Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Luka adalah cedera atau terputusnya kontinuitas jaringan yang

menyebakan kerusakan jaringan kulit dan akhirnya membuat kulit terbuka

atau rusak (Agarwal et al, 2008 ; Arisanty, 2013 ). Berdasarkan waktu

penyembuhannya luka diklasifikasikan sebagai berikut ; luka akut dan

luka kronis, sedangkan penatalaksanaan penyembuhan luka akut dan luka

kronis memiliki perbedaan, sehingga dibutuhkan metode yang

penyembuhan yang tepat (Arisanty, 2013).

Penyembuhan luka merupakan suatu proses kompleks dan dinamis

untuk mengembalikan keutuhan dan fungsi anatomis kebentuk semula

yang dimulai dengan perbaikan fungsi dan integritas jaringan yang rusak

(Agarwal et al, 2008; Black & Hawks, 2014). Luka yang sembuh secara

ideal adalah luka yang kembali ke bentuk semula secara penampilan

anatomis dan fungsinya. Akan tetapi ketika luka terjadi pada lapisan kulit

dermis,penampilan lapisan kulit ini tidak dapat kembali kebentuk semula,

hal ini dikarenakan jaringan dermis dan epidermis digantikan oleh jaringan

parut (Sinaga, 2014).

Penelitian di Amerika menunjukan angka kejadian pasien dengan

luka 3,5 per 1000 populasi penduduk. Angka tertinggi kejadian luka

adalah luka pembedahan atau trauma 48 %, dan kemudian ulkus kaki 28

%, luka dekubitus 21%. Penelitian yang dilakukan oleh Medmarket

Diligence (2009), sebuah asosisasi luka di Amerika menunjukkan bahwa


insiden luka berdasarkan etiologi, didapatkan data bahwa terdapat 110.30

juta kasus, luka trauma 1.60 juta kasus, luka lecet 20.40 juta kasus , luka

bakar 10 juta kasus, ulkus dekubitus 8.50 juta kasus, ulkus vena 12.50 juta

kasus, ulkus diabetik 13.50 juta kasus (Diligence, 2009).

Berbagai jenis luka yang didasarkan waktu penyembuhannya dapat

dibagi menjadi ; (1) luka akut, merupakan luka yang dapat diprediksi

waktu penyembuhannya dan tanpa komplikasi dalam hal ini waktu

penyembuhannya membutuhkan waktu yang sedikit ;(2) luka kronis,

merupakan luka yang penyembuhannya membutuhkan waktu yang relatif

lama dan terdapat komplikasi didalamnya. Jenis luka yang terjadi

berpengaruh pada bentuk penyembuhannya. Luka insisi yang dalam hal ini

adalah luka bersih dapat sembuh dengan pembentukan jaringan baru yang

minimal. Proses penyembuhan luka merupakan proses alami dan

berkesinambungan tubuh dimana jaringan dermis dan jaringan epidermis

diperbaharui, serta mencakup 4 tahap yaitu ; respon vaskular, inflamasi,

proliferasi, maturasi atau remodeling (Black & Hawks, 2014, Calixtro et

al, 2014).

Prinsip dari proses perawatan luka baik luka akut maupun luka

kronis terdiri dari menghindari resiko infeksi, pencucian luka dan

pemilihan dressing yang cocok dengan keadaan luka. Pemilihan dressing

didasarkan pada beberapa faktor diantaranya penyebab terjadinya luka

tersebut, ukuran luka, kedalaman luka, lokasi luka, eksudat dan level

kontaminasi luka (Agarwal, 2008). Metode perawatan luka yang sedang

digunakan masyarakat saat ini adalah perawatan luka menggunakan


Povidone Iodine. Povidone Iodine.merupakan kombinasi molekul Iodin

dan Polivinilpiloridon yang memiliki sifat sebagai anti mikroba dan

bereaksi terhadap bakteri. Akan tetapi penggunaan Povidone-Iodine ini

sebaiknya dihindari, karena dapat menyebabkan kulit terbakar, memiliki

sifat toksik pada sel, korosif dan rasa panas terhadap luka (Arisanty,

2013). Penelitian yang dilakukan oleh Amaliya dkk (2013) menunjukkan

bahwa povidone iodine 10% tidak bekerja dengan baik pada indikator

penutupan luka. Hal ini disebakan karena povidone Iodine bersifat toksik

terhadap fibroblast sehingga mempengaruhi pembentukan kolagen yang

berperan penting terhadap pembentukan jaringan baru. Oleh karena itu,

masyarakat lebih condong untuk memilih alternatif lain yaitu kulit pisang.

Kulit pisang (Musa sapientum) yang masih belum masak telah

digunakan sebagai alternatif pengobatan peptic ulcer pada jaman dahulu

dan alternatif perawatan luka dengan low-cost (Atzingen et al, 2015). Dari

ketersediannya di Indonesia pisang ini juga cukup melimpah sehingga

mudah didapatkan oleh masyarakat. Kulit pisang (Musa sapientum)

mengandung zat seperti zinc, sodium, potasium, kalsium, fosfor, zat besi

dan anti oksidan termasuk didalamnya vitamin C, E dan beta karoten.

Ekstrak kulit pisang ini mampu meningkatkan pengumpulan thymidine

atau timidin di sel DNA, dan meningkatkan sel proliferasi. Pisang yang

mentah ini juga mengandung flavonoid yang menstimulasi sel proliferasi

dan mempercepat proses penyembuhan luka (Atzingen et al, 2015).

Dari uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang perbedaan efektifitas perawatan luka menggunakan kulit pisang


(Musa Sapientum) dan Povidone Iodine 10% terhadap panjang luka sayat

pada tikus putih (Wistar Rats).

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana perbedaan efektifitas perawatan luka menggunakan kulit

pisang (Musa Sapientum) dan Povidone Iodine 10% terhadap panjang luka

sayat pada tikus putih (Wistar Rats) ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui perbedaan efektifitas perawatan luka

menggunakan kulit pisang (Musa Sapientum) dan Povidone Iodine

10% terhadap panjang luka sayat pada tikus putih (Wistar Rats).

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengidentifikasi efektifitas kulit pisang (Musa Sapientum)

terhadap panjang luka sayat pada tikus putih (Wistar Rats)

2. Mengidentifikasi efektifitas Povidone Iodine 10% terhadap panjang

luka sayat pada tikus putih (Wistar Rats)

3. Menganalisa perbedaan ekektivitas perawatan luka menggunakan

kulit pisang Musa Sapientum dan Povidon Iodin terhadap panjang

luka insisi pada tikus putih (Wistar Rats)


3.1. Manfaat Penelitian

3.1.1. Manfaat teoritis

Memperkuat dukungan teoritis perawatan luka menggunakan kulit

pisang (Musa Sapientum) dan Povidon Iodin terhadap panjang luka

sayat.

3.1.2. Manfaat praktis

Sebagai masukan mengambil keputusan dalam melakukan

perawatan luka pada luka sayat.

3.2. Batasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada 20 ekor tikus putih yang disayat

sama panjang, tetapi perawatannya berbeda dan dilakukan observasi

selama 14 hari dengan tujuan mengetahui keefektifan pisang Musa

Sapientum jika diaplikasikan pada luka sayat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep luka

2.1.1. Definisi luka

Luka adalah kerusakan kulit yang disebabkan oleh cedera

fisik, robekan, tusukan, sayatan dan lain-lain yang menyebabkan

kulit menjadi terbuka dan rusaknya integritas kulit (Agarwal, 2008;

Calixtro,2014).

2.1.2. Klasifikasi luka

2.1.2.1. Berdasarkan waktu penyembuhan

Berdasarkan waktu penyembuhannya luka dibedakan

menjadi 2 yaitu :

1. Luka akut

Luka akut adalah luka yang terjadi kurang dari 5

hari dengan diikuti proses hemostasis dan inflamasi.

Luka akut akan sembuh atau menutup sesuai dengan

waktu penyembuhan fisiologis (0-21 hari). Contoh luka

akut adalah luka pasca operasi. Luka akut akan sembuh

sesuai dengan fisiologi proses penyembuhan luka pada

setiap fasenya.
2. Luka kronis

Luka kronis adalah luka yang sudah lama terjadi

atau menahun, denag waktu penyembuhan yang

lebih lama akibat dari gangguan selama proses

penyembuhan luka. Gangguan dapat berupa infeksi

dan dapat terjadi pada fase inflamasi, proliferasi

atau maturasi. Biasanya luka akan sembuh setelah

perawatan yang tepat selama 2-3 bulan (dengan

memperhatikan faktor penghambat penyembyhan).

Luka kronis juga sering disebut sebagai kegagalan

dalam penyembuhan luka. contoh luka kronis

adalah luka diabetes melitus, luka kanker dan luka

tekan.

2.1.2.2. Berdasarkan anatomi kulit atau kedalamannya

luka berdasarkan anatomi kulit atau kedalamannya menurut

National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP),

dibedakan menjadi 5, yaitu :

1. Stadium 1

Luka dikatakan stadium 1 jika warna dasar luka

merah dan hanya melibatkan lapisan epidermis,

epidermis secara utuh atau tanpa merusak epidermis.

Epidermis hanya mengalami perubahan warna

kemerahan, hangat atau dingin (bergantung pada

penyebab), kulit melunak dan ada rasa nyeri atau gatal.


Contoh luka stadium 1 adalah kulit yang terpapar

matahari atau sunburn. Contoh lainnya adalah saat kita

duduk pada satu posisi selama lebih dari 2 jam,

kemudian ada kemerahan di glueteus (bokong).

2. Stadium 2

Luka dikatakan stadium 2 jika warna dasar luka

merah dan melibatkan lapisan epidermis-dermis. Luka

menyebabkan epidermis terpisan dari dermis dan atau

mengenai sebagian dermis (partial-thickness).

Umumnya kedalaman luka hingga 0,4 mm, namun

biasanya bergantung pada lokasi luka. Bula atau Blister

termasuk kategori stadium 2 karena epidermis sudah

terpisah dengan dermis

3. Stadium 3

Luka dikatakan stadium 4 jika warna dasar luka

merah dan lapisan kulit mengalami kemhilangan

epidermis, dermis, hingga sebagian hipodermis (full-

thickness). Umumnya kedalaman luka hinggan 1 cm

(sesuai dengan lokasi tubuh bagian mana).

4. Stadium 4

Luka dikatakan stadium 4 jika warna dasar luka

merah dan lapisan kulit yang mengalami kerusakan dan

kehilangan lapisan epidermis, dermis hingga seluruh

hipodermis dan mengenai otot serta tulang (deep full-


thickness). Undermining (gua) dan sinus masuk

kedalam stadium 4.

5. Unstageable

Luka yang warna dasarnya kuning atau hitam yang

merupakan jaringan mati atau nekrosis, terutama jika

jaringan nekrosis >50% berada didasar luka.

2.1.2.3. Berdasarkan tingkat kontaminasi terhadap luka

1. Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tidak

terinfeksi sehingga tidak terjadi proses peradangan

(inflamasi) dan infeksi pada sistem pernafasan,

pencernaan, genital dan urinari tidak terjadi. Luka

bersih biasanya menghasilkan luka yang tertutup; jika

diperlukan dimasukkan drainase tertutup (misal;

Jackson – Pratt). Kemungkinan terjadinya infeksi luka

sekitar 1% - 5%.

2. Clean-contamined Wounds (Luka bersih

terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana

saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan

dalam kondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu

terjadi, kemungkinan timbulnya infeksi luka adalah 3%

- 11%.

3. Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk

luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi

dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau


kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga

termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen.

Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.

4. Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi),

yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.

2.2. Konsep penyembuhan luka

2.2.1. Definisi penyembuhan luka

Penyembuhan luka adalah proses alami dan kompleks dari

tubuh dalam memperbaiki kerusakan integritas kulit dan

mengembalikan fungsi anatomis dan fisiologis kulit sebelum

terjadi cedera atau luka (Agarwal et all, 2008; Calixtro, 2014).

Penyembuhan luka dijabarkan sebagai suatu proses yang kompleks

dan dinamis yang menghasilkan pengembalian dan keutuhan

anatomis . Luka yang sembuh secara ideal adalah luka yang

kembali ke struktur, fungsi dan penampilan anatomis yang normal.

Pada manusia, sembuh secara ideal hanya dapat terjadi dijaringan

epidermis, membran mukosa dan tulang. Ketika terjadi luka

didermis. Penampilan normal tidak dapat kembali karena jaringan

parut menggantikan jaringan dermis dan epidermis yang hilang

(Black, 2014).

2.2.2. Fase penyembuhan luka


Terlepas dari jenis lukanya, proses penyembuhan luka

mencakup 4 fase, yakni :

2.2.2.1. Fase inflamasi atau peradangan

Fase inflamasi terjadi pada awal kejadian atau saat

luka terjadi (hari ke-0) hingga hari ke-3 atau ke-5. Pada

fase ini terjadi terjadi dua kegiatan utama, yaitu respon

vaskular dan respon inflamasi. Respon vaskular diawali

dengan respon hemostatik tubuh selama 5 detik pasca luka

(kapiler berkontraksi dan trombosit keluar). Sekitar area

luka mengalami iskemia yang merangsang pelepasan

histamin dan zat vasoaktif yang menyebabkan vasodilatasi

dan vasokontriksi, dan pembentukan lapisan fibrin. Lapisan

fibrin ini membentuk scab (keropeng) diatas permukaan

luka untuk melindungi luka dari kontaminasi kuman.

Inflamasi sebagai fase kedua dari proses

penyembuhan luka merupakan hal yang penting. Fase ini

diawali dari semakin banyaknya aliran darah kesekitar luka

dan menyebabkan bengkak, kemerahan, hangat atau

demam, ketidaknyamanan atau nyeri, dan penurunan fungsi

tubuh (tanda inflamasi) berlangsung hingga 4-6 hari,

tergantung berat ringannya luka. Tubuh mengalami

aktivitas bioselular dan biokimia, yaitu reaksi tubuh

memperbaiki kerusakan kulit, sel darah putih memberikan

perlindungan dan membersihkan benda asing yan


menempel (makrofag), dikenal dengan proses derbris atau

pembersihan).

Tujuan dari inflamasi adalah untuk membatasi efek

berbahaya dari bakteri atau luka dengan menghancurkan

atau menetralisasi organisme dan membatasi

penyebarannya ke seluruh tubuh. Oleh karena itu, respon

inflamasi menyediakan kondisi yang sesuai untuk memicu

perbaikan jaringan. Tidak seperti respon imun yang

menggunakan antibodi tertentu untuk sebuah respon yang

pelan dan terencana, inflamasi memiliki efek yang segera

(Black, 2014).

2.2.2.2. Fase proliferasi

Fase proliferasi terjadi mulai hari ke-2 sampai ke-24

yang terdiri atas proses destruktif (fase pembersihan),

proses proliferasi atau granulasi (pelepasan sel –sel baru

atau pertumbuhan) dan epitelisasi (migrasi sel atau

penutupan). Pada fase destruktif, sel polimorf dan makrofag

membunuh bakteri jahat dan terjadi proses debris

(pembersihan) luka. pada fase ini, makrofag juga berfungsi

menstimulasi fibroblas untuk menghasilkan kolagen

( kekuatan sel berikatan) dan elastin (fleksibilitas sel) dan

terjadi proses angiogenesis (pembentukan pembuluh darah).

Kolagen dan elastin yang dihasilkan menutupi luka dengan


bentuk matrik atau ikatan jaringan baru. Luka yang tadinya

memiliki kedalaman, permukaanya menjadi rata dengan

tepi luka. Epitelisasi terjadi setelah tumbuh jaringan

granulasi dan dimulai dari tepi luka yang mengalami proses

migrasi membentuk lapisan tipis (warna merah muda)

menutupi luka. Sel pada lapisan ini sangat rentan dan

mudah rusak. Sel mengalami kontaksi (pergeseran), tepi

luka menyatu hingga ukuran luka mengecil. Tidak menutup

kemungkinan epitel tumbuh tanpa adanya jaringan

granulasi sehingga menutupnya tidak sempurna. Pada

beberapa kasus, epitel tumbuh atau menutup dari tengah

luka, bukan dari tepi luka. Hal ini terjadi karena setiap

individu memiliki aktivitas sel yang unik dan sedikit

berbeda satu sama lain.

2.2.2.3. Fase maturasi atau remodeling

Fase remodeling terjadi mulai dari hari ke-21

hinggan 1-2 tahun, yaitu fase penguatan kulit baru. Pada

fase ini, terjadi sintesis matrik ekstraselular (extracellular

matrix, ECM), degradasi sel dan proses modeling (aktivitas

selular dan aktivitas vaskular menurun). Aktivitas utama

yang terjadi adalah penguatan jaringan bekas luka dengan

aktivitas remodeling kolagen dan elastin pada kulit.

Kontraksi kolagen dan elastin terjadi sehingga


menyebabkan penekanan keatas permukaan kulit. Kondisi

yang umum yang terjadi pada fase ini adalah terasa gatal

dan penonjolan epitel (keloid) pada permukaan kulit.

Dengan penanganan yang tepat, keloid dapat ditekan

pertumbuhannya, yaitu dengan memberikan penekanan

pada area kemungkinan terjadi keloid. Pada fase ini

kolagen bekerja lebih teratur dan lebih memiliki fungsi

sebagai penguat ikatan sel kulit baru, kulit masih rentan

terhadap gesekan dan tekanan sehingga memerluka

perlindungan.

2.2.3. Tipe penyembuhan luka

2.2.3.1. Penyembuhan luka secara primer

Luka terjadi tanpa kehilangan banyak jaringan kulit.

Luka ditutup dengan cara dirapatkan kembali dengan

menggunakan alat bantu sehingga bekas luka (scar) tidak

ada atau minimal. Proses yang terjadi adalah epitelisasi dan

deposisi jaringan ikat. Contohnya adalah luka sayat atau

robekan dan luka operasi yang bisa sembuh dengan alat

bantu jahitan, stapler, tape eksternal atau lem (perekat)

kulit.
2.2.3.2. Penyembuhan luka secara sekunder

Kulit mengalami luka (kerusakan) dengan

kehilangan banyak jaringan sehingga memerlukan proses

granulasi (pertumbuhan sel), kontraksi dan epitelisasi

(penutupan epidermis) untuk menutup luka. Pada kondisi

luka seperti ini, jika dijahit, kemungkinan terbuka lagi atau

menjadi nekrosis (mati) sangat besar. Luka yang

memerlukan penutupan secara sekunder, kemungkinan

memiliki bekas luka (scar) lebih luas dan waktu

penyembuhan lebih lama, namun semuanya kembali lagi

bergantung pada penangan para klinisi terhadap luka.

Contohnya adalah luka tekan (dekubitus), diabetes melitus

dan luka bakar.

2.2.3.3. Penyembuhan luka secara tersier atau delayed primary

Penyembuhan luka secara tersier atau delayed

primary terjadi jika penyembuhan luka secara primer

mengalami infeksi atau ada benda asing sehingga

penyembuhannya terhambat. Luka akan mengalami proses

debris hingga luka menutup. Penyembuhan luka dapat juga

diawali dengan penyembuhan sekunder yang kemudian

ditutup dengan bantuan jahitan atau dirapatkan kembali.

Contohnya adalah luka operasi yang terinfeksi. Obesitas


dapat menjadi salah satu penyebab luka pasca-operasi

terbuka (dehiscence). Jika kemudian dijahit kembali

(ditutup) cara penutupan ini disebut penutupan luka secara

tersier.

2.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka

Ada beberapa faktor yang sangat berperan dalam

mendukung penyembuhan luka, yaitu faktor lokal dan faktor umum

2.2.4.1. Faktor lokal

1. Hidrasi luka

Hidrasi luka adalah kondisi kelembapan pada

luka yang sangat mendukung penyembuhan luka. luka

yang terlalu kering atau terlalu basah kurang

mendukung penyembuhan luka. luka yang terlalu

kering menyebabkan luka membentuk fibrin yang

mengeras, terbentuk scab ( keropeng) atau nekrosis

kering. Luka yang terlalu basah menyebabkan luka

cenderung rusak dan merusak sekitar luka.

2. Penatalaksanaan luka

Penatalaksanaan luka yang tidak tepat

menghambat penyembuhan luka. tenaga kesehatan

harus memahami proses penyembuhan luka dan

kebutuhan disetiap fasenya. Kebersihan luka dan

sekitar luka harus diperhatikan, kumpulan lemak dan


kotoran pada sekitar luka harus dibersihkan. Saat

pencucian luka, pilih cairan pencuci yang tidak korosif

terhadap jaringan granulasi yang sehat. Pemilihan

balutan harus disesuaikan dengan fungsi dan manfaat

balutan pada luka.

3. Temperatur luka

Efek temperatur pada penyembuhan luka

dipelajari oleh Lock pada tahun 1979 yang

menunjukkan bahwa teratur stabil (37oC) dapat

meningkatkan proses mitosis 108% pada luka. Oleh

sebab itu, dianjurkan untuk meminimalkan penggantian

balutan dan mencuci luka dalam kondisi hangat.

4. Tekanan dan gesekan

Tekanan dan gesekan penting diperhatikan

untuk mencegah terjadinya hipoksia jaringan yang

mengakibatkan kematian jaringan. Pembuluh darah

sangat mudah rusak karena sangat tipis, resistensi

tekanan pada pembuluh darah arteri mencapai 30

mmHg dengan variasi tekanan hingga pembuluh darah

vena. Tekanan dan gesekan dapat ditimbulkan akibat

penggunaan balutan elastis yang kurang tepat atau luka

yang tidak ditutip dengan baik

5. Benda asing
Benda asing pada luka dapat menghalangi

proses granulasi dan epitelisasi bahkan dapat

menyebabkan infeksi. Benda asing pada luka

diantaranya adalah sisa proses debris pada luka (scab),

sisa jahitan, kotoran, rambut, sisa kasa, kapas yang

tertinggal dan adanya bakteri. Benda asing ini harus

dibersihkan sehingga luka bisa menutup.

2.2.4.2. Faktor umum

1. Faktor usia

Pada usia lanjut terjadi penurunan fungsi tubuh

sehingga dapat memperlambat waktu penyembuhan

luka. Jumlah dan ukuran fibroblas menurun, begitu pula

kemampuan proliferasi sehingga terjadi penurunan

respon terhadap Growth Factor dan hormon yang

dihasilkan selama proses penyembuhan luka. kondisi

kulit yang cenderung kering, keriput dan tipis sangat

mudah mengalami luka karena gesekan dan tekanan.

Hal ini menyebabkan luka pada usia lanjut akan lebih

lama sembuhnya.

2. Penyakit penyerta

Penyakit penyerta yang sering mempengaruhi

penyembuhan luka adalah penyakit diabetes, jantung,

ginjal dan gangguan pembuluh darah (penyempitan


atau penyumbatan pada pembuluh darah arteri dan

vena). Kondisi penyakit tersebut memperberat kerja sel

dalam memperbaiki luka sehingga penting sekali

melakukan tindakan kolaborasi untuk mengatasi

penyebabnya dan penyulit penyembuhan. Pada

diabetes, kondisi hiperglikemia menyebabkan

lambatnya aliran darah ke sel, gagal jantung juga

memperlambat aliran darah. Pada gangguan ginjal

cairan yang mengisi rongga intraseluker menghambat

pertumbuhan sel yang baru. Oksigen dan nutrisi

dibutuhkan selama proses penyembuhan luka.

3. Vaskularisasi

Vaskularisasi yang baik dapat menghantarkan

oksigen dan nutrisi kr bagian sel terujung. Pembuluh

darah arteri yang terhambat dapat menurunkan asupan

nutrisi dan oksigen ke sel untuk mendukung

penyembuhan luka sehingga luka cenderung nekrosis.

Gangguan pembuluh darah vena dapat menghambat

pengembalian darah ke jantung sehingga terjadi

pembengkakan dan penumpukan cairan yang berlebih

dan menganggu proses penyembuhan.

4. Nutrisi

Nutrisi atau asupan makanan sangat

mempengaruhi penyembuhan luka. nutrisi yang buruk


akan menghambat proses penyembuhan luka bahkan

menyebabkan infeksi luka. nutrisi yang dibutuhkan dan

penting adalah asam amino (protein), lemak, energi sel,

vitamin, zinc, zat besi, magnesium dan air.

5. Kegemukan

Obesitas atau kegemukan dapat menghambat

penyembuhan luka, terutama luka dengan tipe

penyembuhan primer karena lemak tidak memiliki

banyak pembuluh darah. Lemak yang berlebih dapat

mempengaruhi aliran darah ke sel.

6. Gangguan sensasi dan pergerakan

Gangguan sensasi dapat memperburuk kondisi

luka karena tidak ada rasa sakit atau terganggu terhadap

luka tersebut, begitu pula gangguan pergerakan dapat

menghambat aliran darah dari dan ke perifer. Sering

kali pemilik luka tidak menyadari bahwa lukanya

memburuk.

7. Status psikologis

Stres, cemas dan depresi menurunkan efisiensi

kerja sistem imun tubuh sehingga penyembuhan luka

terhambat.

8. Terapi radiasi

Terapi radiasi tidak hanya merusak sel kanker,

tetapi juga merusak sel-sel disekitarnya. Komplikasi


yang sering muncul adalah penurunan asupan nutrisi

karena mual dan muntah dan kerusakan atau efek lokal

(kulit rentan, kemerahan dan panas) pada daerah sekitar

luka.

9. Obat

Obat-obatan yang menghambat penyembuhan

luka adalah nonsteroid anti-inflamatory drug (NSAID,

penghambat sintesis prostaglandin), oabt sitotoksik

(merusak sel yang sehat), kortikosteroid (menekan

produksi makrofag, kolagen, leukosit) dan penisilin

(menghambat kolagen untuk berikatan atau resistensi

bakteri pada luka).

2.3. Konsep perawatan luka

2.3.1. Definisi perawatan luka

Adalah suatu teknik aseptik yang bertujuan membersihkan

luka dari debris untuk mempercepat proses penyembuhan (Dhirgo,

2008).

2.3.2. Proses perawatan luka

2.3.2.1. Pengkajian luka

Inspeksi Luka

Meliputi :

1. Jenis luka

Berdasarkan penyebabnya, luka dibagi menjadi :


a. Erosi: Luka hanya sampai stratum corneum

b. Abrasi: Luka sampai stratum spinosum

c. Excoriasi: Luka sampai stratum basale

d. Kontusio : Biasanya disebabkan oleh trauma

tumpul atau ledakan dan dapat mengakibatkan

kerusakan jaringan yang luas. Kontusio luas

dapat mengakibatkan infeksi dan compartment

syndromes. Pada awalnya, lapisan kulit di atasnya

bisa jadi intak, tapi pada akhirnya dapat menjadi

non-viable. Hematoma berukuran besar yang

terletak di bawah kulit atau atau di dalam otot

dapat menetap.

e. Laserasi : Laserasi terjadi jika kekuatan trauma

melebihi kekuatan regang jaringan, misalnya

robekan kulit kepala akibat trauma tumpul pada

kepala. Laserasi diklasifikasikan berdasarkan

mekanisme terjadinya, yaitu :

1) Insisi : Luka sayatan yang disebabkan oleh

benda tajam, kerusakan jaringan sangat

minimal. Contoh : luka tusuk, luka

pembedahan, terkena pecahan kaca. Luka

ditutup dengan bantuan jahitan, klip, staples,

adhesive strips (plester) atau lem. Luka

pembedahan dapat terbuka kembali secara


spontan (dehisensi) atau dibuka kembali

karena terbentuk timbunan cairan, darah

(hematoma) atau infeksi.

2) Tension laceration : Disebabkan oleh trauma

tumpul, biasanya karena tangential force yang

kekuatannya melebihi daya regang jaringan.

Akibatnya adalah terjadinya robekan kulit

dengan tepi tidak teratur disertai kontusio

jaringan di sekitarnya. Contoh : benturan

dengan aspal pada kecepatan tinggi, laserasi

kulit karena pukulan tongkat dengan kekuatan

tinggi.

3) Crush laceration atau compression laceration

: Laserasi kulit terjadi karena kulit tertekan di

antara objek dan tulang di bawahnya. Laserasi

tipe ini biasanya berbentuk stellate dengan

kerusakan sedang dari jaringan di sekitarnya,

kejadian infeksi lebih tinggi. Contoh : laserasi

kulit di atas alis seorang anak karena terjatuh

dari meja.

4) Kombinasi dari mekanisme di atas.

5) Kombinasi dari ketiga tipe luka di atas.


Berdasarkan tingkat kontaminasinya, luka diklasifikasikan

sebagai :

a. Luka bersih : luka elektif, bukan emergency, tidak

disebabkan oleh trauma, ditutup secara primer tidak

ada tanda inflamasi akut, prosedur aseptik dan

antiseptik dijalankan dengan baik, tidak melibatkan

traktus respiratorius, gastrointestinal, bilier dan

genitourinarius. Kulit di sekitar luka tampak bersih,

tidak ada tanda inflamasi. Jika luka sudah terjadi

beberapa saat sebelumnya, dapat terlihat sedikit

eksudat (bukan pus), tidak terlihat jaringan nekrotik di

dasar luka. Risiko infeksi <2%.

b. Luka bersih terkontaminasi : luka urgent atau

emergency tapi bersih, tidak ada material kontaminan

dalam luka. Risiko infeksi <10%.

c. Luka terkontaminasi : tampak tanda inflamasi non-

purulen; luka terbuka < 4 jam; luka terbuka kronis;

luka terbuka dan luas (indikasi untuk skin grafting);

prosedur aseptic dan antiseptic tidak dijalankan dengan

baik; risiko infeksi 20%.

d. Luka kotor/ terinfeksi : tampak tanda infeksi di kulit

sekitar luka, terlihat pus dan jaringan nekrotik; luka

terbuka > 4 jam; terdapat perforasi traktus

respiratorius, gastrointestinal, bilier atau


genitourinarius, risiko infeksi 40%.

Berdasarkan onset terjadinya luka, luka diklasifikasikan

menjadi :

a. Luka akut : disebabkan oleh trauma atau pembedahan.

Waktu penyembuhan relatif cepat, dengan

penyembuhan secara primer.

b. Luka kronis : luka kronis didefinisikan sebagai luka

yang belum sembuh setelah 3 bulan. Sering disebabkan

oleh luka bakar luas, gangguan sirkulasi, tekanan yang

berlangsung lama (pressure ulcers/ ulkus dekubitus),

ulkus diabetik dan keganasan. Waktu penyembuhan

cenderung lebih lama, risiko terinfeksi lebih besar.

Semua jenis luka berpotensi menjadi kronis jika

pemilihan regimen terapi tidak adekuat.

2. Keadaan dasar luka (wound bed)

Keadaan dasar luka mencerminkan tahapan

penyembuhan luka. Karakteristik dasar luka bervariasi dan

sering diklasifikasikan berdasarkan tipe jaringan yang berada

di dasarnya, yaitu : nekrotik, sloughy, granulasi, epithelial

dan jaringan hipergranulasi. Pada satu luka sering terdapat

beberapa jenis tipe jaringan sekaligus.Keadaan dasar luka

menentukan pemilihan dressing.

a. Jaringan nekrotik

Akibat kematian jaringan, permukaan luka tertutup


oleh lapisan jaringan nekrotik (eschar) yang seringkali

berwarna hitam atau kecoklatan. Pada awalnya

konsistensi lunak, tetapi kemudian akan mengalami

dehidrasi dengan cepat sehingga menjadi keras dan

kering. Jaringan nekrotik dapat memperlambat

penyembuhan dan menjadi fokus infeksi. Diperlukan

pembersihan luka (debridement) dari jaringan nekrotik

secepatnya sehingga luka dapat memasuki tahapan

penyembuhan selanjutnya.

b. Slough

Slough, juga merupakan jenis jaringan nekrotik,

merupakan material lunak yang terdiri atas sel-sel mati,

berwarna kekuningan dan menutupi luka.Dapat

berbentuk seperti serabut/ benang yang menempel di

dasar luka.Slough harus dibedakan dari pus, di mana

slough tetap menempel di dasar luka meski diguyur air,

sementara pus akan terlarut bersama air. Slough

merupakan predisposisi infeksi dan menghambat

penyembuhan luka, meski demikian, adanya slough

tidak selalu merupakan tanda terjadinya infeksi pada

luka. Pada luka kronis yang dalam, tendo yang terpapar

(gambar 12) juga sering dikelirukan dengan slough,

sehingga dokter harus hati-hati saat melakukan

debridement menggunakan skalpel. Untuk


menstimulasi pembentukan jaringan granulasi dan

membersihkan luka dari eksudat, slough dibersihkan

dengan aplikasi dressing yang sesuai.

c. Jaringan granulasi

Granulasi adalah jaringan ikat yang mengandung

banyak kapiler baru yang akan membantu

penyembuhan dasar luka. Jaringan granulasi sehat

berwarna merah jambu pucat atau kekuningan,

mengkilat dan terlihat seperti tumpukan kelereng.Jika

disentuh terasa kenyal, tidak nyeri dan tidak mudah

berdarah meski dalam jaringan granulasi terdapat

banyak pembuluh darah baru.Jaringan granulasi yang

berwarna merah terang dan mudah berdarah

menunjukkan terjadinya infeksi. Hipergranulasi

merupakan pembentukan jaringan granulasi secara

berlebihan. Hipergranulasi akan mengganggu migrasi

epitel sehingga memperlambat penyembuhan luka

d. Jaringan epitel

Berupa jaringan berwarna putih keperakan atau merah

jambu, merupakan epitel yang bermigrasi dari tepi

luka, folikel rambut atau kelenjar keringat.Biasanya

menutupi jaringan granulasi.Terbentuknya jaringan

epithelial menandakan fase penyembuhan luka tahap

akhir hampir selesai


e. Jaringan terinfeksi

Luka yang terinfeksi ditandai dengan adanya jaringan

sekitar luka bengkak dan kemerahan, penambahan

ukuran luka, luka mudah berdarah, terutama saat

mengganti balutan, peningkatan produksi eksudat dan

pus, luka berbau, terbentuk jaringan nekrotik,

perubahan warna pada luka, tepi luka dan di sekitar

luka, perubahan, keterlambatan penyembuhan luka,

gejala sistemik dari infeksi seperti demam dan

malaise.

f. Lokasi luka

Lokasi dan posisi mempengaruhi pemilihan dressing,

sebagai contoh jenis dan ukuran dressing untuk luka di

abdomen berbeda dengan dressing untuk luka di tumit

atau jari-jari kaki.

g. Ukuran luka

Harus diukur panjang, lebar, lingkar luka, kedalaman

luka dan luas dasar luka, serta perubahan ukuran luka

setiap kali pasien datang. Pergunakan alat ukur yang

sama supaya hasil ukuran akurat dan dapat saling

diperbandingkan. Kedalaman luka diukur dengan

bantuan aplikator atau cotton-bud yang dimasukkan

tegak lurus ke dasar luka terdalam -- tandai aplikator --

ukur dengan penggaris. Kadang kerusakan jaringan


dan nekrosis meluas ke lateral luka, di bawah kulit,

sehingga sering tidak terlihat.Perlu dinilai ada tidaknya

pembentukan sinus, kavitas, traktus atau fistula, yang

dapat mengganggu drainase eksudat, berpotensi infeksi

dan menghambat penyembuhan luka.Penyembuhan

luka ditandai dengan berkurangnya ukuran luka

h. Tipe dan jumlah eksudat

Luka juga mengeluarkan cairan yang merupakan hasil

plasma dasar yang keluar dari pembuluh darah karena

reaksi kerusakan jaringan berupa sel darah putih ke

daerah luka. pada kondisi luka yang membaik, eksudat

akan berkurang jumlahnya. Jika luka memburuk,

produksi eksudat meningkat sejalan dengan proses

inflamasi dan proses lainnya yang belum terhenti.

Eksuda mengandung air, elektrolit, nutrient, mediator

inflamasi, sel darah putih, enzim pencerna protein(mis.,

matrix metalloproteinase[MMP]), faktor pertumbuhan

dan sisa metabolisme lain. Hal yang harus dikaji pada

eksudat yang dihasilkan luka adalah warna,

konsistensi, bau dan jumlah (Arisanty, 2014)

Terlihat pada luka terbuka.Selama penyembuhan

luka, jenis dan jumlah pembentukan eksudat

bervariasi.Luka terus menghasilkan eksudat sampai

epitelisasi terjadi secara sempurna.Kuantitas eksudat


bervariasi dari sedikit, sedang, banyak, dan sangat

banyak (profuse).Biasanya, makin besar ukuran luka,

makin banyak eksudat yang terbentuk.

Berdasarkan kandungan material di dalamnya, eksudat dibedakan menjadi :

serous, serohemoragis, hemoragis dan purulen (pus). Tingkat kelembaban luka dan

jumlah eksudat mempengaruhi pemilihan dressing.Perban harus dapat menyerap cairan

berlebihan sekaligus mempertahankan kelembaban lingkungan luka.Dokter harus

waspada jika luka menghasilkan banyak eksudat. Eksudat banyak mengandung protein,

sehingga pada beberapa kasus dengan luka eksudatif yang luas, misalnya luka bakar

Tabel 2.1 Tipe eksudat

i. Bau

Luka diklasifikasikan sebagai tidak tidak berbau,

berbau dan sangat berbau. Bau luka berdampak

psikologis sangat hebat bagi pasien. Bau biasanya


 Tipe  Warna Konsistensi  Keterangan
Tipis, mengandung  Normal, pertambahannya
 Serous  Bersih jernih
air  mengindikasikan infeksi
 Bersih, merah Tipis, mengandung
 Haemoserous  Normal, cairan serosa disertai darah
muda air 
Tipis, kental, Mengandung darah dan mengindikasikan
 Sanguinous  merah
mengandung air  trauma pada pembuluh darah
 Kuning, abu- Cairan infeksi (pus/nanah)seperti susu
 Purulent -
abu,hijau berwarna

terjadi pada luka terinfeksi, ditimbulkan oleh adanya

jaringan nekrotik, eksudat dan material toksik dalam


luka (pus, debris dan bakteri), sehingga tindakan

membersihkan luka dan nekrotomi dapat mengurangi

bau dan memperbaiki infeksi.Akan tetapi, hal ini tidak

dapat sepenuhnya dilakukan pada lesi maligna.Pada

kasus-kasus ini, bau luka dikurangi dengan

mengaplikasikan balutan mengandung antibiotic,

balutan mengandung karbon, larval therapy atau gel

antibakteri.

j. Nyeri

Rasa nyeri akan membatasi aktifitas, mempengaruhi

mood dan berdampak besar terhadap kualitas hidup

pasien. Nyeri merupakan tanda bahwa luka tidak

mengalami penyembuhan atau terjadi infeksi pada

luka.Nyeri pada luka harus diidentifikasi penyebabnya

(inflamasi atau infeksi), kualitas dan kuantitasnya.

k. Tepi luka

Tepi luka dapat menyempit atau justru melebar. Dapat

menggaung (meluas ke lateral, di bawah kulit --

undermining), membentuk kavitas, traktus atau sinus.

Tepi luka bisa curam, landai, regular, ireguler atau

meninggi.Selama penyembuhan luka pasti terjadi

perubahan bentuk luka.Penting untuk memantau dan

mencatat keadaan tepi luka karena merupakan

indikator penyembuhan luka.


l. Kulit disekitar luka

Maserasi kulit di sekitar luka terjadi karena retensi

cairan, sering diakibatkan oleh pemilihan dressing

yang kurang tepat.Kondisi ini dapat menjadi fokus

infeksi dan menghambat penyembuhan luka.Kulit

kering dan berskuama juga berpotensi infeksi karena

masuknya bakteri melalui retakan-retakan

epidermis.Jaringan nekrotik harus dibersihkan dan kulit

harus direhidrasi kembali dengan krim pelembab.

Selain faktor diatas tenaga medis juga perlu ada

beberapa faktor yang harus dipertimbangkan ketika

melakukan pengkajian pada pasien dengan luka,

diantaranya tertera pada tabel dibawah ini

Tabel 2.2 pengajian pada pasien


dengan luka
Faktor Penjelasan
Penyakit yan menyertai : Pertimbangan :

Anemia Penurunan oksigen yang

Arteriosklerosis dikarenakan kerusakan

Kanker pembuluh darah

Diabetes Loss of mobility

Gangguan imun Keterlambatan proses

Inflammatory disease penyembuhan

Penyakit hati

Uremia
Rematoid artritis

Infeksi Infeksi disebabkan oleh

organisme yang menyerang

sistem pertahanan tubuh dan

pada akhirnya

memperlambat proses

penyembuhan luka
Umur Kapasitas jarinan
status nutrisi Pengkajian status nutrisi

pasien sangat penting

dilakukan untuk memastikan

keseimbangan diet pasien

sebagai kebutuhan

penyembuhan luka

Intake nutrisi yang

berkurang akan menghambat

proses penyembuhan luka


Merokok Mengurangi aliran darah ke

perifer yang berakibat pada

berkurangnya ketersediaan

oksigen untuk penyembuhan

luka
Obat-obatan Obat golongan steroid,

NSAID dan

antiprostaglandin dapat

mengganggu proses
penyembuhan luka
Lingkungan sosial Ada hubungan antara

keadaan sosial yang

menengah kebawah dan

sehat-sakit
Gaya hidup dan status Faktor lain seperti stres,

psikologi body image dan nyeri punya

efek pada proses

penyembuhan
Manajemen perawatan luka Evaluasi dari treatment

sebelumnya sebelumnya penting

dilakukan untuk menegakkan

menejemen luka yang efektif


Nyeri Nyeri luka kronis seringkali

menggangu pola tidur,

distres emosional dan

depresi
(Jonshon, 2015)

2.3.2.2. Pembersihan luka (wound Toilet)

Pembersihan pada luka dapat dilakukan dengan

mencuci pada area luka dan sekitarnya. Bahan pencucian

luka yang selama ini masih digunakan yaitu perhidrol,

savlon, boor water atau garam faali, normal saline.

Penggunaan bahan pencucian luka disesuaikan dengan

keadaan atau karakteristik suatu luka. Teknik utama dalam

melakukan pembersihan atau pencucian luka yaitu dengan


menganalisis keadaan luka, kering ataukah basah. Pada luka

kering dibersihkan dengan teknik swabbing, yaitu dengan

cara ditekan dan digosok perlahan-lahan dengan

menggunakan kasa steril yang dibasahi dengan bahan

pencuci luka. Sedangkan luka basah dibersihkan dengan

teknik irigasi, yaitu dengan cara disemprot lembut dengan

bahan pencuci luka.

2.3.2.3. Debridement (wound excision)

Debridement adalah suatu proses usaha

menghilangkan jaringan mati dan jaringan yang sangat

terkontaminasi dari bed luka dengan mempertahankan

secara maksimal struktur anatomi yang penting.

e. Tujuan tindakan debridemen:

a. Menghilangkan jaringan yang terkontaminasi oleh

bateri dan benda asing, sehingga pasien dilindungi

terhadap kemungkinan invasi bakteri.

b. Menghilangkan jaringan yang sudah mati atau

eskar dalam persiapan bagi graf dan kesembuhan

luka.

f. Jenis tindakan debridemen:

Perbedaan metode debridemen menurut Wounds

UK (2013) yaitu :

1. Autolytic Debridement
Proses ini melibatkan sel fagosit dan enzim

proteolitik yang dikeluarkan saat fase inflamasi

proses penyembuhan luka (Gray et al, 2011).

Autolytic debridement adalah metode debridemen

mudah dan tanpa nyeri (Benbow, 2008). Akan

tetapi, metode ini lebih lambat daripada metode

lainnya dan tidak cocok untuk penyembuhan luka

dengan timely intervention dibutuhkan, sebagai

contoh adanya infeksi (Mcfarland dan Smith,

2014).

2. Mechanical debridement

Metode ini mengacu pada metode dimana

jaringan nekrosis dan debris secara fisik

dihilangkankan dari luka..

3. Larval therapy

Larval therapy merupakan debridemen yang

melibatkan larva Lucilia sericata steril. Larva ini

meproduksi enzim proteolitik yang bisa

menghancurkan jaringan yang mati dengan

memakan dan mencerna jaringan mati tersebut

tanpa merusak jaringan yang sehat (Smith et al,

2013). Meskipun metode ini disertai dengan nyeri,

akan tetapi metode ini membutuhkan waktu yang


relatif sedikit jika deibandingkan dengan metode

autolytic debridement (Dumville, 2009).

4. Hidrosurgical debridement

Metode ini merupakan metode debridemen

yang diaplikasikan pada luka secara berkelanjutan

dan intermiten, serta aliran cairan diberikan

bertekanan tinggi. Teknik ini direkomendasikan to

menghilangkan sisa jaringan debris setelah

dilakukan sharp debridement. Metode ini sangat

mudah, murah dan cocok untuk area luka yang

cenderung tidak luas atau kecil seperti tangan dan

kaki (Janis dan Harrison, 2014).

5. Sharp debridement

Metode ini dilakukan dengan menggunakan

gunting bedah dan forcep sampai tempat yang

masih terasa sakit dan mengeluarkan darah. Hal ini

dapat berpotensi merusak proses penyembuhan luka

dan berakibat pada waktu proses penyembuhan

lukanya. Sharp debridement tidak bisa

menghilangkan semua jaringan mati dan

membutuhkan kombinasi dari autolytic

debridement.

6. Surgical debridement
Metode ini merupakan metode debridemen

yang melibatkan eksisi yang agresif untuk

menghilangkan jaringan yang telah mati dan cocok

digunakan pada luka yang cenderung luas . Surgical

debridement dilakukan diruang operasi oleh ahli

bedah atau praktisioner. Metode ini ada;ah metode

debridement yang membutuhkan biaya yang lebih

banya dibandingkan dengan metode lainnya (Smith

et al, 2013)

2.3.2.4. Pemberian topikal (wound topical)

Terapi topikal atau bahan balutan topikal (luar) atau

dikenal juga dengan istilah dressing adalah bahan yang

digunakan seara topikal atau menempel pada permukaan

kulit tubuh dan tidak digunakan secara sistemik. Pada

perawatan luka, bahan topikal adalah bahan utama atau obat

yang digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan

luka dengan membantu menciptakan dan mempertahankan

kondisi yang dapat mendukung penyembuhan luka

(Arisanty, 2014).

Dalam pemilihan terapi topikal, ada beberapa tujuan

penting, yaitu tujuan pendek yang dicapai setiap kali

mengganti balutan dan dapat menjadi bahan evaluasi


keberhasilan dalam menggunakan satu atau beberapa jenis

terapi topikal :

1. Menciptakan lingkungan yang kondusif dalam

penyembyhan luka

2. Meningkatkan kenyamanan klien

3. Melindungi luka dan kulit sekitarnya

4. Mengurangi nyeri dengan mengeluarkan udara dari

ujung saraf

5. Mempertahankan suhu pada luka

6. Mengontrol dan mencegah perdarahan

7. Menampung eksudat

8. Imobilisasi bagian tubuh yang terluka

9. Aplikasi penekanan pada area perdarahn atau vena yang

statis

10. Mengurangi stres yang ditimbulkan oleh luka dengan

menutup secara tepat

2.3.2.5. Penutupan luka (wound dressing)

Bertujuan melindungi luka dari trauma dan infeksi.

Dalam kondisi lembab penyembuhan luka lebih cepat 50%

dibanding luka kering. Perawatan luka dalam suasana

lembab akan membantu proses penyembuhan luka, dimana

suasana lembab dibutuhkan untuk pertahanan lokal oleh


makrofag, akselerasi angiogenesis dan mempercepat proses

reepitelisasi.

2.3.2.6. Dokumentasi Perawatan Luka

Dokumentasi perawatan luka sangat perlu dilakukan.

Tujuannya untuk mengetahui potential masalah dari luka,

dapat memberikan informasi yang adekuat sehubungan

dengan luka, dapat merencanakan perawatan luka

selanjutnya yang akan dilakukan dan dapat mengkaji

perkembangan terapi atau masalah lain yang timbul akibat

dari luka. Dokumentasi diharapkan dapat bersifat factual

dan tidak subjektif

2.3.2.6. Balutan luka

1. Jenis balutan

a. Hidrogel

Gambar 2.1 Hidrogel


Dapat membantu proses peluruhan jaringan

nekrotik oleh tubuh sendiri. Berbahan dasar gliserin/air

yang dapat memberikan kelembapan; digunakan

sebagai dressing primer dan memerlukan balutan

sekunder (pad/kasa dan transparent fi lm). Topikal ini

tepat digunakan untuk luka nekrotik/berwarna

hitam/kuning dengan eksudat minimal atau tidak ada.

b. Film dressing

Gambar 2.2 Film dressing

Jenis balutan ini lebih sering digunakan

sebagai secondary dressing dan untuk luka-luka

superfisial dan non-eksudatif atau untuk luka post-

operasi. Terbuat dari polyurethane fi lm yang disertai

perekat adhesif; tidak menyerap eksudat.

Indikasi: luka dengan epitelisasi, low exudate,luka

insisi.

Kontraindikasi: luka terinfeksi, eksudat banyak.

c. Hydrocolloid
Balutan ini berfungsi mempertahankan luka dalam

suasana lembap, melindungi luka dari trauma dan

menghindarkan luka dari risiko infeksi, mampu

menyerap eksudat tetapi minimal; sebagai dressing

primer atau sekunder, support autolysis untuk

mengangkat jaringan nekrotik atau slough. Terbuat dari

pektin, gelatin, carboxymethylcellulose, dan elastomers.

Indikasi: luka berwarna kemerahan dengan epitelisasi,

eksudat minimal.

Kontraindikasi: luka terinfeksi atau luka grade III-IV.

d. Foam atau absorbant dressing

Gambar 2.3 absorbant dressing

Balutan ini berfungsi untuk menyerap cairan luka yang

jumlahnya sangat banyak (absorbant dressing), sebagai

dressing primer atau sekunder. Terbuat dari

polyurethane ; non-adherent wound contact layer,

highly absorptive.

Indikasi: eksudat sedang sampai berat.

Kontraindikasi: luka dengan eksudat minimal, jaringan

nekrotik hitam.
e. Dressing antimikrobial

Gambar 2.4 silver


Balutan mengandung Dressing1,2%
antimikrobial
dan hydrofi ber

dengan spektrum luas termasuk bakteri MRSA

(methicillin-resistant Staphylococcus aureus). Balutan

ini digunakan untuk luka kronis dan akut yang

terinfeksi atau berisiko infeksi. Balutan antimikrobial

tidak disarankan digunakan dalam jangka waktu lama

dan tidak direkomendasikan bersama cairan NaCl

0,9%.

f. Alginate

Terbuat dari rumput laut, membentuk gel diatas

permukaan luka, mudah diangkat dan dibersihkan, bisa

menyebabkan nyeri, membantu untuk mengangkat

jaringan mati, tersedia dalam bentuk lembaran dan pita,

kandungan calsium dapat membantu menghentikan

perdarahan. Alginate digunakan pada fase pembersihan

luka dalam maupun permukaan, dengan cairan banyak,

maupun terkontaminasi karena dapat mengatur eksudat

luka dan melindungi terhadap kekeringan dengan


membentuk gel serta dapat menyerap luka > 20 kali

bobotnya. Bersifat tidak lengket pada luka, tidak sakit

saat mengganti balutan, dapat diaplikasikan selama 7

hari serta memiliki indikasi dapat dipakai pada luka

dengan eksudat sedang sampai dengan berat seperti

luka decubitus, ulkus diabetik, luka operasi, luka bakar

deerajat I dan II, luka donor kulit. Dengan

kontraindikasi tidak bisa digunakan pada luka dengan

jaringan nekrotik dan kering

2.4. Musa sapientum

Musa sapientum merupakan tanaman pisang yang berasal dari

keluarga Musaceae. pisang ini tumbuh mulai dari 5-9 meter.

Klasifikasi taksonomi

Kingdom : Plantae

Division : Magnoliophyta

Class : Liliopsida

Order : Zingiberales

Family : Musaceae

Genus : Musa

Species : Musa paradisiaca, Musa sapientum

Hampir semua bagian dari Musa sapientum ini memiliki kegunaan.

Buah ini terkenal karena nutrisi dan efek terapeutiknya pada kesehatan
manusia, sebagian besar mengandung phytochemical dan antioksidan.

Penelitian baru-baru ini menunjukkan bahwa mengonsumsi pisang dapat

memperlambat proses aging dan mencegah penyakit kanker dan jantung

(Bae et al, 2008; Kawasaki et al, 2008; Wright et al, 2008). Daunnya

digunakan sebagai dressin pada luka bakar dan blister, bunganya

digunakan untuk mengobati disentri dan menorhagia, batangnya digunakan

untuk membantu mengobati diare, disentri, kolera, otalgia, dan hemoptisis

(Ghani, 2003). Pisang jenis ini mengandung flavonoid yang dikenal

sebagai zat yang menunjang proses penyembuhan luka karena zat

astringent dan antimicrobialnya serta kedua zat tersebut berperan pada

kontraksi luka dan menambah kecepatan epitelisasi (Imam dan Akter,

2011). Catecholamines seperti nonepinephrine, serotonin,

dopamin,triptopan , vitamin B dan C, albumin, lemak , garam mineral

dan pectin yang ditemukan pada daging buahnya (Ragasa et al, 2007).

Ekstrak dari kulit mentahnya menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap

S. Aureus , S. aureus, Salmonella paratyphi, Shigella flexnerii, E. coli,

Klebsiella pneumoniae, B. subtilis and Pseudomonas aeruginosa (Fagbemi

et al., 2009).

2.5. Povidone Iodine

Povidone Iodine (PVP-I) merupakan kombinasi dari molekul

iodine dan polyvinylpyrrolidone surfactant yang telah digunakan sebagai

antiseptik pada perawatan luka sejak lebih dari satu abad yan lalu

(Bigliardi et al,2017). Povidone Iodine memiliki sifat antimikrobial yang

dapat melawan pertumbuhan bakteri, bacteria, mycobacteria, fungi,


protozoa dan virus yang ada pada luka kronis maupun luka akut (Sibbald,

2011). Akan tetapi iodin bersifat iritatif dan lebih toksik bila masuk ke

pembuluh darah. Dalam penggunaannya iodin harus diencerkan terlebih

dahulu, hal ini karena iodin dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan

iritasi kulit. Selain itu iodin dalam penggunaan yang berlebihan dapat

menghambat proses granulasi luka. Dalam perawatan luka secara umum

biasanya menggunakan iodin 10%.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Povidone Iodine

berpotensi menggangu proses penyembuhan luka khususnya pembentukan

fibroblast dan keratinocytes.

Tabel 2.3 Evidence based practice konsep perawatan luka menggunakan ekstrak kulit pisang
Musa sapientum pada luka saya tikus putih

N NAMA TAHU JUDUL METODE HASIL

O N
1 Atzinge 2013 Unripe True experiment Gel dari kulit

n et al Musa dengan jumlah pisang Musa

sapientum sampling 120 sapientum pada

peel in the yang dibagi konsentrasi 4%

healing of menjadi 2 grup, yang diaplikasikan

surgical grup kontrol pada luka sayat

wounds in ( diberikan dapat menambah

rats natrosol gel jumlah sel

tanpa ekstrak polymorphonuclea

kulit pisang) dan r pada hari ke-7


grup eksperimen dan mengurangi

( kombinasi kontraksi luka dan

natrosol gel dan proliferasi

ekstrak kulit pembuluh darah,

pisang 4%) maupun menambah

konsentrasi dari

serat kolagen pada

hari ke-21.

2 Agarwal 2009 Evaluation True experiment, Ektrak kulit pisang

et al of wound dengan Musa sapientum

healing menggunakan mampu membantu

activity of sampel tikus mempercepat

extracts of putih ( 150-200 proses

plantain gr) yang dibagi penyembuhan luka

banana menjadi 2 grup ; karena efek

(Musa grup 1 (grup antioksidan dan

sapientum kontrol, hanya beberapa

var. diberikan kandungan

paradisiaca treatment CMC biokimianya.

) in rats [carboxy methyl

cellulose],0,5%,

MSW/aqueous,

MSE/methanolic

) dan grup
2( kelompok

perlakuan,

diberikan

treatment CMC

[carboxy methyl

cellulose],0,5%,

MSW/aqueous,

MSE/methanolic

dan ekstrak

bubuk kulit

pisang)

3 Lino et 2011 Evaluation True experiment Penyembuhan luka

al of post- dengan jumlah sayat yang di

surgical sampel 30 ekor berikan treatment

healing in tikus jantan dan dengan CMS gel

rats using a dibagi menjadi 3 lebih cepat dari

topical grup ; grup 1 pada kontrol grup

preparation (control group dan placebo grup.

based on tanpa treatment), CMS gel juga

extract of grup 2 mengahalangi

musa (kelompok pertumbuhan

spientum L., perlakuan, bakteri dan

Musceae, placebo gel, enterobacteria

epicard sehari sekali pada luka


selama 7 hari),

grup 3

(kelompok

perlakuan, CMS

gel yang terdiri

dari ekstrak kulit

pisang 10%,

carbopol 0,7%,

proplylene

glycol 3%,

EDTA 0,1%, dan

methylparaben

0,2%, sehari

sekali selama 7

hari)
4 Atzinge 2015 Ektrak kulit pisang

n et al Repair of Longitudinal, 60 dengan konsentrasi

surgical ekor sample 10 % menunjukkan

wounds in tikus putih anti-inflamasi dan

rats using a dipilih secara menstimulasi

10% unripe acak dan dibagi penyembuhan luka

Musa menjadi 2 grup ; pada kulit tikus

sapientum grup 1 (kontrol putih ketika

grup, diberikan dibandingkan


peel gel1
gel tanpa ekstrak dengan gel tanpa
kulit pisang), ektrak kulit pisang.

grup 2

(kelompok

perlakuan,

diberikan

treatment

ekstrak kulit

pisang 10 %).

Gel

diaplikasikan

pada luka setiap

3 hari dan

diobservasi pada

hari ke-14, ke-21

dan ke-28.
Penyebab luka

Luka akut Luka kronis

Lasisi Trauma
pembedahan

Tikus putih
LUKA SAYAT Gangguan Inflamasi Cedera
(wistar rats)
vaskuler kronis berulang

Perawatan luka

Ekstrak Kulit pisang (Musa Povidone iodine 10%


sapientum)

Baik (10-23)
Sedang (24-36)
Buruk 37-50)
Fase penyembuhan luka :
Fase inflamasi atau peradangan
Fase proliferasi
Fase maturasi atau remodeling
: diteliti

: tidak diteliti

Bagan 2.1 efektifitas perawatan luka menggunakan kulit pisang Musa


sapientum dan povidone iodine 10% terhadap panjang luka sayat pada
tikus putuh (Wistar rats)
Penjelasan kerangka konsep

Dari kerangka konsep diatas dapat dijelaskan, tikus putih disayat pada bagian

tubuhnya, selanjutnya untuk menyembuhkan luka sayat tersebut diperlukan

perawatan luka. perawatan luka dilakukan dengan menggunakan dua media pada

tikus putih yang berbeda. Pada konsep diatas dilakukan perawatan luka

menggunakan ektrak kulit pisang (Musa sapientum) dan Povidone Iodine 10%.

Proses penyembuhan luka yang melalui fase inflamasi atau peradangan, fase

proliferasi dan fase maturasi atau remodelling tersebut dikategorikan dalam

kondisi baik, sedang maupun buruk.

2.6. Hipotesis

Ada perbedaan penyembuhan luka menggunakan kulit pisang (Musa sapientum)

dan Povidone Iodine 10% terhadap panjang luka sayat pada tikus putih (Wistar

rats) ( H0 : tidak diterima)


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah True

Experiment Design, yaitu suatu desain penelitian yang memberikan

manipulasi terhadap independent variable, melakukan randomisasi untuk

memisahkan sampel penelitian, serta terdapat dua kelompok sampel

(treatment and control groups) yaitu kelompok menggunakan Povidone

Iodine 10% dan kelompok menggunakan ekstrak kulit Musa Sapientum.

Bentuk pendekatan yang digunakan yaitu Post - Test Only Control Group

Design (Swarjana, 2015; Nursalam, 2008; Noor, 2017).

Diberikan perlakuan Post test (hasil


Kelompok 1 (Povidone Iodine pengukuran /
10%) observasi)
Dibandingkan
Diberikan perlakuan Post test (hasil
Kelompok 2 (ekstrak kulit Musa pengukuran /
Sapientum) observasi)

Bagan 3.1 Kelompok Perlakuan

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari 2018. Penelitian ini

dilakukan di Gedung Laboratorium Biomedik Universitas Muhamadiyah

Malang (UMM)
3.3 Kerangka Kerja

POPULASI
Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Wistar Strain) jantan berumur
10 – 16 minggu dengan berat antara 100 – 150 gram yang diperoleh dari
Laboratorium Biomedik Universitas Muhamadiyah Malang (UMM).

TEKNIK SAMPLING

SAMPLE
Sampel penelitian ini diambil secara acak yaitu menggunakan tikus
putih (Wistar Strain) sebanyak 32 ekor

DESAIN PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan True
Experiment Design

PERLAKUAN PERLAKUAN
Kelompok tikus putih dengan Kelompok tikus putih dengan perlakuan
perlakuan Povidone Iodine 10% ekstrak kulit Musa Sapientum

PENGUMPULAN DATA
Teknik pengelolaan data dengan Editing, Coding, Scoring dan Tabulating. Uji
Statistic dengan menggunakan metode Independent T Test dengan bantuan SPSS 18
for windows 7

KESIMPULAN
Jika P < 0,05 maka H1 diterima berarti ada perbedaan, namun jika
P > 0,05 maka H1 ditolak berarti tidak ada perbedaan
Bagan 3.2 Kerangka Kerja
3.4 Desain Sampling

3.4.1 Populasi

Populasi adalah subjek atau keseluruhan objek penelitian atau

objek yang diteliti. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini

adalah tikus putih (Wistar Strain) jantan berumur 10 – 16 minggu

dengan berat antara 100 – 150 gram yang diperoleh dari

Laboratorium Biomedik Universitas Muhamadiyah Malang

(UMM).

3.4.2 Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti yang mewakili populasi dan

dapat digunakan sebagai subjek penelitian. Sampel harus

representatif sehingga harus cukup banyak. Pada penelitian ini

sampel diambil secara acak yaitu menggunakan tikus putih (Wistar

Strain) sebanyak 32 ekor. Banyaknya jumlah sampel ini ditentukan

dengan rumus Federer.

Rumus Federer :

(n – 1) (t – 1) ≥ 15

Keterangan :

n = besar sampel dalam setiap kelompok

t = banyakya kelompok
Perhitungan jumlah minimal tikus yang digunakan dalam setiap

kelompok :

(n – 1) (t – 1) ≥ 15

(n – 1) (2 – 1) ≥ 15

(n – 1) 1 ≥ 15

n – 1 ≥ 15

n ≥ 16

Berdasarkan perhitungan tersebut, dalam percobaan ini digunakan

sampel sebanyak 16 ekor tikus putih untuk setiap kelompok,

sehingga jumlah total sampel yang digunakan adalah 32 ekor.

Dalam prosesnya, peneliti menggunakan beberapa kriteria pada

populasi antara lain :

1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi yaitu kriteria yang perlu dipenuhi setiap

anggota populasi yang dijadikan sampel. Kriteria pada

penelitian ini yaitu :

a. Sehat (rambut tidak kusam, rontok, ataupun botak, serta

mampu bergerak aktif)

b. Memiliki berat badan sekitar 100 – 150 gram

c. Berjenis kelamin jantan

d. Berusia sekitar 10 – 16 minggu


2. Kriteria Ekslusi

Kriteria ekslusi yaitu kriteria yang tidak dapat diambil sebagai

sampel atau dengan kata lain perlu dihilangkan. Kriteria

ekslusi pada penelitian ini yaitu :

a. Sakit (rambut kusam, rontok atau botak, serta aktivitas

kurang atau tidak aktif)

b. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% selama

masa adaptasi

c. Mati selama pemberian perlakuan

3.4.3 Sampling

Sampling adalah proses menyeleksi unit yang diobservasi dari

keseluruhan populasi yang akan diteliti. Pada penelitian ini, teknik

sampling yang digunakan Simple Random Sampling yaitu sampling

dengan subjek yang memiliki peluang yang sama untuk terpilih

sebagai subjek dalam penelitian.


3.5 Identifitas Variabel

Variabel adalah perilaku atau karakteristik baik ciri, sifat maupun ukuran

yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu.

3.5.1 Variabel Independen

Variabel independen atau disebut juga variabel bebas adalah

variabel yang mempengaruhi atau menentukan nilai variabel lain.

Variabel independen dalam penelitian ini adalah pemberian ekstrak

kulit Musa Sapientum dan Povidone Iodine 10%.

3.5.2 Variabel Dependen

Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang

ditentukan / dipengaruhi nilainya oleh variabel lain. Variabel

dependen pada penelitian ini adalah efektivitas controlling bakteri

luka terkontaminasi pada tikus putih.


3.6 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Indikator Alat Ukur Skala Skoring

1 Variabel

Independen :

Pemberian Pemberian antiseptik yang Ekstrak kulit pisang dapat Observasi Interval -

ekstrak kulit terbuat atau berasal dari bahan menghambat atau membunuh

Musa tradisional yaitu kulit pisang bakteri pada luka

Sapientum terkontaminasi yang ditandai

dengan:

1. Berkurangnya jumlah

bakteri pada luka

2. Penyembuhan luka

menjadi lebih cepat

3. Tidak muncul tanda-


tanda infeksi
2 Variabel

Independen :

Pemberian Pemberian antiseptik yang Povidone Iodine 10% dapat Observasi Interval -

Povidone Iodine sudah sering beredar di menghambat atau membunuh

10% masyarakat sekitar dan terbukti bakteri pada luka

memiliki kemampuan yang terkontaminasi yang ditandai

baik dalam menyembuhkan dengan:

luka 1. Berkurangnya jumlah

bakteri pada luka

2. Penyembuhan luka

menjadi lebih cepat

3. Tidak muncul tanda-

tanda infeksi
3 Variabel
Dependen :

penyembuhan Luka sayat adalah luka yang Observasi Rasio Dikatakan

luka sayat sengaja dibuat dengan efektif

menggunakan alat bedah yang panjang

dalam hal ini adalah pisau luka sayat

bedah berkurang
3.7 Pengumpulan Data dan Analisa Data

3.7.1 Pengumpulan Data

1. Proses Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah proses pendekatan dan pengumpulan

karakteristik subjek yang diperlukan pada penelitian. Proses

pengumpulan data pada penelitian ini, peneliti terlebih dahulu

menyelesaikan proposal untuk diajukan ke Universitas

Muhammadiyah Malang untuk memperoleh ethical clearance.

Setelah memperoleh ethical clearance peneliti mendapatkan

surat pengantar dari Ketua STIKes Kepanjen Kabupaten

Malang untuk diserahkan kepada pihak Laboratorium

Biomedik UMM untuk memperoleh ijin dan syarat melakukan

penelitian. Setelah mendapatkan ijin, penelitian dapat

dilakukan sesuai prosedur yang dibuat peneliti.

2. Instrument Pengumpulan Data

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan

untuk pengumpulan data. Pada penelitian ini, peneliti

menggunakan alat pengumpulan data berupa observasi

(pengamatan). Dalam observasi ini instrumen yang digunakan

adalah blangko pengamatan atau checklist mengenai perbedaan

efektivitas perawatan luka dengan menggunakan ekstrak kulit

Musa Sapientum dan Povidone Iodine 10 % terhadap luka

terkontaminasi pada tikus putih (Wistar rat).


3.7.2 Analisa Data

1. Langkah – Langkah Analisa Data

a. Editing

Editing adalah kegiatan pengecekan dan perbaikan hasil

dari observasi / pengamatan yang dilakukan agar tidak

terjadi kesalahan.

b. Koding

Koding adalah pengubahan data bentuk kalimat atau huruf

menjadi angka atau bilangan untuk memudahkan analisis

data.

a) 1 : Tikus putih dengan perlakuan ekstrak kulit Musa

Sapientum

b) 2 : Tikus putih dengan perlakuan Povidone Iodine

10%

c. Entri Data

Memasukan data yang telah diperoleh dengan

menggunakan komputer.

d. Tabulating

Melakukan pengelompokan data ke dalam tabel sehingga

memudahkan untuk di analisis.


2. Prosedur Analisis Data

a. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.

Pada penelitian ini digunakan nilai mean, median dan

standar deviasi.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang

diduga berhubungan atau berkorelasi. Untuk mengetahui

hasil penelitian dilakukan uji statistik yaitu T Test dengan

tingkat kesalahan 5%.

3. Penarikan Kesimpulan

a. Jika P < 0,05 artinya terdapat komparatif yang bermakna

antara perbandingan efektivitas kulit pisang (musa

sapientum / banana peel) mentah dan povidon iodin dalam

mengontrol bakteri pada luka terkontaminasi yang

dilakukan pada tikus putih (mencit / wistar strain)

b. Jika P > 0,05 artinya tidak terdapat komparatif yang

bermakna antara perbandingan efektivitas kulit pisang

(musa sapientum / banana peel) mentah dan povidon iodin

dalam mengontrol bakteri pada luka terkontaminasi yang

dilakukan pada tikus putih (mencit / wistar strain)


3.7.3 Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : kandang

tikus putih, spuit untuk anastesi, pisau cukur, pisau bedah,

headlamp, papan bedah, agar plate, mikroskop, checklist tabel.

2. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu pelet makanan tikus

putih, kassa, Povidone Iodine 10% dan ekstrak kulit pisang

(Musa Sapientum).

3.7.4 Prosedur Penelitian

1. Adaptasi Tikus

Tikus putih sebanyak 32 ekor dilakukan pengelompokan dalam

2 kandang dimana masing – masing kandang terdiri dari 16

tikus. Sampel diadaptasikan selama 7 hari. Selama masa

adaptasi tikus diberi makan berupa pelet 2 kali sehari dan

minum.

2. Pembuatan Ekstrak Kulit Pisang (Musa Sapientum)

Pisang mentah utuh terlebih dahulu ditimbang sejumlah yang

dibutuhkan, kemudian dicuci hingga bersih menggunakan air

mengalir. Selesai dicuci kulit pisang dipisahkan terlebih dahulu

dari buahnya dan dihilangkan bagian-bagian yang berwarna

hitam. Setelah itu kulit pisang dihaluskan dan disterilkan. Hasil

ekstraksi yang didapat adalah ekstrak 100%. Ekstrak yang


didapat diencerkan menggunakan akuades steril untuk

mendapatkan konsentrasi yang diinginkan.

3. Proses Pembedahan / Sayatan

Tikus yang telah diadaptasikan selama 7 hari dicukur pada area

punggung sebelum dilakukan penyayatan. Sebelum disayat,

tikus diletakkan di papan pembedahan dengan posisi sim dan

dilakukan fiksasi pada bagian tangan kaki dan ekor agar mudah

saat melakukan sayatan. Setelah dipastikan tikus terfiksasi, di

dibius dengan menggunakan dan kemudian dilakukan

pembedahan dengan membuat sayatan pada bagian punggung

sebesar 4 x 4 cm.

4. Proses perawatan luka

Setelah disayat, ekstrak kulit pisang diaplikasikan pada luka

dan kemudian dibalut dengan kasa steril sebagai primary

dressing dan kasa gulung sebagai secondary dressing..


3.8 Etika Penelitian

Penelitian ini diajukan kepada Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran

Universitas Muhammadiyah Malang untuk mendapatkan ethical clearance,

dengan menerapkan prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu:

1. Replacement

Hewan coba yang dipilih mengutamakan hewan dengan sensitivitas

neurofisiologik paling rendah (non-sentient organism) dan hewan paling

rendah di skala evolusi.

2. Reduction

Pemanfaatan hewan coba harus sesedikit mungkin namun mendapat

hasil yang optimal. Dalam penelitian ini jumlah sampel dihitung

menggunakan rumus Federer yaitu (n – 1) (t – 1) ≥ 15, dengan n adalah

jumlah hewan yang diperlukan setiap kelompok dan t adalah jumlah

kelompok perlakuan.

3. Refinement

Penanganan hewan coba dari awal sampai akhir harus dilakukan secara

manusiawi. Pemberian pakan, air, kandang, sanitasi, suhu, dan

kelembaban harus memenuhi pesyaratan dan dipantau selama penelitian

berlangsung. Pada pelaksanaan penelitian diupayakan meminimalisir

rasa nyeri dan ketidaknyamanan pada hewan percobaan.


Daftar pustaka

Akter, M. Z. (2011). Musa paradisiaca L. and Musa sapientum L. : A

Phytochemical and Pharmacological Review. Journal of Applied

Pharmaceutical Science , 1 (05), 14-20.

Aline Pereira n, M. M. (2015). banana (Musa spp) from peel to pulp :

ethnopharmacology source of bioactive compounds and its relevance for

human health. Journal of Ethnopharmacology , 160, 149–163.

Benbow, M. (2016). Best practice in wound assessment. nursing standart , 30

(27), 40.

Connie L. Harris RN MSc ET IIWCC, J. K. (2017). Best practice recomendations

for the prevention and management wound complications. Canada:

woundscanada.ca.

Dênia Amélia Novato Castelli Von AtzingenI, A. G. (2011). Gel from unripe

Musa sapientum peel to repair surgical wounds in rats. Acta Cirúrgica

Brasileira , 26 (5), 379.

Dênia Amélia Novato Castelli Von AtzingenI, A. G. (2013). Unripe Musa

sapientum peel in the healing of surgical wounds in rats. Acta Cirúrgica

Brasileira , 28, 33.

Dênia Amélia Novato Castelli Von AtzingenI, A. R. (2015). Repair of surgical

wounds in rats using a 10% unripe Musa sapientum peel gel. Acta

Cirúrgica Brasileira , 30 (9), 586- 592.


Dian Ariningrum, J. S. (2017). Buku Ketrampilan klinis Menejemen luka.

Surakarta: FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS

MARET SURAKARTA.

Gulzar Alam, M. P. (2011). WOUND HEALING POTENTIAL OF SOME

MEDICINAL PLANTS. International Journal of Pharmaceutical

Sciences Review and Research , 9 (1), 136-145.

Ika Rahmawati, S. M. (2014). Perbedaan efek perawatan luka dengan

menggunakan gerusan daun petai cina (Leucaena glauca, Benth) dan

Povidone Iondine 10% dalam mempercepat penyembuhan luka bersih

pada marmut (Carvia porcellus). Jurnal Wiyata , 1(2), 227-334.

Jonhson, S. (2015). Five steps to successful wound healing in the community.

JCN , 29(4), 30-39.

Kartika, R. W. (2015). Perawatan Luka Kronis Dengan Modern Dressing. CDK ,

42(7).

McFarland A, S. F. (2014). Wound debridement: a clinical update. Nursing

Standard , 28(52), 51-58.

P K Agarwal, A. S. (2009). Evaluation of wound healing activity of extracts of

plantain banana (Musa sapientum var. paradisiaca) in rats. Indian journal

of experimental biology , 47, 32-40.

Patrícia Bataglini Franco, L. A. (2017). Chitosan Associated with the Extract of

Unripe Banana Peel for Potential Wound Dressing Application.

International Journal of Polymer Science , 8.


Priscila B. Lino, C. F. (2011). Evaluation of post-surgical healing in rats using a

topical preparation based on extract of Musa sapientum epicarp. Revista

Brasileira de Farmacognosia Brazilian Journal of Pharmacognosy ,

21(3), 491-496.

Rufo S. Calixtro, J. P. (2014). WOUND HEALING POTENTIAL OF THE

ETHANOLIC EXTRACT OF BANANA FLOWER (Musa sapientum,

BBB ‘Saba’, Family Musaceae). International Journal Pharmacy , 4(2),

33-37.

Vuolo, J. C. (2013). Assessment and management of surgical wounds in clinical

practice. Public Health Database , 20 (52), 46.

Wafaa Gameel Ali, H. A. (2015). The Effectiveness of Using Banana Leaf

Dressing in Management of Partial Thickness Burns’ Wound.

INTERNATIONAL JOURNAL OF NURSING DIDACTICS , 5.

Anda mungkin juga menyukai