KOMPLIKASI DM
Disusun Oleh:
Dhieto Basuki Putra
04094705078
Pembimbing:
DR. Dr, H. Fachmi Idris, M.Kes
1
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh:
Dhieto Basuki Putra
04094705078
Pembimbing:
DR. Dr. Fachmi Idris, M.kes
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang periode 25 Oktober 2010 – 27 Desember 2010.
2
I. Pendahuluan
I.1 Fakta Deskriptif
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron
akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.1,2
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering
terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti
dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus.
Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak
tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes
simpleks atau paralisis fasial herpetik.3,4
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di
dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar
23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata
15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi,
dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan
yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada
laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun
lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu
pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak
hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.2, 5, 6,8
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun
terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bell’s palsy
sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam
ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu, masuk angin (misalnya hawa dingin, AC,
atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap sebagai satu-satunya pemicu Bell’s
palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s palsy.
Tahun 1972, Mc Cormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial
idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas
dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam
ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam
ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase-
3
Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani
pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada
telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan ganglion
genikulatum. Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s palsy
tetapi ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome.1.3.4,5
Faktor Perilaku
• Hawa dingin atau AC pada satu sisi wajah.
• Menyetir mobil dengan jendela terbuka.
• Mengendarai motor tanpa helm tertutup.
• Tidak mau mencari pengobatan saat menderita HSV ataupun VZV.
Faktor Lingkungan
• Tempat kerja atau tempat yang selalu menggunakan pendingin ruangan.
• Kontak dengan penderita HSV ataupun VZV.
Faktor Genetik
• Wanita
Wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada
kelompok umur yang sama.
4
• Diabetes
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi menderita bells palsy
dibandingkan nondiabetes.
Tujuan khusus
Menurunkan jumlah warga yang menderita HSV dan VZV yang tidak mencari
pengobatan di daerah ini dari 80% pada tahun 2010 menjadi 79,6% pada tahun 2011.
5
Catatan Perhitungan Target :
Besarnya target minimal ditentukan dengan menggunakan rumus:
p1 − p 2
1,96 = p1q1 p 2q 2
+
N1 N2
p1 = besarnya masalah sebelum program dalam % (80%)
p2 = besarnya masalah setelah program dalam % (target)
q1 = 100% - p1 (20%)
q2 = 100% - p2
N1 = jumlah populasi sebelum program (70% dari 237000000)
N2 = jumlah populasi setelah program (70% dari 237000000)
Besarnya p2 atau target yang ingin dicapai dapat dicari dengan menggunakan rumus
persamaan kuadrat sebagai berikut:
− b ± b 2 − 4ac
p2(1,2) =
2a
Pada kasus ini didapatkan p2 sebesar 79,6%
IV. Program dan Kegiatan
Alternatif program untuk meningkatkan pengetahuan penderita mengenai pencegahan
ekstrophia vesicae adalah:
• Memberikan pengetahuan kepada warga mengenai bahaya terpapar udara dingin pada
satu sisi wajah.
• Memberikan pengetahuan kepada warga mengenai komplikasi dari HSV dan VZV.
V. Strategi Intervensi
Pendekatan Institusi
Mengadakan pendekatan kepada pimpinan atau pengambil keputusan sehingga
memberikan dukungan, kemudahan, perlindungan dalam upaya mengubah perilaku
warga tidak mencari pengobatan meski menderita HCV atau VZV. Antara lain
kepada: kepala daerah, tokoh masyarakat, dan pemuka agama.
Pendekatan komunitas
Pendekatan dilakukan melalui: edukasi berupa penyuluhan dan diskusi kelompok,
serta publikasi melalui radio, penyebaran leaflet dan pemasangan poster dipinggir
jalan.
6
VI. Rencana dan Jadwal Kegiatan
Rencana Kegiatan Persiapan
• Penyusunan proposal
• Perencanaan anggaran biaya
• Kegiatan edukasi berupa penyuluhan dan diskusi kelompok
• Publikasi melalui radio, penyebaran leaflet dan pemasangan poster.
• Persiapan materi edukasi.
• Persiapan tim pemberi edukasi.
• Persiapan tempat, peralatan, dan waktu yang tepat untuk memberikan
edukasi.
7
VII. Rencana Pembiayaan
VIII. Evaluasi
• Keberhasilan unsur masukan: jumlah partisipan memenuhi target, ketersediaan
dana, sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan program.
• Keberhasilan unsur proses: terselenggaranya kegiatan edukasi dan publikasi
dengan baik.
• Keberhasilan unsur keluaran: meningkatnya pengetahuan warga mengenai bahaya
terpapar dengan udara dingin pada satu sisi wajah dan komplikasi HSV dan VZV
jika tidak diobati.
IX. Pemantauan
Pemantauan program intervensi pada warga dilakukan setiap 6 bulan. Pemantauan ini
dilakukan dengan kunjungan rumah untuk mengetahui bagaimana kesadaran warga dalam
mengubah perilaku tidak mau berobat saat menderita HSV dan VZV.
.
Jadwal Program Pelayanan Kesehatan
8
No Kegiatan Waktu (dalam minggu)
I II III IV V
1. Penyusunan proposal
2. Pencarian dana
3. Pengadaan sarana edukasi
4. Edukasi & Publikasi
6. Evaluasi
7. Pemantauan Setiap 6 bulan
DAFTAR PUSTAKA
9
2. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003. p 297-300
3. Campbell WW, editor. The Facial Nerve. DeJong’s The Neurologic Examination.
6th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 1992. p 208-211.
4. Ropper AH, Brown RH, editors. The Seventh, or Facial Nerve. Adams and
Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York: MacGraw-Hill; 2003. p
1180-1182.
5. Monnell K. Bell’s palsy. [online]. 2006. [cited 23 jan 2008]. Available from:
URL:www.eMedicine.com
6. Holland J, Weiner M. Recent developments in bell’s palsy.[online]. 4 sept 2004.
[cited 24 jan 2008]. Available from: URL:www.BMJ.com
7. Sidharta Priguna, M. D., Ph. D. Neurologi Klinik Dalam Praktek Umum, cetakan
kelima, PT. Dian Rakyat, Jakarta, 2005,403.
8. Shmorgun D, Chan W, Ray J. Association between bell’s palsy in pregnancy and
pre-eclampsia. [online].
10