Anda di halaman 1dari 42

PERNIKAHAN DAN PENDIDIKAN KELUARGA DALAM

ISLAM

(Makalah)

disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam

Dosen Pembimbing :
Syaepul Manan, S. Pd., M. Pd.

Oleh :
Kelompok 11
Luthfiana Nurfauziah 181411082
Ririn Rismawati 181411088

PROGRAM STUDI D III TEKNIK KIMIA


JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2018
ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Swt. karena atas
rahmat, nikmat, ridho, karunia, kasih sayang dan petunjuk-Nya mustahil makalah
yang berjudul Pernikahan Dan Pendidikan Keluarga Dalam Islam ini dapat
dirampungkan. Sholawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada
Rasulullah Saw. keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia hingga akhir
zaman.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah ikut
serta membantu dalam penyusunan makalah ini. Bapak Syaepul Manan, S. Pd.,
M.Pd. selaku Dosen Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam yang telah
mengajarkan dan membimbing dengan penuh kesabaran sehingga makalah ini
dapat selesai pada waktunya, kepada orangtua kami yang telah membantu kami
baik secara moril maupun materil, kepada kawan-kawan seperjuangan yang telah
memberi kami inspirasi.

Makalah yang berjudul Pernikahan Dan Pendidikan Keluarga Dalam


Islam ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Islam
oleh Bapak Syaepul Manan, S. Pd., M. Pd. serta untuk menambah informasi
tentang segala yang berkaitan dengan judul makalah tersebut.

Terlepas dari semua itu, penyusun menyadari sepenuhnya bahwa masih


banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata kebahasaannya.
Oleh karena itu, dengan tangan terbuka penyusun menerima segala saran dan
kritik yang membangun dari pembaca agar penyusun dapat memperbaiki makalah
ini. Semoga makalah ini membawa manfaat luar biasa bagi semua orang.

Bandung, September 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR........................................................................... ii

DAFTAR ISI.......................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah.............................................................. 1
1.3 Tujuan................................................................................ 2
1.4 Manfaat ............................................................................ 2

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Pernikahan ..................................................... 3

2.2 Dasar Hukum Pernikahan ............................................... 4

2.3 Tujuan Pernikahan .......................................................... 6

2.4 Hukum Pernikahan .......................................................... 7

2.5 Rukun dan Syarat Nikah ................................................. 10

2.6 Prinsip-Prinsip Pernikahan .............................................. 14

2.7 Larangan-Larangan dalam Pernikahan ........................... 15

2.8 Nikah Siri ........................................................................ 22

2.9 Hak dan Kewajiban Suami Istri ...................................... 22

2.10 Pembentukan Keluarga dalam Islam .............................. 25

2.11 Istilah-Istilah Pernikahan dalam Islam ........................... 27

2.12 Hikmah Pernikahan dalam Islam .................................... 30

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

3. 1.................................................................................. Simpulan 32

iii
3. 2....................................................................................... Saran 32

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 34

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang sakral dan
bermakna ibadah kepada Allah SWT serta mengikuti Sunnah Rasulullah.
Pernikahan merupakan sebuah proses dimana seorang perempuan dan
seorang laki-laki menyatukan hubungan mereka dalam ikatan kekeluargaan.
Pernikahan didalam islam sangatlah dianjurkan agar dorongan terhadap
keinginan biologis dan psikisnya dapat tersalurkan secara halal. Anjuran
untuk menikah ini telah diatur dalam sumber ajaran islam yaitu Al-Qur’an
dan Al-Hadits.
Pentingnya mengetahui arti sebuah pernikahan memang sudah
seharusnya diketahui agar rumah tangga yang akan dibangun dapat
berlangsung lama. Dalam pernikahan pasti ada ujian ataupun cobaan yang
dapat menghambat kehidupan pernikahan itu sendiri. Namun jika lebih
dewasa menghadapi ujian tersebut, masalah itu justru akan membuat
kelangsungan berumah tangga menjadi semakin kokoh.
Maraknya perceraian di kalangan masyarakat umumnya terjadi karena
kurangnya pemahaman masyarakat tentang arti sebuah pernikahan.
Pernikahan dalam Islam mempunyai adab-adab tertentu dan tidak bisa di
lakukan secara asal-asalan. Jika pernikahan tidak dilaksanakan berdasarkan
syariat Islam maka pernikahan tersebut bisa menjadi sebuah perbuatan zina.
Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam harus mengetahui kiat-kiat
pernikahan yang sesuai dengan kaidah agama Islam agar pernikahan kita
dinilai ibadah oleh Allah SWT.  

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana pandangan agama terhadap pernikahan ?
b. Bagaimanakah hukum pernikahan menurut pandangan Islam ?
c. Bagaimanakah cara-cara pernikahan yang sah menurut pandangan Islam?

1
2

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui pandangan agama terhadap pernikahan.


b. Untuk mengetahui hukum pernikahan menurut pandangan islam.
c. Untuk mengetahui cara-cara pernikahan yang sah menurut pandangan
islam.

1.4 Manfaat

a. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan pernikahan


menurut pandangan islam.

b. Mahasiswa dapat mengetahui pandangan agama terhadap pernikahan.

c. Mahasiswa dapat mengetahui hukum pernikahan menurut pandangan


islam.

d. Mahasiswa dapat cara-cara pernikahan yang sah menurut pandangan


islam.
3
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Pernikahan

Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Kata dasar dari


pernikahan adalah nikah atau zawaj. Nikah menurut bahasa adalah al-
jam’u dan al-dhamu yang mempunyai arti menghimpit, menindih, bersatu,
bergabung atau berkumpul. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan
suatu akad untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan serta menghalalkan hubungan kelamin antara keduanya dengan
dasar suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga bahagia
yang diridhoi oleh Allah SWT. Sedangkan menurut istilah, pernikahan adalah
akad serah terima antara laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling
memuaskan diri antara satu sama lain untuk membentuk rumah tangga yang
harmonis.

Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan yang amat suci


dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan direstui
agama, kerabat, dan masyarakat. Para ahli memberi beragam definisi nikah.
Perbedaan itu tidaklah menunjukkan pertentangan yang tajam, namun hanya
perbedaan sudut pandang.

a. Menurut ahli ushul golongan Hanafi, nikah adalah setubuh dan arti
majazi (metaphoric) adalah akad yang dengannya menjadi halal
hubungan kelamin antara pria dan wanita.

b. Menurut ahli ushul golongan Syafi’i, nikah artinya akad yang dengannya
menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita.

c. Menurut Abdul Qasim Azzajjad, Imam Yahya, Ibnu Hazm, dan sebagian
ahli ushul dari sahabat Abu Hanifah mengartikan nikah artinya antara
akad dan setubuh.

3
4

2.2 Dasar Hukum Pernikahan

a. Q.S. Ar-Ruum (30) : 21

Artinya : “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia


menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. [QS. Ar.
Ruum (30):21]

b. Q.S. Adz -Dzariyat (51) : 49

Artinya : “Dan segala sesuatu Kami cipatakan berpasang-pasangan agar


kamu mengingat kebesaran Allah”. [Q.S. Adz -Dzariyat (51) : 49]

c. Q.S. Yasin (36) : 36

Artinya : “Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya


berpasang  pasangan baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dari diri
mereka sendiri, maupun dari apa yang mereka ketahui.” [Q.S. Yasin
(36) : 36 ]
5

d. Q.S. An-Nur (24) : 32

Artinya : “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di


antara kamu dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-
hamba sehayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin,
Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.
Dan Allah Maha luas ( pemberian-Nya ) Maha Mengetahui”. [Q.S. An-
Nur (24) : 32]

e. Hadist-Hadist

ُ ‫س ُعو ٍد رضي هللا عنه قَا َل لَنَا َر‬


 ‫سو ُل هَّللَا ِ صلى‬ ْ ‫عَنْ َع ْب ِد هَّللَا ِ ْب ِن َم‬
َ‫ستَطَا َع ِم ْن ُك ُم اَ ْلبَا َءة‬
ْ ‫ب ! َم ِن ا‬ َّ ‫هللا عليه وسلم ( يَا َم ْعش ََر اَل‬
ِ ‫شبَا‬
ِ ‫صنُ لِ ْلفَ ْر‬
ْ َ‫ َو َمنْ لَ ْم ي‬, ‫ج‬
‫ست َِط ْع‬ َ ‫ َوأَ ْح‬, ‫ص ِر‬ ُّ ‫ فَإِنَّهُ أَ َغ‬, ‫فَ ْليَت ََز َّو ْج‬
َ َ‫ض لِ ْلب‬
‫ق َعلَ ْي ِه‬ ٌ َ‫ ُمتَّف‬ ) ‫ص ْو ِم ; فَإِنَّهُ لَهُ ِو َجا ٌء‬
َّ ‫فَ َعلَ ْي ِه ِبال‬
Artinya : Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: "Wahai generasi
muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya
ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia
dapat mengendalikanmu." Muttafaq Alaihi.

‫سو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم يَأْ ُم ُر‬ َ ‫ ( َك‬: ‫َو َع ْنهُ قَا َل‬
ُ ‫ان َر‬
َ ‫ َع ِن التَّبَتُّ ِل نَ ْهيًا‬ ‫ َويَ ْن َهى‬, ‫بِا ْلبَا َء ِة‬
‫ تَ َز َّو ُجوا‬: ‫ َويَقُو ُل‬ , ‫ش ِدي ًدا‬
6

ُ‫ َر َواه‬ ) ‫اَ ْل َودُو َد اَ ْل َولُو َد إِنِّي ُم َكاثِ ٌر بِ ُك ُم اَأْل َ ْنبِيَا َء يَ ْو َم اَ ْلقِيَا َم ِة‬
‫ان‬ َ ‫ َو‬, ‫أَ ْح َم ُد‬
َ َّ‫ص َّح َحهُ اِ ْبنُ ِحب‬
Artinya : Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memerintahkan kami berkeluarga dan
sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah
perempuan yang subur dan penyayang, sebab dengan jumlahmu yang
banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat."
Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

2.3 Tujuan Pernikahan

a. Melaksanakan anjuran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam


sabdanya:

َ‫م الْبَاءَة‬ ِ َ‫ستَطَاع‬


ُ ُ ‫منْك‬ ْ ‫نا‬
ِ ‫م‬ ِ َ ‫معْشَ َر الشَّ ب‬
َ ‫اب‬ َ ‫يَا‬
‫ج‬ْ َّ‫فَلْيَت َ َزو‬...
Artinya : Wahai sekalian para pemuda! Siapa di antara kalian yang telah
mampu untuk menikah maka hendaknya ia menikah…

b. Memperbanyak keturunan, karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam


bersabda:

ُ
‫م‬ َ ‫م اأْل‬
َ ‫م‬ ُ ‫ فَإِنِّي‬،َ‫جوْا الْوَدُوْد َ الْوَلُوْد‬
ُ ُ ‫مكَاث ِ ٌر بِك‬ ُ َّ‫ت َ َزو‬
Artinya : Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang lagi subur,
karena (pada hari kiamat nanti) aku membanggakan banyaknya jumlah
kalian di hadapan umat-umat yang lain.”

c. Menjaga kemaluannya dan kemaluan istrinya, menundukkan


pandangannya dan pandangan istrinya dari yang haram. Karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan:
7

Artinya : “Katakanlah (ya Muhammad) kepada laki-laki yang beriman:


Hendaklah mereka menahan sebagian pandangan mata mereka dan
memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” [An-
Nur (24) : 30]

d. Naluri keibuan dan kebapakan akan saling melengkapi dalam kehidupan


berumah tangga bersama anak-anak. Hubungan ini akan menumbuhkan
rasa kasih sayang, sikap jujur, dan keterbukaan, serta saling menghargai
satu sama lain sehingga akan meningkatkan kualitas seorang manusia.

e. Terbentuknya tali kekeluargaan dan silaturahmi antar keluarga, sehingga


memupuk rasa sosial dan dapat membentuk masyarakat yang kuat serta
bahagia.

f. Untuk Iffah ( menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang).

g. Menghindari fitnah bagi orang-orang yang sudah menikah adalah lebih


 

mudah ketimbang orang yang masih membujang, karena timbulnya


fitnah adalah dari penglihatan, pendengaran ataupun khayalan.

h. Menyempurnakan agama (apabila seorang hamba menikah maka telah


sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk
separuh sisanya).

2.4 Hukum Pernikahan

a. Wajib

Suatu pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya apabila


seseorang sudah mampu melakukan perkawinan dan nafsunya sudah
8

mendesak yang ditakutkan akan terjerumus dalam perzinaan. Maka


baginya wajib melakukan pernikahan. Imam Al-Qurtubi berkata bahwa
para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk
menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko
zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti
akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-
Nya :

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga


kesucian (diri) nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan
karunia-Nya. Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan
perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah SWT. Yang
dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa budak-budak
wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya
Allah SWT. adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada
mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”

[Q.S. An-Nur (24) : 33]


9

b. Sunnah

Adapun bagi orang-orang yang nafsunya telah mendesak dan


mampu kawin, tetapi masih dapat menahan dirinya dari berbuat zina,
maka sunnahlah ia kawin. Sebagaimana Allah SWT. berfirman :

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. [Q.S. An-
Nisa (4) : 3]

c. Makruh

Makruh kawin bagi seorang yang lemah syahwat dan tidak mampu
memberi belanja istrinya. Juga makruh hukumnya jika karena lemah
syahwat itu ia berhenti dari melakukan sesuatu ibadah atau menuntut
sesuatu ilmu.

d. Mubah

Bagi laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-alasan yang


mewajibkan segera kawin atau karena alasan-alasan yang mengharamkan
untuk kawin, maka hukumnya mubah.

e. Haram

Bagi seseorang yang tidak mampu memenuhi nafkah lahir dan


batin kepada istrinya serta nafsunyapun tidak mendesak, haramlah ia
10

kawin. Qurthuby berkata : “Bila seorang laki-laki sadar tidak mampu


membelanjai istrinya atau membayar maharnya atau memenuhi hak-hak
istrinya, maka tidaklah boleh ia kawin, sebelum ia terus terang
menjelaskan keadaannya kepada istrinya atau sampai datang saatnya ia
mampu memenuhi hak-hak istrinya. Allah berfirman :

Artinya : “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah SWT. Dan


janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan dengan
tanganmu sendiri. Dan berbuat baiklah karena sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [Q.S. Al-Baqarah (2) : 195]

2.5 Rukun dan Syarat Nikah

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk sholat atau menurut
islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu bermaksud dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul
ihram untuk shalat.

a. Calon Pengantin Pria


1) Beragama Islam
2) Laki-laki (bukan banci)
3) Orangnya diketahui, jelas, tak ragu-ragu (misalnya kembar)
4) Tidak ada larangan nikah dengan calon pengantin wanita.
11

5) Mengenal dan mengetahui calon istrinya sah dan boleh untuk


dinikahi.
6) Rela tidak dipaksa.
7) Tidak sedang ihram haji atau umrah
8) Tidak ada larangan lain, misalnya istrinya sudah empat orang.
9) Mengetahui wali yang sah bagi akad nikah.
b.  Calon Pengantin Wanita
1) Beragama Islam
2) Wanita asli (bukan khunsa atau seorang perempuan yang merasa
dirinya laki-laki)
3) Orangnya diketahui, jelas, tak ragu-ragu
4) Tidak dalam masa iddah
5) Bukan dalam ihram haji atau umrah
6) Bukan istri orang
c. Wali
Berdasarkan sabda Rasulullah Sallallahu `Alaihi Wasallam:

ُ َ ‫ فَنِك‬،‫ن وَلِيْهَا‬
‫حهَا‬ ِ ِ‫ت بِغَيْرِ اذ‬
ْ ‫ح‬
َ ِ ‫م َرأةِ نُك‬
ْ ‫ما ا‬َ ُّ ‫اي‬
‫ل‬ٌ ِ ‫بَاط‬ .‫ل‬ٌ ِ ‫بَاط‬
Artinya : “ Wanita mana saja yang menikah tanpa izin walinya maka
nikahnya batal… batal.. batal.” (HR Abu Daud, At-Tirmidzy dan Ibnu
Majah)

1) Wali Nasab yaitu orang-orang yang terdiri dari keluarga calon


mempelai wanita yang berhak menjadi wali. Yang termasuk wali
nasab yaitu ayah kandung, kakek (dari garis ayah) dan seterusnya
keatas dalam garis laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara
laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki sekandung, anak
laki-laki saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari anak laki-laki
12

saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki ayah sekandung (paman),


saudara laki-laki ayah seayah (paman seayah), anak laki-laki paman
sekandung, anak laki-laki paman seayah, saudara laki-laki kakek
sekandung, anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung, anak
laki-laki saudara laki-laki kakek seayah.
2) Wali Hakim, yaitu orang yang diangkat oleh pemerintah (Menteri
Agama) untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan
yaitu apabila seorang calon mempelai wanita dalam kondisi tidak
mempunyai wali nasab sama sekali, walinya mafqud (hilang tidak
diketahui keberadaannya), wali sendiri yang akan menjadi mempelai
laki-laki sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada, wali yang
berada di tempat jauh sejauh masafaqotul qosri (sejauh perjalanan
yang memperbolehkan shalat qasar yaitu 92,5 kilo meter), wali
berada dalam penjara atau tahanan yabg tidak boleh di jumpai, wali
adhol yaitu tidak bersedia atau menolak untuk menikahkannya, atau
wali sedang melaksanakan ibadah umrah atau haji.
3) Wali Muhakam yaitu wali yang diangkat oleh kedua calon suami-
istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Kondisi
ini terjadi apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan
oleh wali hakim.

Adapun syarat menjadi seorang wali nikah, yaitu :

1) Adil
2) Beragama Islam
3) Baligh
4) Lelaki
5) Merdeka
6) Tidak fasik, kafir, atau murtad
7) Bukan dalam ihram haji atau umrah
8) Waras (tidak cacat pikiran dan akal)
9) Dengan kerelaan sendiri
13

10) Tidak muflis (ditahan hukum atau harta)

Dengan demikian dalam keadaan bagaimanapun dalam


pernikahan harus ada wali. Tidak sah suatu pernikahan tanpa adanya wali
dan saksi dua orang. Rosullulah bersabda: “Tidaklah sah nikah tanpa wali
dan dua orang saksi yang adil”.

d. Saksi
1) Dua laki-laki, atau satu laki-laki dan dua wanita.
2) Muslim.
3) Baligh ( dewasa).
4) Berakal.
5) Mendengar dan mengerti maksud nikah.

Rasulullah sallallahu `Alaihi Wasallam bersabda:

‫الَ نِ َكا َح االَّ بِ َولِي َو َشا ِه َديْ َع ْد ِل‬


Artinya : “Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil.”(HR Al-Baihaqi dan Ad-Daaruquthni. Asy-Syaukani dalam Nailul
Athaar berkata : “Hadist di kuatkandengan hadits-hadits lain.”)

e. Akad atau Ijab Qabul Nikah


Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak
yang melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab
adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah
penerimaan dari pihak kedua.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari
dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat
menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit
yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi
kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh.
Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga
14

merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika


dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk
mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT,
"Yadullahi fawqa aydihim". Begitu sakralnya aqad nikah, sehingga Allah
menyebutnya "Mitsaqon gholizho" atau perjanjian Allah yang berat.
Di dalam ijab dan qabul ini di sebutkan mahar atau mas kawin.
Mahar ini bukan termasuk syarat atau pun rukun pernikahan, akan tetapi
mahar ini termasuk kewajiban suami terhadap istri. Mahar adalah tanda
kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi seorang wanita. . Kita
bebas menentukan bentuk dan jumlah mahar yang kita inginkan karena
tidak ada batasan mahar dalam syari’at Islam, tetapi yang disunnahkan
adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon
suami. Namun Islam menganjurkan agar meringankan mahar. Rasulullah
saw. Bersabda : “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah
(ringan).”(H.R. Al-Hakim: 2692)

2.6 Prinsip – Prinsip Pernikahan

a) Memenuhi dan melaksanakan perintah agama. Ini berarti bahwa


melaksanakan perkawinan itu pada hakikatnya merupakan pelaksanaan
dari ajaran agama. Agama mengatur perkawinan itu memberi batasan
rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Apabila rukun dan syarat-
syarat tidak dipenuhi, maka perkawinan itu batal atau fasad. Demikian
pula agama memberi ketentuan lain disamping rukun dan syarat,   seperti
harus adanya mahar dalam perkawinan dan juga harus adanya
kemampuan.

b) Kerelaan dan persetujuan. Kerelaan dari calon suami dan wali jelas dapat
di lihat dari tindakan dan ucapannya, sedangkan kerelaan calon istri,
mengingat wanita mempunyai ekspresi kejiwaan yang berbeda dengan
pria, dapat dilihat dari sikapnya.
15

c) Perkawinan untuk selamanya. Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat


keturunan dan untuk ketenangan,  ketentraman, dan cinta serta rasa kasih
sayang..

d) Suami sebagai penanggung jawab umum dalam rumah tangga. Ketentuan


kedududukan suami lebih tinggi dari istri bukan berarti bahwa suami
berkuasa atas istri. Kelebihan suami atas istri dalam rumah tangga,
karena suami adalah pemimpin rumah tangga. Sudah sewajarnya
pemimpin mempunyai hak dan kewajiban yang lebih dari warga yang
ada dalam rumah tangga, di samping pada umumnya laki – laki
dikaruniai jasmani lebih kuat dan lebih lincah serta lebih cenderung
banyak menggunakan fikiran daripada perasaan.

2.7 Larangan – Larangan dalam Pernikahan

a) Larangan Pernikahan Berlainan Agama

Sebagaimana firman Allah :

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik


sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
16

Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan


ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat Nya
(perintah-perintah Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran." [QS. Al-Baqarah (2) : 221].                                               

b) Larangan Pernikahan karena Hubungan Darah

Dari sudut Ilmu Kedokteran (kesehatan keluarga), perkawinan


antara keluarga yang berhubungan darah yang terlalu dekat itu akan
mengakibatkan keturunannya kelak kurang sehat dan sering cacat bahkan
kadang-kadang inteligensinya kurang cerdas, (lihatlah Dr. Ahmad ramali
Jalan Menuju Kesehatan Jilid I, halaman 221).  Allah berfirman :

Artinya : “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu


yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
ayahmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang
menyusui kamu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu-ibu
istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang
dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika
kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri
17

anak kandungmu (menantu), dan diharamkan mengumpulkan (dalam


pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” [Q.S. An-Nisaa (4) : 23]

c) Larangan Pernikahan Karena Hubungan Sesusuan

Maksudnya ialah bahwa seseorang laki-laki dengan wanita yang


tidak mempunyai hubungan darah, tetapi pernah menyusu dengan ibu
(wanita) yang sama dianggap mempunyai hubungan sesusuan.

d) Larangan Pernikahan Karena Hubungan Semenda

Hubungan semenda artinya ialah setelah hubungan perkawinan


yang terdahulu, misalnya kakak adik perempuan dari istri kamu (laki-
laki). Laki-laki yang telah menikahi kakaknya yang perempuan atau
adiknya yang perempuan maka timbullah larangan perkawin antara
suami dari kakak adik perempuan itu dengan kakaknya perempuan itu.

Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang


telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian) pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [Q.S. An-Nisaa (4) : 22].

e) Larangan Pernikahan Terhadap Wanita yang di Li’ an

Li’an adalah sumpah suami bahwa istrinya telah berzina


(berselingkuh) dengan orang lain dan anak yang dilahirkan istrinya akibat
zina (jika ada) bukanlah anaknya. Jika seseorang menuduh istrinya
berzina tanpa bukti, maka ia telah melakukan qadzaf (‫ )قذف‬dan berhak
18

mendapatkan hukum had berupa 80 kali cambukan. Seperti sabda Allah


SWT. yang tersurat dalam Q.S. An- Nuur (24) : 4 yang berbunyi :

Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik


(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali cambukan.”
[QS. An Nuur (4) : 4]

f) Larangan Pernikahan Poliandri

Poliandri adalah seorang wanita yang sudah bersuami menikah lagi


dengan lelaki lain (belum cerai). Larangan pernikahan poliandri di
tegaskan dalam Q.S. An-Nisaa ayat 24 yang berbunyi :

Artinya : “Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi)


perempuan-perempuan yang telah bersuami, kecuali perempuan yang
menjadi budak kalian. Dan dihalalkan bagi kalian perempuan-perempuan
selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk
menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati
mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban
19

kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudah
terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui Maha
Bijaksana.” [Q.S.An-Nisaa (4) : 24]

g) Larangan Menikahi Wanita Pezina maupun Laki-laki Pezina

Pernikahan itu sifatnya adalah suci. Ia harus dicegah dari segala


unsur penodaan, pengotoran karena itulah ia menjadi lembaga
keagamaan. Perkawinan yang didasarkan sekuler saja (menurut apa
adanya saja, kebudayaan saja) tidak akan dapat menjaga atau tidak akan
mampu menjaga kesucian itu, seperti yang dijelaskan dalam Q.S. An-
Nuur Ayat 3 yang berbunyi :

Artinya : “Orang laki-laki pezina, yang dinikahinya ialah perempuan


pezina pula atau perempuan musyrik. Perempuan pezina jodohnya ialah
laki-laki pezina pula atau laki-laki musyrik , dan diharamkan yang
demikian itu atas orang yang beriman.”  [Q.S.An-Nuur (24) : 3]

h) Larangan Suami Menikahi Mantan Istri yang telah di Talak Tiga

Seorang suami yang telah mentalak tiga mantan istrinya, tidak


diperkenankan menikahinya kembali kecuali jika mantan istri telah
dinikahi oleh seorang laki-laki lain dengan syarat harus di campuri dulu
oleh suaminya kemudian diceraikan, barulah suami pertama boleh
menikahinya kembali. Tidak boleh ada unsur perencanaan dalam hal ini.
Allah SWT. berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah Ayat 230 yang berbunyi :
20

Artinya : “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang


kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin
dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkanNya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” [Q.S.Al-Baqarah
(2) : 230]

i) Larangan Menikah Lagi Bagi Seorang Laki-laki yang Sudah Beristri


Empat

Prinsip pernikahan dalam Islam itu monogami, artinya boleh


seorang lelaki menikahi dua sampai empat perempuan dengan syarat ia
harus bisa berlaku adil terhadap istri-istrinya baik itu yang bersifat
kebutuhan seksual maupun kebutuhan materi. Jika seorang suami sudah
memiliki empat istri maka baginya larangan untuk menikah lagi bila ia
tidak menceraikan sala satunya. Sebagaimana dijelaskan dalam Hadist
yang berbunyi :

َ َ ‫ ع‬، ‫عَن سالِم‬


َ ‫ن غَيْال‬
‫ن‬ َّ ‫ أ‬، ‫ما‬ َ ُ‫ه عَنْه‬ ُ َّ ‫ي الل‬
َ ‫ض‬ ِ ‫َن أبِيهِ َر‬ ْ ٍ َ ْ
َ
، ٍ‫سوَة‬ ْ ِ ‫عنْدَهُ عَشْ ُر ن‬ ِ َ‫م و‬ َ َ ‫سل‬ ْ ‫يأ‬ َّ ‫ة الث َّ َق ِف‬ َ ‫م‬َ َ ‫سل‬
َ ‫ن‬ َ ْ‫ب‬
َ
‫ك‬ْ ‫س‬
ِ ‫م‬ ْ ‫ أ‬: ‫ي صلى الله عليه وسلم‬ ُّ ِ ‫ه النَّب‬ ُ َ‫ل ل‬ َ ‫فَقَا‬
، ِّ‫َن ال ُّزهْرِي‬ ٌ ِ ‫م ال‬ َ ُ‫أَربعا وفَارقْ سائِره‬
ِ ‫ع‬،‫ك‬ َ ‫ن أخْب َ َرنَا‬ َّ َ َ ِ َ ًَ ْ
َ ‫يث غَيْال‬
‫ن‬ َ ِ‫حد‬
َ
Artinya :

Dari Salim, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Ghalian Ibnu


Salamah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh orang istri yang juga
21

masuk Islam bersamanya. Lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam


menyuruhnya untuk memilih empat orang istri di antara mereka dan
ceraikan selebihnya. Hadits ini didapat dari Imam Malik dari Zuhri,
Hadits Ghailan. (Musnad Imam Syafi’i : 1338)

Larangan-Larangan Nikah Pada Zaman Jahiliah

a) Nikah khidn, yakni wanita mencari laki-laki tertentu sebagai kawan


untuk melakukan perzinaan dengannya secara sembunyi-sembunyi.

b) Nikah Badal, yakni seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain,


“Taruhlah istrimu kepadaku, nanti aku akan taruh  istriku dan aku akan
berikan tambahan.”

c) Nikah Istibdhaa’, yakni seorang suami berkata kepada istrinya setelah


istrinya selesai haidh, “Pergilah kepada si fulan, dan berhubunganlah
dengannya agar kamu mendapatkan bibit yang baik," lalu suaminya
menjauhinya sampai istrinya hamil. Ketika jelas hamilnya, maka ia
menggauli jika mau. Nikah ini tujuannya untuk mendapatkan bibit
unggul.

d) Ada juga pernikahan dengan cara sekumpulan laki-laki (kurang dari


sepuluh) menemui seorang wanita, semuanya menjima’inya. Ketika
wanita itu sudah hamil lalu melahirkan dan telah lewat beberapa hari,
wanita itu mengirim seseorang kepada sekumpulan laki-laki itu, di mana
masing-masing mereka tidak dapat menolak. Ketika mereka telah
berkumpul di hadapan wanita itu, wanita itu berkata, “Kalian sudah tahu
tentang perbuatan kalian. Sekarang saya sudah melahirkan. Anak ini
adalah anakmu wahai fulan," wanita itu menentukan laki-laki yang
disukainya untuk menasabkan anaknya kepada laki-laki itu, dan laki-laki
itu tidak bisa menolaknya.

e) Ada juga cara lain selain di atas, yaitu ketika orang-orang berkumpul,
kemudian mereka menemui kaum wanita pelacur, di mana kaum wanita
itu tidak menolak orang yang datang kepadanya. Wanita-wanita pelacur
22

ini biasanya memasang bendera di pintunya sebagai tanda bolehnya siapa


saja mendatanginya dan menggaulinya. Ketika wanita ini hamil
kemudian selesai melahirkan, orang-orang berkumpul di hadapannya dan
mengundang qaaffah (ahli nasab dengan cara melihat kesamaan), lalu
menasabkan anak itu kepada orang yang mereka lihat mirip.

2.8 Nikah Siri

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan


pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia
(siri), dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju atau karena
menganggap absah pernikahan tanpa wali atau hanya karena ingin
memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-
ketentuan syariat. Pernikahan ini sah secara agama namun tidak dicatatkan
dalam lembaga pencatatan negara. Faktor-faktor yang melatar belakangi
terjadinya pernikahan sirri adalah:

a) Hubungan yang tidak direstui oleh orang tua kedua pihak atau salah
satu pihak.

b) Adanya hubungan terlarang.

c) Adanya dalihnmenghindari dosa karena zina.

d) Pasangan merasa belum siap secara materi dan secara sosial.

e) Pasangan memang tidak tahu dan tidak mau tahu prosedur hukum.

f) Nikah sirri dilakukan hanya untuk penjajagan dan menghalalkan


hubungan badan saja. Bila setelah menikah ternyata tidak ada
kecocokan maka akan mudah menceraikannya tanpa harus melewati
prosedur yang berbelit-belit di persidangan. Hal ini sangat merendahkan
posisi perempuan yang dijadikan objek semata, tanpa ada penghargaan
terhadap lembaga pernikahan baik secara islam maupun secara hukum.

2.9 Hak dan Kewajiban Suami Istri


23

a) Hak suami atas istri (yaitu kewajiban yang harus dipenuhi istri kepada
suaminya)

1) Menggauli suaminya secara layak sesuai dengan fitrahnya.

2) Memberikan rasa tenang dalam rumah tangganya.

3) Taat dan patuh pada suami selama suami tidak menyuruhnya untuk
melakukan perbuatan maksiat.

4) Menjaga dirinya dan harta suamninya bila suaminya tidak ada di


rumah.

5) Menjauhkan sesuatu dari segala perbuatan yang tidak disukai


suaminya. Termasuk di dalamnya adalah mengundang teman lelaki
dan perempuan nya ke rumah selama suami tidak ada.

6) Menjauhkan dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang


dan suara yang tidak enak didengar.

7) Tidak keluar rumah tanpa seizin suami. Seiring teknologi yang


semakin canggih izin lebih mudah dilakukan dengan mengirim sms,
telepon dan media yang lain.

b) Hak istri atas suami (yaitu hak istri yang harus dipenuhi oleh suami)

1) Memberikan mahar. Karena mahar merupakan keadilan dan


keagungan bagi para wanita. Harta suami adalah harta istri, harta
istri adalah miliknya sendiri.“Berikanlah maskawin kepada wanita
(yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian jika
mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS An Nisa 4)

2) Kedua adalah memberikan belanja (nafkah). Memenuhi kebutuhan


makan, tempat tinggal, pakaian, pengobatan.

3) Mendapatkan pergaulan secara baik dan patut.“…pergaulilah mereka


(istri-istrimu) secara baik. Kamu tidak menyukai mereka
24

(bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal


Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa 19)

4) Jangan sampai perbuatan dan perkataan suami menyakiti hati


istrinya.

5) Mendapatkan perlindungan dari segala sesuatu yang mungkin


melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan maksiat atau ditimpa
oleh kesulitan dan mara bahaya.

6) Mendapatkan rasa tenang, kasih sayang, dan rasa cinta dari


suaminya.

7) Mendapatkan pengajaran ilmu syariat dan akhlak.

c) Kewajiban suami

1) Memimpin, memelihara, dan membimbing keluarga, serta menjaga


dan bertanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan
keluarganya.

2) Memberi nafkah lahir batin sesuai dengan kemampuan serta


mengusahakan segala keperluan rumah tangga, terutama sandang,
pangan dan tempat tinggal.

3) Membantu tugas-tugas istri terutama dalam hal membidik dan


memelihara anak dengan penuh rasa tanggung jawab.

4) Memberi kebebasan bertindak dan berfikir kepada istri sepanjang


sesuai dengan ajaran Islam.

5) Dapat mengatasi keadaan, mencari penyelesaian secara bijaksana


dan tidak berbuat semena-mena.

d) Kewajiban istri

1) Taat kepada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran


Islam.
25

2) Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik


dihadapan atau dibelakang .

3) Membantu suami dalam memimpin keejahteraan dan keselamatan


keluarganya.

4) Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit.

5) Hormat dan sopan kepada suami dan keluarganya.

6) Memelihara, mengasuh dan mendidik anak agar menjadi anak yang


sholeh.

2.10Pembentukan Keluarga dalam Islam

Keluarga yang dituju dengan adanya perkawinan adalah keluarga yang       :

a) Sakinah artinya tenang.

b) Mawadah artinyakeluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta yang


berkaitan dengan hal – hal yang bersifat jasmani.

c) Rahmah artinya keluarga yang di dalamnya terdapat rasa kasih

d) sayang  yakni yang berkaitan dengan hal – hal yang bersifat kerohaniaan.

Keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun


keluarga. Oleh karena itu, menurut fungsinya keluarga mempunyai peran
dalam melaksanakan delapan fungsi keluarga yaitu fungsi agama, fungsi
sosial budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi,
fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi dan fungsi pemeliharaan
dan lingkungan.

Islam merupakan agama yang sangat realistis dengan keadilanya,


hukum islam memberikan penghargaan terhadap kehidupan rumah tangga.
Jelasnya islam tidak membiarkan begitu saja setiap persoalan yang muncul
dalam kehidupan rumah tnagga tanpa memberikan jalan keluar atau terapi
untuk menghilangkan dampak negatifnya (termasuk mencegah runtuhnya
26

istana kehidupan rumah tangga). Menurut rauf syalabi dalam ad da’wun al-
islamiyah fi’ahdina al-madani langkah pertama yang ditempuh dalam
mencegah munculnya masalah dalam kehidupan rumah tangga adalah
menasehati suami untuk memperlakukan isterinya dengan baik dan
selayaknya. Serta tidak tergesa gesa dan menjatuhkan keputusan cerai. Allah
swt berfirman” ..... Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
menyukai sesuatu, padahal allah menjadikannya kebaikan yang banyak”. (qs.
An-nisa [4]:19)

Islam meluruskan pandangan kaum lelaki terhadap kaum perempuan


agar dapat memahami dan memperlakukanya dengan layak. Hal ini
dijelaskanoleh imam bukhari dalam kitab an-nikah. ”berpesanlah kepada
wanita dengan baik karena mereka dilahirkan dari tulang rusuk. Tulang rusuk
yang paling bengkok adalah bagian atas, maka bila anda bernaksud
menjadikanya lurus, yang erjadi justru mematahkanya; dan bila
membiarkanya bengkok, niscaya itu akan tetap bengkok, karena itu
berpesanlah kepada wanita secara baik baik”. Hal-hal yang hendak dilakukan
dalam membina keluarga atau rumah tangga, yaitu :

a) Memberi nasihat dengancara baik baik

b) Memisahkan diri dalam rumah (tidak tidur seranjang) tanpa bermaksud


memutuskan hubungan

c) Diberi sangsi fisik dengan pukulan yang tidak membahayakan

d) Menjaga dan melindungi rahasia keluarga dari orang orang sebab islam
tidak mengizinkan orang mengungkap rahasia rumah tangganya.

e) Mengupayakan agar bahtera keluarga tetap utuh dan bertahan

f) Tidak terburu buru mengambil keputusan bercerai

g) Memandang pentingnya perbaikan hubungan diantara suami istri yang


sedang bertengkar melalui niat ikhlas
27

h) Islam tidak membolehkan kaum istri, dikarenakan kemarahan atau


kebencianya menyeret persoalan ruamh tangga kekantor polisi.
Sementara sang suami dan anak anaknya sama sekali tidak berkenan.

Demikanlah perhatian islam yang sangat besar terhadap hubungan


yang suci diantara suami istri. Namun demikian adakalanya semua upaya itu
menemui jalan buntu, maka tak ada alasan lagi bagi keduanya untuk tetap
bertahan sebagai pasangan suami istri atau harus bercerai tentunya
dengancara baik baik.

2.11Istilah-Istilah dalam Pernikahan

Berkenaan dengan perkawinan dan rumah tangga, ada beberapa istilah


yang perlu dijelaskan dalam Islam yaitu sebagai berikut :

a) Monogami adalah perkawinan seorang (suami) dengan seorang (istri).


Monogami dijelaskan dalam Q.S An-Nisa ayat (3)  “jika kamu takut
tidak dapat berlaku adil kawinilah seorang wanita saja’’.

b) Poligami adalah perkawinan yang salah satu pihaknya mengawini


beberapa lawan jenis nya dalam waktu yang bersamaan dalam bentuk
poligini adalah seorang suami kawin dengan lebih dari satu istri,
sedangkan poliandri adalah seorang istri memiliki suami lebih dari satu.
Larangan poliandri terdapat dalam Q.S An-Nisa ayat 24. Syarat-syarat
seorang suami jika hendak beristri lebih dari satu :

1) Istrinya tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri karena


berbagai hal dan keadaan

2)  Istrinya mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat


disembuhkan

3) Istrinya tidak dapat melahirkan keturunan

4) Adanya persetujuan istri-istrinya


28

5) Ada kepastian bahwa ia mampu menjamin keperluan hidup istri-istri


serta anak-anaknya

6) Ada jaminan bahwa semua itu akan berlaku adil terhadap istri-istri
dan anak-anaknya.

c) Perceraian dalam Islam

1)  Cerai Hidup  atau disebut cerai benci adalah perceraian yang terjadi
sewaktu suami istri masih hidup. Ini bisa terjadi karena inisiati suami
atau istri , permintaan suami atau istri , salah satu pihak berzina atau
menjadi pemabuk , salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama
2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah, salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukumanya yang lebih berat lagi, salah satu pihak melakukan
penganiayaan , salah satu pihak mendapat cacat badan yang tidak
dapat disembuhkan, antara suami dan istri terjadi perselisihan secara
terus-menerus.

2) Cerai mati adalah cerai karena salah satu dari suami ada yang
meninggal.

d) Li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina. Jika terbukti
benar istri akan dihukum rajam.

e) Ila’ adalah sumpah suami yang tidak akan meniduri istrinya selama
empat bulan atau lebih atau dalam waktu yang tidak dapat ditentukan.

f) ‘Iddah adalah masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai
dari suaminya untuk dibolehkan menikah kembali dengan laiki-laki lain.

g) Rujuk artinya kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya


sebagaimana semula, selama istrinya masih dalam masa ‘iddah raj’iyah.

h) Talak
29

Jika perceraian atas inisiatif suami maka disebut talak. Talak


adalah hak suami untuk menceraikan istrinya dengan mengucapkan kata-
kata tertentu.

Macam-macam Talak :

1) Talak khuluk yaitu talak tebus karena istri memberikan sesuatu


benda atau uang sebagai tebusan kepada suami agar suaminya
menjatuhkan talak padanya supaya mereka bisa bercerai.

2) Ta’lik talak yakni talak yang kabul dilangsungkan dipengadilan.

3) Talak biasa

Kalau perceraian terjadi atas inisiati istri , maka dinamakan fasakh.


Fasakh adalah bentuk perceraian yang terjadi atas permintaan istri
karena suaminya sakit gila , dan sakit berbahaya lainya.

i) Perjanjian pernikahan

1) Pada waktu sebelum pernikahan dilangsungkan kedua


calon  mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan
pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam
pernikahan.

2) Perjanjian tersebut dapat meliputi percampuran harta pribadi dan


pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan hukum Islam.

3) Disamping ketentuan dipoin pertama dan kedua diatas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenanggan masing-masing untuk
mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau
harta syarikat.

4) Apabila dibuat perjanjian pernikahan mengenai pemisahan harta


bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga.
30

5) Apabila dibuat perjanjian pernikahan tidak memenuhi ketentuan


tersebut pada nomor 4 diatas, dianggap tetap terjadi pemisahan harta
bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung
biaya kebutuhan rumah tangga.

6) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta,


baik yang dibawa masing-masing kedalam pernikahan maupun yang
di peroleh masing-masing selama pernikahan.

7) Dengan tidak menguranggi ketentuan tersebut pada nomor 6 diatas,


dapat juga diperjanjikan bahwa pencampuran harta pribadi hanya
terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat pernikahan
dilangsungkan, sehingga pencampuran ini  tidak meliputi harta
pribadi yang diperoleh selama pernikahan atau sebaliknya.

2.12 Hikmah Pernikahan dalam Islam

a) Sebagai Wadah Birahi Manusia Secara Halal.

Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam


dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif.
Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan
menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat
mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan
adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi’ nulari
normal seorang anak keturunan Adam.

b) Meneguhkan Akhlaq Terpuji.

Dengan menikah, dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah


berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat dan
martabatnya sebagai hamba Allah yang baik. Akhlak dalam Islam
sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan
lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa.
31

Kenyataan yang ada selama ini menujukkkan gejala tidak baik, ditandai
merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan.

c) Membangun Rumah Tangga Islami.

Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi


kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan
dari insan-insan terdahulu maupun sekarang hingga mereka sukses
mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan
dengan membangun biduk rumah tangga islami. Layaknya perahu,
perjalanan rumah tangga kadang terombang-ambing ombak di lautan.
Ada aral melintang. Ada kesulitan datang menghadang. Semuanya adalah
tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap
dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya.

d) Memotivasi Semangat Ibadah.

Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia,


bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah
sujud, beribadah kepada-Nya. Dengan menikah, diharapkan pasangan
suami-istri saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan. Dengan
menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah
dan Rasul-Nya.

e) Melahirkan Keturunan yang Baik.

Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang salih,


berkualitas iman dan takwanya, cerdas secara spiritual, emosional,
maupun intelektual. Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab
dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan
beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan
mampu melahikan generasi yang baik pula.

.
32
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

3. 1 Simpulan
Pernikahan menurut Islam adalah menyatukan laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga,
yang diliputi ketentraman, kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah
SWT. Tujuan pernikahan itu sendiri adalah untuk memenuhi hajat naluri
manusia, sesuai petunjuk agama dalam rangka mewujudkan keluarga
harmonis, sejahtera, bahagia lahir batin, berdasar cinta kasih, dan kasih
sayang. Pernikahan yang didasari karena ingin mendapatkan keridhoan dari
Allah akan menjadikan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.
Kendatipun perkawinan dikehendaki berlangsung seumur hidup.
Namun, menurut hukum Islam perceraian dapat saja terjadi. Baik cerai
hidup atau cerai mati. Yang dimaksud cerai hidup adalah perceraian yang
terjadi sewaktu suami isteri masih hidup. Kemudian yang disebut cerai mati 
adalah perceraian yang terjadi karena salah seorang suami atau isteri
meninggal dunia. Jika terjadi demikian , timbullah masalah kewarisan yaitu
masalah yang berhubungan dengan peralihan hak atas benda seorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya.  Ini telah mengikutsertakan
kewarisan Islam, yang merupakan kelanjutan sistem perkawinan Islam dan
merupakan bagian hukum keluarga.

3. 2 Saran
Dengan adanya pernikahan diharapkan dapat membentuk keluarga
yang sakinah, mawaddah dan warahmah, dunia dan akhirat. Pernikahan
menjadi wadah bagi pendidikan dan pembentukan manusia baru yang
kedepannya diharapkan mempunyai kehidupan dan masa depan yang lebih
baik. Pengetahuan mengenai pernikahan sudah cukup penting untuk
diketahui karena pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dipermainkan

32
33

begitu saja. Pernikahan sudah sepatutnya dipikirkan baik-baik dan


direncanakan secara matang.
34
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2014. Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Universitas Esa Unggul.

Anwar, Junaidi. 2004. Agama Islam Lentera Kehidupan. Jakarta : Yudhistira

Djalil, Abdul.  2000.  Fiqh Rakyat Pertautan Fiqh dengan Kekuasaan.


Yoyakarta:
LKIS Yogyakarta

Kamal, Mukhtar. 1974.  Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta:


Bulan Bintang

Mubarok, Jaih. 2002. Metodologi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press

Shihab, Muhammad Quraish. 2010. 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda


Ketahui. Jakarta: Lentera Hati

Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta

Syamsuri. 2006. Pendidikan Agama Islam Untuk SMA. Jakarta : Erlangga

Zainuddin, Djejen. 2005. Fiqih. Semarang : PT. Karya Toha Putra

Dandelion, Momoy. 2010. Konsep Pernikahan dalam Pandangan Islam


(online), (http://momoydandelion.blogspot.com/)
Hadzan, Ibnul. 2007. Konsep Pernikahan dalam Islam
(online), (http://koswara.wordpress.com/)
Kumpulan Makalah. 2009. Konsep Islam Tentang Pernikahan
(online), (http://kumpulan-makalah-dlords.blogspot.com/)

34

Anda mungkin juga menyukai