Anda di halaman 1dari 13

1.

Pengertian ZEE Indonesia

Menurut Konvensi Hukum Laut yang baru, yang dimaksud dengan ZEE adalah: “The exlusive Economic
Zone is a are a beyond and adjacent to the territorial sea, subject to the specific legal rezim established in
this part under which the rights and jurisdiction of the coastal State and the rights and freedom of other
States are governed by the relevant provisions of this Convention”.

Maksudnya adalah ZEE adalah jalur diluar dan dengan laut wilayah, yang tunduk kepada rezim hukum
khusus sebagaimana yang ditetapkan pada bagian ini yang meliputi hak-hak dan yurisdiksi negara pantai
dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan dari pada Negara-negara lain yang ditentukan sesuai dengan
konvensi ini. Kemudian batansan yang hampir dengan ketentuan pasal tersebut di atas adalah batasan
yang diberikan oleh Pasal 2 UU No. 5 tahun 1983, yang menetapkan bahwa. “ZEE Indonesia adalah jalur di
luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undangundang
yang berlaku tentang perairan iNdonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya
dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.”

Dari ketentuan pasal tersebut, ternyata bahwa pasal ini hanya menegaskan dan mengukuhkan definisi
geografis ZEE Indonesia sebagaimaan yang tercantum dalam pengumuman Pemerintah Republik
Indonesia tentang ZEE Indonesia tertanggal 21 Maret 1980.

2.Sejarah perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil

Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt “Harry S. Truman” telah mengeluarkan suatu
proklamasi No. 2667, ‘Policy of the United States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and
Seabed of the Continental Shelf”.

Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah suatu perkembangan dalam hukum
Laut yakni pengertian geologi “continental shelf” atau daratan kontinen. Tindakan Presiden Amerika
serikat ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang
berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat,
terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan gas bumi. Hal tersebut sesuai dengan isi dari
proklamasi tersebut yang pada pokoknya adalah : Sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh
negara pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah daripada wilayah
daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha untuk mengelola kekayaan alam yang terdapat didalamnya
memerlukan kerjasama dan perlindungan dari pantai. Dnagn demikian maka demi keamanan
penguasaaan sember daya alam yang terdapat dari dalam continental shelf, seyogyanya kekuasaan untuk
mengaturnya ada pada negara pantai yang berbatasan dengan daratan yang bersangkutan”.

Tindakan sepihak Amerika Serikat mengenai landas Kontinen dan perikanan sebagaimana disebutkan di
atas, berpengaruh terhadap perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil tersebut. Hal ini terbukti bahwa
negara-negara Amerika Latin dalam mengajukan tuntutan mereka telah mengemukakan beberapa
argumentasi yang bertujuan untuk melindungi sumber-sumber kekayaan alam yang banyak terdapat
diperairan sejauh 200 mil, termasuk dasar laut dan tanah di abwahnya. Argentina menagjukan teori “Epi
Continental Sea”, kemudian Ekuador, Chili dan Peru mengemukakan teori “Bloma”, yang selanjutnya
diikuti oleh negaranegara Amerika Latin lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica
(1950), El Salvador (1950).

Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka pada tahun 1952 lahirlah suatu
deklarasi baru yakni “Deklarasi Santiago” yang ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan
Peru: sebagai motivasi utama tuntutan ketiga Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah pelaksanaan
jurisdiksi ekslusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya hayati maupun non hayati) yang terdapat
diperairannya yang sejauh 200 mil laut. Sumber-sumber mana sangat bermanfaat bagi pelaksanaan
pembangunan di negara-negara peserta deklarasi tersebut.

Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh 200 mil itu hak-hak lintas damai
(innocent passage) tidak terganggu (inoffensive) dan tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan
dengan klaim beberapa negara mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah menyelenggarakan Konferensi
Hukum Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958 UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama

bertujuan untuk menetapkan lebar laut wilayah, namun usaha PBB tersebut ternyata gagal. Kegagalan ini
mengakibatkan meluasnya praktek Negara-negara dalam mengklaim kedaulatan mereka di laut yang
berbatasan dengan pantainya. Termasuk klaim yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang (meluas)
sekitar tahun 1960-1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas hanay pada
Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai pada negara-negara asia Afrika.

Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin, Brazilia, Ekuador, Guinea, panama, Peru,
Siera Leone dan Somalia tetap mengklaim jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah, negara-negara
seperti: Argentina, Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, India, Iceland,
Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan klaim mereka yang

sejalan dan selaras dengan tuntunan yang telah diajukan oleh Negara-negara peserta deklarasi Santiago
tahun 1952 (Chili, Ekuador, Peru). Perlu dijelaskan dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya,
delegasi Kenya secara resmi telah mengajukan usul draft article yang mengatur tentang ZEE dalam
persidangan Seabed Committee 18 Agustus 1972, yang selanjutnya dimasukkan dalam List of Subjects and
Issues dan dibahas dalam UNCLOS III 1974.

Ternyata diantara negara-negara yang mengklaim yurisdiksi laut 200 mil tersebut mempunyai pendapat-
pendapat yang berbeda tentang apa yang telah dideklarasikan sebelumnya. Hal ini terbukti dengan
terjadinya perdebatan sengit diantara negara-negara peserta UNCLOS III, masing-masing negara dengan
gigih mempertahankan kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu.

Perdebatan dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezimhukum spesifik.

Dalam hal ini negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Jepang dan
Jerman Barat bersitegang dengan pendapatnya bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan
ketentuan bahwa :

a. Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.

b. Kebebasan lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk kepentingan militer, tetap terjamin
bagi semua bangsa.

Sedangkan Negara-negara pantai terutama negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 dengan
gigih pula tetap mempertahankan pendapatnya bahwa konsep ZEE merupakan suara konsepsi suigeneris
yang memiliki rezim khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban negaranya. Dengan demikian
negara-negara yang tergabung dalam kelompok 77 tersebut tetap

menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE, walaupun mengakui beberapa kebebasan dilaut
lepas dengan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan tegas.
Menurut Hasjim Djalal dalam bukunya “Perjuangan Indonesia dibidang Hukum Laut”. Meyatakan bahwa,
negara-negara tak berpantai (landlocked States) dan negar-negara secara geografis tidak beruntung
(geographically disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama dengan negara-negara pantai, tidak
saja dibidang perikanan tetapi juga terhadap sumber-sumber kekayaan laut lainnya di dasar laut.

Namun negara-negara pantai hanya bersedia memberikan surplus perikanan yang tidak dapat diambil
oleh negara-negara pantai, dalam hal ini negara-negara yang tergolong landlocked dan geographically
disanvantage yang mendasarkan tuntutan mereka atas dasar prinsip “common heritage of mankind” yang
mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk mengambil

kekayaan alam di ZEE tersebut. Sebagai ilustrasi disini, negara-negara tak berpantai dan secara geografis
tidak beruntung misalnya Singapura, Nepal, dan Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang termasuk dalam
ketegori “distant”. Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan hukum pada akhirnya perbedaan dan
pertentangan pendapat yang pada mulanya tegang itu, dengan jalan perundingan

dan mufaakt kemudian dapat dipertemukan, sehingga perjuangan mengenai rezim hukum ZEE 200 mil
akhirnay dapat dirumuskan, kepentingan semua pihak dapat dapat ditampung tanpa saling merugikan.
ZEE 200 mil dengan demikian tidak dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak pula sebagai laut
wilayah, namun sebagai suatu rezim sul generis, yang diartikan ZEE mempunyai ketentuan hukum sendiri.

Kemudian setelah mengalami amandemen-amandemen dalam Informal Single Negotiating Text (INST)
dan Revised Singel Negotiating Text (RSNT), ketentuan-ketentuan mengenai ZEE 200 mil dimuat dalam
pasal 55-75 Bab V Informal Composite Negotiating Text. (ICNT).

Menlu RI Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai Pengumuman Pemerintah tentang


ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980, tealh menegaskan bahwa walaupun ketentuan-ketentuan
tentang ZEE dalam bab V ICNT ini belum berhasil diresmikan menjadi suatu konvensi Hukum Laut
Internasional, dengan makin banyaknya negara-negara yang mengumumkan ZEE 200 mil, maka rezim itu
melalui proses pembentukan hukum kebiasaan internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut
Internasional yang abru, Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di Montego Bay, Jamaika tanggal
10 Desember 1982.

LANDASAN HUKUM ZEE

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1983
TENTANG
ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

Pasal 1

Yang dimaksud dengan istilah sumber daya alam hayati dalam undang-undang ini adalah sama
artinya dengan istilah sumber daya perikanan dalam ketentuan peraturan perundangundangan
perikanan.

Pasal 2
Pasal ini menegaskan dan mengukuhkan definisi geografis Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
yang tercantum dalam Pengumuman Pemerintah Republik Indonesia tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia tertanggal 21 Maret 1980.

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip sama jarak digunakan untuk menetapkan batas zona
ekonomi eksklusif antara Indonesia dengan negara tetangga, kecuali jika terdapat keadaan-keadaan
khusus yang perlu dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional.
Keadaan khusus tersebut adalah misalnya terdapatnya suatu pulau dari negara lain yang terletak
dalam jarak kurang dari 200(dua ratus) mil laut dari garis pangkal untuk menetapkan lebarnya Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Pasal 4

Ayat (1)

Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau tidak dapat
disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas laut
wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut
diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan
sanksi-sanksi yang diancam di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia
tersebut.

Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik Indonesia untuk
melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan
pelanggaran atas ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai
zona ekonomi eksklusif. Kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban
Republik Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran
dan penerbangan (freedom of navigation and overflight)dan kebebasan pemasangan kabel-
kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the laying of submarine cables and pipelines).

Ayat (2)

Ayat ini menentukan, bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati
di dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur berdasarkan peraturan
perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang landas kontinen serta persetujuan-
persetujuan internasional tentang landas kontinen yang menentukan batas-batas landas
kontinen antara Indonesia dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan
atau saling berdampingan dengan Indonesia.

Ayat (3)

Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku seperti yang tumbuh dari
praktek negara dan dituangkan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum
Laut yang dihasilkan oleh Konperensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut Ketiga
di zona ekonomi eksklusif setiap negara, baik negara pantai maupun negara tak berpantai,
menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan
kabel dan pipa bawah laut, serta penggunaan laut yang bertalian dengan kebebasan-
kebebasan tersebut seperti pengoperasian kapal-kapal, pesawat udara dan pemeliharaan kabel
dan pipa bawah laut.

Pasal 5

Ayat (1)

Kegiatan untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan
lainnya untuk eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air,
arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik
Indonesia.

Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara asing, orang atau
badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan internasional antara Pemerintah Republik
Indonesia dengan negara asing yang bersangkutan.

Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional dicantumkan hak-hak dan


kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi
dan eksploitasi di zona tersebut, antara lain kewajiban untuk membayar pungutan kepada
Pemerintah Republik Indonesia.

Ayat (2)

Sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali, namun tidak berarti tak
terbatas.� Dengan adanya sifat-sifat yang demikian, maka dalam melaksanakan
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia
menetapkan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia.

Ayat (3)

Dalam rangka konservasi sumber daya alam hayati, Indonesia berkewajban untuk menjamin
batas panen lestari (Maximum sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut, Indonesia berkewajiban pula


menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam hayati yang diperbolehkan (allowable
catch).

Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh
jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang
diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest) Indonesia, boleh
dimanfaatkan oleh negara lain dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan
persetujuan internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000 (seribu)
ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai 600 (enam ratus) ton
maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400 (empat ratus) ton tersebut dengan
izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan internasional.

Penunjukan pada Pasal 4 ayat (2) dimaksudkan untuk menegaskan bahwa jenis-jenis
sedenter (sedentary species) yang terdapat pada dasar laut zona ekonomi eksklusif tunduk
pada rezim landas kontinen(Pasal 1 huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang
Landas Kontinen Indonesia). Oleh karena itu tidak tunduk pada ketentuan ayat ini.

Pasal 6
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1), Republik Indonesia mempunyai hak eksklusif untuk membangun,
mengizinkan dan mengatur pembangunan, pengoperasian dan penggunaan pulaupulau buatan,
instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan lainnya.

Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi-
instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi yang berkaitan dengan
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan

dan imigrasi.

Meskipun Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan
bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti wilayah negara dan
oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan kehadirannya tidaklah mempengaruhi
batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.

Pasal 7

Setiap penelitian ilmiah kelautan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia hanya dapat dilaksanakan
setelah permohonan untuk penelitian disetujui terlebih dahulu oleh Pemerintah Republik
Indonesia. Apabila dalam jangka waktu 4 (empat) bulan setelah diterimanya permohonan
tersebut Pemerintah Republik Indonesia tidak menyatakan

a. �menolak permohonan tersebut, atau

b. �bahwa keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemohon tidak sesuai dengan


kenyataan atau kurang lengkap, atau

c. �bahwa pemohon belum memenuhi kewajiban atas proyek penelitiannya yang terdahulu.
maka suatu proyek penelitian ilmiah kelautan dapat dilaksanakan 6 (enam) bulan sejak
diterimanya permohonan penelitian oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Pasal 8

Ayat (1)

Wewenang perlindungan dan pelestarian sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia secara internasional didasarkan pada praktek negara, yang sekarang telah
diterima pula dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut, sedangkan
secara nasional landasannya terdapat dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ayat (2)

Pembuangan ("dumping") dilaut dapat menimbulkan pencemaran lingkungan laut; berhubung


dengan itu perlu diatur tempat, cara dan frekuensi pembuangan serta jenis, kadar dan jumlah
bahan yang dibuang melalui perizinan.� Pembuangan meliputi pembuangan limbah dan
pembuangan bahan-bahan lainnya yang menyebabkan pencemaran lingkungan laut;
pembuangan limbah yang biasanya dilakukan oleh kapal selama pelayaran tidak memerlukan
izin.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Kewajiban untuk memikul tanggung jawab mutlak dan membayar ganti rugi bagi rehabilitasi
lingkungan laut dan/atau sumber daya alam dalam jumlah yang memadai ini merupakan
konsekuensi dari kewajiban untuk melestarikan keserasian dan keseimbangan lingkungan.

Karena itu kewajiban ini melekat pada barang siapa yang melakukan perbuatan, tidak
melakukan perbuatan/membiarkan terjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau
kerusakan sumber daya alam.

"Tanggung jawab mutlak" ("strict liability") berarti bahwa tanggung jawab tersebut timbul pada
saat terjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam, tidak
dapat dielakkan dan secara prosedural tidak diperlukan upaya pembuktian lagi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Bentuk, jenis dan besarnya kerugian yang timbul dari pencemaran lingkungan laut dan/atau
kerusakan sumber daya alam yang terjadi akan menentukan besarnya kerugian.� Penelitian
ekologis tentang bentuk, jenis dan besarnya kerugian tersebut dilakukan oleh sebuah tim
yang terdiri dari pihak pemerintah, pihak penderita dan pihak pencemar.� Tim dimaksud
akan dibentuk secara khusus untuk tiap-tiap kasus.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Terhadap kapal-kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup di laut khususnya bagi kapal dan/atau orang-orang yang
berkebangsaan asing dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan dengan jalan melakukan penangkapan
atas kapal-kapal dan/atau orang-orang tersebut.

Terhadap kapal-kapal dan/atau orang-orang yang berkebangsaan Indonesia dapat diperintahkan


(perintah ad hoc) ke suatu pelabuhan atau pangkalan yang ditunjuk oleh penyidik di laut untuk
diproses lebih lanjut.

Penangkapan tersebut di atas tidak selalu dapat dilaksanakan sesuai dengan batas waktu
penangkapan yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana, yaitu satu hari.

Oleh karena itu untuk tindakan penangkapan dilaut perlu diberi jangka waktu yang memungkinkan
para aparat penegak hukum di laut membawa kapal dan/atau orang-orang tersebut ke pelabuhan
atau pangkalan.

Jangka waktu maksimum tujuh hari dianggap sebagai jangka waktu maksimal untuk
menarik/menyeret suatu kapal dari jarak yang terjauh di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia sampai
ke suatu pelabuhan atau pangkalan.
Ketentuan mengenai penahanan terhadap tindak pidana menurut undang-undang ini belum diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, sedang terhadap tindak pidana tersebut penahanan
adalah merupakan satu upaya untuk dapat memproses perkaranya lebih lanjut.

Berhubung dengan hal tersebut, sekalipun ancaman pidana yang dapat dijatuhkan adalah pidana
denda tetapi dengan dikualifikasi sebagai kejahatan, maka tindak pidana tersebut perlu dimasukkan
dalam golongan tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat(4)huruf b Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 14

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang dapat ditunjuk
sebagai penyidik adalah misalnya Komandan kapal, Panglima Daerah Angkatan Laut,
Komandan Pangkalan dan Komandan Stasion Angkatan Laut. Penetapan Perwira Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut sebagai aparat penyidik di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 30 ayat(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
dan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 15

Ayat (1)

Permohonan untuk membebaskan kapal dan/atau orang-orang tersebut yang ditangkap karena
diduga melakukan pelanggaran, sesuai dengan praktek yang berlaku, dapat diajukan oleh
perwakilan negara dari kapal asing yang bersangkutan, pemilik, nahkoda atau siapa saja
menurut bukti-bukti yang sah mempunyai hubungan kerja atau hubungan usaha dengan kapal
tersebut.

Ayat (2)

Penetapan besarnya uang jaminan ditentukan berdasarkan harga kapal, alat-alat

perlengkapan dan hasil dari kegiatannya ditambah besarnya jumlah denda maximum.

3.Penentuan batas ZEE

Salahsatu masalah yang cukup rumit untuk diselesaikan adalah penentuan batas ZEE dengan negara-
negara tetangga. Meskipun negara-negara tetangga menganut prinsip penarikan batas yang sama
tentang rezim ZEE, namun dalam masalah penetapan batas ini masih beluma da kesepakatan, sampai
akhirnya sidang ke 11 di New York yang lalu, Komperensi Hukum Laut PBB telah berhasil mencapai
kesepakatan dalam merumuskan penetapan batas ZEE ini, khususnya mengenai penentuan batas ZEE
yang menyangkut kepentingan dua negara atau lebih baik yang letaknya berdampingan maupun yang
berhadapan (opposite or adjacent coastals) harus dilakukan secara damai menurut Hukum Internasional
yang berlaku umum dan khususnya tidak bertantangan dengan ketentuanketentuan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Akan tetapi bagi Indonesia, batas ZEE 200 mil laut dengan negara-negara tetangga
dimaksud tetap harus ditentukan berdasarkan pada “asas sama jauh” (equidistant principle) dengan
memperhitungkan keadaan-keadaan khusus (special circumstances).

Selain itu Indonesia berpendirian bahwa batas ZEE tersebut tidak perlu identik dengan batas landas
kontinen, karena patokan-patokan yang dipakai, factor-faktor yang mempengaruhinya pun adalah
berbeda. Apabila ZEE Indonesia tumpang tindih dengan ZEE Negara-negara yang pantainya saling
berhadapan ataupun ataupun berdampingan (opposite or adjacent coastal) dengan pantai

Indonesia, maka batas ZEE antara Indonesia dengan Negara-negara tersebut ditetapkan dengan
persetujuan antara Republik Indonesia dan Negara yang bersangkutan. Selama persetujuan sebagaimana
dimaksud di atas belum ada dan tidak terdapat keadaan-keadaan khusus yang perlu dipertimbangkan,
maka batas ZEE antara Indonesia dan negara tersebut adalah garis tengah atau garis sama jarak (middle
line or equidistant) antara garis-garis pangkal laut wilayah Indonesia atau titik-titik terluar negara tersebut
telah tercapai persetujuan tentang peraturan sementara yang berkaitan dengan batas ZEE termaksud.

Dari ketentuan-ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa pasal ini memberikan ketentuan bahwa prinsip
sama jarak (equidistant) digunaakn untuk menetapkan batas ZEE antara Indonesia dengan negara
tetangga, kecuali jika terdapat keadaan-keadaan khusus (special circumstances) yang perlu
dipertimbangkan sehingga tidak merugikan kepentingan nasional. Keadaan khusus tersebut adalah
misalnya terdapatnya suatu pulau dari negara lain yang terletak dalam jarak kurang dari 200 (dua ratus)
mil laut dari garis pangkal untuk menetapkan lebarnya Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

#PENGERTIAN ZEE.

Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai, yang mana dalam
zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak
menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan
penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang mendesak. Sementara akar
sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas
batas jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya oleh Kenya pada Asian-African
Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan pada Sea Bed Committee PBB pada tahun
berikutnya. Proposal Kenya menerima dukungan aktif dari banyak Negara Asia dan Afrika. Dan sekitar
waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai membangun sebuah konsep serupa atas laut
patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep
baru yang disebut ZEE telah dimulai.

Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE terdapat dalam bagian ke-5
konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE diterima dengan antusias oleh sebagian besar anggota
UNCLOS, mereka telah secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk
mengakhiri atau memaksakan konvensi. Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil laut akan
memberikan setidaknya 36% dari seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam
area 200 mil laut yang diberikan menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari
simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan.

Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan mengambil tempat di jarak 200 mil
laut dari pantai, dan hampir seluruh dari rute utama perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai lain
untuk mencapai tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE, keberadaan rezim legal dari
ZEE dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya.

Batas luar.[sunting | sunting sumber]

Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial. Zona batas luas tidak boleh melebihi kelautan 200
mil laut dari garis dasar dimana luas pantai teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini
menyarankan bahwa 200 mil laut adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai
yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu dapat mengajukannya. Di banyak
daerah tentu saja negara-negara pantai tidak akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200
mil laut, karena kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200
mil laut menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil
laut tidak memiliki geografis umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling
banyak diklaim oleh negara pantai adalah 200 mil laut, diklaim negara-negara Amerika Latin dan Afrika.
Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak
mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil laut dipilih sebagai batas luar jadi
pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200 mil laut dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai oleh
negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus
lepas pantainya. Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil laut, tapi disarankan bahwa sebuah
contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan muncul dalam perlindungan zona diadopsi dari
Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil laut,
padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari 300 mil laut.

Batasan[sunting | sunting sumber]

Dalam banyak wilayah negara banyak yang tidak bisa mengklaim 200 mil laut penuh, karena kehadiran
negara tetangga, dan itu menjadikan perlu menetapkan batasan ZEE dari negara-negara tetangga,
pembatasan ini diatur dalam hukum laut internasional.

Pulau-pulau.[sunting | sunting sumber]

Pada dasarnya semua teritori pulau bisa menjadi ZEE. Namun, ada 3 kualifikasi yang harus dibuat untuk
pernyataan ini. Pertama, walau pulau-pulau normalnya bisa menjadi ZEE, artikel 121(3) dari Konvensi
Hukum Laut mengatakan bahwa, " batu-batu yang tidak dapat membawa keuntungan dalam kehidupan
manusia atau kehidupan ekonomi mereka, tidak boleh menjadi ZEE."

Wilayah yang tidak berdiri sendiri[sunting | sunting sumber]

Kualifikasi kedua berkaitan dengan wilayah yang tidak meraih baik kemerdekaan sendiri atau
pemerintahan mandiri lain yang statusnya dikenal PBB, dan pada wilayah yang berada dalam dominasi
kolonial. Resolusi III, diadopsi oleh UNCLOS III pada saat yang sama pada teks Konvensi, menyatakan
bahwa dalam kasus tersebut ketentuan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban berdasarkan Konvensi
harus diimplementasikan untuk keuntungan masyarakat wilayah tersebut, dengan pandangan untuk
mempromosikan keamanan dan perkembangan mereka.

Antartika[sunting | sunting sumber]


Akhirnya, ini harus dicatat bahwa efek dari artikel IV dari Traktat Antartika 1959 nampaknya menunjukkan
ZEE tidak dapat diklaim oleh wilayah yang berada di dalam area tempat traktat tersebut dibuat, yang
dinamakan sebagai area selatan dari selatan 60 derajat.

Pengertian Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE)

ZEE adalah suatu wilayah atau zona dalam sebuah negara yang memiliki luas 200 mil laut yang di tarik dari
garis dasar pantai. Pada Zona ini negara pantai memiliki hak penuh untuk mengembangkan dan
mengeksploitasi kekayaan alam wilayah tersebut, serta memberlakukan hukum tertentu terhadap
pembangunan dan pembuatan pulau buatan. Melakukan penelitian ilmiah kelautan dan melindungi serta
melestarikan lingkungan laut yang berada pada zona tersebut.

Negara Indonesia mengeluarkan kebijakan dan aturan-aturan mengenai batas ZEE pada 1 Maret 1980,
sepanjang 200 mil yang di ukur dari garis pangkal wilayah laut negara Indonesia. Pengukuran batas ZEE
seluas 200 mil itu di ukur saat pasang surut. Ternyata sebelum dikeluarkan kebijakan mengenai ZEE,
Indonesia pernah mengumumkan sebuah deklarasi berkonsep wawasan nusantara. Dimana isi deklarasi
tersebut menyebutkan bahwa wilayah laut Indonesia 12 mil dari garis panggal pantai hingga titik terluar
Indonesia. Batas ZEE tersebut memiliki manfaat bagi negara pantai, Indonesia salah satunya adalah
negara pantai dan batas ini memberika manfaat yang besar bagi negara kita.

Manfaat dari adanya batas ZEE :

Negara pantai berhak memanfaatkan sumberdaya alam yang terkandung di dalam zona tersebut

Negara pantai juga bisa mengelola dan mengembang seluruh sumber daya yang terdapat dalam zona
tersebut baik didasar laut ataupun dibawah perairan

Agar negara asing atau negara lain tidak memanfaatkan atau mengambil sumber daya alam yang ada di
wilayah tersebut

Bertambah luasnya wilayah laut yang dimiliki oleh suatu negara pantai (Baca : Manfaat pantai dan zona
laut)

Negara pantai berhak menggunakan kebijakan hukum, kebebasan bernavigasi atau melakukan
penanaman kabel dan pipa pada wilayah tersebut

Tiap negara pantai dapat memiliki setidaknya 90% dari keseluruhan cadangan ikan yang bisa dijual, 84%
cadangan minyak dunia, dan 1% cadangan mangan.

Dapat membantu dalam memelihara dan mempertegas batas wilayah suatu negara

Negara dapat melakukan penelitian dan pengembangan sumber daya alam pada zona tersebut

Dapat meningkatkan pemasukan negara jika wilayah tersebut bisa dikelola dengan baik. Seperti menjadin
sebuah destinasi wisata, hal tersebut akan memberikan pemasukan bagi negara

Manfaat tersebut hanya beberapa dari banyak manfaat lainnya jika ada batas ZEE bagi sebuah wilayah.
Sebagai contoh pada negara kita, belakangan ini banyak sekali terdengar pemberitaan tentang kapal-kapal
asing dari negara lain berlayar tanpa izin di wilayah perairan negara kita. Kapal asing tersebut datang
untuk mengambil hasil kekayaan laut Indonesia tanpa izin dari negara kita, mereka melakukan hal
tersebut secara ilegal. Oleh sebab itu, pemerintah berhak penuh untuk menggunakan kebijakan-kebijakan
hukum yang mengatur tentang hal tersebut.

Berikut beberapa fungsi batas kelautan ZEE :

1. Pembebasan dalam melakukan kegiatan ekonomi bagi wilayah tersebut

Hal ini tentu akan menjadi sebuah fungsi yang utama dalam pembuatan batasan tersebut. dengan adanya
ZEE, segala kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat yang berada di wilayah batasan ZEE tersebut,
memiliki kebebasan dalam melakukan kegiatan ekonomi dan hak yang dimiliki atas Zona tersebut.
sehingga masyarakat tidak perlu lagi diam-diam dan kebingungan untuk melakukan kegiatan ekonomi di
laut.

2. Pembuatan dan juga pemakaian pulau

Di dalam Zona ekonomi eksklusif tersebut yang sudah ditentukan, pasti ada sebagian zona yang memiliki
sebuah pulau. Fungsi zona tersebut terhadap pulau yang ada, memiliki hak dan kebebasan dalam
pemakaian pulau tersebut. bebas dalam artian untuk melestarikan pulau yang terletak dalam ZEE, dan
pemakaian ekonomi lainnya.

3. Kebebasan melakukan riset ilmiah kelautan

Dengan adanya ZEE yang sudah ditentukan dalam suatu wilayah, mayarakat yang ada di wilayah tersebut
memiliki kebebasan untuk melakukan sebuah riset ilmiah kelautan di dalam ZEE di wilayah tersebut.

4. Kebebasan dalam perkembangan pendidikan

Kebebasan dalam perkembangan pendidikan menjadi sebuah hak bagi wilayah yang memiliki zona
ekonomi eksklusif di lautannya. Yang artinya, dengan adanya ZEE tersebut, masyarakat berhak mengelola
dan memperkembangkan pendidikan dan pengetahuannya tentang lingkungan dan ekosistem yang ada di
lautan ZEE tersebut.

5. Hak perlincungan dan pelestarian laut

Kegiatan pelestarian didalam ZEE akan menjadi hak yang dimiliki masyarakat yang di wilayah tersebut
untuk melakukan pelestarian lingkungan sekitar dan memahami fungsi lingkungan hidup.

6. Pembebasan melakukan kegiatan eksploitasi, konservasi, dan eskplorasi SDA

Hal ini tentu saja akan menjadi salah satu hak utama bagi masyarakat yang ada dalam wilayah yang
dibatasi dengan ZEE. Kegiatan menyerap dan mengambil sumber daya alam yang ada di dalam ZEE di
wilayah tersebut, sudah akan menjadi hak bagi masyarakatnya namun dapat memberikan dampak akibat
kerusakan hutan. Sumber daya alam ini bisa berupa dalam bidang perikanan dan SDA lainnya yang ada di
bawah laut.

7. Batas tempat produksi energi air dan pembangunan tambang

Dengan adanya ZEE yang sudah ditentukan dalam suatu wilayah, keberhakan wilayah tersebut akan
menjadi ada dan memiliki batas dalam mengambil produksi energi air di wilayah tersebut serta
pembangunan-pembangunan tambang yang berada dalam zona ekonomi ekslusif.

Berikut adalah manfaat dari produksi energi air :


manfaat sumur resapan

manfaat pantai

manfaat pasang surut air laut

8. Kebebasan dalam mengelola SDA

Segala yang dimiliki di dalam laut yang berada dalam zona ekonomi ekslusif tersebut, akan menjadi hak
kepemilikan dan kebebasan dalam mengelola sumber daya alam yang ada seperti cara menjaga
melestarikan air agar bisa memanfaatkan sumber daya alam dengan baik.

9. Perlindungan lingkungan laut

Selain dalam proses keberhakan yang ada, wilayah yang menjadi ZEE tersebut akan sepenuhnya menjadi
naungan dalam perlindungan lingkungan yang berada di laut oleh wilayah yang berada disitu. Sebab, hak
melindungi lingkungan laut tersebut harus dilaksanakan dan ada agar tidak adanya hal-hal negatif dan
kecurangan dalam mengelola serta perusakan lingkungan-lingkungan laut yang berada di dalam ZEE
tersebut.

10. Kebebasan membuat dan melaksanakan rekreasi pantai

ZEE juga akan berfungsi sebagai batasan dalam kebebasan melaksanakan dan mengelola sarana hiburan
pantai atau rekreasi pantai yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di wilayah tersebut. sehingga,
dalam proses berjalannya sarana hiburan tersebut, tidak melenceng dan tetap dalam nanungan zona ZEE
tersebut.

11. Hak dalam membudidayakan ekosistem laut.

Zona ekonomi ekslusif yang ada di wilayah tertentu, akan menjadikan sebuah hak bagi masyarakat yang
tinggal untuk membudidayakan eksosistem yang ada di lautan ersebut, seperti budidaya ikan, rumput
laut, kerang mutiara, dll.

Dengan demikian, didirikannya zee juga memiliki fungsi dan manfaat dari adanya batas ZEE bagi wilayah
yang di terapkan Zona ekonomi ekslusif tersebut. selain itu, dengan adanya ZEE, wilayah lain yang berada
di luar ZEE tersebut, menjadi tidak seenaknya mengambil dan merusak suber daya alam yang berada
dalam ZEE tersebut dan tidak seenaknya pula merusak ekosistem dan kelestarian laut bagi wilayah yang
sudah diterapkan zona ekonomi eksklusif.

Anda mungkin juga menyukai