Anda di halaman 1dari 35

JAVA TALES

Buku 3
KALA MATARAM TERBELAH

1
2
Pasca perpindahan Keraton Kartasura ke Surakarta, api dari peristiwa Geger Pecinan ternyata belum mati tepat di sumbunya.

3
4
Pada waktu itu, Pangeran Mangkubumi yang membantu Pakubuwana II merebut tahta Surakarta mendapatkan hadiah berupa sebidang
tanah dari Pakubuwana II. Namun, luas tanah yang diberikan rupanya menimbulkan kecemburuan.

5
Salah seorang pangeran lalu mengeluhkan ketidakadilan terkait hadiah tersebut kepada Gubernur Jendral Baron Van Imhoff.

Sang gubernur jenderal di Batavia itu lantas mengeluarkan keputusan yang membuat tanah tersebut tidak jadi dimiliki oleh
Mangkubumi.

6
Akhirnya, Mangkubumi meminta izin kepada kakaknya, Pakubuwana II “Daripada lungguh (tahta) saya dikurangi, lebih baik buanglah
saja saya sampai saya tidak bisa kembali lagi ke Jawa” ujar Pangeran Mangkubumi. Akhirnya diberi sangu (bekal berupa uang) 3000 real
“Ini jatah untuk makan anak buahmu, silahkan pergi” jawab Pakubuwana II, kemudian malamnya ia pergi dengan dendam di dada.

7
Sejak saat itulah pecah perang Mangkubumen. Dalam perang tersebut, puluhan ribu prajurit Belanda dan prajurit Jawa tewas.

8
9
Perlawanan ini mendorong gubernur dari VOC untuk Jawa utara, Nocholas Hartingh mengambil sikap. Untuk menyelamatkan daerah
operasionalnya, secara tertutup Hartingh melakukan perundingan dengan Pangeran Mangkubumi. Setelah berkali-kali melakukan
perundingan, Hartingh bersepakat dengan keinginan Pangeran Mangkubumi yang juga hendak menjadi penguasa di tanah Jawa.

Menurut dokumen register harian N. Hartingh, pada tanggal 10 September 1754 N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui
Pangeran Mangkubumi. Namun, pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi sendiri baru berhasil dilakukan pada 22 September 1754.
Pada hari berikutnya diadakan perundingan tertutup dan hanya dihadiri oleh sedikit orang. Pangeran Mangkubumi didampingi oleh
Pangeran Notokusumo & Tumenggung Ronggo. Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, & sekretaris Fockens. Sedangkan yang
ygmenjadi juru bahasa ialah Pendeta Bastani.

10
Pembicaraan pertama dalam perundingan itu terkait pembagian wilayah Mataram. N. Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur.
Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya sesudah
bersumpah untuk tak saling melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar.

11
N. Hartingh mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan dan menentukan daerah mana saja yang akan dikuasai
oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan. Pangeran
Mangkubumi memang diangkat sebagai Sunan atas kerajaan Mataram ketika Pakubuwana II wafat di daerah Kabanaran, bersamaan
VOC melantik Adipati Anom menjadi Pakubuwana III. Karena mendapat jalan buntu, perundingan terpaksa dihentikan dan diteruskan
kembali pada kesokan harinya. Pada 23 September 1754 akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan
memakai gelar Sultan & mendapatkan setengah wilayah Mataram.

Daerah Pantai Utara Jawa (orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC tetap dikuasai
VOC. Ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Pangeran Mangkubumi
memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut kemudian disampaikan pada Pakubuwana III.

12
Pada 4 November di tahun yang sama, Pakubuwana III menyampaikan surat pada Gubernur Jenderal VOC Mossel atas persetujuan
beliau terhadap hasil perundingan Gubernur Jawa Utara & Mangkubumi.

13
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754 dan surat persetujuan Pakubuwana III maka pada 13 Februari 1755 ditandatangani
perjanjian besar yang ditandatangani di Desa Giyanti, beberapa kilometer di sebelah timur Surakarta.

14
Penandatanganan Perjanjian Giyanti ini menjadi pangkal dari terbelahnya tanah Jawa menjadi dua bagian, atau yang dikenal dengan
istilah “Palihan Nagari”.

15
Isi dari Perjanjian Giyanti antara lain adalah sebagai berikut:

Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah
di atas separo dari Kerajaan Mataram, yg diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dlm hal ini Pangeran Adipati
Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.

Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan adanya kerjasama antara rakyat yg berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan rakyat Kasultanan.

Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem [Rijks-Bestuurder] & para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah
setia pada Kumpeni di tangan Gubernur. Intinya seorang patih dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum
kemudian Belanda menyetujuinya.

Pasal 4
Sri Sultan tak akan mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem & Bupati, sebelum mendapatkan persetujuan dari Kumpeni. Pokok pokok
pemikirannya itu Sultan tak memiliki kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala keputusan ada di
tangan Dewan Hindia Belanda.

Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni Bupati yg selama dlm peperangan memihak Kumpeni.

Pasal 6
Sri Sultan tak akan menuntut haknya atas pulau Madura & daerah-daerah pesisiran, yg telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II
kepada Kumpeni dlm Contract-nya pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan 10. 000 real
tiap tahunnya.

16
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan pada Sri Sunan Paku Buwono III sewaktu-waktu diperlukan.

Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.

Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati segala macam perjanjian yg pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni,
khususnya perjanjian-perjanjian 1705, 1733, 1743, 1746, 1749.

Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J. J. Steenmulder, C. Donkel, & W. Fockens. ”
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem [Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer] dengan persetujuan residen/gubernur ialah
pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yg sebenarnya [bukan di tangan Sultan].

17
18
Perjanjian Giyanti ini menjadi awal mula naik tahtanya Mangkubumi di Yogyakarta sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana I dengan
gelar Senopati Ing Ngalaga Sayidin Panatagama Khalifatullah sejak ditandatangani perjanjian tersebut pada 13 Februari 1755.

19
Lalu dua hari kemudian tepatnya tanggal 15 Pebruari 1755 ada pertemuan untuk meneruskan bagian, aspek atribut-atribut keraton
antara lain keris yang menjadi pusaka raja itu diserahkan kepada Sultan Hamengkubuwana I. Yang kedua adalah bahasa, Jogja
meneruskan dialek yang disebut bahasa Bagongan. Bahasanya (antara Surakarta dan Yogyakarta) juga punya identitas. Kalau yang satu
ada inggih (“iya” untuk Surakarta) yang satu ada injih (“iya” untuk Yogyakarta). Kemudian tari, bila Surakarta untuk gerakan gagahan
hingga ke atas membuka ketiak, Yogyakarta cukup sampai dada. Hingga sampai menggunakan penutup kepala yang disebut blangkon,
Yogyakarta menggunakan benjolan di belakang, Surakarta cukup dengan krepes (datar). Masyarakatnya itu lalu pilah (terpecah) dalam
hal penampilan/ gaya dan klaim, antara wong Sala (Surakarta), wong Nyogja (Yogyakarta).

20
21
22
23
24
25
Akan tetapi, keterbelahan masyarakat Jawa tidak terjadi seketika pasca Giyanti. Proses pembagian wilayah dan juga aspek-aspek lain
seperti bahasa mengalami proses panjang yang berjalan seiring waktu. Perjanjian Giyanti yang tidak merinci pembagian wilayah, pada
gilirannya menimbulkan rentetan-rentetan peristiwa. Pembagiannya itu sengaja diacak sehingga banyak wilayah-wilayah yang tumpang
tindih satu sama lain. Ada beberapa wilayah Jogja, sekelilingnya wilayah Solo. Ada beberapa wilayah Solo, sekelilingnya wilayah Jogja
sehingga mengakibatkan kecenderungan untuk konflik di antara kedua kerajaan itu.

26
Sementara itu, pasca Perjanjian Giyanti, Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa yang dahulu membantu Pangeran Mangkubumi
masih terus melakukan pemberontakan. Raden Mas Said terus melancarkan perlawanan menghadapi tiga kubu sekaligus, yakni
Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Seperti halnya Mangkubumi, Pangeran Sambernyawa yang juga trah Pakubuwana, turut menuntut hak
sebagai penguasa wilayah.

Dalam gerakannya pada Oktober 1755, Pangeran Sambernyawa berhasil mengalahkan satu kelompok VOC. Kemudian pada Februari
1756, ia juga hampir membakar keraton yang baru saja didirikan di Yogyakarta.

27
Setelah perang bertahun-tahun, VOC akhirnya menyudahinya dengan penandatanganan Perjanjian Salatiga pada 1757. Hasilnya, Raden
Mas Said alias Pangeran Sambernyawa memperoleh jatah seluas 4.000 cacah atau sekitar 2.800 hektar. Dengan demikian, bekas wilayah
kekuasaan Mataram kini menjadi milik tiga kubu pewarisnya, di bawah pengaruh VOC.

28
Perjanjian Salatiga membuat tanah Jawa kembali terbagi. Pada perjanjian ini disepakati bahwa Pangeran Sambernyawa mendapat
sebagian dari wilayah Kasunanan Surakarta dengan wilayah yang kini dikenal sebagai wilayah Kadipaten Mangkunegaran. Pangeran
Sambernyawa pun berjatah tahta, dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara Lelana Jayamisesa Senapati ing
Alaga Satriya Raga Mataram ing Nagari Surakarta Hadiningrat.

29
Awalnya, Raden Mas Said bersedia mengakui sebagai vasal dari Kasunanan Surakarta, tapi pada akhirnya ia membentuk dinasti otonomi
yang bertahan dengan segala kemegahannya sampai saat ini, yaitu Kadipaten Mangkunegaran. Raden Mas Said lalu menyandang gelar
Mangkunegara I.

30
31
Kesatuan Mataram kian sulit terwujud dengan hadirnya kerajaan keempat pada 17 Maret 1813, yakni Kadipaten Pakualaman, tepat 56
tahun setelah Perjanjian Salatiga. Pakualaman yang berstatus hampir mirip dengan Mangkunegaran adalah sempalan dari Kasultanan
Yogyakarta, dipimpin oleh Paku Alam I atau Pangeran Notokusumo—yang tidak lain salah satu putra Hamengkubuwono I.

32
Begitulah, riwayat Mataram yang melegenda itu akhirnya benar-benar berakhir dan menyisakan empat kerajaan penerusnya yang
ternyata masih bertahan hingga saat ini meskipun tanpa kewenangan memerintah lagi. Masing-masing tumbuh dengan perbedaan
model dan orientasi politik. Hal ini pun mengantarkan Jawa pada rupa yang beragam.

33
Dinamika politik yang digerakkan oleh angin revolusi pada masa pertengahan 1940, membuat masing-masing mengalami nasib yang
berbeda. Hal ini berujung pada perbedaan status hingga hari ini. Di masa Republik Indonesia, Kasunanan Surakarta dan Kadipaten
Mangkunegaran menjadi situs cagar budaya. Sementara wilayah Yogyakarta yang di dalamnya juga terdapat Pakualaman menjadi
daerah istimewa.

34
35

Anda mungkin juga menyukai