B usia 17 th G1P0000Ab000
Post Partus Prematurus dengan Preterm Premature Rupture
of Membrane
Oleh:
Fitria Marina Sandy
170070301111002
b. Perdarahan nifas
Perdarahan post partum adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui jalan
lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III yang disebabkan karena
perdarahan pasca persalinan, placenta previa, solutio placenta, kehamilan
ektopik, abortus dan ruptur uteri yang merupakan penyebab ¼ kematian ibu
(Anggraeni, 2010).
Klasifikasi klinis
Menurut Anggraeni (2010) Perdarahan pasca persalinan dibagi menjadi dua,
yaitu:
1. Perdarahan pasca persalinan primer (early postpartum haemorrhage, atau
perdarahan pasca persalinan segera). Perdarahan pasca persalinan primer
terjadi dalam 24 jam pertama dan yang terbanyak terjadi dalam 2 jam
pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah
atonia uteri, retensio placenta, sisa placenta dan robekan jalan lahir.
2. Perdarahan pasca persalinan sekunder (late postpartum haemorrhage,
atau perdarahan masa nifas, atau perdarahan pasca persalinan lambat).
Perdarahan pasca persalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama.
Penyebab utama perdarahan pasca persalinan sekunder adalah robekan
jalan lahir dan sisa placenta atau membran.
Etiologi
Menurut Anggraeni (2010) penyebab perdarahan post partum adalah
sebagai berikut:
1. Atonia uteri
Pada atonia uteri, uterus tidak mengadakan kontraksi dengan baik, dan ini
merupakan sebab utama dari perdarahan postpartum. Uterus yang sangat
teregang (hidramnion, kehamilan ganda atau kehamilan dengan janin besar),
partus lama dan pemberian narkosis dan merupakan predisposisi untuk
terjadinya atonia uteri.
2. Laserasi jalan lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan
pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri.
Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik
biasanya disebabkan oleh robekan cerviks atau vagina.
3. Robekan cervik
Persalinan selalu mengakibatkan robekan servik, sehingga servik seorang
multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan
servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen
bawah uterus. Apabila placenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah
berkontraksi baik. Namun, perdarahan masih belum berhenti dikarenakan
adanya robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina.
4. Fistula
Fistula akibat pembedahan vagina makin lama makin jarang karena
tindakkan vagina yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan
seksio sesaria. Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukaan pada
vagina yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya oleh
perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan servik menjalar ke
tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui
vagina.
5. Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perinium umumnya terjadi
di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat,
sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu
panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia
suboksipito bregmatika.
6. Retensio Placenta
Retensio Placenta adalah belum lahirnya placenta 30 menit setelah anak
lahir. Tidak semua retensio placenta menyebabkan terjadinya perdarahan.
Apabila terjadi perdarahan, maka placenta dilepaskan secara manual lebih
dulu.
7. Tertinggalnya Sisa Placenta
Suatu waktu bagian dari placenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka
uterus tidak berkontraksi dengan baik dan keaadaan ini dapat menimbulkan
perdarahan. Tetapi mungkin saja pada beberapa keadaan tidak ada
perdarahan dengan sisa placenta.
8. Inversio Uterus
Uterus dikatakan megalami inversi jika bagian dalam menjadi diluar saat
melahirkan placenta. Reposisi sebaiknya segera dilakukan. Dengan
berjalannya waktu, lingkaran kontriksi sekitar uterus yang terinversi akan
mengecil dan uterus akan terisi darah.
9. Hematoma
Hematoma yang biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami
laserarasi atau atau pada daerah perineum.
Faktor Predisposisi
Menurut Manuaba (2008) faktor predisposisi perdarahan post partum adalah
sebagai berikut:
1. Keadaan umum pasien yang mempunyai gizi rendah:
a. Hamil dengan anemia
b. Hamil dengan kekurangan gizi/malnutrisi
2. Kelemahan dan kelelahan otot rahim
a. Grande multipara
b. Jarak kehamilan dan persalinan kurng dari 2 tahun
c. Persalinan lama atau terlantar
d. Persalinan dengan tindakan
e. Kesalahan penanganan kala III
3. Pertolongan persalinan dengan tindakan
4. Overdistensi pada kehamilan:
a. Hidramnion
b. Gemeli
c. Berat anak yang melebihi 4000 gram
Gejala klinis
Menurut Anggraeni (2010) gejala klinis perdarahan post partum adalah sebagai
berikut:
1. Atonia uteri
Tanda dan gejala:
a. Uterus tidak berkontraksi dan lembek
b. Perdarahan segera setelah anak lahir (perdarahan pasca persalinan
primer)
2. Robekan jalan lahir
Tanda dan gejala:
a. Perdarahan segera
b. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir
c. Uterus kontraksi baik
d. Plasenta baik
3. Retensio plasenta
Tanda dan gejala :
a. Plasenta belum lahir setelah 30 menit
b. Perdarahan segera
c. Uterus berkontraksi baik
4. Tertinggalnya sebagian plasenta ( sisa plasenta )
Tanda dan gejala :
a. Plasenta atau sebagian selaput ( mengandung pembuluh darah) tidak
lengkap
b. Perdarahan segera
5. Invertio uteri
Tanda dan gejala :
a. Uterus tidak teraba
b. Lumen vagina terisi masa
c. Tampak tali pusat ( jika plasenta belum lahir )
d. Perdarahan segera
e. Nyeri sedikit atau berat
Komplikasi Perdarahan Post Partum
Menurut Manuaba (2008) komplikasi perdarahan post partum adalah sebagai
berikut :
1. Memudahkan terjadinya :
a. anemia yang berkelanjutan
b. infeksi puerperium
2. Terjadinya nekrosis hipofisis anterior
a. menurunnya berat badan
b. penurunan fungsi seksual
c. turunnya metabolisme hipotensi
d. amenorea sekunder
e. memudarnya tanda-tanda sekunder
Penanganan Perdarahan Post Partum
Apabila placenta belum lahir dalam 30 menit sampai 1 jam setelah bayi lahir,
apalagi bila terjadi perdarahan maka harus segera dikeluarkan.
1. Lahirkan placenta dengan cara manual.
2. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri
3. Memeriksa placenta dan selaput ketuban apakah lengkap atau tidak
4. Lakukan eksplorasi kavum uteri untuk mencari : sisa placenta atau selaput
ketuban, robekan rahim, plasecenta suksenturiata
5. Inspekulo : untuk melihat robekan pada serviks, vagina dan varices yang
pecah
6. Pemeriksaan laboratorium, periksa darah yaitu Hb, COT (Clot Observation
Test) itu Hb, COT (Clot Observation Test)
c. Infeksi saluran kemih
Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relative tinggi dan hal ini
dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih
waktu persalinan, pemeriksaan dalam yang sering, kontaminasi kuman dari
perineum, atau katerisasi yang sering (Krisnadi, 2005). Sistitis biasanya
memberikan gejala berupa nyeri berkemih (dysuri) sering berkemih, dan tak
dapat ditahan. Demam biasanya jarang terjadi. Adanya retensi urine
pascapersalinan umumnya merupakan tanda adanya
infeksi. Pielonefritis memberikan gejala yang lebih berat, demam, menggigil,
perasaan mual dan muntah. Selain disuri, dapat juga terjadi piuri dan hematuri
(Krisnadi, 2005). Pengobatan antibiotic yang terpilih meliputi golongan
nitrofurantoin, sulfonamide, trimetroprim, sulfametoksazol, atau
sefalosporin. Banyak penelitian yang melaporkanresistensi microbial terhadap
golongan penisilin (Krisnadi, 2005).
d. Patologi Menyusui
Masalah menyusui pada umumnya terjadi dalam dua minggu pertama
masa nifas (Krisnadi, 2005). Payudara telah dipersiapkan sejak mulai terlambat
datang bulan sehingga pada waktunya pada memberikan ASI dengan sempurna.
Untuk dapat melancarkan pengeluaran ASI dilakukan persiapan sejak awal hamil
dengan melakukan masase, menghilangkan kerak pada puting susu sehingga
duktusnya tidak tersumbat. Puting susu saat mandi perlu ditarik-tarik sehingga
menonjol untuk memudahkan mengisap ASI (Manuaba, 1998).
Berbagai variasi puting susu dapat terjadi diantaranya terlalu kecil, puting
susu mendatar dan puting susu masuk ke dalam. Pengeluaran ASI pun dapat
bervariasi seperti tidak keluar sama sekali (agalaksia), ASI sedikit (oligolaksia),
terlalu banyak (poligolaksia), dan pengeluaran berkepanjangan (galaktorea)
(Manuaba, 1998).
1. PAYUDARA BENGKAK (ENGORGEMENT)
Bendungan payudara dalah peningkatan aliran vena dan limfe pada
payudara dalam rangka mempersiapkan diri untuk laktasi (Prawirohardjo, 2006).
Payudara terasa lebih penuh, tegang dan nyeri. Terjadi pada hari ketiga atau
keempat pasca persalinan. Disebabkan oleh bendungan vena dan pembuluh
getah bening. Hal ini merupakan tanda bahwa ASI mulai banyak disekresi,
namun pengeluaran belum lancar. Bila karena nyeri ibu tidak mau menyusui,
keadaan ini akan berlanjut. ASI yang disekresiakan menumpuk sehingga
payudara bertambah tegang, gelanggang susu menonjol, dan puting menjadi
lebih datar. Bayi menjadi lebih sulit menyusu (Krisnadi 2005). Pencegahan dan
penanganannya dalam Krisnadi (2005) dijelaskan sebagai berikut:
Pencegahan:
a. Menyusui dini, susui bayi sesegera mungkin (sebelum 30 menit) setelah
dilahirkan
b. Susui bayi tanpa dijadwal
c. Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi melebihi kebutuhan
bayi
d. Perawatan payudara pasca persalinan
Penanganan :
a. Kompres hangat agar payudara menjadi lebih lembek
b. Keluarkan sedikit ASI sebelum menyusui sehingga puting lebih mudah
ditangkap dan diisap oleh bayi
c. Sesudah bayi kenyang, keluarkan sisa ASI
d. Untuk mengurangi rasa sakit pada payudara, berikan kompres dingin
e. Untuk mengurangi stasis di vena dan pembuluh getah bening, lakukan
pengurutan (masase) payudara yang dimulai dari puting ke arah korpus.
2. KELAINAN PUTING
Kelainan puting ditemukan lebih dini pada saat pemeriksaan kehamilan
agar segera dapat dikoreksi sebelum menyusui. Kelainan puting yang dapat
mengganggu proses menyusui adalah puting susu datar dan puting susu
tenggelam (inverted). Penanggulangan puting datar dan tenggelam dapat
diperbaiki dengan perasat Hoffman, yaitu dengan meletakkan kedua jari telunjuk
atau ibu jari di daerah gelanggang susu, kemudian dilakukan urutan menuju ke
arah berlawanan. Pada true inverted niple perasat Hoffman tidak dapat
memperbaiki keadaan, harus dilakukan tindakan operatif. Pada keadaan ini, ASI
harus dikeluarkan secara manual atau dengan pompa susu dan diberikan pada
bayi dengan sendok, gelas atau pipet (Krisnadi, 2005).
3. PUTING NYERI (SORE NIPPLE) DAN PUTING LECET (CRACKED NIPPLE)
Puting susu nyeri terjadi karena posis bayi saat menyusui salah, karena
puting tidak masuk ke dalam mulut bayi sampai gelanggang susu sehingga bayi
hanya mengisap pada puting susu saja. Tekanan terus-menerus hanya pada
tempat tertentu akan menimbulkan puting nyeri waktu diisap, meskipun kulitnya
masih utuh (Krisnadi,2005)
Penyebab lain yang dapat menimbulkan puting nyeri adalah penggunaan
sabun, cairan, krim, alcohol untuk membersihkan puting susu sehingga terjadi
iritasi. Iritasi pada puting susu juga dapat terjadi pada bayi dengan tali lidah
(frenulumlinguae) yang pendek sehingga bayi tidak dapat mengisap sampai
gelanggang susu dan lidahnya menggeser ke puting. Puting akan nyeri bila terus
disusukan lama-lama dan akan menjjadi lecet atau luka (Krisnadi, 2005).
Penanggulangannya adalah dengan memberikan teknik menyusui yang benar,
khususnya letak puting dalam mulut bayi, yaitu:
a. Bibir bayi menutup areola sehingga tidak tampak
b. Puting di atas lidah bayi
c. Areola di antara gusi atas dan bawah
4. SALURAN SUSU TERSUMBAT (OBSTRUCTIVE DUCT)
Sumbatan pada saluran susu disebabkan oleh tekanan yang terus-menerus.
Tekanan dapat berasal dari pemakaian bra yang terlalu ketat, tekanan jari pada
tempat yang sama setiap menyusui, atau kelanjutan dari payudara bengkak.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memakai bra dengan ukuran memadai dan
menopang payudara dengan baik, pengurutan payudara yang teratur dan dengan
teknik menyusui yang baik (Krisnadi, 2005). Pengobatan dapat dilakukan dengan
memberikan kompres hangat sebelum menyusui, pengurutan payudara,
mengeluarkan sisa ASI setelah menyusui dan kompres dingin setelah menyusui
untuk mengurangi rasa sakit. Saluran susu yang tersumbat bila tidak ditangani
sebagaimana mestinya dapat menjadi mastitis (radang payudara) (Krisnadi, 2005).
5. RADANG PAYUDARA (MASTITIS)
Proses infeksi pada payudara menimbulkan pembengkakan lokal atau
seluruh payudara, merah dan nyeri. Peradangan mengenai stroma payudara yang
terdiri dari jaringan ikat, lemak, pembuluh darah, dan getah bening. Biasanya terjadi
pada minggu kedua, ibu merasa demam umum seperti influenza (Krisnadi, 2005).
Biasanya didahului oleh putting lecet, payudara bengkak atau sumbatan saluran
susu. Ibu dengan anemi, gizi buruk, kelelahan dan stress juga merupakan factor
predisposisi.
Penanggulangannya adalah sebagai berikut:
a. Ibu harus terus menyusui agar payudara
b. Kompres hangat dan dingin seperti pada payudara bengkak
c. Memperbaiki posisi menyusui, terutama bila terdapat putting lecet
d. Istirahat cukup, makanan yang bergizi
e. Minum sekitar 2 liter per hari
f. Antibiotic
g. Analgesic
Dalam Prawirohardjo (2006), penanganan untuk ibu yang menusui bayinya dan tidak
menyusui dibedakan.
Bila ibu menyusui bayinya:
a. Susukan sesering mungkin
b. Kedua payudara disusukan.
c. Kompres hangat payudara sebelum disusukan
d. Bantu dengan memijat payudara untuk permulaan menyusui
e. Sangga payudara
f. Kompres dingin pada payudara di antara waktu menyusui
g. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam
h. Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk mengevaluasi hasil
Bila ibu tidak menyusui bayinya:
a. Sangga payudara
b. Kompres dingin pada payudara untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit
c. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral selama 4 jam
d. Jangan dipijat atau memakai kompres hangat pada payudara.
6. ABSES PAYUDARA
Berbeda dengan mastitis, pada abses payudara :
a. Infeksi mengenai jaringan parenkim dan besar nanah
b. Payudara yang sakit tidak boleh disusukan, sedangkan payudara yang sehat
tetap disusukan
c. Terjadi sebagai komplikasi dari mastitis
d. Pemberian antibiotic dan analgesic
e. Bila perlu lakukan insisi abses
Payudara yang sakit sementara tidak disusukan, namun ASI tetap dikeluarkan
manual atau dengan pompa agar produksi ASI tetap baik. Dalam beberapa hari
dapatdisusukan kembali (Krisnadi, 2005).
e. Tromboemboli
Trombosis vena dapat terjadi selama kehamilan atau sering terjadi pada
masa nifas antara hari ke 5 – 15. Perawatan obstetri yang baik dan ambulasi dini
dapat menurunkan kejadian penyakit tromboemboli. Proses trombosis selalu
berawal dari vena profunda tungkai bawah namun dapat pula menjalar keatas
menuju vena femoralis atau vena vena dalam panggul. Situasi ini sering
menyebabkan terjadinya emboli paru.
Diagnosis DVT (Deep Vein Thrombosis)
a. Tanda klinik adalah terjadinya demam ringan, kenaikan frekuensi nadi dan
rasa lesu.
b. Tanda klinik tak dapat memberi informasi mengenai progresivisitas penyakit.
c. Konfirmasi diagnosis adanag dengan menggunakan”colour – enhanced
Doppler imaging “ pada vena tibialis dan femoralis.
Diagnosis emboli paru :
a. Dispneoe
b. Nyeri dada
c. Sianosis
d. Krepitasi pada auskultasi paru
Terapi DVT
a. Heparin infus ( 20.000 dalam 500 PZ denga kecepatan 25 ml / jam untuk
mencapai dosis 25.000 IU per hari ) selama 5 hari dan dipantau dengan
pemeriksaan APTT. Active partial tromboplastin time
b. Tirah baring dengan tungkai di elevasi selama heparinisasi
c. Terapi Emboli Paru :
d. Heparin bolus 25.000 IU intra vena dan diikuti dengan pemberian per infus
seperti ada kasus DVT.
2. Faktor Resiko
Ketuban pecah dini dalam kehamilan merupakan gangguan multifaktorial. Beberapa
faktor risiko dari ketuban pecah dini dalam kehamilan adalah:
1. Usia maternal
Usia reproduksi yang aman untuk kehamilan dan persalinan yaitu usia 20-35
tahun (Winkjosastro, 2011). Pada usia ini alat kandungan telah matang dan
siap untuk dibuahi, kehamilan yang terjadi pada usia < 20 tahun atau terlalu
muda sering menyebabkan komplikasi/ penyulit bagi ibu dan janin, hal ini
disebabkan belum matangnya alat reproduksi untuk hamil, dimana rahim
belum bisa menahan kehamilan dengan baik, selaput ketuban belum matang
dan mudah mengalami robekan sehingga dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini. Pada usia > 35 tahun ibu memiliki resiko kesehatan pada
ibu dan bayi. Keadaan ini terjadi karena otot-otot dasar panggul tidak elastis
lagi sehingga mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan. Salah satunya
adalah perut ibu yang menggantung dan serviks mudah berdilatasi sehingga
dapat menyebabkan pembukaan serviks terlalu dini yang menyebabkan
terjadinya ketuban pecah dini.
2. Riwayat keluarga
Terdapat peranan genetik pada hipertensi dalam kehamilan.Hal tersebut
dapat terjadi karena terdapat riwayat keluarga dengan ketuban pecah dini
dalam kehamilan (Muflihan FA, 2012).
3. Cephalopelvic Disproportion(CPD)
Keadaan panggul merupakan faktor penting dalam kelangsungan
persalinan,tetapi yang tidak kurang penting ialah hubungan antara kepala
janin dengan panggul ibu.Partus lama yang sering kali disertai pecahnya
ketuban pada pembukaan kecil,dapat menimbul dehidrasi serta asdosis,dan
infeksi intrapartum. Pengukuran panggul (pelvimetri) merupakan cara
pemeriksaanyang penting untuk mendapat keterangan lebih banyak tentang
keadaan panggul (Prawirohardjo, 2011).
4. Pekerjaan
Pekerjaan adalah suatu kegiatan atau aktivitas responden sehari-hari, namun
pada masa kehamilan pekerjaan yang berat dan dapat membahayakan
kehamilannya hendaklah dihindari untuk menjaga keselamatan ibu maupun
janin. Kejadian ketuban pecah sebelum waktunya dapat disebabkan oleh
kelelahan dalam bekerja. Hal ini dapat dijadikan pelajaran bagi ibu-ibu hamil
agar selama masa kehamilan hindari/kurangi melakukan pekerjaan yang berat
(Abdul, 2010).
5. Usia kehamilan
Usia kehamilan pada saat kelahiran merupakan satu-satunya alat ukur
kesehatan janin yang paling bermanfaat dan waktu kelahiran sering ditentukan
dengan pengkajian usia kehamilan. Pada tahap kehamilan lebih lanjut,
pengetahuan yang jelas tentang usia kehamilan mungkin sangat penting
karena dapat timbul sejumlah penyulit kehamilan yang penanganannya
bergantung pada usia janin. Periode waktu dari KPD sampai kelahiran
berbanding terbalik dengan usia kehamilan saat ketuban pecah. Jika ketuban
pecah trimester III hanya diperlukan beberapa hari saja hingga kelahiran
terjadi dibanding dengan trimester II. Makin muda kehamilan, antar terminasi
kehamilan banyak diperlukan waktu untuk mempertahankan hingga janin lebih
matur. Semakin lama menunggu, kemungkinan infeksi akan semakin besar
dan membahayakan janin serta situasi maternal (Astuti, 2012).
3. Klasifikasi
Berdasarkan usia kehamilan (Manjoer, 2001), dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. KPD pada usia kehamilan < 37 minggu
KPD pada preterm à pecahnya membrane chorio-amniotik sebelum tanda
persalinan atau disebut juga PPROM (premature PRELABOUR rupture of
membrane). Dengan insiden 2% kehamilan.
2. KPD pada usia kehamilan > 37 minggu
KPD pada aterm à pecahnya membrane chorio-amniotik sebelum tanda persalinan
atau disebut juga PROM (premature rupture of membrane). Dengan insiden 6-19%
kehamilan.
Berdasarkan penyebabnya PROM dibagi menjadi :
1. PROM Spontan; terjadi karena lemahnya selaput ketuban atau kurang terlindungi
karena cervix terbuka (incompetent cervical)
2. PROM dengan penyebab sebelumnya; dapat terjadi karena adanya trauma jatuh,
coitus, hidramnion, infeksi, dll.
4. Manifestasi Klinis
Menurut nugroho 2011:
1. Keluarnya cairan ketuban yang merembes melalui vagina.
2. Cairan vagina berbau amis dan tidak seperti bau amonia.
3. Demam/menggigil.
4. Bercak vagina yang banyak.
5. Denyut jantung janin berdetak cepat.
6. Nyeri pada perut berarti adanya infeksi
7. Pengurangan ukuran uterus (Saifuddin,2009)
Menurut Mansjoer (1999), manifestasi klinis KPD adalah sebagai berikut :
1. Keluar air ketuban warna keruh jernih, kuning, hijau, atau kecoklatan sedikit atau
banyak
2. Dapat disertai dengan demam bila sudah terjadi infeksi
3. Janin mudah diraba
4. Pada pemeriksaan dalam selaput ketuban sudah tidak ada , diketuban sudah
kering
5. Inspekulo, tampak air ketuban mengalir atau selaput ketuban tidak ada dan air
ketuban sudah kering
6. Usia kehamilan >20 Minggu
7. Bunyi jantung bisa tetap normal
8. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Fisik
a. Anamnesa :
Bisa menegakkan 90% dari diagnosa. Kadangkala cairan seperti urin dan vaginal
discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah pada vagina
atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir.
b. Inspeksi :
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila
ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan
lebih jelas.
c. Palpasi :
Perut tegang dan nyeri tekan, fundus uteri lebih tinggi dari usia kehamilan
sebelumnya.
d. Auskultasi :
Denyut jantung janin dengan usia kehamilan 18-20minggu
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Inspekulo
Langkah pertama dalam mendiagnosa KPD karena pemeriksaan dalam seperti
vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi cairan . Cairan yang keluar dari
vagina perlu diperiksa : warna, konsentrasi, bau, dan pH-nya. Yang dinilai :
1) Keadaan umum dari servix, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari servix.
Dilihat juga dari prolaps tali pusat atau ekstremitas bayi. Bau dari amnion yang
khas juga diperhatikan
2) Pooling pada cairan amnion dari formiks posterior mendukung diagnosa KPD.
Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien batuk untuk memudahkan
melihat pooling.
3) Cairan amnion dikonfirmasikan dengan nitrazine test. Kertas nitrazine akan
berubah menjadi biru jika pH cairan > 6-6,5. Sekret vagina ibu hamil punya pH
4-5, dengan kertas nitrazine tidak memberikan perubahan warna. Tes
nitrazine bisa memberikan positif palsu bila tersamarkan dengan cairan seperti
darah, semen, atau vaginitis seperti trichomoniasis.
4) Mikroskopis (tes pakis). Dilakukan pemeriksaan ini dari cairan yang diambil
dari formiks posterior. Cairan diswab kemudian dikeringkan di atas kelas objek
dan dilihat di bawah mikroskop. Gambaran ferning menandakan cairan
amnion.
5) Dilakukan kultur dari swab untuk Chlamydia, gonnorhea, dan grup B
Streptococcus.
b. Pemeriksaan Lab :
1) Pemeriksaaan alpha-fetoprotein (AFP). Konsentrasi meningkat dalam cairan
amnion tetapi tidak di semen dan urin.
2) Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisis
3) Tes pakis
4) Tes lakmus (nitrazine test)
a) Tes lakmus, jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru,
menunjukkan adanya air ketuban (alkalis).
b) Jika tes negatif (tidak ada perubahan warna kertas lakmus) maka selaput
membran tidak ruptur.
c) Jika hasil tes positif (terjadi perubahan warna kertas lakmus merah
menjadi biru) berarti ada ruptur selaput membran.
d) Jika hasil positif palsu (terdapat campuran urin dengan darah) berartiada
infek dan diberi antiseptik.
5) Mikroskopik (tespakis)
Dengan meneteskan air ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering,
pemeriksaan mikroskopik menunjukkan gambaran daun pakis.
6) Pemeriksaan air ketuban dengan tes leukosit esterase
Bila leukosit darah lebih dari 15.000/mm3 ,kemungkinan adanya infeksi.
(Septiana, R. 2014)
c. Pemeriksaan USG
Untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat
jumlah cairann ketuban yang sedikit. Oligohidramnion ditambah dengan
anamnesis dari pasien biasa membantu diagnosa tetapi bukan mendiagnosis
rupturnya membran fetal. Selain itu, dinilai Amniotic Fluid Index (AFI), presentasi
janin, berat janin, dan usia janin. USG dapat mengidentifikasikan kehamilan
ganda, janin yang tidak normal atau melokalisasi kantong cairan amnion pada
amniosentesis dan sering digunakan dalam mengevaluasi janin. USG juga dapat
untuk menegakkan diagnosa KPD.
d. Pemeriksaan Obstetri
Pemeriksaan palpasi untuk menentukan umur kehamilan dan mengetahui ada
tidaknya kontraksi uterus. Melakukan auskultasi DJJ untuk menilai apakah ada
gawat janin atau tidak.
e. Kardiotografi
Alat elektronik yang digunakan untuk mendeteksi gangguan yang berkaitan
dengan hipoksia janin yang secara tidak langsung, melalui penilaian pola DJJ
dalam hubungannya dengan adanya kontraksi ataupun aktivitas janin.
f. Mengukur DJJ
Normalnya 120-160x/menit, mulai bisa didengar saat usia kehamilan mulai 16
minggu.
1) >180 x/menit : takikardi berat
2) 160-180 x/menit : takikardi ringan
3) 100-119 x/menit : bradikardi ringan
4) 80-100 x/menit : bradikardi sedang
5) <80 x/menit : bradikardi berat
5. Penatalaksanaan
Menurut Morgan (2009) penatalaksanaan Ketuban pecah prematur meliputi :
1. Pencegahan
a. Obati infeksi gonokokus, klamidia, dan vaginosis bakterial
b. Diskusikan pengaruh merokok selama kehamilan dan dukung untuk
mengurangi atau berhenti
c. Motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil
d. Anjurkan pasangan menghentikan koitus pada trimester akhir bila ada faktor
predisposisi
e. Panduan mengantisipasi: Jelaskan kepada pasien yang memiliki riwayat
berikut ini saat prenatal bahwa mereka harus segera melapor bila ketuban
pecah.
2. Kondisi yang menyebabkan ketuban pecah dapat mengakibatkan prolaps tali
pusat :
a. Letak kepala selain verteks
b. Polihidramnion
c. Herpes aktif
d. Riwayat infeksi streptokus beta hemolitikus sebelumnya
3. Bila ketuban telah pecah :
a. Anjurkan pasien untuk ke rumah sakit atau klinik
b. Catat terjadinya ketuban pecah
1) Lakukan pengkajian, upayakan mengetahui waktu terjadinya pecah
ketuban
2) Bila robekan keuban tampak kasar :
a) Pasien posisi berbaring telentang, tekan fundus untuk melihat adanya
semburan cairan dari vagina
b) Basahi kapas asupan dengan cairan dan lakukan pulasan pada slide
untuk mengkaji ferning di bawah mikroskop
c) Sebagian cairan di usap kekertas Nitrazene. Bila positif,
pertimbangkan uji diagnostik bila pasien sebelumnya tidak melakukan
hubungan seks, tidak ada perdarahan, dan tidak dilakukan
pemeriksaan pervagina menggunakan jeli K-Y
3) Bila ketuban pecah dan tanda kemungkinan infeksi tidak jelas, lakukan
pemeriksaan spekulum steril
a) Kaji nilai Bishop servik
b) Tabel nilai Bishop
0 1 2 3
Dilatasi Serviks (cm) 0 1-2 3-4 ≥5
Penipisan (%) 0-30 40-50 60-70 >80
Stasiun -3 -2 -1 +1 atau +2
Konsistensi Keras Medium Lunak
Posisi Posterio Ringan Anterior
r
Keterangan : Nilai 4 dianggap induksi akan mendekati kegagalan. Nilai 9
atau lebih dianggap positif bersalin dan kemungkinan hasil induksi
persalinan akan berhasil sekitar 80-90%.
c) Lakukan kultur serviks hanya bila ada tanda infeksi
d) Dapatkan spesimen cairan lain dengan lidi kapas steril yang
dipulaskan pada slide untuk mengkaji ferning dibawah mikroskop
4) Bila usia gestasi kurang dari 37 minggu atau pasien terjangkit herpes Tipe
2, rujuk ke dokter
4. Penatalaksanaan Konservatif
a. Kebanyakan persalinan dimulai dalam 24-72 jam setelah ketuban pecah
b. Kemungkinan infeksi berkurang bila tidak ada alat yang dimasukkan ke
vagina, kecuali spekulum steril; jangan melakukan pemeriksaan vagina
c. Saat menunggu, tetap pantau pasien dengan ketat
1) Ukur suhu tubuh empat kali sehari; bila suhu meningkat signifikan
mencapai 38ºC, berikan 2 macam antibiotik dan pelahiran harus
diselesaikan
2) Observasi rabas vagina: Bau menyengat, purulen atau tampak
kekuningan menunjukkan adanya infeksi
3) Catat bila ada nyeri tekan dan iritabilitas uterus serta laporkan perubahan
apa pun
5. Penatalaksanaan Agresif
a. Jel prostaglandin atau Misoprostol (meskipun tidak disetujui pengunaannya)
dapat diberikan setelah konsultasi dengan dokter
b. Mungkin dibutuhkan rakangkaian induksi Pitocin bila serviks tidak berespons
c. Beberapa ahli menunggu 12 jam untuk terjadinya persalinan. Bila tidak ada
tanda, mulai pemberian Pitocin
d. Berikan cairan per IV, pantau janin
e. Peningkatan risiko seksio sesaria bila induksi tidak efektif
f. Bila pengambilan keputusan bergantung pada kelyakan serviks untuk
diinduksi, kaji nilai Bishop setelah pemeriksaan spekulum. Bila diputuskan
untuk menunggu persalinan, tidak ada lagi pemeriksaan yang dilakukan, baik
manipulasi dengan tangan maupun spekulum, sampai persalinan dimulai atau
induksi dimulai
g. Hitung darah lengkap bila ketuban pecah. Ulangi pemeriksaan pada hari
berikutnya sampai pelahiran atau lebih sering bila ada tanda infeksi
h. Lakukan NST setelah ketuban pecah; waspada adanya takikardia janin yang
merupakan salah satu tanda infeksi
i. Mulai induksi setelah konsultasi dengan dokter bila :
1) Suhu tubuh ibu meningkat signifikan
2) Terjadi takikardia janin
3) Lokia tampak keruh
4) Iritabilitas atau nyeri tekan uerus yang signifikan
5) Kultur vagina menunjukkan streptokus beta hemolitikus
6) Hitung darah lengkap menunjukkan kenaikan sel darah putih
6. Persalinan dari 24 jam setelah ketuban pecah
a. Persalinan spontan
1) Ukur suhu tubuh pasien setiap 2jam,berikan antibiotik bila ada demam
2) Anjurkan pemantauan pada internal janin
3) Beritahu dokter spesialis obstetrik dan sepesialis anak atau praktisi
perawat neonatus.
4) Lakukan kultur sesuai panduan
b. Induksi persalinan
1) Lakukan secara rutin setelah konsultasi ke dokter
2) Ukur suhu tubuh setiap 2jam sekali.
3) Pemberian antibiotik ada yang 1gram ampisilin per IV atau 1-2 gram
mefoxin per IV setiap 6 jam sebagai profilaksis.
4) Jika umur kehamilan 37 minggu, induksi dengan oksitosin
5) Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan servik, kemudian induksi. Jika
tidak berhasil, akhiri persalinan dengan seksio sesarea
6) Bila skor pelvik > 5, induksi persalinan, partus pervaginam (Septiana, R.
2014)
Penatalaksanaan KPD menurut Manuaba (2008) tentang penatalaksanaan KPD adalah:
1. Mempertahankan kehamilan sampai cukup bulan khususnya maturitas paru
sehingga mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat.
2. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi pemicu sepsis,
maningitis janin, dan persalinan prematuritas.
3. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan
berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid, sehingga
kematangan paru janin dapat terjamin.
4. Pada umur kehamilan 24-32 minggu yang menyebabkan menunggu berat janin
cukup, perlu dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan, dengan
kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.
5. Menghadapi KPD, diperlukan penjelasan terhadap ibu dan keluarga sehingga
terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin dilakukan dengan
pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan mungkin harus mengorbankan
janinnya.
6. Pemeriksaan yang penting dilakukan adalah USG untuk mengukur distansia
biparietal dan perlu melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan
kematangan paru.
7. Waktu terminasi pada kehamilan aterm dapat dianjurkan selang waktu 6-24 jam
bila tidak terjadi his spontan.
6. Komplikasi
Komplikasi Ketuban Pecah Dini menurut Manuaba (2008) :
1. Mudah terjadinya infeksi intra uterin
2. Partus prematur
3. Prolaps bagian janin terutama tali pusat
Komplikasi KPD atau PROM menurut Saiffudin (2006) :
1. Terhadap janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi, tetapi janin sudah
terkena infeksi, karena infeksi intrauterin lebih dahulu terjadi (amnionitis, vaskulitis)
sebelum gejala pada ibu dirasakan. jadi akan meninggikan morbiditas dan
mortalitas perinatal. Beberapa komplikasi yang berhubungan dengan KPD antara
lain:
a. Infeksi intrauterin
b. Tali pusat menumbung
Ketika Ketuban ibu pcah, akibatnya adalah tali pusat menumbung dengan
bersamaan air ketuban. Tali pusat teraba keluar/ berada di samping dan
melewati bagian terendah janin didalam jalan lahir. Tali pusat dapat prolaps ke
dalam vagina atau bahkan di luar vagina setelah ketuban pecah
c. Kelahiran prematur
Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode laten
tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90 % terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28 – 34 minggu 50 %
persalinan dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan
terjadi dalam 1 minggu.
d. Amniotic Band Syndrome
2. Terhadap ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal. Selain itu, juga dapat
dijumpai infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis, septikemia, dan dry-labor. Ibu akan
merasa lelah karena terbaring di tempat tidur, suhu badan naik, nadi cepat dan muncul
gejala infeksi. Hal-hal tersebut dapat meninggikan angka kematian dan morbiditas pada
ibu.
Data subyektif
- Identitas / Biodata Pasien suami dan istri adalah nama, umur, agama,
suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, dan alamat.
- Alasan datang : Untuk mengetahui alasan pasien datang ke tempat pelayanan
kesehatan.
- Keluhan utama : Alasan wanita datang mengunjungi klinik / RB / RS / dan
diungkapkan dengan kata-kata sendiri.
- Riwayat kesehatan antara lain riwayat kesehatan dahulu, sekarang, dan riwayat
kesehatan keluarga, juga riwayat alergi dan pengobatan.
- Riwayat perkawinan
Dikaji untuk mengetahui berapa kali menikah, berapa usia pasien saat menikah,
usia pasangan pasien saat menikah, berapa lama pasien menikah dan berapa
jumlah anaknya.
- Riwayat obstetric
- Riwayat menstruasi
Untuk mengetahui tentang pertama kali pasien mendapatkan menstruasi
(menarce), siklus, lama menstruasi, banyak menstruasi, bentuk darah apakah
cair atau menggumpal, warna darah, dismenorea, flour albus dan untuk
mengetahui hari pertama menstruasi terakhir serta tanggal kelahiran dari
persalinan.
- Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu
Untuk mengetahui pada tanggal, bulan, tahun berapa anaknya lahir, tempat
persalinan, umur kehamilan, jenis persalinan, penolong persalinan, penyulit
dalam bersalinan, jenis kelahiran berat badan lahir, panjang badan lahir, riwayat
nifas yang lalu, keadaan anak sekarang, untuk mengetahui riwayat yang lalu
sehingga bisa menjadi acuan dalam pemberian asuhan.
- Riwayat kehamilan sekarang
Untuk mengetahui ibu hamil yang ke berapa, HPHT, HPL, berat badan sebelum
dan sekarang, periksa ANC sebelumnya dimana, berapa kali dan keluhannya
apa, suntik TT berapa kali, obat-obatan yang pernah dikonsumsi apa saja,
gerakan janin yang pertama pada usia kehamilan berapa bulan dan gerakan
sekarang kuat atau lemah, kebiasaan ibu dan keluarga yang berpengaruh negatif
terhadap kehamilannya.
- Riwayat KB
Untuk mengetahui sebelum ibu hamil pernah menggunakan alat kontrasepsi atau
tidak, berapa lama menggunakannya, alas an mengapa ibu menggunakan alat
kontrasesi tersebut, dan mengapa ibu menghentikan pemakaian alat kontrasepsi
tersebut.
- Pola kebutuhan sehari-hari meliputi pola nutrisi, pola eliminsi, pola aktivitas
pekerjaan, pola istirahat, personal hygiene, pola seksual.
- Psikososial spiritual meliputi tanggapan dan dukungan keluarga, pengambilan
keputusan dalam keluarga, ketaatan beribadah, lingkungan yang bepengaruh.
Data Obyektif
- Pemeriksaan Umun
- Keadaan Umum (KU)
- Untuk menilai keadaan pasien pada saat itu secara umum.
- Kesadaran
- Untuk mengetahui tingkat kesadaran ibu apakah composmentis (Kesadaran
penuh dengan memberikan respon yang cukup terhadap stimulus yang
diberikan), somnolen (kesadaran yang mau tidur saja, dapat dibangunkan
dengan rasa nyeri tetapi tidur lagi), koma (tidak dapat bereaksi terhadap stimulus
yang diberikan atau rangsangan apapun, reflek pupil terhadap cahaya tidak ada).
- Tanda-tanda Vital (TTV)
Pada pengukuran tanda-tanda vital yang diukur adalah tekanan darah, nadi,
respirasi, dan suhu.
- Berat Badan (BB)
Untuk mengetahui berat badan pasien dalam satuan kilogram (Buku Panduan
Praktik Klinik Kebidanan).
- Tinggi Badan (TB)
- Dikaji untuk mengetahui tinggi badan ibu dalam satuan sentimeter, menurut
Saminem
- LILA (Lingkar Lengan Atas)
Untuk mengetahui status gizi pasien.
Pemeriksaan fisik / Status Present adalah pemeriksaan kepala, muka, mata,
hidung, telinga, mulut, leher, ketiak, dada, abdomen, punggung, genetalia,
ektermitas atas dan bawah, anus.
- Pemeriksaan khusus obstetric
a. Inspeksi
Inspeksi adalah proses pengamatan dilakukan untuk mengetahui apakah
ada pembengkakan pada wajah dan ekstermitas, pada perut apakah ada
bekas operasi atau tidak.
b. Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan dengan indra peraba yaitu tangan, yang
berguna untuk memeriksa payudara apakah ada benjolan atau tidak,
pemeriksaan abdomen yaitu memeriksa Leopold I, II, III, dan IV.
c. Auskultasi
Denyut Jantung Janin (DJJ) yaitu salah satu tanda pasti hamil dan
kehidupan janin. DJJ mulai terdengar pada usia kehamilan 16 minggu.
Dengan dopler DJJ mulai terdengar usia kehamilan 12 minggu. Normalnya
denyut jantung janin (DJJ) yaitu 120-160x/menit.
d. Pemeriksaan penunjang
Mendukung diagnosa medis, kemungkinan komplikasi, dan penyakit yang
menyertai kehamilan, besalin dan nifas. Pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang lainnya : memeriksa hemoglobin, golongan darah,
rubella, VDRL / RPR dan HIV. Pemeriksaan HIV harus dilakukan
persetujuan ibu hamil.
Diagnosa Keperawatan
1) Risiko infeksi
2) Ketidakefektifan proses kehamilan melahirkan
3) Risiko gangguan hubungan ibu-janin
4) Defisit pengetahuan
5) Ansietas
6) Ketidakefektifan meningkatkan pemberian ASI
7) Gangguan rasa nyaman
Daftar Pustaka
Prawirohardjo,S. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.
Sujiyatini, dkk.2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Jakarta: Nuha Medika
Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika
Mochtar, R. 2009. Sinopsis Obstetri. Jakarta. EGC.
Nugroho. T. 2012. OBSGYN Obstetri dan Ginekologi Untuk Kebidanan danKeperawatan,
Yogyakarta ; Nuha Medika.
Bobak. 2010. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta:EGC
Dewi Y., dkk. 2007. Operasi Caesar, Pengantar dari A sampai Z. EDSA. Mahkota.
Jakarta.
Depkes RI. 2010. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI
Geri dkk. 2009. Obstetri & Ginekologi Panduan Praktik- Ed.2 . Jakarta: EGC
Hutabalian, D. 2011. Pengaruh Umur Terhadap Persalinan Seksio.
Joy, S., 2009.Caesarean Delivery.Wake Forest University School of Medicine.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu
DiFasilitas Kesehatan Dasar Dan Rujukan Pedoman Untuk Tenaga
Kesehatan.Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Manuaba dkk. 2009. Gawat Darurat Obstetri Ginekologi & Obstetri Ginekologi Sosial untuk
Bidan. Jakarta: EGC.
Maryunani, dkk, 2012.Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit pada Neonatus. Jakarta:Trans
Info Media
Morgan, Geri & Hamiton, Carole.(2009). Obstetri & Ginekologi Panduan Praktik. Jakarta: ECG
Nugroho, Taufan. 2010. Obstetri. Jakarta: Nuha Medica
Prawirohardjo,S. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka SarwonoPrawirohardjo.
Sarwono, Prawirohardjo. 2010. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Saleha, Sitti. (2009). Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta: Penerbit Salemba
Soep.(2009). Pengaruh Intervensi Psikoedukasi Dalam Mengatasi Depresi Postpartum di RSU
Dr. Pirngadi Medan.Tesis keperawatan Universitas Sumatra Utara.
Wibowo, Noroyono; Irma Irwinda; Erwin Franduisty. 2016. Diagnosis Dan Tata Laksana Pre-
Eklamsia. Jakarta: Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi
IndonesiaHimpunanKedokteranFeto Maternal 2016.