Anda di halaman 1dari 7

2.

OBAT-OBAT GAGAL JANTUNG


Terapi farmakologi terdiri atas : (1) Penghambat ACE; (2) Antagonis angiotensin II: (3)
Diuretik: (4) Antagonis aldosteron; (5) B-bloker: (6) Vasodilator lain; (7) Digoksin: (8) Obat
inotropik lain; (9) Antitrombotik; (10) Antiaritmia,

2.1. PENGHAMBAT ACE


Penggunaan penghambat ACE untuk terapi gagal jantung didukung oleh berbagai uji
klinik yang mengikutsertakan lebih dari 100.000 pasien. Penghambat ACE terbukti dapat
mengurangi mor mortalitas dan morbiditas pada semua pasien gagal jantung sistolik (semua
derajat keparahan, termasuk yang asimtomatik). Gambar 19-2 menunjukkan mekanisme kerja
penghambat ACE pada terapi gagal jantung.
Penghambat ACE menghambat konversi angiotensin I (Ang 1) menjadi angiotensin II
(Ang l). Tetapi Ang Il juga dibentuk oleh enzim-enzim non ACE, misalnya kimase yang
banyak terdapat di jantung. Kebanyakan efek biologik Ang Il diperantarai oleh reseptor
angiotensin tipe 1 (AT) Stimulasi reseptor menyebabkan vasokonstriksi, stimulasi dan
penglepasan aldosteron, peningkatan aktivitas simpatis dan hipertrofi miokard. Aldosteron
menyebabkan reabsorpsi Na dan air di tubulus ginjal, sedangkan aktivitas simpatis
menyebabkan sekresi renin dari sel jukstaglomerular di ginjal.
Reseptor AT2 memperantarai stimulasi apoptosis dan antiproliferasi. Penghambat
ACE dengan mengurangi pembentukan Ang II akan menghambat aktivitas Ang II di reseptor
AT1 maupun AT2 Pengurangan hipertrofi miokard dan penurunan preload jantung akan
menghambat progresi remodelling jantung. Di samping itu, penurunan aktivasi
neurohormonal endogen (Ang II, aldosteron, norepi nefron) akan mengurangi efek
langsungnya dalam menstimulasi remodelling jantung. Enzim ACE adalah kininase II, maka
penghambat ACE akan menghambat degradasi bradikinin sehingga kadar bradikinin yang
terbentuk lokal di endotel vaskuler akan meningkat. Bradikinin bekerja lokal pada reseptor
BK2 di sel endotel dan menghasilkan nitric oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2), keduanya
merupakan vasodilator, anti agregasi trombosit dan antiproliferasi. Efek samping batuk
kering yang terjadi pada pemberian penghambat ACE (dengan insidens sampai > 30%)
diduga terjadi pada jalur KKP (kalikrein-bradikinin-prostaglandin) dengan melibatkan
bradikinin, substansi P. prostaglandin dan leukotrien. Di samping itu, efek samping
angioedema (dengan insidens 0.1-1%) juga diduga akibat akumulasi bradikinin
Penghambat ACE merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik
ventrikel kiri yang menurun, yakni dengan fraksi ejeksi di bawah normal (< 40-45%), dengan
atau tanpa gejala. Pada pasien tanpa gejala, obat ini diberikan untuk menunda atau mencegah
terjadinya gagal jantung, dan juga untuk mengurangi risiko infark miokard dan kematian
mendadak. Pada pasien dengan gejala gagal jantung tanpa retensi cairan, penghambat ACE
harus diberikan sebagai terapi awal; pada pasien dengan retensi cairan, obat ini harus
diberikan bersama diuretik. Penghambat ACE harus dimulai setelah fase akut infark miokard,
meskipun gejalanya transien, untuk mengurangi mortalitas dan infark ulang serta hospitalisasi
karena gagal jantung. Pada pasien gagal jantung sedang dan berat dengan disfungsi sistolik
ventrikel kiri, penghambat ACE mengurangi mortalitas dan gejala-gejala gagal jantung,
meningkatkan kapasitas fungsional, dan mengurangi hospitalisasi.
Efek samping yang penting adalah batuk. hipotensi, gangguan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan angioedema. Pasien yang tidak dapat mentoleransi obat ini karena batuk
dapat menggunakan AT -bloker sebagal alternatif yang efektif. Pada pasien normotensi,
biasanya tidak terjadi hipotensi atau gangguan fungsi ginjal yang bemakna. Penghambat ACE
dikontraindikasikan pada wanita hamil dan menyusui, pasien dengan stenosis arteri ginjal
bilateral atau angioedema pada terapi dengan penghambat ACE sebelumnya.
Penghambat ACE harus selalu dimulai dengan dosis rendah dan dititrasi sampai dosis
target. Dosis target adalah dosis pemeliharaan yang telah terbukti efektif untuk mengurangi
mortalitas hospitalisasi dalam uji klinik yang besar. Dosis awal dan dosis pemeliharaan dari
penghambat ACE yang telah disetujui untuk pengobatan gagal jantung dapat dilihat di Tabel
19.1.
Untuk memulai pengobatan gagal jantung dengan penghambat ACE atau AT1-
blocker, dianjurkan prosedur berikut: (a) jika pasien telah menggunakan diuretik, turunkan
dosisnya atau hentikan selama 24 jam: (b) pengobatan dimulai di petang hari, sewaktu
berbaring, untuk menghindari kemungkinan terjadinya hipotensi; (c) pengobatan dimulai
dengan dosis rendah dan titrasi sampai dosis target, biasanya dengan peningkatan 2 kali lipat
setiap kalinya; (d) jika fungsi ginjal memburuk bermakna, hentikan pengobatan; (e) diuretik
hemat kalium harus dihindari selama awal terapi: (1) penggunaan AINS dan coxib harus
dihindari; dan (9) tekanan darah, fungsi ginjal dan kadar K harus diperiksa 1-2 minggu
setelah pengobatan dimulai dan tiap peningkatan dosis, pada 3 bulan, dan selanjutnya tiap 6
bulan.

2.2. ANTAGONIS ANGIOTENSIN II (AT-BLOKER)


Antagonis angiotensin II (Ang II) menghambat aktivitas Ang II hanya di reseptor AT,
dan tidak di reseptor AT2, maka disebut juga AT1-bloker. Tidak adanya hambatan kininase II
menyebabkan bradikinin dipecah menjadi kinin inaktif, sehingga vaso dilator NO dan PGI2
tidak terbentuk. Karena itu AT1-bloker tidak menimbulkan efek samping batuk kering.
Berbeda dengan efek samping batuk, efek samping angioedema dapat terjadi pada
pemberian AT1-bloker, meskipun lebih jarang. Dalam hal ini diduga mekanismenya juga
sama, yakni akumulasi bradikinin. Karena terjadi reaksi silang antara penghambat ACE dan
AT -bloker, maka pasien dengan riwayat angioedema pada penggunaan penghambat ACE,
sebaiknya tidak diberi AT1-bloker meskipun bukan merupakan kontraindikasi. Demikian
juga pasien dengan riwayat angioedema herediter atau idiopatik sebaiknya tidak diberi AT1-
bloker, sedangkan penggunaan penghambat ACE pada mereka ini merupakan kontraindikasi.
Untuk pasien dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri :
a. AT1-bloker dapat digunakan sebagai alternatif penghambat ACE pada pasien gagal
jantung sistolik dengan fraksi ejeksi s40% yang tidak dapat mentoleransi penghambat
ACE (batuk) untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas.
b. AT1-bloker dan penghambat ACE mempunyai efikasi yang sebanding pada gagal
jantung sistolik dengan fraksi ejeksi s 40% terhadap mortalitas dan morbiditas. Pada
infark miokard akut dengan gejala-gejala gagal jantung atau disfungsi ventrikel kiri,
AT1-bloker dan penghambat ACE mempunyai efek yang sebanding terhadap
mortalitas.
c. AT1-bloker dapat dipertimbangkan dalam kombinasi dengan penghambat ACE pada
pasien yang masih simtomatik, untuk mengurangi mortalitas dan hospitalisasi karena
gagal jantung
Pada pasien NYHA kelas III yang masih simtematik meski telah mendapat diuretik,
penghambat ACE, dan B-bloker, belum ada bukti yang pasti untuk merekomendasikan
penambahan berikutnya: suatu AT1-bloker atau antagonis aldosteron, untuk mengurangi
hospitalisasi karena gagal jantung atau mortalitas.
Prosedur untuk memulai pemberian AT1-bloker sama dengan untuk penghambat
ACE (lihat di atas). AT1-bloker yang telah terbukti efektif untuk pengobatan gagal jantung
serta dosisnya dapat dilihat pada Tabel 19-2.

2.3. DIURETIK
Diuretik merupakan obat utama untuk mengatasi gagal jantung akut yang selalu
disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti paru atau
edema perifer. Penggunaan diuretik dengan cepat menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik. Pada pasien pasien ini diuretik
mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan ekstrasel, alir balik
vena, dan tekanan pengisian ventrikel (preload). Dengan demikian, edema perifer dan
kongesti paru akan berkurang / hilang, sedangkan curah jantung tidak berkurang (pada fase
plateau kurva Frank-Starling). Pada mereka ini, diuretik diberikan sampai terjadi diuresis
yang cukup untuk mencapai euvolemia, dan mempertahankannya.
Untuk tujuan ini, biasanya diberikan diuretik kuat, misalnya furosemid dengan dosis
awal 40 mg od atau bid, dan dosis ditingkatkan sampai diperoleh diuresis yang cukup. Dosis
awal yang lebih tinggi mungkin diperlukan pada gagal jantung lanjut atau yang disertai
dengan gagal ginjal. Elektrolit serum dan fungsi ginjal harus seringkali dimonitor pada
insufisiensi ginjal atau pada yang memerlukan diuresis yang cepat. Setelah euvolemia
tercapai, dosis diuretik harus diturunkan sampai dosis minimal yang diperlukan untuk
mempertahankan euvolemia. Gangguan elektrolit dan/atau memburuknya azotemia dapat
terjadi sebelum euvolemia tercapai.
Hipokalemia dapat dikoreksi dengan suplementasi kalium atau penambahan diuretik
hemat kalium. Oleh karena penggunaan diuretik tidak mengurangi mortalitas pada gagal
jantung (kecuali spironolakton), maka diuretik harus selalu diberikan dalam kombinasi
dengan penghambat ACE. Oleh karena penurunan curah jantung akibat deplesi cairan akan
meningkatkan aktivasi neurohormonal yang akan memacu progresi gagal jantung maka
diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung yang asimtomatik maupun yang tidak ada
overload cairan. Juga penggunaan diuretik tidak boleh berlebihan tetapi dalam dosis minimal
untuk mempertahankan euvolemia.
Diuretik tiazid pada pengobatan gagal jantung tidak pernah diberikan sendiri (karena
efek diuresis.nya lemah, tetapi dalam kombinasi dengan diuretik kuat (akan menunjukkan
efek sinergistik: natriuresisnya melebihi jumlah dari efek masing masing komponennya).
Kombinasi ini diberikan pada pasien yang refrakter terhadap diuretik kuat. Tiazid disertai
dengan ekskresi kalium yang lebih tinggi per satuan volume yang dikeluarkan dibandingkan
diuretik kuat. Jika laju filtrasi glomerulus <30 mL/ menit, diuretik tiazid tidak boleh
digunakan (karena tidak efektif), kecuali jika diberikan bersama diuretik kuat.
Diuretik hemat kalium : triamteren, amilorid. Diuretik hemat kalium adalah diuretik
lemah, karena itu tidak efektif untuk mengurangi volume. Obat obat ini digunakan untuk
mengurangi pengeluaran K atau Mg oleh ginjal dan/atau memperkuat respons diuresis
terhadap obat lain. Pada pengobatan gagal jantung, obat-obat ini hanya digunakan jika
hipokalemia menetap setelah awal terapi dengan penghambat ACE dan diuretik. Pemberian
diuretik hemat kalium dimulai dengan dosis rendah selama 1 minggu, ukur kadar K dan
kreatinin serum setelah 5-7 hari. Titrasi dosis dan ukur lagi tiap 5-7 hari sampai kadar K
stabil, dan selanjutnya tiap 3-6 bulan.
Dosis dan efek samping diuretik oral dapat dilihat pada Tabel 19-3.

2.4. ANTAGONIS ALDOSTERON


Pada pasien gagal jantung, kadar plasma aldosteron meningkat (akibat aktivasi sistem
reninangiotensin-aldosteron), bisa sampai 20 x kadar nomal. Aldosteron menyebabkan retensi
Na dan air serta ekskresi K dan Mg. Retensi Na dan air menyebabkan edema dan peningkatan
preload jantung. Aldosteron memacu remodelling dan disfungsi ventrikel melalui
peningkatan preload dan efek langsung yang menyebabkan fibrosis miokard dan proliferasi
fibroblas (lihat Gambar 19-1 dan 19-2). Karena itu antagonisme efek aldosteron akan
mengurangi progresi remodelling jantung sehingga dapat mengurangi mortalitas dan
morbiditas akibat gagal jantung. Pada saat ini ada 2 antagonis aldosteron, yakni spironolakton
dan eplerenon.
Antagonis aldosteron direkomendasikan untuk ditambahkan pada :
a. penghambat ACE dan diuretik kuat pada gagal jantung lanjut (NYHA kelas iII-IV)
dengan disfungsi sistolik (fraksi ejeksi <35%) untuk mengurangi mortalitas dan
morbiditas (terbukti untuk spironolakton).
b. penghambat ACE dan B-bloker pada gagal jantung setelah infark miokard dengan dis
fungsi sistolik ventrikel kiri (fraksi ejeksi s 40%) dan tanda-tanda gagal jantung atau
diabetes untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas (terbukti untuk eplerenon).
Sebelum pemberian obat, periksa dulu kadar K serum (harus < 5,0 mmol/L) dan
kreatinin (harus 2,0-2,5 mg/dL) atau klirens kreatinin > 30 mL/menit. Obat diberikan dengan
dosis awal yang rendah : spironolakton 12,5 mg, eplerenon 25 mg sehari, kemudian dosis
dapat ditingkatkan menjadi spironolakton 25 mg, eplerenon 50 mg. jika diperlukan. Risiko
hiperkalemia meningkat dengan dosis penghambat ACE yang lebih tinggi (kaptopril 2 75
mg/hari, enalapril atau lisinopril 10 mg/hari). Penggunaan obat AINS dan coxib harus
dihindari. Kadar K dan fungsi ginjal harus dimonitor dengan ketat: periksa dalam 3 hari dan
pada 1 minggu setelah awal terapi dan sedikitnya sebulan sekali selama 3 bulan pertama. Jika
kadar K 5,0-5,5 mmol/L, kurangi dosis obat dengan 50%, hentikan obat jika kadar K > 5,5
mmol/L. Setelah 1 bulan, jika gejala-gejala gagal jantung belum membaik dan kadar K
normal, dosis obat dinaikkan. Periksa lagi kadar K dan kreatinin setelah 1 minggu. Jika
terjadi diare atau penyebab dehidrasi lainnya, harus segera ditangani.

2.5. B-BLOKER
Penggunaan B-bloker untuk terapi gagal jantung kronik telah diteliti pada lebih dari
20.000 pasien dalam berbagai uji klinik yang membuktikan bahwa B-bloker memperbaiki
gejala-gejala, mengurangi hospitalisasi dan mortalitas pada pasien gagal jantung ringan dan
sedang. Mekanisme kerja B-bloker dalam terapi gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 19
3.
B-bloker bekerja terutama dengan menghambat efek merugikan dari aktivasi simpatis
pada pasien gagal jantung, dan efek ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan efek
inotropik negatif nya. Stimulasi adrenergik pada jantung memang pada awalnya
meningkatkan kerja jantung, akan tetapi aktivasi simpatis yang berkepanjangan pada jantung
yang telah mengalami disfungsi akan me rusak jantung, dan hal ini dapat dicegah oleh B-
bloker. Pada Gambar 19-3 terlihat bahwa aktivasi simpatis akan mengaktifkan sistem renin-
angiotensin aldosteron (RAA). Renin disekresi oleh sel juksta glomerulus di ginjal melalui
stimulasi reseptor adrenergik B. Selanjutnya aktivitas sistem simpatis maupun sistem RAA
akan mengakibatkan hipertrofi miokard melalui efek vasokonstriksi perifer (arteri dan vena)
dan retensi Na dan air oleh ginjal. Sedangkan vasokonstriksi koroner akan mengurangi
pasokan darah pada dinding ventrikel yang hipertrofi sehingga terjadi iskemia miokard.
Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas miokard juga akan menyebabkan iskemia
miokard relatif karena peningkatan kebutuhan O2 miokard disertai dengan berkurangnya
pasokan O2 miokard. Iskemia miokard akan menyebabkan perlambatan konduksi jantung,
yang akan memicu terjadinya aritmia Jantung, Norepinefrin juga meningkatkan automatisitas
sel-sel automatik jantung sehingga terbentuk fokus-fokus ektopik yang akan menimbulkan
aritmia jantung. Angiotensin II juga bekerja langsung pada jantung untuk menstimulasi
pertumbuhan sehingga terjadi hipertrofi miokard. Selanjutnya, hipertrofi miokard yang terjadi
akibat stres hemodinamik maupun yang terjadi secara langsung akan memicu apoptosis dan
fibrosis miokard sehingga terjadi remodelling miokard, yang berlangsung secara progresif,
dan dengan demikian terjadi progresi gagal jantung.
Pemberian B-bloker pada gagal jantung sistolik (lihat Gambar 19-3) akan mengurangi
kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel-sel automatik jantung dan efek
antiaritmia lainnya, sehingga mengurangi risiko terjadinya aritmia jantung, dan dengan
demikian mengurangi risiko terjadinya kematian mendadak (kematian kardiovaskular). B-
bloker juga menghambat penglepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA
Akibatnya terjadi penurunan hipertrofi miokard, apoptosis & fibrosis miokard, dan
remodelling miokard, sehingga progresi gagal jantung akan terhambat dan dengan demikian
memburuknya kondisi klinik! juga akan terhambat Sekarang ini B-bloker direkomendasikan
untuk penggunaan rutin pada pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas Il-II)
yang stabil dengan fraksi ejeksi < 35%-45%, etiologi iskemik maupun non iskemik, bersama
penghambat ACE (atau antagonis All), dan diuretik jika diperlukan untuk mengurangi gejala
(pada pasien dengan adanya atau riwayat retensi cairan), dan tidak ada kontra indiakasi.
Diuretik dibutuhkan untuk mempertahankan kesetimbangan Na dan cairan dan mencegah
eksaserbasi retensi cairan yang dapat terjadi pada awal terapi dengan B-bloker. Pasien gagal
jantung yang stabil adalah yang tidak memerlukan perawatan di IGD rumah sakit, tidak ada
atau minimal overload cairan atau deploy volume, dan tidak memerlukan obat inotropik
intravena. Sedangkan kontraindikasi l-bloker adalah asma bronkial, blok AV derajat 2-3,
bradikardia atau hipotensi yang simtomatik Pada pasien gagal jantung dengan gejala-gejala
yang lebih parah (NYHA kelas IIB dan IV),pengalaman yang terbatas menunjukkan bahwa
mereka dapat mentoleransi B-bloker dan mendapat keuntungan, tapi karena risiko yang tinggi
dan pengalaman yang masih terbatas, maka penggunaan B-bloker pada kelompok ini harus
sangat hati-hati Pada pasien gagal jantung yang baru saja terjadi, belum ada pengalaman. Saat
ini, mereka tidak boleh diberi B-bloker sampai kondisinya stabil setelah berhari-hari sampai
berminggu-minggu. Demikian juga penggunaan B-bloker pada pasien disfungsi ventrikel kiri
yang asimtomatik (NYHA kelas I) belum diteliti.
Oleh karena efek B-bloker pada gagal jantung bukan class effect, maka hanya
bisoprolol, karvedilol dan metoprolol lepas lambat yang dapat direkomendasi untuk
pengobatan gagal jantung Pemberian B-blocker harus dimulai dengan dosis sangat rendah,
biasanya < 1/10 dosis target dan ditingkatkan perlahan-lahan dengan supervisi yang ketal
sampai di kapal dosis larget, yakni dosis pemeliharaan yang terbukti efektif pada uji klinik
yang besar. Kecepatan titrasi harus disesuaikan dengan respons pasien biasanya 2 kali lipat
setiap 1-2 minggu pada pasien rawat jalan (lihat Tabel 19.4), Pada awal terapi dengan B-
bloker dapat terjadi
a. retensi cairan dan memburuknya gejala-gejala, maka tingkatkan dosis diuretik:
b. hipotensi, maka kurangi dosis penghambat ACE atau p-bloker:
c. bradikardia, maka kurangi dosis B-bloker, dan/atau (d) rasa lelah, maka kurangi dosis
B bloker. Setelah kondisi pasien stabil, tingkatkan kembali dosis b-blocker.

2.6. VASODILATOR LAIN


Vasodilator lain dari penghambat ACE dan antagonis All yang digunakan untuk
pengobatan gagal jantung adalah (a) hidralazin-isosorbid dinitrat, (b) Na nitroprusid I.V., (c)
nitrogliserin I.V., dan (d) nesiritid IV.
HIDRALAZIN-ISOSORBID DINITRAT. Di antara vasodilator lain, hanya
kombinasi ini yang telah ter. bukti dapat mengurangi mortalitas pada pasien gagal jantung
akibat disfungsi sistolik. Karena itu kombinasi ini dapat diberikan pada pasien gagal jantung
sistolik yang tidak dapat mentoleransi penghambat ACE dan antagonis All, untuk
mengurangi mortalitas dan morbiditas dan memperbaiki kualitas hidup. Hidralazin
merupakan vasodilator arteri sehingga menurunkan afterload, sedangkan isosorbid dinitrat
merupakan vasodilator sehingga menurunkan preload jantung.
NA NITROPRUSID I.V. Merupakan prodrug dari nitric oxide (NO), suatu
vasodilator kuat, kerjanya di arteri maupun vena, sehingga menurunkan after load maupun
preload jantung. Mula kerjanya cepat (2-5 menit) karena cepat dimetabolisme membentuk
NO yang aktif. Masa kerjanya singkat sehingga dosisnya dapat dititrasi dengan cepat untuk
mencapai efek hemodinamik yang diinginkan. Karena itu obat ini biasa dipakai untuk
mengatasi gagaljantung akut di IGD.
NITROGLISERIN I.V. Obat ini juga prodrug dari NO. Pada kecepatan infus yang
rendah, obat ini hanya mendilatasi vena dan dengan demikian hanya menurunkan preload
jantung. Pada pasien gagal jantung, obat ini digunakan untuk pengobatan gagal jantung kiri
akibat iskemia miokard akut, gagal jantung kiri non iskemik yang memerlukan penurunan
preload dengan cepat, dan pada pasien dengan overload cairan yang simtomatik dan belum
mencapai diuresis yang cukup. Pada kecepatan infus yang lebih tinggi, obat ini juga
mendilatasi arteri sehingga menurunkan afterload jantung. Obat ini menimbulkan efek
samping sakit kepala. Jika terjadi toleransi, dapat diatasi dengan meningkatkan dosisnya.
NESIRITID I.V. Merupakan rekombinan dari peptida natriuretik otak (BNP) manusia,
dan diindikasikan untuk gagal jantung akut dengan sesak napas saat istirahat atau dengan
aktivitas minimal Pada pasien ini, nesiritid yang diberikan sebagai infus selama 24-48 jam
menurunkan tekanan kapiler paru (PCWP) dan mengurangi sesak nafas. Mekanisme kerjanya
melalui peningkatan siklik GMP menyebabkan dilatasi vena dan arteri. Pada pasien gagal
jantung, nesiritid mengantagonisasi efek angiotensin dan norepinefrin dengan menimbulkan
vasodilatasi, natriuresis dan diuresis.

2.8. INOTROPIK LAIN


Inotropik lain yang digunakan untuk mengobatan gagal jantung adalah (a) dopamin
dan donitamin IV. dan (b) penghambat fosfodiesterase IV.
DOPAMIN DAN DOBUTAMIN I.V. Merupakan obat inotropik yang paling sering
digunakan untuk menunjang sirkulasi dalam jangka pendek pada gagal jantung yang parah.
Kerjanya melalui stimulasi reseptor dopamin D, dan reseptor B adrenergik di sel otot jantung.
Dopamin mempunyai penggunaan yang terbatas pada pengobatan pasien dengan
kegagalan sirkulasi kardiogenik. Dobutamin merupakan B agonis yang terpilih untuk pasien
gagal jantung dengan disfungsi sistolik. Dobutamin merupakan campuran rasemik yang
menstimulasi reseptor B1 dan B2. Di samping itu enansiomer (-) adalah suatu a agonis. Pada
kecepatan infus yang menghasilkan efek inotropik positif pada manusia, efek adrenergik B1
di miokard dominan, dan menghasilkan peningkatan curah jantung dengan hanya sedikit
peningkatan denyut jantung. Pada pembuluh darah, efek a agonis (vasokonstriksi) dari
enantiomer (-) dan antagonisme oleh efek 2 agonis (vasodilatasi) dari rasemal, sehingga
resistensi sistemik biasanya sedikit menurun Dobutamin tidak menstimulasi reseptor
dopamin. Dobutamin diberikan sebagai infus sampai beberapa hari.

Anda mungkin juga menyukai