif
a. Pengkajian fase Pre Operatif
1) Pengkajian Psikologis : meliputi perasaan takut / cemas dan
keadaan emosi pasien
2) Pengkajian Fisik : pengkajian tanda-tanda vital : tekanan
darah, nadi, pernafasan dan suhu.
3) Sistem integument : apakah pasien pucat, sianosis dan
adakah penyakit kulit di area badan.
4) Sistem Kardiovaskuler : apakah ada gangguan pada sisitem
cardio, validasi apakah pasien menderita penyakit jantung ?,
kebiasaan minum obat jantung sebelum operasi., Kebiasaan
merokok, minum alcohol, Oedema, Irama dan frekuensi
jantung.
5) Sistem pernafasan : Apakah pasien bernafas teratur dan
batuk secara tiba- tiba di kamar operasi.
6) Sistem gastrointestinal : apakah pasien diare ?
7) Sistem reproduksi : apakah pasien wanita mengalami
menstruasi ?
8) Sistem saraf : bagaimana kesadaran ?
9) Validasi persiapan fisik pasien : apakah pasien puasa,
lavement, kapter, perhiasan, Make up, Scheren, pakaian
pasien / perlengkapan operasi dan validasi apakah pasien
alaergi terhadap obat ?

b. Pengkajian fase Intra Operatif


Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien
yang diberi anaesthesi total adalah yang bersifat fisik saja,
sedangkan pada pasien yang diberi anaesthesi lokal ditambah
dengan pengkajian psikososial. Secara garis besar yang perlu
dikaji adalah :
1) Pengkajian mental : Bila pasien diberi anaesthesi lokal dan
pasien masih sadar / terjaga maka sebaiknya perawat
menjelaskan prosedur yang sedang dilakukan terhadapnya dan
memberi dukungan agar pasien tidak cemas/takut menghadapi
prosedur tersebut.
2) Pengkajian fisik: Tanda-tanda vital (bila terjadi
ketidaknormalan maka perawat harus memberitahukan
ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah).
3) Transfusi dan infuse: Monitor flabot sudah habis apa belum.
4) Pengeluaran urin: Normalnya pasien akan mengeluarkan
urin sebanyak 1 cc/kg BB/jam.

c. Pengkajian fase Post Operatif


1) Status respirasi meliputi : kebersihan jalan nafas, kedalaman
pernafasaan, kecepatan dan sifat pernafasan dan bunyi nafas.
2) Status sirkulatori : Meliputi : nadi, tekanan darah, suhu dan
warna kulit.
3) Status neurologis : Meliputi tingkat kesadaran.
4) Balutan Meliputi : keadaan drain dan terdapat pipa yang
harus disambung dengan sistem drainage.
5) Kenyamanan Meliputi : terdapat nyeri, mual dan muntah
6) Keselamatan Meliputi : diperlukan penghalang samping
tempat tidur, kabel panggil yang mudah dijangkau dan alat
pemantau dipasang dan dapat berfungsi.
7) Perawatan Meliputi : cairan infus, kecepatan, jumlah cairan,
kelancaran cairan. Sistem drainage : bentuk kelancaran pipa,
hubungan dengan alat penampung, sifat dan jumlah
drainage.
8) Nyeri Meliputi : waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan
faktor yang memperberat / memperingan.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Pre operasi :
a) Nyeri b/d trauma jaringan dan refleks spasme otot

sekunder akibat fraktur ditandai dengan mengeluh sakit,

sulit bergerak, tampak meringis dan memegangi tubuh

yang cedera

b) Kecemasan b/d ancaman integritas biologis sekunder

akibat operasi d/d mengeluh takut operasi, takut dipasang

alat, khawatir tangan dan kaki tidak berfungsi, tampak

gelisah dan murung , tachicardi.

2) Post operasi :

a) Resiko infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder

akibat adanya jalur invasif (pin ).

b) Resiko cedera b/d terpasang alat berujung tajam

c) Hambatan mobilitas fisik b/d alat eksternal fiksasi

d) Gangguan citra tubuh b/d perubahan dalam penampilan

sekunder akibat pemasangan eksternal fiksasi

e) Resiko penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif b/d

ketidaktahuan tentang perawatan eksternal fiksasi

C. Intervensi Keperawatan
1. Pre operasi

a) Nyeri b/d trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder

akibat fraktur ditandai dengan mengeluh sakit, sulit bergerak,


tampak meringis dan memegangi tubuh yang cedera

Rencana tujuan :

Setelah diberikan askep selama 1×24 jam diharapkan keluhan


nyeri berkurang.
Rencana tindakan Rasional
a. Kaji tingkat nyeri dan a. Mengetahui tingkat nyeri
intensitas.
b. Ajarkan teknik distraksi b. Mengurangi nyeri tanpa
tindakan invasif
selama nyeri akut
c. Observasi vital sign c. Tingkat nyeri dapat
diketahui dari vital sign.
d. Kolaboratif pemberian obat d. Mengatasi nyeri pasien
analgesik dan kaji
efektivitasnya.

b) Kecemasan b/d ancaman integritas biologis sekunder akibat

operasi d/d mengeluh takut operasi, takut dipasang alat, khawatir

tangan dan kaki tidak berfungsi, tampak gelisah dan murung ,

tachicardi.

Rencana tujuan :

Rencana tindakan Rasional


a. Kaji tingkat ansietas a. Sebagai acuan membuat
b. Beri kenyamanan dan strategi tindakan.
ketentraman hati,
perlihatkan rasa empati.
b. Agar pasien lebih tenang
menghadapi operasi.
c. Bila ansietas berkurang , beri
penjelasan tentang operasi ,
c. Bila keadaan klien lebih
tenang maka klien akan lebih
pemasangan eksternal fiksasi,
mudah menerima penjelasan
serta persiapan yang harus
yang diberikan.
dilakukan.

Setelah diberikan tindakan perawatan selama 2 x 30 menit

diharapkan kecemasan klien berkurang.


2. Post operasi

a) Resiko infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder akibat

adanya jalur invasif (pin ).

Rencana tujuan :

Setelah diberikan askep selama 1 minggu diharapkan tidak terjadi


infeksi

Rencana tindakan Rasional


a. Jaga kebersihan di daerah a. Mencegah kolonisasi
pemasangan eksternal fiksasi. kuman.
b. Lakukan perawatan b. Mencegah infeksi kuman
luka secara aseptik di daerah melalui pin
pin. c. Menemukan tanda-tanda
c. Observasi vital sign dan infeksi secara dini
tanda-tanda infeksi sistemik d. Untuk mencegah atau
maupun lokal ( demam, nyeri, mengobati infeksi.
kemerahan, keluar cairan,
pelonggaran pin )
d. Kolaboratif pemberian
antibiotika.

b) Resiko cedera b/d terpasang alat berujung tajam

Rencana tujuan : Setelah diberikan askep selama 3 x 24 jam

diharapkan tidak terjadi cedera /trauma akibat alat yang dipasang.

Rencana tindakan Rasional


a. Tutup ujung-ujung pin a. Mencegah cedera akibat alat
atau fiksator yang tajam yang tajam
b. Beri penjelasan pada klien b. Agar pasien
agar berhati – hati dengan mengantisipasi gerakan
alat yang terpasang untuk mencegah cedera.
c) Hambatan mobilitas fisik b/d alateksternal fiksasi

Rencana tujuan :

Setelah diberikan asuhan keperawatan selam 3 x 24 jam diharapkan klien mampu

memperlihatkan kemampuan mobilitas.


Rencana Tindakan Rasional
a. Latih bagian tubuh yang a. Mencegah terjadinya atrofi
sehat dengan latihan ROM disuse .
b. Bila bengkak pada daerah b. Membantu meningkatkan
pemasangan eksternal fiksasi kekuatan
sudah berkurang, latih pasien c. Mempercepat kemampuan
untuk latihan isometrik di klien untuk mandiri serta
daerah tersebut. meningkatkan rasa percaya
c. Latih pasien menggunakan diri klien.
alat bantu jalan

d) Gangguan citra tubuh b/d perubahan dalam penampilan

sekunder akibat pemasangan eksternal fiksasi

Rencana tujuan :

Setelah diberikan askep selama 3 x 24 jam diharapkan klien

mempunyai gambaran diri yang positif .

Rencana Tindakan Rasional


a. Dorong individu untuk a. Dapat mengidentifikasi
mengekspresikan pikiran, gambaran klien tentang
perasaan, pandangan dirinya.
tentang dirinya. b. Membantu meningkatkan rasa
b. Ungkapkan aspek positif dari percaya diri klien.
klien. c. Merngurangi kecemasan,
c. Libatkan orang-orang meningkatkan rasa percaya diri
terdekat untuk : dan adaptasi terhadap keadaan
- berbagi perasaan sekarang,serta memperoleh
dan ketakutan dengan klien citra diri yang
- mengidentifikasi aspek positif.
positif klien dan cara
mengungkapkannya
- menerima perubahan fisik
dan emosional klien.

e) Resiko penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif b/d

ketidaktahuan tentang perawatan eksternal fiksasi

Rencana tujuan :

Setelah diberikan askep selama 3 x 30 menit diharapkan klien dapat menunjukkan

prilaku yang mendukung penatalaksanaan program terapi.

Rencana tindakan Rasional


a. Berikan pengertian bahwa a. Agar secara psikologis klien
OREF memerlukan masa terbiasa dengan alat yang
penyembuhan yang relatif terpasang di bagian tubuhnya
lama ( 6-8 bulan ). b. Klien mempunyai gambaran
b. Jelaskan tahap – tahap umum tindakan yang akan
tindakan yang mungkin akan dilakukan sehingga klien
dilakukan pada klien. menjadi lebih kooperatif.
c. Jelaskan pada klien dan c. Menjamin kesinambungan
keluarga tentang perawatan program pengobatan .
eksternal fiksasi di rumah..
Dorong keluarga untuk
memantau keefektifan
program terapi.

D. Pelaksanaan
Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan
dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap
perencanaan (Setiadi, 2012)

E. Evaluasi
Evaluasi adalah intelektual untuk melengkapi proses asuhan
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaanya yang berhasil
dicapai. Meskipun evaluasi diletakkan pada akhir asuhan
keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap
asuhan keperawatan
Setelah data dikumpulkan tentang status keadaan klien maka
perawat membandingkan data dengan outcomes. Tahap selanjutnya
adalah membuat keputusan tentang pencapaian klien outcomes, ada
3 kemungkinan keputusan tahap ini :
1) Klien telah mencapai hasil yang ditentukan dalam tujuan.
2) Klien masih dalam catatan hasil yang ditentukan.
3) Klien tidak dapat mencapai hasil yang ditentukan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


Edisi 8 volume 2. Jakarta EGC.
Carpenito, L. J. (2013). Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktek
Klinik (Terjemahan). Edisi 6. Jakarta: EGC
Doenges, M, (2012), Rencana Asuahan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, EGC
Jitowiyono S. (2010). Asuhan Keperawatan Post Operasi. Yogyakarta: Muha
Medika.
Muttaqin, Arif. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal.Jakarta : Penerbit Buku kedokteran EGC.
Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Sjamsuhidajat, R.dkk.(2010), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC

Smeltzer, S. C. (2013).Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth.


Edisi12.Jakarta: Kedokteran EGC.

Suratun. (2008). Klien Gangguan Muskuloskletal. Seri Asuhan Keperawatan;


Editor Monika Ester. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai