Obat Gagal Jantung
Obat Gagal Jantung
2.3. DIURETIK
Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu
disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau
edema perifer. Penggunaan diuretik dengan cepat menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Pada pasien pasien ini diuretik
mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik
vena, dan tekanan pengisian ventrikel (preload). Dengan demikian, edema perifer dan
kongesti paru akan berkurang / hilang, sedangkan curah jantung tidak berkurang (pada fase
plateau kurva Frank-Starling). Pada mereka ini, diuretik diberikan sampai terjadi diuresis
yang cukup untuk mencapai euvolemia, dan mempertahankannya.
Untuk tujuan ini, biasanya diberikan diuretik kuat, misalnya furosemid dengan dosis
awal 40 mg od atau bid, dan dosis ditingkatkan sampai diperoleh diuresis yang cukup. Dosis
awal yang lebih tinggi mungkin diperlukan pada gagal jantung lanjut atau yang disertai
dengan gagal ginjal. Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus seringkali dimonitor pada
insufisiensi ginjal atau pada yang memerlukan diuresis yang cepat. Setelah euvolemia
tercapai, dosis diuretik harus diturunkan sampai dosis minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan euvolemia. Gangguan elektrolit dan/atau memburuknya azotemia dapat
terjadi sebelum euvolemia tercapai.
Hipokalemia dapat dikoreksi dengan suplementasi kalium atau penambahan diuretik
hemat kalium. Oleh karena penggunaan diuretik tidak mengurangi mortalitas pada gagal
jantung (kecuali spironolakton), maka diuretik harus selalu diberikan dalam kombinasi
dengan penghambat ACE. Oleh karena penurunan curah jantung akibat deplesi cairan akan
meningkatkan aktivasi neurohormonal yang akan memacu progresi gagal jantung maka
diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang asimtomatik maupun yang tidak ada
overload cairan. Juga penggunaan diuretik tidak boleh berlebihan tetapi dalam dosis minimal
untuk mempertahankan euvolemia.
Diuretik tiazid pada pengobatan gagal jantung tidak pernah diberikan sendiri (karena
efek diuresis.nya lemah, tetapi dalam kombinasi dengan diuretik kuat (akan menunjukkan
efek sinergistik: natriuresisnya melebihi jumlah dari efek masing masing komponennya).
Kombinasi ini diberikan pada pasien yang refrakter terhadap diuretik kuat. Tiazid disertai
dengan ekskresi kalium yang lebih tinggi per satuan volume yang dikeluarkan dibandingkan
diuretik kuat. Jika laju filtrasi glomerulus <30 mL/ menit, diuretik tiazid tidak boleh
digunakan (karena tidak efektif), kecuali jika diberikan bersama diuretik kuat.
Diuretik hemat kalium : triamteren, amilorid. Diuretik hemat kalium adalah diuretik
lemah, karena itu tidak efektif untuk mengurangi volume. Obat obat ini digunakan untuk
mengurangi pengeluaran K atau Mg oleh ginjal dan/atau memperkuat respons diuresis
terhadap obat lain. Pada pengobatan gagal jantung, obat-obat ini hanya digunakan jika
hipokalemia menetap setelah awal terapi dengan penghambat ACE dan diuretik. Pemberian
diuretik hemat kalium dimulai dengan dosis rendah selama 1 minggu, ukur kadar K dan
kreatinin serum setelah 5-7 hari. Titrasi dosis dan ukur lagi tiap 5-7 hari sampai kadar K
stabil, dan selanjutnya tiap 3-6 bulan.
Dosis dan efek samping diuretik oral dapat dilihat pada Tabel 19-3.
2.5. B-BLOKER
Penggunaan B-bloker untuk terapi gagal jantung kronik telah diteliti pada lebih dari
20.000 pasien dalam berbagai uji klinik yang membuktikan bahwa B-bloker memperbaiki
gejala-gejala, mengurangi hospitalisasi dan mortalitas pada pasien gagal jantung ringan dan
sedang. Mekanisme kerja B-bloker dalam terapi gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 19
3.
B-bloker bekerja terutama dengan menghambat efek merugikan dari aktivasi simpatis
pada pasien gagal jantung, dan efek ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan efek
inotropik negatif nya. Stimulasi adrenergik pada jantung memang pada awalnya
meningkatkan kerja jantung, akan tetapi aktivasi simpatis yang berkepanjangan pada jantung
yang telah mengalami disfungsi akan me rusak jantung, dan hal ini dapat dicegah oleh B-
bloker. Pada Gambar 19-3 terlihat bahwa aktivasi simpatis akan mengaktifkan sistem renin-
angiotensin aldosteron (RAA). Renin disekresi oleh sel juksta glomerulus di ginjal melalui
stimulasi reseptor adrenergik B. Selanjutnya aktivitas sistem simpatis maupun sistem RAA
akan mengakibatkan hipertrofi miokard melalui efek vasokonstriksi perifer (arteri dan vena)
dan retensi Na dan air oleh ginjal. Sedangkan vasokonstriksi koroner akan mengurangi
pasokan darah pada dinding ventrikel yang hipertrofi sehingga terjadi iskemia miokard.
Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokard juga akan menyebabkan iskemia
miokard relatif karena peningkatan kebutuhan O2 miokard disertai dengan berkurangnya
pasokan O2 miokard. Iskemia miokard akan menyebabkan perlambatan konduksi jantung,
yang akan memicu terjadinya aritmia Jantung, Norepinefrin juga meningkatkan automatisitas
sel-sel automatik jantung sehingga terbentuk fokus-fokus ektopik yang akan menimbulkan
aritmia jantung. Angiotensin II juga bekerja langsung pada jantung untuk menstimulasi
pertumbuhan sehingga terjadi hipertrofi miokard. Selanjutnya, hipertrofi miokard yang terjadi
akibat stres hemodinamik maupun yang terjadi secara langsung akan memicu apoptosis dan
fibrosis miokard sehingga terjadi remodelling miokard, yang berlangsung secara progresif,
dan dengan demikian terjadi progresi gagal jantung.
Pemberian B-bloker pada gagal jantung sistolik (lihat Gambar 19-3) akan mengurangi
kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel-sel automatik jantung dan efek
antiaritmia lainnya, sehingga mengurangi risiko terjadinya aritmia jantung, dan dengan
demikian mengurangi risiko terjadinya kematian mendadak (kematian kardiovaskular). B-
bloker juga menghambat penglepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA
Akibatnya terjadi penurunan hipertrofi miokard, apoptosis & fibrosis miokard, dan
remodelling miokard, sehingga progresi gagal jantung akan terhambat dan dengan demikian
memburuknya kondisi klinik! juga akan terhambat Sekarang ini B-bloker direkomendasikan
untuk penggunaan rutin pada pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas Il-II)
yang stabil dengan fraksi ejeksi < 35%-45%, etiologi iskemik maupun non iskemik, bersama
penghambat ACE (atau antagonis All), dan diuretik jika diperlukan untuk mengurangi gejala
(pada pasien dengan adanya atau riwayat retensi cairan), dan tidak ada kontra indiakasi.
Diuretik dibutuhkan untuk mempertahankan kesetimbangan Na dan cairan dan mencegah
eksaserbasi retensi cairan yang dapat terjadi pada awal terapi dengan B-bloker. Pasien gagal
jantung yang stabil adalah yang tidak memerlukan perawatan di IGD rumah sakit, tidak ada
atau minimal overload cairan atau deploy volume, dan tidak memerlukan obat inotropik
intravena. Sedangkan kontraindikasi l-bloker adalah asma bronkial, blok AV derajat 2-3,
bradikardia atau hipotensi yang simtomatik Pada pasien gagal jantung dengan gejala-gejala
yang lebih parah (NYHA kelas IIB dan IV),pengalaman yang terbatas menunjukkan bahwa
mereka dapat mentoleransi B-bloker dan mendapat keuntungan, tapi karena risiko yang tinggi
dan pengalaman yang masih terbatas, maka penggunaan B-bloker pada kelompok ini harus
sangat hati-hati Pada pasien gagal jantung yang baru saja terjadi, belum ada pengalaman. Saat
ini, mereka tidak boleh diberi B-bloker sampai kondisinya stabil setelah berhari-hari sampai
berminggu-minggu. Demikian juga penggunaan B-bloker pada pasien disfungsi ventrikel kiri
yang asimtomatik (NYHA kelas I) belum diteliti.
Oleh karena efek B-bloker pada gagal jantung bukan class effect, maka hanya
bisoprolol, karvedilol dan metoprolol lepas lambat yang dapat direkomendasi untuk
pengobatan gagal jantung Pemberian B-blocker harus dimulai dengan dosis sangat rendah,
biasanya < 1/10 dosis target dan ditingkatkan perlahan-lahan dengan supervisi yang ketal
sampai di kapal dosis larget, yakni dosis pemeliharaan yang terbukti efektif pada uji klinik
yang besar. Kecepatan titrasi harus disesuaikan dengan respons pasien biasanya 2 kali lipat
setiap 1-2 minggu pada pasien rawat jalan (lihat Tabel 19.4), Pada awal terapi dengan B-
bloker dapat terjadi
a. retensi cairan dan memburuknya gejala-gejala, maka tingkatkan dosis diuretik:
b. hipotensi, maka kurangi dosis penghambat ACE atau p-bloker:
c. bradikardia, maka kurangi dosis B-bloker, dan/atau (d) rasa lelah, maka kurangi dosis
B bloker. Setelah kondisi pasien stabil, tingkatkan kembali dosis b-blocker.