Anda di halaman 1dari 20

IMUNITAS TERHADAP INFEKSI PROTOZOA

A. Struktur Protozoa
1. Kingdom protista sebagai filum protozoa
2. Bersel tunggal
3. Organisme eukariota.
4. Dinding sel (-).
5. Ukuran: 3 – 1000 mikron - (organisme mikroskopis bersifat aerob dan
heterotrof).
6. Alat gerak : flagellum, silium, pseudopodium atau bergerak menggunakan
gerakan selnya.
7. Bentuk : berbeda-beda pada fase yang berbeda dalam siklus hidupnya,
(oval, panjang dan bulat) tergantung pada umur dan perubahan
lingkungan.

B. Respon Imun Terhadap Infeksi Protozoa


1. Secara khas infeksi parasit merangsang lebih dari satu mekanisme
pertahanan imunologik, yaitu respons imun humoral dan seluler.
2. Infeksi parasit pada umunya bersifat khronis maka dalam tubuh selalu
terdapat antigen parasit yang beredar sehingga terjadi perangsangan terus
menerus maka terbentuklah kompleks imun.
3. Kemudian terjadinya adaptasi yang sangat erat antara parasit dan inang,
maka terciptalah suatu keseimbangan hubungan antara keduannya.
4. Dalam inang yang alami tidak ada mekanisme efektor yang bekerja
sendiri, maka untuk menghadapi ini, parasit dalam perkembangannya
selalu berusaha untuk menghindarkan diri.
5. Tetapi pada umumnya respons imun seluler lebih efektif untuk
menghadapi protozoa yang hidup intraseluler,
6. Sebaliknya antibody lebih efektif untuk parasit ekstraseluler baik dalam
darah maupun dalam cairan jaringan

1
C. Mekanisme efektor

1. Humoral
Antibodi dengan spesifisitas yang cocok dalam kadar cukup dan
afinitas yang efektif akan melindungi terhadap serangan parasit dalam
darah seperti trypanosoma brucci dan tahap sporozoit dan merozoit
dari plasmodium. Mekanisme efektornya dapat berbentuk opsonisasi,
fagositosis dan lisis oleh komplemen.
Infeksi parasit → respon humoral meningkat, tetapi kebanyakan
antibodi yang terbentuk tidak bersifat protektif. Mekanisme kerja
antibodi dalam melawan parasite dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu:
a. Antibodi bekerja sendiri
Parasit intraseluler memerlukan reseptor pada permukaan sel
hospes → untuk bisa masuk ke dalam sel. Antibodi → menghambat
terjadinya ikatan antara molekul parasit dengan reseptor.
Contoh :
1) Antibody terhadap Ag permukaan merozoit plasmodium →
menghambat terjadinya interaksi merozoit dengan eritrosit.

2
2) Ab thd Ag permukaan sporozit menghambat ikatan sporozoit
dengan hepatosit.
Ab thd komponen glikolipid Leishmania → menghambat parasit
masuk makrofag.
b. Antibodi bekerja sama dengan sel
Dikenal sebagai ADCC. Sel yang terlibat yaitu eosinofil,
makrofag, neutrofil, trombosit. Sel tersebut berikatan dengan bagian
Fc dari Ig. Bagian Fab berikatan dengan parasit (sel yg terinfeksi)
Contoh :
1) Eosinofil berikatan dgn IgE → menghancurkan cacing
2) Makrofag berikatan dgn Ig memfagositosis Plasmodium std
eritrositik
c. Antibodi bekerja sama dengan komplemen
Efektivitas komplemen alam mengeliminasi parasit secara in
vitro telah terbukti tetapi secara in vivo belum.

2. Seluler
Sampai saat ini belum diketemukan peran limfosit T sitotoksik
dalam fungsi pertahanannya terhadap parasit yang kita kenal. Di pihak
lain limfosit T yang menghasilkan limfokin, sangat penting untuk
mengaktifkan sel makrofag agar dapat membunuh parasit secara
intraseluler, seperti terjadi pada Toxoplasma gondii, Trypanosoma
cruzi dan Leishmania spp. Biasanya sel-sel penghasil limfokin sangat
berperan dalam mekanisme pertahanan,.Dilakukan oleh sel limfosit
dengan cara :
a. CTL (T CD8+)
Cytotoxic T Lymphocyte (T CD8+) Molekul antigen
diperkenalkan kepada sel T CD8+ oleh MHC kelas I → lisis sel
target. Contoh penghancuran / lisis hepatosit yang terinfeksi
Plasmodium

3
b. Limfokin
Limfokin merupakan suatu mediator soluble (protein) yang
dihasilkan oleh limfosit. Bekerja meningkatkan aktifitas sel
efektor untuk mengeliminasi parasit (dgn atau tanpa bantuan Ab).
Contoh IFN-γ pada infeksi Plasmodium dan Penghancuran
T.gondii.
c. Sel NK
Natural Killer Cell (Sel NK) Menghasilkan IFN-γ → aktivitas
sitotoksik.
D. Upaya Protozoa Untuk Menghindar Dari Respon Imun
1. Pengaruh Lokasi
Parasit protozoa dapat bersembunyi dari sistem imun dengan hidup di
dalam sel host atau membentuk kista yang resisten terhadap efektor imun.
Parasit dapat menyembunyikan mantel antigeniknya secara spontan
ataupun setelah terikat pada antibodi spesifik.
Contoh dalam siklus hidup plasmodium, secara sederhana awalnya
spora atau benih plasmodium pada nyamuk anopheles akan menginfeksi
orang yang digigit oleh nyamuk. Di dalam tubuh, parasit masuk ke dalam
darah menuju sel hati di mana parasit akan berkembang dan menyerang sel
darah merah. Berdasarkan temuan baru ternyata plasmodium dapat
bersarang di tempat lain selain hati. Hal ini menunjukkan bahwa parasit
penyebab malaria juga bisa menguburkan dirinya ke dalam sumsum tulang,
sehingga tidak terdeteksi dari imunitas tubuh.
2. Kemampuan parasit untuk mengubah antigen permukaan (surface-antigen)
Parasit mampu mengubah Ag permukaannya melalui proses variasi
antigenik (antigenic variation). Bentuk variasi antigenik:
a) Perubahan yang tergantung dari fase perkembangan
b) Variasi antigenik terjadi karena adanya variasi yg terprogram dalam
ekspresi gen yang menyandi antigen permukaan.
Di dalam reaksi imunologis, terbentuknya kompleks antigen-
antibodi terjadi bila antibodi sesuai dengan antigen yang menstimulir

4
terbentuknya antibodi tersebut. Ada beberapa parasit yang memiliki
kemampuan atau strategi dengan setiap subpopulasinya membentuk
antigen baru sehingga antibodi yang produksinya terstimulir oleh
antigen subpopulasi sebelumnya sudah tidak sesual lagi dengan
antigen baru tersebut demikian seterusnnya terjadi bila terbentuk
subpopulasi baru dan parasit sehingga parasit selalu eksis di dalam
tubuh hospesnya. Sebagai contoh strategi parasit dengan antigen
vaniasi adalah terjadi pada Trypanosoma (lihat skema).

3. Shedding / replacement surface


Parasit mengganti permukaannya atau melepaskan dinding
(permukaannya)
Contoh : Dalam pergantian permukaan larva yang mengeras (kutikula)
menuju ke peredaran darah sehingga plasmodium mengalami pelepasan
dinding permukaan sebanyak 1 kali.
4. Immunosupression
Parasit menghambat respon imun dengan berbagai mekanisme untuk
masing-masing parasit. Misalnya Leishmania menstimulus perkembangan
CD25 sel T regulator, yang menekan respon imun. Sel T regulator yang
ditandai dengan CD4+CD25+Foxp3 memegang peranan kunci pada sistem
toleran tubuh. Sel T regulator ini diperlukan untuk mengendalikan sel
efektor yang teraktivasi. Sel T regulator melakukan fungsinya sebagai
pengendali sel efektor dan pembentuk sistem toleran dengan cara tidak
hanya sebagai supresor namun juga pengatur sistem homeostasis. Contoh

5
lain pada malaria dan Tripanosomiasis yang menunjukkan imunosupresi
non spesifik. Defisiensi imun menyebabkan produksi sitokin imunosupresi
oleh makrofag dan sel T aktif serta mengganggu aktivasi sel T.

6
IMUNITAS TERHADAP INFEKSI CACING

A. Struktur Cacing

1. Berbentuk bulat panjang (gilik) atau mirip dengan benang


2. Hewan tripoblastik dan Pseudoselomata (berongga tubuh semu)
3. Hidup bebas dengan memakan sampah organik, kotoran hewan,
tanaman yang membusuk, ganggang, jamur, dan hewan kecil lainnya. 
4. Hidup parasit di hewan, manusia, dan tumbuhan. 
5. Dapat ditemukan di air tawar, air laut, dan air payau serta di tanah. 
6. Terdapat di organ seperti, anus, usus halus, pembuluh darah, pembuluh
limfa, jantung, paru-paru, dan mata. 
7. Berukuran bervariasi mulai dari hidup di air tawar dan darat berukuran
kurang dari 1 mm, sedangkan di laut hidup mencapai 5 cm. 
8. Cacing betina lebih besar dari pada cacing jantan. 
9. Bentuk tubuh silindris atau bulat panjang (gilik). dan tidak bersegmen. 
10. Bagian anterior atau daerah mulut tampak simetri radial 
11. Semakin ke arah posterior membentuk ujung yang meruncing

B. Imunitas non spesifik

Pada sistem ini yang bekerja adalah sel fagosit. Sel-sel agosit serang
cacing dengan mengeluarkan sekresi yang bersifat mikrobasidal. Namun
karena kulit yang tebal dan sifatnya yang multisellule cacing resisten
terhadap efek litik dan sitosidal.
Respon imun terhadap cacing pada manusia yang belum pernah
terinfeksi menunjukkan bahwa usaha eliminasi cacing sudah terjadi
meskipun adaptive immunity belum terbentuk. Hal ini menunjukkan
bahwa innate immunity merupakan garda terdepan dalam imunitas
terhadap cacing. Basofil sebagai bagian dari innate imunity yang mampu
mengenali cacing, kemampuannya untuk bermigrasi ke tempat yang

7
terinfeksi cacing, teraktifkannya sel ini oleh produk cacing serta
kemampuannya mengaktifkan sel-sel yang lain baik sel imun maupun non
imun (lihat keterangan pada sub bab selanjutnya), menjadikannya kandidat
kuat untuk menjadi pemain penting dalam imunitas terhadap cacing.
1. Peran Basofil dalam Terjadinya Eosinofilia dan Migrasi Eosinofil ke
dalam Jaringan
Eosinofil mempunyai peran penting dalam pertahanan terhadap
cacing, karena ia mampu mengeluarkan zat-zat toksik terhadap cacing.
Eosinofil diproduksi di dalam sumsum tulang dan dilepaskan ke
sirkulasi dan akan memasuki jaringan yang diinvasi oleh cacing.
Berbagai kemokin golongan C-C Chemokine telah diketahui bekerja
untuk menarik eosinofil ke jaringan, diantaranya adalah Monocyte
Chemotactic Protein-1 (MCP- 1), MCP-3, MCP-5 dan eotaxin.
Basofil mempunyai peran dalam terjadinya eosinofilia dan
migrasi eosinofil ke dalam jaringan dengan cara memproduksi IL-4,
IL-5 dan IL-13. IL-5 dikenal sebagai sitokin yang mampu
meningkatkan produksi eosinofil di dalam sumsum tulang dan
pelepasan eosinofil ke dalam sirkulasi serta memperpanjang masa
hidup eosinofil. IL-4 dan IL-13 merangsang endotel untuk
mengekspresikan adhesion molecule yang memudahkan proses
masuknya eosinofil ke dalam jaringan serta merangsang endotel untuk
memproduksi dan mengekspresikan eotaxin-3 yang merupakan
kemotaktik untuk eosinofil. IL-4 dan IL-13 juga merangsang sel epitel
usus untuk memproduksi eotaxin yang merupakan faktor kemotaktik
kuat untuk eosinofil.
Interleukin 4, IL-13 dan TSLP yang dihasilkan basofil mampu
mengaktifkan makrofag kearah Alternative activated Macrophage
(AAM). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa AAM memproduksi
Ym1 dan Leukotrien yang bersifat kemotaktik terhadap eosinofil.
2. Peran Basofil dalam Aktifasi Sel Mast

8
Sel mast telah diketahui mempunyai peranan dalam imunitas
terhadap cacing. Akan tetapi untuk mengaktifkan sel mast diperlukan
berbagai rangsang, baik yang berasal dari patogen ataupun dari
berbagai mediator dari dalam tubuh inang. Pada pasien kecacingan,
Interleukin 4 yang diproduksi oleh basofil akan berikatan dengan IL4R
pada membran sel mast yang membuat sel mast lebih mudah untuk
teraktifkan. Selain itu, IL-4 juga diperlukan untuk pembentukan sel
mast.
3. Peran Basofil dalam Terbentuknya Alternative Activated Macrophage
Pada dasarnya makrofag dapat digolongkan menjadi dua
golongan bila ditinjau dari sisi cara pengaktifannya. Golongan pertama
adalah classic activated Macrophage yang diaktifkan oleh IFN dan
alternative activated Macrophage (AAM) yang terutama diaktifkan
oleh IL-4 dan IL-13. Pada infeksi cacing, makrofag akan terpolarisasi
kearah AAM. Polarisasiini terjadi karena berbagai hal, diantaranya
produk cacing yang disekresikan (peroxiredoxin), IL-4, IL-13 , IL-21,
IL-25, IL-33 dan TSLP.
Basofil yang diketahui merupakan penghasil IL-4, IL-13 dan
TSLP berperan penting dalam munculnya AAM. Setelah terbentuk,
AAM akan memproduksi berbagai zat yang berguna untuk pertahanan
diri terhadap cacing seperti Ym1, RELM, AMCase dan Intelectin.
Terbentuknya AAM mengakibatkan direkrutnya eosinoil, menghambat
polarisasi sel Th kearah Th1, membantu polarisasi Th kearah Th2,
memicu terbentuknya granuloma. Meskipun diketahui bahwa AAM
mampu berfusi membentuk Multinucleated Giant Cell (MNG), namun
belum ada bukti bahwa terbentuk MNG pada infeksi cacing. Peran
Basofil dalam Terbentuknya Sel TH2 Infeksi cacing memicu
terpolarisasinya sel Th0 ke arah sel Th2 dengan menekan terbentuknya
sel Th1. Konsekuensi dari polarisasi ini adalah terbentuknya IL-4, IL-
5, IL-9, IL-10, IL-13, diikuti dengan terbetuknya immunoglobulin E
(IgE), yang akan menempel pada membran sel eosinofil dan sel mast .

9
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terbentuknya sel Th2
pada pasien kecacingan ditentukan oleh pengenalan antigen cacing
yang dilakukan sel dendritik 2 (DC2). Proses pengenalan ini akan
mengaktifkan DC2 yang pada gilirannya mengaktifkan sel Th2. Akan
tetapi polarisasi ini tidak terjadi dengan baik bila tidak ada sel basofil.
Penelitian menunjukkan bahwa pada binatang yang dibuat sedemikian
rupa sehingga mengalami deplesi sel basofil, polarisasi ke arah sel Th2
tidak terjadi meskipun kemampuan presentasi antigen oleh DC tidak
hilang. Hal ini menunjukkan bahwa basofil mempunyai peran penting
dalam terbentuknya sel Th2. Apabila jaringan terinfeksi oleh cacing,
maka sel basofil akan bermigrasi ke arah jaringan tersebut. Basofil
yang direkrut akan teraktifkan oleh beberapa sitokin dan antigen
cacing. Setelah teraktifkan, basofil melakukan endositosis antigen
cacing dan memprosesnya untuk dipresentasikan ke permukaan
membran sel melalui MHC II (Major Histocompatibility Comnplex
Class II), dalam hal ini baso􀀁 l berperan sebagai APC (antigen
Presenting Cell). Selanjutnya basofil bermigrasi ke draining
lymphonodi (dLN) untuk mengadakan kontak sel dengan sel Th0.
Kontak antara sel Th0 dengan basofil terjadi melalui ikatan antara TCR
(T Cell Receptor) dengan antigen yang dipresentasikan oleh basofil.
Setelah berikatan maka sel Th0 akan terpolarisasi ke arah sel Th2
dengan bantuan IL-4 dan TSLP (Thymic Stromal Lymphopoietin)
yang dihasilkan oleh basofil. Selain mempunyai kemampuan sebagai
APC, dimungkinkan sel basofil juga mampu merangsang DC untuk
mengekspresikan OX40L. Kemampuan ini di dapatkan karena basofil
yang teraktifasi akan mensekresikan TSLP dan telah diketahui bahwa
TSLP mampu merangsang DC untuk mengekspresikan OX40L dan
menghambat terbentuknya IL-12. OX40L akan berikatan dengan
OX40 pada membran sel Th0 sehingga memicu polarisasi ke arah sel
Th2. Polarisasi sel Th0 ke arah Th2 pada pasien kecacingan terjadi
dengan adanya kontak antara DC2 dan basofil dengan Th0. Hipotesis

10
yang diajukan adalah banyaknya sel yang terlibat dalam terbentuknya
sel Th2 memastikan munculnya respon Th2.

C. Imunitas Spesifik

Respon imun pada cacing umumnya lebih kompleks karena pathogen


lebih besar dan tidak bisa ditelan fagosit. Pertahanan terhadap infeksi
cacing diperankan oleh sel Th2. Cacing yang masuk merangsang sel Th2
untuk mengeluarkan IL-4 dan IL-5. Dimana IL-4 berfungsi untuk rangsang
produksi IgE dan IL-5 untuk rangsang perkembangan dan aktivasi
eosinofil. Kemudian IgE akan menempel pada permukaan cacing dan
diikat oleh eosinofil. Kemudian eosinofil aktifkan dan sekresikan granul
enzim yang hancurkan parasit. Eosinofil lebih eektif dari PMN lainnya
karena granulnya lebih toksik disbanding enzim proteolitik dan ROI yang
dihasilkan oleh makrofag dan netrofil.
Respon imun humoral biasa diakhiri dengan adanya Immunoglobulin
Class Swithcing untuk menghasilkan respon imun yang lebih baik, karena
mempertahankan spesifisitas terhadap antigen namun memberikan respon
imun yang berbeda. Pada awalnya sel B hanya membentuk IgM dan IgD
namun setelah terjadi respon imun adaptif maka sel B akan mensekresikan
antibodi yang disesuaikan dengan jenis antigen yang masuk, sehingga sel
B mungkin akan menghasilkan IgG, IgA ataupun IgE. Pada kasus
kecacingan, Immunoglobulin Class Swithcing terjadi dengan terbentuknya
IgE. Immunoglobulin Class Swithcing terjadi karena adanya dua
rangsangan penting. Rangsangan pertama oleh sitokin IL-4 dan atau IL-13,
sedangkan rangsangan kedua adalah ikatan antara CD40 pada sel B
dengan CD40L. Pada dasarnya Immunoglobulin Class Swithcing dapat
digolongkan menjadi dua, yakni Immunoglobulin Class Swithcing T cell
Dependent dan T cell Independent. Kedua cara ini nampaknya terjadi pada
respon imun terhadap cacing.

11
Immunoglobulin Class Swithcing T cell Dependent
dipicuolehsitokinIL-4 yang dikeluarkan oleh sel Th2 dan ikatan antara
CD40L dari sel Th2 dengan CD40 pada sel B. Pada proses ini, basofil
berperan meningkatkan terjadinya Immunoglobulin Class Swithcing
dengan memproduksi dan mensekresikan IL-4.

Immunoglobulin Class Swithcing T cell

Independent pada pasien kecacingan terjadi karena basofil


mengeluarkan IL-4 yang merangsang terbentuknya Iε Germ Line
Transcription pada sel B, sedangkan ikatan antara CD40 pada sel B dengan
CD40L pada basofil memicu switch recombination karena ikatan antara
CD40-CD40L mengaktifkan AID (Activation-induced cytidine deaminase)
pada sel B. Hasil akhirnya adalah kemampuan sel B untuk membentuk IgE
tanpa bantuan sel T.

D. Respon imun terhadap cacing


1. Helminth merupakan parasit ekstraseluler, berukuran besar tidak sama
dengan fagositosis
2. Nematoda intestinal mengakibatkan reaksi inflamasi dan
hipersensitifitas
3. Respon pd fase akut – Aktifitas IgE & eosinophil → inflamasi = worm
expulsion.
4. Respon pada fase kronik = inflamasi kronik:
a) DTH, Th1 / activated macrophages – granuloma
b) Th2 / B cell responses ↑ IgE, sel mast & eosinophil = inflamasi

E. Mekanisme cacing menghindar dari sistem imun hospes


1. Pengaruh ukuran
Ukuran cacing yang besar menyebabkan sukar untuk dieliminasi
Contoh : A.lumbricoides
2. Parasit meliputi dirinya dengan protein host (antibodi dari host)
sehingga tidak dianggap sebagai benda asing.

12
Contoh : Schistosomes - host blood proteins

3. Molecular mimicry.
Parasit mempunyai kemampuan meniru struktur dan fungsi
molekul hospes. Contoh : schistosome mempunyai E-selectin -
adhesion / invasion.
4. Anatomical seclusion
Parasit dapat mengasingkan diri (bersembunyi) dalam organ
tubuh hospes. Contoh : larva Trichinella spiralis di dalam jaringan otot
5. Shedding / replacement surface
Parasit mengganti permukaannya atau melepaskan dindingnya.
contoh : trematoda, cacing tambang
6. Immunosupression – manipulation of the immune response.
a) Infeksi berat nematoda sering terjadi tanpa gejala
b) Parasit mensekresikan bahan yang bersifat anti inflamasi →
menghambat rekrutmen (penarikan) dan aktivasi lekosit
menghambat interaksi chemokine-receptor
Contoh : Protein yang dimiliki cacing tambang mengikat ß
integrin CR3 dan menghambat ekstravasasi netrofil
7. Anti-immune mechanisms
Menghambat proses pengenalan antigen – menghambat presentasi
antigen oleh APC. Contoh : larva trematoda hati mensekresikan enzim
yang dapat merusak ab.
8. Migration
Sebagai contoh Cacing tambang dapat bermigrasi dari usus untuk
menghindari reaksi radang lokal pd usus
9. Production of parasite enzymes
Parasit mensekresikan enzim tertentu

13
Contoh : Cacing filaria mensekresikan enzim yang bersifat anti
oksidan seperti glutathione peroxidase & superoxide dismutase – tahan
thd mekanisme ADCC & oxidative stress.

CONTOH INFEKSI MALARIA


Kekebalan pada malaria merupakan keadaan kebal terhadap infeksi yang
berhubungan dengan penghancuran parasit dan terbatasnya per tumbuhan dan
perkembangbiakan parasit tersebut. Imunitas terhadap malar ia sangat
kompleks, melibatkan hampir seluruh komponen sistem imun baik spesifik
maupun non-spesifik, imunitas humoral maupun seluler, yang timbul secara
alami maupun didapat (acquired) akibat infeksi atau vaksinasi. Imunitas
spesifik timbulnya lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek (short lived)
dan kemungkinan tidak ada imunitas yang permanen dan sempurna. Pada
malaria terdapat kekebalan bawaan dan kekebalan didapat. Pada daerah
endemik, janin dilindungi oleh sistem antibodi maternal dan anak sangat
berisiko bila diserang apabila telah disapih. Daya imunitas pada anak yang
selamat pada serangan pertama akan selalu dirangsang oleh gigitan nyamuk
yang terinfeksi selama anak tinggal di daerah endemik malaria.
Daya imunitas malaria adalah spesies spesifik, seseorang yang imun
terhadap malaria vivax akan terserang penyakit malaria lagi bila terinfeksi oleh
malaria falciparum. Orang yang berkulit hitam akan tahan terhadap infeksi
malaria vivax dari pada orang yang berkulit putih, sedangkan malaria
falciparum pada orang hitam tidak begitu berbahaya. Antibodi pada tubuh
hospes mulai diproduksi oleh sistem imun saat hospes manusia pertama kali
terinfeksi parasit malaria. Antibodi bekerja langsung atau bekerja sama dengan
bagian sitem imun yang lain untuk mengenali molekul antigen yang terdapat
pada permukaan parasit untuk membunuh parasit malaria. Respon imun dari
hospes yang timbul akibat suatu penyakit ditandai dengan adanya reaksi
radang, hal tersebut bergantung pada derajat infeksinya. Saat P. vivax
memproduksi 24 merozoit setiap 48 jam akan menghasilkan 4,59 milyard

14
parasit dalam waktu 14 hari, sehingga hospes akan tidak tahan bila organisme
terus berbiak tanpa dikontrol. Pada malaria dapat terjadi perkembangan suatu
proteksi imun, terjadinya relaps dan timbulnya penyakit erat hubungannya
dengan rendahnya titer antibodi atau peningkatan kemampuan parasit melawan
antibodi tersebut. Tetapi hal tersebut bergantung pada perbedaan genetik dari
populasi schizont.
Secara alami produks anti ibodi berlangsung lambat sehingga individu
menjadi sakit ketika terinfeksi. Namun, imun memiliki memori untuk
pembentukan antibodi, maka respon sistem imun untuk infeksi selanjutnya
menjadi lebih cepat. Setelah paparan infeksi berulang, individu
mengembangkan imunitas yang efektif mengontrol parasitemia yang dapat
mengurangi gejala klinis dan komplikasi yang membahayakan bahkan dapat
menimbulkan kematian. Level atau kadar antibodi juga semakin meningkat
dengan adanya setiap paparan infeksi dan menjadi lebih efektif dalam
membunuh parasit. Perlawanan tubuh terhadap parasit plasmodium atau respon
imunitas dilakukan oleh imunitas seluler yaitu limfosit T dan dilakukan oleh
imunitas humoral melalui limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T
helper (CD 4+) dan sitotoksis (CD 8+). Limfosit adalah sel yang cukup
berperan dalam respon imun karena mempunyai kemampuan untuk mengenali
antigen melalui reseptor permukaan khusus dan membelah diri menjadi
sejumlah sel dengan spesifitas yang identik, dengan masa hidup limfosit yang
panjang menjadikan sel yang ideal untuk respons adaptif.
Eritrosit yang telah terinfeksi Plasmodium akan ditangkap oleh antigen
presenting cell (APC) dan dibawa ke sitoplasma sel dan terbentuk fagosom
yang akan bersatu dengan lisosom sehingga terbentuk fagolisosom.
Fagolisosom mengeluarkan mediator yang akan mendegradasi antigen
Plasmodium menjadi peptida-peptida yang akan berasosiasi dengan molekul
MHC II (major histocompatibility complex ) dan di presentasikan kesel TCD.
Saat berlangsungnya proses tersebut APC mengeluarkan interleukin-12 (IL-
12), Ikatan antara CD40 ligand (CD40L) dan CD40 saat presentasi antigen
memperkuat produksi IL-12. IL-12 ini akan mempengaruhi proliferasi sel T

15
yang merupakan komponen seluler dan imunitas spesifik dan selanjutnya
menyebabkan aktivasi dan deferensiasi sel T.
Berdasarkan sitokin yang dihasilkan dibedakan menjadi dua subset yaitu
Th1 dan Th2. Th-1 Menghasilkan IFN-ã dan TNF-á yang mengaktifkan
komponen imunitas seluler seperti makrofag, monosit, serta sel NK,
sedangkan subset yang kedua adalah Th2 yang menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6
dan IL-10. Sitokin berperan mengaktifkan imunitas humoral. CD 4+ berfungsi
sebagai regulator dengan membantu produksi antibodi dan aktivasi fagosit-
fagosit lain, sedangkan CD 8+ berperan sebagai efektor langsung untuk
fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit dengan
menghasilkan IFN-ã. Pada saat Plasmodium masuk ke dalam sel-sel tubuh dan
mulai dianggap asing oleh tubuh maka epitop-epitop antigen dari parasit
Plasmodium akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai
sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD4+, kemudian
berdeferensiasi menjadi sel Th- 1 dan Th-2. Sel Th-2 akan menghasilkan IL-4
dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig (Imunoglobulin) oleh limfosit B. Ig
meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag.

A. Kekebalan Bawaan
Kekebalan bawaan pada malaria merupakan suatu sifat genetik yang
sudah ada pada hospes, tidak berhubungan dengan infeksi sebelumnya,
misalnya :
1. Manusia tidak dapat diinfeksi oleh parasit malaria pada burung atau
binatang pengerat
2. Orang Negro di Afrika Barat relatif kebal terhadap P. vivax oleh
karena mempunyai golongan darah Duffy (-) ditandai sebagai Fy (a-
b-), mungkin Duffy (+) merupakan reseptor untuk P. Vivax. Protein
duffy memainkan peranan pada peradangan dan infeksi malaria, protein
ini merupakan bagian atau keluarga dari kemokin reseptor dan reseptor
ini bersifat khusus pada parasit malaria tertentu, terutama pada P.
vivax. Dengan percobaan secara in vitro yang dilakukan oleh Miller et

16
al. eritrosit yang mengandung darah duffy negatif Fy(a-b-) tidak dapat
di invasi oleh P. vivax.
3. Orang yang mengandung Hb S heterozigot lebih kebal terhadap infeksi
P. Falciparum oleh karena pada tekanan O2 yang lebih rendah dalam
kapiler alat-alat dalam Hb S dapat mengubah bentuk eritrosit (bentuk
sabit) dan parasitnya tidak dapat hidup serta mudah difagositosis.
Orang yang mengandung HB S heterozigot bila terinfeksi P.
falciparum, kemungkinan 90% tidak akan menderita malaria berat.
Demikian pula pada orang dengan beta-thalassemia dan hemoglobin
fetal yang menetap (Hb F). Beberapa kelainan pada eritrosit seperti
ovalositosis, sickle cell, thalasemia á, thalasemia â, dan defesiensi G-6-
PD juga sering dihubungkan dengan mekanisme perlindungan terhadap
malaria. Kejadian kelainan eritrosit ini rata-rata prevalensinya tinggi
ditemukan pada daerah-daerah endemis malaria.
4. Defisit G-6-PD (Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase) pada eritrosit
dapat melindungi organ terhadap infeksi berat P. falciparum. Enzim G-
6-PD merupakan enzim yang menyebabkan hemolytic anemia, defisit
enzim ini merupakan kelainan dari proses reaksi biokimia di dalam
tubuh. Defisit Enzim G-6-PD ini menyebabkan parasit malaria yang
merupakan parasit intraselluer menjadi sensitif dengan perubahan
oksidatif dalam hubungannya dengan reaksi biokimia. Namun aktivitas
G-6-PD dari sel hospes tidak dipengaruhi oleh enzim dari parasit. Pada
beberapa studi in vitro menunjukkan parasit malaria kurang dapat
tumbuh baik pada sel dengan defesiensi G-6-PD dibandingkan pada sel
yang normal. Mekanisme dari sifat resisten ini belum jelas,
dimungkinkan adanya kelainan reaksi biokimia di dalam sel darah
merah sehingga merozoit menjadi terganggu dalam produksi DNA dan
RNA, sehingga terjadi penurunan multiplikasi pada sel hospes.16,17
Penderita defesiensi enzim G6PD heterozigot dan hemozigot akan
terproteksi sampai 50% terhadap malaria berat.

17
5. Penderita Southeast Asian Ovalocytosis (SAO) di Malaysia, Indonesia
dan Pasifik Barat (Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu)
relatif kebal terhadap infeksi P.falcipatum dan P. Vivax. Ovalositosis
dihubungkan mampu tahap terhadap serangan malaria, karena mudah
difagositosis ketika melawati limpa. Eritrosit ovalositik juga lebih
tahan terhadap serangan merozoit jika dibandingkan dengan eritrosit
normal, ini dikarenakan adanya afinitas ankirin ke molekul band 3
yang kuat dan menurunkan daya gerak sitoskeleton bagian lateral yang
menyebabkan merozoit kurang mampu untuk melekat ke eritrosit yang
ovalositik.

B. Imunitas didapat (Acquired immunity)


Kekebalan yang didapat pada malaria dapat dibedakan dalam
beberapa kategori. Kategori kekebalan terhadap gejala klinis ada dua tipe
yaitu 1) kekebalan klinik yang dapat menurunkan risiko kematian dan 2)
kekebalan klinik yang mengurangi beratnya gejala klinik.2 Kekebalan
didapat terjadi secara aktif dan pasif. Kekebalan aktif merupakan
peningkatan mekanisme pertahanan hospes akibat infeksi sebelumnya.
Kekebalan pasif ditimbulkan oleh zat-zat protektif yang ditularkan ibu
kepada bayi melalui suntikan dengan zat yang mengandung serum orang
kebal (hiperimun). Di daerah endemik malaria terdapat kekebalan
kondingental (neonatal) pada bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan
kekebalan tinggi. Kekebalan risidual ialah kekebalan terhadap reinfeksi
yang timbul akibat infeksi terdahulu dengan strain homolog spesies parasit
malaria. Kekebalan ini menetap untuk beberapa waktu. Keadaan kekebalan
pada hospes yang telah terinfeksi sebelumnya dengan parasetemia
asimtomatik disebut premunisi. Penduduk daerah endemik yang terpapar
malaria sepanjang tahun membentuk kekebalan terhadap infeksi.
Manifestasi klinik, parasetemia dan mungkin pertumbuhan gametosit
paling banyak terjadi pada bayi dan anak kecil. Orang dewasa mempunyai
titer antibodi malaria yang tinggi dan parasit ini membentuk kekebalan.

18
Tanggapan sistem imun terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies
spesifik, strain spesifik, dan tahap spesifik. Imunitas terhadap stadium
siklus hidup parasit (stage specific), dibagi menjadi:
1. Imunitas pada stadium eksoeritrositer.
Eksoeritrositer ekstrahepatal (stadium sporozoit), respon imun
pada stadium ini berupa antibodi yang menghambat masuknya
sporozoit ke hepatosit dan antibodi yang membunuh sporozoit melalui
opsonisasi. Eksoeritrositer intrahepatik, respon imun pada stadium ini
berupa Limfosit T sitotoksik CD8+ dan antigen/antobodi pada stadium
hepatosit seperti Liver Stage Antigen-1 (LSA-1), LSA-2, LSA-3. Studi
yang dilakukan pada bebe rapa da e rah endemik juga membe r ikan ke
s impul an bahwa kekebalan terhadap Plasmodium secara alami
berhubungan dengan respon spesifik LSA-1. LSA-1 dianggap sebagai
satu-satunya antigen Plasmodium yang dinyatakan spesifik di dalam
hati.
2. Imunitas pada stadium aseksual eritrosit
Berupa antibodi yang mengaglutinasi merozoit, antibodi yang
menghambat cytoadherance, antibodi yang menghambat pelepasan
atau menetralkan toksin-toksin parasit.
3. Imunitas pada stadium seksual
Antibodi yang membunuh gametosit, antibodi yang menghambat
fertilisasi, antibodi yang menghambat transformasi zigot menjadi
ookinet, antigen/antibodi pada stadium seksual prefertilisasi (Pf-230),
dan antigen/antibodi pada stadium seksual postfertilisasi (Pf-25, Pf-
28). Plasmodium mempunyai siklus hidup yang sangat kompleks,
melalui beberapa stadium dan tiap stadium mengeluarkan berbagai
antigen. Hal ini menyebabkan vaksin malaria dari setiap stadium akan
berbeda, vaksin yang di buat dari satu stadium kemungkinan tidak
efektif pada stadium lainnya. Pendekatan multistage (berbagai
stadium) dan multivalen (berbagai antigen dari stadium yang sama)
merupakan dasar kesuksesan aplikasi vaksin malaria. Hambatan yang

19
dihadapi pada multivalen adalah mengidentifikasi antigen yang
mempunyai sifat protektif untuk diformulasikan dalam satuan vaksin
dan respon dari hospes meliputi respon Sel-T maupun Sel-B. Penelitian
pengembangan vaksin malaria sampai saat ini masih menghadapi
banyak kesulitan namun perkembangan hasil penelitian memberikan
harapan dikemudian hari vaksin dapat digunakan.

DAFTAR PUSTAKA

Mading Majematang, Yunarko Rais. 2014. Respon Imun terhadap Infeksi


Parasit Malaria. Loka Litbang P2B2 Waikabubak,Badan Litbang
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Jurnal vektor penyakit. 8 (2) 45 –
52.
Puspita Lystiani Dewi , 2012. Aspek imunologi infeksi protozoa. Fakultas
Kedokteran : Universitas Andalas
Renita Selfi, Rusjdi. 2012. Imunoparasitologi. Fakultas Kedokteran:
Universitas Andalas
Wahyu Jatniko, Safari. 2012. Peran Basofil dalam imunitas terhadap cacing.
Fakultas Kedokteran : Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jurnal
Biomedika. 4 (1) 9 Hal

20

Anda mungkin juga menyukai