Anda di halaman 1dari 17

BAB 1

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat


tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang
disebabkan golongan jamur dermatofita (Trichophyton spp, Microsporum spp,
dan Epidermophyton spp). Ketiga genus jamur ini bersifat mencerna keratin atau
zat tanduk yang merupakan jaringan mati dalam epidermis (Tinea corporis, Tinea
cruris, Tinea manus et pedis), rambut (Tinea kapitis), kuku (Tinea unguinum). 2,6
Oleh karena satu spesies dermatofita dapat menyebabkan kelainan yang berbeda-
beda pada satu individu tergantung dari bagian tubuh yang dikenai, dan
sebaliknya berbagai jenis dermatofita dapat menyebabkan kelainan yang secara
klinis sama apabila mengenai bagian tubuh yang sama, maka dari itu klasifikasi
dermatofitosis lebih didasarkan pada regio anatomis yang terkena dari jamur
penyebabnya, walaupun sebenarnya pendekatan kausatif lebih rasional.1
Hanya sebagian kecil golongan jamur yang dapat menimbulkan penyakit,
dan sebagian besar lainnya tidak bersifat patogen, namun dapat menjadi patogen
apabila terdapat faktor-faktor predisposisi tertentu baik fisiologis maupun
patologis. Faktor-faktor predisposisi fisologis meliputi kehamilan dan umur,
sedangkan yang termasuk faktor predisposisi patologis adalah keadaan umum
yang jelek, penyakit tertentu, iritasi setempat, dan pemakaian obat-obat tertentu
seperti antibiotika, kortikosteroid dan sitostatik.1
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 KASUS
2.1.1 Identitas pasien
Nama : Tn. B
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Laki - Laki
Alamat : Maros
Suku : Bugis
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 17 - 12 – 2019
Tempat Pemeriksaan : Poli Kulit RSUD Salewangan Maros

2.1.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Gatal dan kemerahan pada badan dan kedua tungkai.
Perjalanan Penyakit
Lesi pertama kali muncul dikepala kemudian menjalar ke lengan, kaki dan
badan. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 5 bulan yang lalu. Lesi
dirasakan gatal, terutama pada saat berkeringat dan pada malam hari.
Nyeri disangkal, rasa baal disangkal, rasa terbakar disangkal. Riwayat
alergi disangkal, riwayat penyakit yang sama pada keluarga disangkal,
riwayat pengobatan sebelumnya ada tetapi tidak ada perbaikan.
Riwayat Pengobatan
Riwayat pengobatan (+) di puskesmas tetapi tidak mengalami
perbaikan
Riwayat Penyakit Terdahulu
Penderita belum pernah terkena penyakit ini sebelumnya, tidak ada
riwayat penyakit lain.
Riwayat Penyakit dalam keluarga
Tidak ada riwayat keluarga mengalami penyakit yang sama.
Riwayat Atopi
Penderita tidak memiliki riwayat alergi. Pada keluarga disangkal
adanya riwayat atopi seperti asma, dermatitis alergika maupun rhinitis
alergika.

2.1.3 Pemeriksaan Fisik


Status General :
Berat badan : Tidak Diukur
Tinggi badan : Tidak Diukur
Status Dermatologi :
1. Lokasi : Dada, perut, punggung, lengan, dan kaki
Effloresensi : Macula Eritema, ukuran bervariasi dengan
batas tegas, tampak central healing dan tepi
lesi aktif dengan papul-papul eritema
diatasnya, disertai skuama putih tipis yang
menutup hampir seluruh permukaan
eritematous.
2. Mukosa : dalam batas normal
3. Rambut : dalam batas normal
4. Kuku : dalam batas normal
5. Kelenjar limfe : tidak ada pembesaran kelenjar
6. Saraf : tidak ada penebalan saraf
Gambar 2.1 Gambaran lesi Tinea Corporis

2.1.4 Diagnosis Banding

Sebagai diagnosis banding dari Tinea corporis adalah sebagai berikut :


- Dermatitis seboroika
- Psoriasis
- Pitiriasis rosea

2.1.5 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.

2.1.6 Resume
Penderita seorang laki-laki, usia 47 tahun, agama islam, suku
bugis, mengeluh gatal dan kemerahan yang dialami sejak 5 bulan yang
lalu, memberat bila terkena keringat, terlokalisir pada dada, perut,
punggung, lengan dan kaki. Pada awalnya hanya berupa bintik kecil merah
yang makin lama makin besar dan meluas. Penderita pernah berobat
sebelumnya tetapi tidak ada perbaikan, tidak ada riwayat penyakit yang
sama pada penderita dan keluarga, tidak ada riwayat alergi dan atopi
dalam keluarga.

Status Dermatologi :
Lokasi : Dada, perut, punggung, lengan, dan kaki.
Effloresensi : Makula Eritema, ukuran bervariasi dengan batas tegas,
tampak central healing dan tepi lesi aktif dengan papul-
papul eritema diatasnya, disertai skuama putih tipis yang
menutup hampir seluruh permukaan eritematous.

2.1.7 Diagnosis Kerja


Tinea Corporis + Infeksi Sekunder

2.1.8 Penatalaksanaan
Medikamentosa :
- Ceterizine 10 mg (0-0-1)
- Myconazole + Ketokonazole + Mometasone

KIE untuk penderita :


1. Menghindari penggunaan pakaian yang panas (karet, nylon),
disarankan untuk memakai pakaian yang menyerap keringat.
2. Menghindari berkeringat yang berlebihan.
3. Meningkatkan kebersihan diri dan lingkungan.
4. Memperbaiki status gizi dalam makanan.
5. Memperbaiki ventilasi rumah.
6. Kontrol setelah 2 minggu.

2.1.9 Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad sanationam : Bonam
Quo ad fungsionam : Bonam
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Tinea Corporis

Sinonim : Tinea sirsinata, Tinea glabrosa, Scherende Flechte,


kurap, herpes sircine trichophytique. Tinea corporis adalah infeksi
dermatofita yang menyerang kulit halus (glabrous skin) kecuali daerah
kulit kepala, lipat paha, genitalia eksterna, sekitar anus, tangan dan kaki.2

3.2 Epidemiologi Tinea Corporis

Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan pada
pekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan. Maserasi dan oklusi
kulit lipatan menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang
memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung melalui
benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamr mandi,
tempat tidur hotel dan lain-lain.3

3.3 Etiologi dan Patofisiologi Tinea Corporis

Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan


dermatofitosis. Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin.
Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga
genus, yaitu Trichophyton spp, Microsporum spp, dan Epidermophyton
spp. Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan Tinea korporis,
penyebab yang paling umum adalah Trichophyton Rubrum dan
Trichophyton Mentagrophytes.3

Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama. Yang pertama


perlekatan ke keratinosit, jamur superfisial harus melewati berbagai
rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV,
suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal lain, sphingosin yang
diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar
sebasea bersifat fungistatik. Yang kedua penetrasi melalui ataupun di
antara sel, setelah terjadi perlekatan spora harus berkembang dan
menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada
proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase
dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur.
Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal
mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan
proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika jamur mencapai
lapisan terdalam epidermis.3

Langkah terakhir perkembangan respon host, derajat inflamasi


dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT)
memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatifita. Pada
pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi
menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negatif.
Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh
peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen
dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan
oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan
bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat
ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi dan barier epidermal menjadi
permaebel terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur
hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.3

3.4 Gejala

Secara subyektif, penderita dengan Tinea corporis mengeluh gatal


yang kadang-kadang meningkat waktu berkeringat.4
3.5 Gambaran Klinis Tinea Corporis

Kelainan kulit yang tampak pada Tinea corporis merupakan lesi


bulat atau lonjong (anular/polisiklik), berbatas tegas terdiri atas bercak
eritema, skuama, kadang-kadang dengan papul dan vesikel di tepi. Daerah
tengahnya biasanya lebih tenang (central healing). Kadang-kadang terlihat
erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan
bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Lesi dapat berupa polosiklik
karena beberapa lesi menjadi satu. Bentuk tanpa radang lebih sering dilihat
pada anak-anak daripada orang dewasa karena mereka umumnya
mendapat infeksi baru pertama kali. Pada Tinea corporis yang menahun,
tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat
terjadi pada tiap bagian tubuh dalam hal ini disebut Tinea corporis.2

Gambar `1. Tinea Corporis2

3.6 Diagnosis

Cara mendiagnosis Tinea corporis adalah dengan anamnesis,


gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk mendiagnosis. Sebagai
penunjang diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan sediaan langsung dari
kerokan bagian tepi lesi dengan KOH dan biakan, kadang-kadang
diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar
ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao. Pemeriksaan sediaan langsung
dengan KOH 10-20% positif bila memperlihatkan elemen jamur berupa
hifa panjang dan artrospora.5,6

Gambar 2. Trichophyton Rubrum dengan pewarnaan KOH.6

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong


pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dekstrosa Sabouraud.5 Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap,
akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh
dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang (± 60%) bila
dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung.5
Gambar 3. Kultur Jamur Trichophyton Rubrum pada medium agar
dekstrosa Sabouraud.5

3.7 Diagnosis Banding

Tidaklah sulit untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada


umumnya, namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mengaburkan
diagnosis misalnya dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea.

3.7.1. Dermatitis seboroika

Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai


tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi,
misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan kulit, misalnya belakang telinga,
daerah nasolabial dan sebagainya.3

Gambar 4. Dermatitis Seboroik.3


3.7.2. Pitiriasi rosea

Pitiriasi rosea yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan


terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan
dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat membedakan
penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboraturium dapat
memastikan diagnosisnya. 3

Gambar 5. Pitiriasi rosea.3

3.7.3. Psoriasis

Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi


yaitu di daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala
berambut juga sering terkena penyakit ini. Adanya lekukakn pada kuku
dapat menolong untuk menentukan diagnosis.3

Psoriasis pada kulit dapat menyerupai ketombe. Penyakit psoriasis


dapat disertai dengan atau tanpa rasa gatal. Kulit dapat membaik seperti
kulit normal lainnya setelah warna kemerahah, putih atau kehitaman bekas
psoriaris. Tampak gambaran macula eritematosa dengan luas lesi
bervariasi dari miliar sampai nummular, dengan gambaran
beranekaragaman dari arsinar, sirsinar, polisiklik atau geografis. Berbeda
dengan Tinea korporis, psoriasis berupa makula berbatas tegas, ditutupi
skuama tebal dan kasar warna putih mengkilat, seperti tetesan lilin bila
digores. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat menolong dengan adanya
effloresensi merah (coral red).3

Gambar 6. Psoriasis.3

3.8 Pengobatan

Pada umumnya pengobatan untuk infeksi jamur dermatofitosis secara


topikal saja cukup, kecuali untuk lesi-lesi kronik dan luas serta infeksi pada
rambut dan kuku yang memerlukan pula pengobatan sistemik, oleh karena
dermatofitosis merupakan penyakit jamur superfisial.7

a. Pengobatan topikal 7
- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam
bentuk salep ( Salep Whitfield).
- Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk salep
(salep 2-4, salep 3-10).
- Derivat azol : ketokonazol, mikonazol 2%, klotrimasol 1%, sangat
berguna terhadap kasus-kasus yang diragukan penyebabnya
dermatofita atau candida.

- Pengobatan sistemik 5,6,1


Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa selama 3 minggu, sedangkan
dosis untuk anak-anak adalah 10-25 mg/kgBB sehari untuk anak
antara 15 sampai 25 kg berat badan, sedangkan untuk anak dengan
berat badan lebih dari 25 kg dapat diberikan antara 125/250 mg per
hari.
- Ketokonazol 200 mg sehari untuk dewasa atau 3-6 mg/kgBB sehari
untuk anak-anak lebih dari 2 tahun.
- Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder.

Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin, dapat diberikan


griseofulvin dengan dosis yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama atau
bisa juga dipertimbangkan penggunaan derivat azol seperti itrakonazol,
flukonazol dll. Selain pengobatan kausatif tersebut, penting juga diperhatikan
pengobatan simtomatik untuk menanggulangi rasa gatal, panas, maupun
nyeri.8

1.9 Pencegahan
Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada Tinea
corporis harus dihindari atau dihilangkan antara lain : 4,6

a. Temperatur lingkungan yang tinggi, keringat berlebihan, pakaian


dari karet atau nilon.
b. Pekerjaan yang banyak berhubungan dengan air misalnya
perenang.
c. Kegemukan : selain faktor kelembaban, gesekan yang kronis dan
keringat berlebihan disertai higiene yang kurang, memudahkan
timbulnya infeksi.

1.10 Prognosis
Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis
dan sosial budayanya, tetapi pada umumnya baik.4,5
DAFTAR PUSTAKA

1. Fatma Rosida, Evy Ervianti.; Penelitian Retrospektif : Mikosis Superfisialis.


Laboratorium/Unit Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga/ RS Dr. Soetomo, Surabaya (2017).
2. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta (2007).
3. Saraswati Yara Egyptha, dkk. “Tinea Korporis”. Bagian/SMF Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum
Pusat Sanglah: Denpasar, (2012)
4. Budimulya,U.: Infestasi Jamur. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta (1992).
5. Budimulya,U. Sunoto. Dan Tjokronegoro, Arjatmo.: Penyakit Jamur. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia,Jakarta (2001).
6. Dyatiara Devy, Evy Ervianti.: Study Retrospektif : Karakteristik
Dermatofitosis. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/ RS Dr. Soetomo, Surabaya (2018).
7. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosis Dan Terapi Penyakit Kulit Dan
Kelamin RSUP Denpasar. Lab/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar (2000).
8. “Tinea Corporis”, (2018, Juli 9 – last update), (emedicine), Available:
http://www . emedicine.com (Accessed: 23 Desember 2019).
BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN LAPORAN KASUS
FAKULTAS KEDOKTERAN Desember 2019
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TINEA CORPORIS

DISUSUN OLEH :
AULIA ADI PUTRI MS
110 2018 2099

PEMBIMBING:

dr. Sri Rubiaty, Sp.KK, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Aulia Adi Putri MS


NIM : 110 2018 2099
Judul Laporan Kasus : Tinea Corporis

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Desember 2019


Mengetahui,

Supervisor

dr. Sri Rubiaty, Sp.KK, M.Kes

Anda mungkin juga menyukai