Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak keadaan yang bisa menyebabkan hilangnya kesadaran yang bisa menyebabkan
terganggunya system system yang lain, penurunan kesadaran apabila tidak ditangani dengan baik
bisa menyebabkan keadaan gawat darurat yang berakhir dengan kematian.
Ada berbagai keadaan yang bias menyebabkan penurunan kesadaran yaitu gangguan
neurologis sentral, gangguan neurologis perifer, kelainan metabolik, intoksikasi dan infeksi.
Keadaan tersebut bisa menyebabkan kematian apabila tidak ditangani dengan segera.Untuk itu
penanganan yang tepat akan mengurangi resiko komplikasi yang lebih buruk.

1.2 Tujuan Pembelajaran


Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil yang kami lakukan dengan membahas skenario
“Tak Sadar” ini kami telah manentukan tujuan pembelajaran kami, yaitu : mempelajari stroke,
penanganan pasien tidak sadar, koma dan kematian batang otak.

1
BAB II
ISI

2.1 Skenario

Raffi sakit Ayu siap membantu

Skenario Awal

Diskusikan sekitar 20 menit skenario berikut :

Suatu pagi yang cerah di bulan September, Raffi 50 tahun datang ke puskesmas pesbuker
diantar istrinya Nagita untuk memeriksakan dirinya yang sudah 2 hari mengalami kelemahan
anggota gerak.

Skenario lanjutan

Diskusikan sekitar 20 menit skenario berikut :

Saat sedang mengantre di ruang tunggu Raffi mendadak kejang lalu tidak sadar. Dr. ayu
yang bertugas di Poli pagi itu dengan sigap melakukan resusitasi dan pemeriksaan neurologis.
Berdasarkan hasil pemeriksaannya Ayu menyimpulkan bahwa Raffi koma karena adanya
kelainan structural.

2.2 STEP 1 : Identifikasi Kata Sulit


1. Resusitasi : Tindakan untuk menghidupkan kembali ffungsi jantung dan paru.
2. Kelemahana anggota gerak : Hilangnya sebagian dari fungsi otot sehingga mobilitas
terbats
3. Koma : situasi tidak sadarkan diri dalam jangka waktu tertentu
4. Kerusakan struktural : perbeddaan struktur anatomi paseien dengan kondisi stuktur tubuh
normal
5. Pemeriksaan neuorologi : pemeriksaan sensorik, motorik, kesadaran dan mental pada
pasien.

2
2.3 STEP 2 : Identifikasi Masalah
1. Apa yang menyebabkan tuan Raffi mengalami lemah anggota gerak ?
2. Mengapa tuan Raffi dapat mengalami kejang ?
3. Mengapa tuan Raffi koma ?
4. Apa hubungan antara kejang dan koma ?
5. Apa resusitasi yang dilakukan ?
6. Apa pemeriksaan neuorologi yang dilakukan pada tuan Raffi ?
7. Apa kelainan struktural yang dialami oleh tuan Raffi ?
8. Apa diagnosis banding dari tuan Raffi ?
9. Apa penatalaksanaan yang dilakukan untuk tuan Raffi ?

2.3 STEP 3 : Brainstorming


1. Kelemahan anggota gerak dapat dissebabkan oleh berbagai faktor, salah satu nya adalah
keadaan otak iskemik dimana otak tidak mendapatkan suplai oksigen dan glukosa yang
cukup, mengakibatkan pasokan energi untuk saraf berkurang dan terjadilah kelemahan
anggota gerak.

Dapat pula disebabkan karena adanya gangguan pada tractus piramidalis dan
kortikospinalis, serta ganggua verteba.
2. Kejang dapat disebabkan karena adanya intoksisaki obat, hasil metabolisme berlebih,
hipoglikemi, hipertermia serta adanya gangguan pada upper motor neuron.
3. Faktor yang dapat menyebabkan kejang ada sirkulasi, enssefalomeningitis, metabolisme,
elektrolit dan endokrin, neoplasma, trauma kapitis, epilepsi, intoksikasi obat.
4. Dimana seperti yang dibahas dinomor 4, bahwa epilepsi dapat menyebabkan pasien
menjadi koma, begitu pula sebaliknya ,disaat koma pasien dapat mengalami epilepsi
mendadak disebabkan oleh intoksikasi obat , dan hasil metabolisme tubuh berlebih.
5. Untuk menentukan resusitas yang dilakukan, terlebih dahulu dicek ABC ( airway,
brithing, circulation), dimana resusitasi ini , ada resusitasi paru dan janntung.
6. Pemeriksaan neurologi yang dilakukan, dimulai dari periksa keasadaran pasien dengan
menggunaan GCS (Glasgow coma scale), lalu lakukan pemerikasaan pada respirasi,
refleks pupil mata, gerakan bola mata, funduskopi dn motorik pasien.

3
7. Untuk menemukan letak lesi tuan raffi diperlukan pemeriksaan penunjuang seperti CT-
Scan dan MRI, namun dengan melihat beberapa gejala pprodromal dan yang dialami oleh
tuan raffi kadang dapat diperkirakan letak lesinya. Misalnya pada lesi UMN(upper
motorik neuron) dapat ditemukan kelemahan otot disertai denga tonus otot meningkat,
namun pada LMN(lower motoric neuron) ditemukan kelemahan anggota gerak dan
flaksid.
8. Diagnosis dari tuan Raffi ada stroke, hematoma intraserebral, hematoma subarachnoid,
neoplasma, peningkatan hasil metabolik, serta pada sindrom guillen barrre, myiestenia
gravis.
9. Lakukan pengecekan ABC(airways, brithing, circulation), lalu tangani ABC nya jika
bermasalah. Pasang ventilator, berikan manitol , dan pada tumor atau bases dapat
diberikan dexametason.

4
2.4 STEP 4 : Strukturisasi Konsep

Kelemahan Anggota gerak

Kejang

Penurunan Kesadaran

Pemeriksaan

Sebab Sentral Sebab Perifer Sebab Lainnya

Tatalaksana

2.5 STEP 5 : Learning Objectif


1. Mahasiswa Menjelaskan Mengenai Stroke
2. Mahasiswa Menjelaskan Mengenai Hematoma intraserebral dan Hematoma
Subarachnoid
3. Mahasiswa Menjelaskan Mengenai Koma dan Mati Batang Otak

2.6 STEP 6 : Belajar Mandiri


Mahasiswa melakukan belajar mandiri, dengan menggunakan referensi yang sudah
disediakan. Sesudahnya mahasiswa akan membahas learning objective di dkk 2 pada tanggal
15 September 2017.

5
2.7 STEP 7 : SINTESIS
Stroke

Definisi Stroke
Menurut WHO (2004) definisi stroke adalah terganggunya aliran darah di otak yang
menyebabkan gangguan fungsional otak fokal maupun menyeluruh yang mendadak dan akut
yang berlangsung kurang dari 24 jam dan dapat menimbulkan kematian (WHO,2004)

Klasifikasi Stroke
2.1 Stroke Non Hemoragik
2.7.1 Klasifikasi
SNH dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:
1. Transient Ischemic Attack (TIA): gejala neurologic yang timbul akibat gangguan peredaran
darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND): gejala neurologic yang timbul akan
menghilang dalam waktu lebih lama dari 24 jam, tetapi tidak lebih dari seminggu.
3. Progressive Stroke/ Stroke in Evolution: gejala neurologic makin lama makin berat.
4. Completed Stroke/Permanent Stroke: gejala klinis sudah menetap.

2.7.2 Patofisiologi
Infark/iskemik sangat erat hubungannya dengan atherosklerosis. Atherosclerosis dapat
menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinis dengan cara menyempitkan lumen
pembuluh darah dan mengakibatkan insufiensi aliran darah, oklusi mendadak pembuluh darah
karena terjadinya thrombus atau pendarahan ateroma, terbentuknya thrombus yang kemudian
terlepas sebagai emboli, dan menyebabkan dinding pembuluh darah menjadi lemah dan
terjadi aneurisma yang kemudian dapat robek.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:
1. Keadaan pembuluh darah, dapat menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersubat
oleh thrombus/embolus.
2. Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisitemia) menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat dan anemia yang berat
menyebabkan oksigenasi otak menurun.

6
3. Tekanan darah sistemik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu diingat apa yang
disebut autoregulasi otak yakni kemampuan instrinsik dari pembuluh darah otak agar
aliran darah otak tetap konstan walaupun ada perubahan dari tekanan perfusi otak. Pada
penderita hipertensi autoregulasi otak bergeser ke kanan.
4. Kelainan jantung menyebabkan menurunnya curah jantung (fibrilasi dan blok jantung)
dan lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.

2.7.3 Manifestasi Klinis


2.7.3.1 Stroke Trombosis
Usia biasanya pertengahan (50 tahun), ditemukan faktor resiko, mendadak pada saat
istirahat atau bangun tidur, kesadaran biasanya baik, tidak sakit kepala dan muntah, tekanan
darah normal/sedikit meninggi, tidak kejang, dan deficit neurologi pada system karotis
menyebabkan heiparese, paraastesi, disatria, monocular blindnees, dan pada system vertebra
basiler menyebabkan hemiparese, hipaestesia, tetraplegia, vertigo, muntah, ataxia, disphagia,
distonia, hemianopsia/homonym/bilateral.

2.7.3.2 Stroke Emboli


Usia dapat muda, faktor resiko penyakt jantung, miokard infark, seragan sewaktu-
waktu, kesadaran sedikit menurun, tekanan darah normal/sedikit menurun, biasanya dengan
bising jantung atau fibrilasi atrium, dan gejala deficit neurologi fokal sama dengan sroke
thrombosis.

2.7.4 Diagnosa
Stroke non hemoragik terjadi karena berkurangnya suplai darah ke suatu area di
jaringan otak sehingga dapat mengakibatkan kematian jaringan yang disebut infark.
Pemeriksaan CT Scan merupakan gold standard untuk menentukan diagnosis penderita stroke,
dimana gambaran infark akan tampak pada pemeriksaan CT Scan kepala penderita stroke non
hemoragik. Namun jika pemeriksaan dilakukan pada beberapa jam awal stroke, bisa saja pada
CT Scan tidak menunjukkan adanya gambaran infark.

2.7.5 Terapi

7
2.7.6.1 Fase Akut (hari ke 0-14 sesudah onset penyakit)
1. Sasaran pengobatan: menyelamatkan neuron yang menderita jangan sampai mati dan
agar proses patologik lainnya yang menyertai tak mengganggu/mengancam fungsi
otak. Tindakan dan obat yang diberikan haruslah menjamin perfusi darah ke otak
tetap cukup.
2. Respirasi: jalan nafas harus bersih dan longgar.
3. Jantung: harus berfungsi baik dan bila perlu pantau EKG.
4. Tekanan darah: dipertahankan pada tingkat optimal dan dipantau jangan sampai
menurunkan perfusi otak. Dianjurkan tekanan darah turun < 20%.
5. Bila gawat atau koma, balans cairan, elektrolit, dan asam-basa darah harus dipantau.
6. Anti edema otak: manitol dosis 0,25-0,50 gr/kgBB/dosis, 6 x 100 cc selama 7-10 hari
kemudian diturunkan secara tapering off.
7. Anti agregasi trombosit: asam asetil salisilat, seperti aspirin dan aspilet dengan dosis
rendah 2 x 50 mg.
8. Metabolit aktifator: CDP Choline 2 x 250 mg iv, piracetam 12 gr/hari/iv/drip (masa
akut), dan piracetam 2 x 200 mg (waktu keluar rmah sakit) (ka deny hal.24)

2.7.6.2 Pasca Akut


1. Rehabilitasi
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun, maka
yang paling penting pada masa ini ialah upaya membatasi sejauh mungkin kecacatan
penderita, fisik dan mental dengan fisioterapi, terapi wicara, dan psikoterapi.
2. Terapi Preventif
Terapi ini brtujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulnya serangan baru
stroke dengan jalan antara lain: mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko stroke,
pengobatan hipertensi, mengobati DM, menghindari rokok, obesitas, stress, dan
berolahraga secara teratur.

Stroke Hemoragik
Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang
cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan

8
gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang
menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan intracranial pada gilirannya
akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang otak.

Etiologi dari Stroke Hemoragik :


1) Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari 80% di
hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.
Gejala klinis :
- Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan dapat
didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual,
muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan epistaksis.
- Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan dapat
disertai kejang fokal / umum.
- Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan bola mata
menghilang dan deserebrasi
- Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya papiledema dan
perdarahan subhialoid.

2) Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang subarakhnoid
yang timbul secara primer.
Gejala klinis :
- Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung dalam
1 – 2 detik sampai 1 menit.
- Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang.
- Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai
beberapa jam.
- Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
- Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan
subarakhnoid.

9
- Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak
keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan

Patofisiologi Stroke Hemoragik

Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan subarachnoid.


Insidens perdarahan intrakranial kurang lebih 20 % adalah stroke hemoragik, dimana masing-
masing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral (Caplan, 2000).

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma (Berry aneurysm)


akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal, serebelum, dan
batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola berdiameter 100 – 400
mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding pembuluh darah tersebut berupa
lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan
pasien, peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba menyebabkan rupturnya penetrating arteri yang
kecil. Keluarnya darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini mengakibatkan
volume perdarahan semakin besar.

Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan
perfusi, menyebabkan neuron-neuron di dearah yang terkena darah dan sekitarnya lebih tertekan
lagi. Gejala neurologik timbul karena ekstravasasi darah ke jaringan otak yang menyebabkan
nekrosis.
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah,
sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya
disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation
(AVM).

10
Penetapan jenis stroke berdasarkan Siriraj stroke score

SIRIRAJ STROKE SCORE (SSS)

No GEJALA/TANDA PENILAIAN INDEKS SKOR

1. KESADARAN (0) Kompos mentis X 2,5 +


(1) Mengantuk
(2) Semi koma/koma
2. MUNTAH (0) Tidak X2 +
(1) Ya
3. NYERI KEPALA (0) Tidak X2 +
(1) Ya
4. TEKANAN DARAH Diastolik X 10 % +

5. ATEROMA (0) Tidak X (-3) -


a. DM (1) Ya
b. Angina
pektoris
c. Klaudikasio
Intermiten
6. KONSTANTE - 12 -12

HASIL SSS

CATATAN : 1. SSS > 1 = Stroke hemoragik


2. SSS < -1 = Stroke non hemoragik

11
Penetapan Jenis Stroke berdasarkan Algoritma Stroke
Gadjah Mada

ALGORITMA STROKE GADJAH MADA

PENDERITA STROKE AKUT

Dengan atau tanpa

 PENURUNAN KESADARAN
 NYERI KEPALA
 REFLEKS BABINSKI

Ketiganya atau 2 dari Stroke


ketiganya ada (+) perdarahan
Ya
intraserebral

Tidak

Penurunan kesadaran (+)


Nyeri kepala (-) Stroke
Refleks Babinski (-) Ya perdarahan
intraserebral

Tidak

Tidak
Penurunan kesadaran (-) Stroke
Nyeri kepala (+) Ya perdarahan
Refleks Babinski (-) intraserebral

Tidak

Penurunan kesadaran (-) Stroke iskemik


Nyeri kepala (-) Ya akut
Refleks Babinski (+) atau stroke infark

Tidak

Penurunan kesadaran (-) Stroke iskemik


Nyeri kepala (-) akut
Refleks Babinski (-) Ya
atau sroke infark

Pemeriksaan dengan menggunakan alat bantu


 Funduskopi
 Arteriografi

12
 CT Scan kepala(Gold Standard dx)
 MRI

PENATALAKSANAAN STROKE AKUT


 Stabilisasi pasien dengan tindakan ABC
 Intubasi bila kesadaran koma atau GCS < 8 atau gagal nafas, posisi kepala 300
 Pasang jalur intravena dengan cairan kristaloid isotonis seperti NaCl 0,9% atau RL,
hindari cairan hipotonis
 Berikan oksigen 2 – 4 l/mnt
 Pmeriksaan EKG dan Ro” Thorak
 Pemeriksaan DL dan KDL , Px lain atas indikasi
 Tegakkan diagnosis berdasar Ax dan Px
 CT Scan Kepala

PENATALAKSANAAN STROKE HEMORAGIK


 Pemberian obat anti hipertensi jika TD> 180/105, penurunan 20 -25%
 Penurunan TIK menggunakan Manitol 20%
 Pemberian anti konvulsan phenitoin bila terdapat kejang, dipertimbangkan pada
perdarahan luas dan pada SAH
 Pemberian anti fibrinolitik (asam traneksamat) dan Nimodipine pada SAH
 Pemberian neuroprotektan dosis minimal menggunakan citicoline 2 x 250 mg iv
 Konsultasi dr Bedah saraf, bila terdapat indikasi pembedahan

Hematoma intraserebral dan Hematoma Subarachnoid

13
DEFINISI

- Epidural Hematom adalah perdarahan intrakranial yang terjadi karena fraktur tulang
tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater..Hematoma
epiduralmerupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan menyebabkan angka
mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah
perietotemporal akibat robekan arteria meningea media.

- Subdural Hematoma adalah perdarahan yang terjadi antara duramater dan araknoid,
biasanya sering di daerah frontal, pariental dan temporal.Pada subdural hematoma yang
seringkali mengalami pendarahan ialah “bridging vein” , karena tarikan ketika terjadi
pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi
“bridging vein”

Etiologi

- Epidural hematom utamanya disebabkan oleh gangguan struktur duramater dan


pembuluh darah kepala biasanya karena fraktur.Akibat trauma kapitis,tengkorak
retak.Fraktur yang paling ringan, ialah fraktur linear.Jika gaya destruktifnya lebih kuat,
bisa timbul fraktur yang berupa bintang (stelatum), atau fraktur impresi yang dengan
kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus
melukai jaringan otak (laserasio).Pada pendarahan epidural yang terjadi ketika pecahnya
pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara
duramater dan tengkorak.

- Sedangkan pada subdural hematom. keadaan ini timbul setelah trauma kepala hebat,
seperti perdarahan kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam
ruangan subdural . Pergeseran otak pada akselerasi dan de akselerasi bisa menarik dan
memutuskan vena-vena.Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi 2 kejadian, yaitu
akselerasi tengkorak ke arah dampak dan pergeseran otak ke arah yang berlawanan
dengan arah dampak primer.Akselerasi kepala dan pergeseran otak yang bersangkutan

14
bersifat linear.Maka dari itu lesi-lesi yang bisaterjadi dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio di bawah dampak disebut lesi kontusio “coup” di seberang dampak tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga di situ tidak terdapat lesi. Jika di situ terdapat lesi,
maka lesi itu di namakan lesi kontusio “contercoup”.

Patomekanisme

Pada perlukaan kepala , dapat terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid, kedalam
rongga subdural (hemoragi subdural) antara dura bagian luar dan tengkorak (hemoragi
ekstradural) atau ke dalam substansi otak sendiri.

Pada hematoma epidural, perdarahan terjadi diantara tulang tengkorak dan dura mater.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila slaah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi buka fraktur tulang tengkorak di daerah yang
bersangkutan. Hematom pun dapat terjadi di daerah frontal dan oksipital. Putusnya vena-vena
penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah penyebab perdarahan subdural yang
paling sering terjadi. Perdarahan ini seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif
kecil, dan mungkin terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak ( karena
anak-anak memiliki vena- vena yang halus ) dan orang dewasa dengan atropi otak ( karena
memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang ) memiliki resiko yang lebih
besar.Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan
sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi “bridging veins” . Karena perdarahan
subdural sering disebabkan olleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200
cc saja. Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah 5-7 hari
hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang
diserap meninggalkan jaringan yang kaya pembuluh darah. Disitu timbul lagi perdarahan kecil,
yang menimbulkan hiperosmolalitas hematom subdural dan dengan demikian bisa terulang lagi
timbulnya perdarahan kecil dan pembentukan kantong subdural yang penuh dengan cairan dan
sisa darah (higroma). Kondisi- kondisi abnormal biasanya berkembang dengan
satudaritigamekanisme.

15
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari
Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan
meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan
akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan
tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian
didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang
mengikuti hancurnya sel darah merah.Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan
berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis
juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut
memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul
dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan
peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

Gejala klinis
Gejala yang sangat menonjol pada epidural hematom adalah kesadaran menurun secara
progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memardisekitar mata dan
dibelakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung dan telingah.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak : 
1. Penurunan kesadaran , bisa sampai koma
2. Bingung
3. Penglihatan kabur
4. Susah bicara
5. Nyeri kepala yang hebat
6. Keluar cairan dari hidung dan telingah
7. Mual
8. Pusing
9. Berkeringat

16
PENATALAKSANAAN
EPIDURAL HEMATOM
Penanganan darurat :  Dekompresi dengan trepanasi sederhana  Kraniotomi untuk
mengevakuasi hematom Terapi medikamentosa
1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital Usahakan agar jalan nafas selalu babas,
bersihkan lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu dipasang
pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk membuka jalur
intravena : guna-kan cairan NaC10,9% atau Dextrose in saline
2. Mengurangi edema otak Beberapa cara dapat dicoba untuk mengurangi edema otak: A.
Hiperventilasi. B. Cairan hiperosmoler. C. Kortikosteroid D. Barbiturat

SUBDURAL HEMATOM
Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan pada pasien SDH, tentu kita harus
memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan operasi,
perhatiaan hendaknya ditujukan kepada pengobatan dengan medika mentosa untuk menurunkan
peningkatan tekanan intracranial. Seperti pemberian mannitol 0,25 gr/kgBBatau furosemide 10
mg intavena, dihiperventilasikan. Tidakan operatif Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila
diketemukan ada gejala- gejala yang progresif maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk
melakukan pengeluaran hematom. Tetapi seblum diambil kepetusan untuk tindakan operasi yang
harus kita perhatikan adalah airway, breathing, dan circulatioan. Kriteria penderita SDH
dilakukan operasi adalah
a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10 mm atau pergeseran midline shift >5
mm pada CT-Scan 
b. Semua pasien SDH dengan GCS <9 harus dilakukan monitoring TIK
c. Pasien SDH dengan GCS <9, dengan ketebalan perdarahan <10 mm dan pergerakan struktur
midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian sampai saat
masuk rumah sakit.
d. Pasien SDH dengan GCS<9, dan atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed
e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan /atau TIK >20 mmhg Tindakan operatif yang dapat
dilakukan adalah burr hole craniotomy. Tindakan yang paling banyak diterima karena
minimal komplikasi. Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH

17
secara cepat dan local anastesi Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan
prosedur bedah yang infasih dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi.

PROGNOSIS
Prognosis Epidural Hematom tergantung pada :
 Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
 Besarnya  Kesadaran saat masuk kamar operasi. Jika ditangani dengan cepat, prognosis
hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi.
Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum operasi.

Prognosis dari penderita SDH ditentukan dari:


 GCS awal saat operasi
 lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi
 lesi penyerta di jaringan otak
 serta usia penderita pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin
rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi
lain akan memperjelek prognosenya.

Koma dan Mati Batang Otak

KOMA

Koma dapat disebabkan oleh penyebab traumatik dan non-traumatik. Penyebab traumatik
yang sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, dan jatuh. Penyebab non-
traumatik yang dapat membuat seseorang jatuh dalam keadaan koma antara lain gangguan
metabolik, intoksikasi obat, hipoksia global, iskemia global, stroke iskemik, perdarahan intrase-
rebral, perdarahan subaraknoid, tumor otak, kondisi inflamasi, infeksi sistem saraf pusat seperti
meningitis, ensefalitis dan abses serta gangguan psikogenik. Keadaan koma dapat berlanjut
menjadi kematian batang otak jika tidak ada perbaikan keadaan klinis.

18
Pemeriksaan Pasien Koma

Pemeriksaan awal/jam pertama terhadap pasien koma meliputi ABCs (Airway Breathing
Circulations) dan C-spine, glukosa darah, memeriksa kecurigaan terhadap penggunaan
berlebihan obat-obat narkotika, darah lengkap, analisis gas darah, pemeriksaan urin untuk
toxicology screen dan CT Scan otak tanpa kontras.

Pada pasien tidak sadar, airway, breathing, dan circulation harus segera diperiksa dan
diterapi. Pastikan potensi jalan napas agar dapat diberi oksigenasi dan ventilasi. Imobilisasi leher
pasien untuk mencegah trauma servikal. Kemudian lakukan pemeriksaan umum.

Lakukan pemasangan akses intravena. Pemeriksaan glukosa darah harus dilakukan pada
semua pasien yang kehilangan kesadaran. Jika glukosa darah <70 mg/dL, berikan 50 ml
dekstrosa 50% melalui akses intravena. Jika ada kecurigaan intoksikasi opioid, yaitu adanya
riwayat penggunaan obat, apnea/bradipnea, berikan naloxone 0,4–2 mg IV, dapat diulang hingga
dosis maksimum 4 mg.

Setelah pemeriksaan dan terapi 1 jam pertama terhadap pasien koma, lanjutkan ke
pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan neurologis. Terdapat 4 bagian pemeriksaan, yaitu
tingkat kesadaran, pemeriksaan fungsi batang otak, pemeriksaan motorik, dan pemeriksaan pola
pernapasan.

Pemeriksaan Fisik Umum pada Pasien Koma

Pemeriksaan dimulai dari inspeksi langsung terhadap pasien dalam keadaan istirahat.
Pemeriksaan umum meliputi pemeriksaan kesan umum, kesadaran, tipe badan, kelainan
kongenital, tanda-tanda vital, kepala, leher, toraks, abdomen, ekstremitas, sendi, otot, kolumna
vertebralis, dan gerakan leher/ tubuh. Pemeriksaan kesan umum menilai kondisi pasien secara
subjektif. Range penilaian antara lain baik, sakit ringan, sakit sedang, dan sakit berat. Beberapa
indikator yang dapat digunakan antara lain cara kemampuan berbicara atau berinteraksi dengan
lingkungan, mobilisasi pasien (aktif/ pasif), gejala, dan atau tanda penyakit yang diderita oleh
pasien. Setelah pemeriksaan umum dilakukan pemeriksaan kesadaran, dinilai secara kualitatif
dan kuantitatif (vide supra).

19
Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos mentis, apatis,
somnolen, stupor, dan koma. Pemeriksa memberi stimulus yang adekuat dimulai dengan
stimulus auditorik. Pemeriksa memanggil nama pasien dengan suara keras, diasumsikan pasien
tuli dan meminta pasien untuk membuka mata. Jika dengan stimulus auditori tidak ada respons,
diberikan stimulus taktil. Jika stimulus taktil tidak menimbulkan respons, diberikan stimulus
nyeri namun tidak membuat trauma. Manuver yang direkomendasikan antara lain penekanan
pada supraorbital ridge kulit, di bawah kuku, sternum, dan ramus mandibularis

Pemeriksa menilai tipe badan pasien, apakah tipe astenis/atletis/piknis, juga apakah ada
kelainan kongenital. Dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital yang meliputi
pengukuran tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan, dan skala nyeri. Peningkatan tekanan darah
bisa menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial atau stroke.

Pemeriksaan kepala, leher, toraks, abdomen, ekstremitas, sendi, otot, kolumna vertebralis
dilakukan dengan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk mengetahui adanya tanda
trauma atau kondisi lain. Pada pemeriksaan kepala dapat ditemukan tanda adanya fraktur,
hematoma, dan laserasi. Pemeriksaan toraks meliputi pemeriksaan paru dan jantung. Pola
pernapasan perlu diperhatikan dengan seksama karena dapat memberikan petunjuk mengenai
fungsi batang otak.

Berikut adalah pola pernapasan abnormal:

A. Pernapasan Cheyne-Stokes, merupakan variasi berulang antara periode hiperventilasi dengan


apnea. Pola pernapasan ini merupakan pola yang tidak spesifik, dapat terlihat pada gangguan
kedua hemisfer serebri atau pada gangguan sistemik seperti pada Congestive Heart Failure
(CHF) dan hipoksia. Jika pasien tidak bisa bernapas volunter selama fase apnea atau
memperlambat pernapasan selama fase takipnea, penyebabnya lebih sering disebabkan oleh
gangguan serebral.

B. Central hyperventilation, merupakan pernapasan yang dalam, cepat, dan teratur. Pola
pernapasan ini merujuk pada lesi batang otak, di antara midbrain dan pons. Pola pernapasan ini
sering menyebabkan hipokapnea dan alkalosis.

20
C. Pernapasan apneustik, merupakan pernapasan dengan jeda tidak bernapas 2–3 detik di akhir
inspirasi dan kadang terdapat di akhir ekspirasi. Pola pernapasan ini menunjukkan lesi di tengah
sampai kaudal bagian pons, paling sering disebabkan oleh oklusi arteri basilaris.

D. Pernapasan ataksik, merupakan pola pernapasan yang tidak teratur dan tidak terprediksi,
terdapat pernapasan dalam dan dangkal, sering didahului periode apnea; merupakan tanda
bahaya karena menunjukkan lesi di medula spinalis dan/atau merupakan manifestasi akhir
herniasi.

Pemeriksaan Neurologis pada Pasien Koma

Setelah pemeriksaan umum, dilanjutkan dengan pemeriksaan neurologi. Pemeriksaan


neurologi pada pasien koma memerlukan observasi lebih teliti dan pemberian stimulus yang
adekuat. Pemeriksa membuka selimut ataupun pakaian yang menutupi ekstremitas atas dan
bawah untuk observasi. Dilakukan inspeksi apakah ada gerakan spontan seperti gerakan ritmik
yang mungkin menandakan adanya kejang.

Pemeriksaan saraf kranial bermakna untuk menilai refleks. Pemeriksaan fungsi batang
otak meliputi pemeriksaan pupil (ukuran, simetris, dan reaktivitasnya), refleks kornea,
pemeriksaan doll’s eyes movement/re eks okulosefalik jika tidak ada kecurigaan terhadap trauma
servikal, refleks vestibulookular/ pemeriksaan kalorik, gag reflex, serta refleks muntah dan
batuk.

Observasi kedua mata untuk melihat adanya gerakan spontan atau diskonjugasi bola
mata. Pemeriksaan refleks cahaya langsung dilakukan satu per satu pada kedua mata. Perbedaan
respons terhadap re eks cahaya langsung dan/atau diameter pupil menandakan disfungsi pupil.
Disfungsi pupil lebih sering disebabkan oleh gangguan struktural seperti perdarahan dan infark.
Dilatasi pupil unilateral menunjukkan adanya penekanan nervus III akibat herniasi lokal
ipsilateral atau adanya lesi massa. Pupil kecil dan tidak reaktif menunjukkan adanya gangguan
batang otak. Dilatasi pupil dan tidak reaktif terjadi pada anoksia berat atau kerusakan midbrain
atau kompresi fokal nervus okulomotorius. Pinpoint pupils menandakan kerusakan pons yang
biasanya disebabkan oleh perdarahan/infark.

21
Pada funduskopi, dapat ditemukan papilledema menandakan peningkatan tekanan
intrakranial, dan/atau perdarahan retina

Gerakan bola mata diperiksa menggunakan dua maneuver, yaitu OculoCephalic Re ex


(OCR) atau Doll’s Eyes Manuever dan OculoVestibular Re ex (OVR) atau Cold Caloric Test.

Pemeriksaan OCR dilakukan jika sudah dipastikan tidak ada trauma servikal. Pada
pemeriksaan ini kepala pasien diputar secara horizontal, cepat dan berhenti sesaat pada posisi
terjauh. Yang diobservasi adalah gerakan bola mata selama 1 menit. Pada fungsi batang otak
yang masih normal bola mata akan bergerak berlawanan dengan arah gerakan.

Roving eye movement menandakan adanya gangguan metabolik atau toxic


encephalopathy atau adanya lesi bilateral di atas batang otak. Gerakan bola mata “ping-pong”
merupakan variasi roving eye movement, berupa gerakan mata horizontal repetitif/bolak-balik
dengan pause selama beberapa detik di posisi lateral. Gerakan bola mata ini dapat menunjukkan
lesi struktural vermis serebelar. Upward or downward beating eye movement merupakan gerakan
nistagmus vertikal, sering menandakan disfungsi batang otak bagian bawah. Retraction
nystagmus menandakan adanya lesi tegmentum. Ocular bobbing adalah gerakan menyentak bola
mata yang cepat dan kuat ke arah bawah dengan gerakan lambat saat bola mata kembali ke posisi
tengah; merupakan tanda khas lesi ponto-medullary junction

Berikutnya adalah pemeriksaan OVR. Pasti- kan patensi external auditory canal.
Bersihkan lubang telinga dari serumen atau debris. Pastikan membran timpani masih dalam

keadaan intak. Kepala pasien diangkat 300. Air dingin dialirkan ke dalam salah satu external
auditory canal selama 60 detik. Kemudian observasi pergerakan bola mata.

Pada batang otak normal, bola mata akan berdeviasi berlawanan dengan telinga yang
dialiri air dingin, kadang disertai nistagmus dengan komponen cepat ke arah berlawanan dari
telinga yang dialiri air dingin. Jika lesi terletak di batang otak bagian bawah maka tidak ada
pergerakan bola mata pada segala macam stimulus seperti pada kasus kematian batang otak.

Setelah pemeriksaan terhadap mata, selanjutnya dilakukan pemeriksaan refleks.

22
Pemeriksaan refleks meliputi pemeriksaan refleks kornea, refleks batuk, refleks siologis, dan
refleks patologis. Pada pemeriksaan refleks kornea, pemeriksa menggoreskan ujung kapas secara
lembut atau meniupkan udara ke kornea. Refleks dinyatakan positif jika mata berkedip saat
dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan refleks muntah dan batuk dilakukan menggunakan kateter
isap yang dimasukkan ke dalam trakea. Refleks dinyatakan positif jika pasien muntah dan batuk.

Selanjutnya diperiksa dua refleks lagi, yaitu refleks fisiologis dan refleks patologis
anggota gerak. Pemeriksaan refleks siologis meliputi tendon biseps, triseps, patella, dan Achilles.
Adanya hiperrefleks menandakan adanya lesi upper motor neuron (UMN). Kemudian
pemeriksaan refleks patologis meliputi Babinski, Chaddock, Oppenheim, Gordon, Schae er, dan
Ho mann-Tromner. Adanya refleks patologis menandakan lesi UMN.

Pemeriksaan Penunjang pada Pasien Koma

Pemeriksaan penunjang dilakukan jika penyebab koma masih belum bisa ditegakkan.
Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan antara lain pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan
gula darah sewaktu, analisis gas darah, CT Scan tanpa kontras, CT angiography, Magnetic
Resonance Imaging (MRI), pungsi lumbal, dan EEG.

CT Scan tanpa kontras biasa dipergunakan untuk identikasi awal penyebab koma dan
pada keadaan darurat. Lesi hipodens fokal menandakan adanya kemungkinan infark serebral,
perdarahan intrakranial, massa intrakranial, edema otak, dan hidrosefalus akut. Jika dicurigai ada
infeksi sistem saraf pusat, khususnya meningitis bakterial akut, antibiotik dan deksametason
diberikan se- belum CT Scan kepala dan pungsi lumbal.

CT Scan kepala dengan atau tanpa kontras juga dilakukan untuk evaluasi adanya massa
intrakranial sebelum pungsi lumbal. Pungsi lumbal dilakukan jika curiga infeksi sistem saraf
pusat, inflamasi, dan komplikasi limfoma atau kanker lainnya. Pungsi lumbal harus dilakukan
jika klinis dicurigai adanya perdarahan subaraknoid, tetapi tidak terlihat pada CT Scan otak.

MRI memberikan visualisasi jaringan lunak lebih baik seperti batang otak dan struktur
serebelum. Jika pasien dicurigai menderita stroke iskemik atau penyebab koma masih belum
diketahui dengan pemeriksaan lain, dapat dilakukan MRI otak.

23
Electroencephalogram (EEG) memberikan gambaran fungsi umum korteks. EEG bermanfaat
untuk mendiagnosis non-convulsive status epilepticus dengan riwayat kejang atau pasien kejang
saat pemeriksaan fisik, dan untuk pemantauan gangguan kesadaran yang disebabkan non-
convulsive status epilepticus. Jika ada kelainan metabolik akan terlihat perlambatan gelombang.
EEG tidak diperlukan untuk penentuan kematian batang otak

KEMATIAN BATANG OTAK

Koma tanpa perbaikan dapat berlanjut masuk ke dalam keadaan mati batang otak.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 37 tahun 2014, pemeriksaan
penentuan kematian batang otak dapat dilakukan pada seseorang dengan keadaan sebagai
berikut:

a. Koma unresponsive atau GCS 3 atau Four Score 0.


b. Tidak ada sikap tubuh abnormal (seperti dekortikasi atau deserebrasi).
c. Tidak ada gerakan tidak terkoordinasi atau kejang.

Pemeriksaan kematian batang otak dapat dilakukan jika sudah memenuhi syarat berikut:

a. Terdapat prakondisi berupa koma dan apnea yang disebabkan oleh kerusakan otak struktural
ireversibel akibat gangguan yang berpotensi menyebabkan mati batang otak.

b. Tidak ada penyebab koma dan apnea yang reversibel antara lain karena obat-obatan,
intoksikasi obat, gangguan metabolik, dan hipotermia.

Prosedur pemeriksaan kematian batang otak dilaksanakan hanya pada keadaan yang telah
ditetapkan dapat dilakukan pemeriksaan kematian batang otak.

Berikut prosedur pemeriksaan kematian batang otak:

a. Memastikan arefleksia batang otak. Memastikan arefleksia batang otak meliputi tidak adanya
respons terhadap cahaya, tidak adanya refleks kornea, tidak adanya refleks vestibulookular, tidak

24
adanya respons motorik terhadap rangsangan adekuat dalam distribusi saraf kranial dan tidak ada
refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap rangsang oleh kateter isap yang
dimasukkan ke dalam trakea.

b. Memastikan keadaan apnea yang menetap. Cara memastikan keadaan henti napas yang
menetap adalah:

• Preoksigenasi dengan O2 100% selama 10 menit

• Memastikan pCO2 awal 40-60 mmHg dengan memakai kapnograf dan atau analisis gas darah

(AGD)

• Melepaskan ventilator dari pasien, insuflasi trakea dengan O 2 100%, 6L/ menit melalui kateter

intratrakeal melewati karina

• Observasi selama 10 menit, bila pasien tetap tidak bernapas, tes dinyatakan positif atau berarti
henti napas telah menetap

c. Bila tes are eksia batang otak dan tes henti napas dinyatakan positif, maka tes harus diulang
sekali lagi dengan selang waktu 25 menit sampai 24 jam.

d. Bila tes arefleksia batang otak dan tes henti napas kembali dinyatakan positif pada
pemeriksaan kedua, pasien dinyatakan mati batang otak, walaupun jantung masih berdenyut.

e. Bila pada tes henti napas timbul aritmia jantung yang mengancam nyawa maka ventilator
harus dipasang kembali, sehingga tidak dapat dibuat diagnosis mati batang otak.

Menurut Guideline American Academy of Neurology (AAN), penentuan kematian batang

otak terdiri dari 4 langkah:

1. Memenuhi persyaratan evaluasi klinis. Syarat evaluasi klinis antara lain diketahuinya
penyebab pasti dan koma ireversibel, tercapainya temperatur tubuh normal dan tekanan darah
sistolik normal serta telah dilakukan pemeriksaan neurologi.

• Penyebab pasti dan koma ireversibel dapat diketahui dengan mengeksklusi adanya efek obat

25
antidepresan sistem saraf pusat dan obat pelumpuh otot. Dilakukan pemeriksaan terhadap
riwayat pengobatan, drug screen dan penghitungan clearance, yaitu 5 dikali waktu paruh obat
tersebut untuk mengeksklusi adanya efek obat antidepresan. Cara untuk mengetahui efek obat
pelumpuh otot adalah dengan memeriksa ada tidaknya kedutan train of 4 pada stimulasi
maksimal nervus ulnaris.

• Suhu pusat tubuh normal atau mendekati normal (>360C), dilakukan dengan memberikan
selimut hangat. Tujuannya adalah untuk menghindari keterlambatan peningkatan PaCO2 selama

pemeriksaan apnea.

• Tekanan darah sistolik normal, yaitu ≥100 mmHg, agar pemeriksaan neurologi berjalan baik.

• Pemeriksaan neurologi untuk memastikan bahwa tidak ada kemungkinan perbaikan klinis sejak
onset cedera otak.

2. Pemeriksaan neurologi menunjukkan hasil bahwa pasien koma, tidak ada refleks batang otak
dan apnea.

• Koma ditandai dengan mata tertutup/tidak ada pergerakan bola mata, tidak ada respons motorik
dan verbal terhadap rangsang nyeri.

• Tidak ada refleks batang otak ditandai dengan tidak adanya refleks cahaya langsung pupil,
tidak adanya pergerakan bola mata saat pemeriksaan OCR dan OVR, tidak adanya refleks
kornea, tidak adanya pergerakan otot wajah sebagai respons terhadap rangsangan nyeri dan tidak
adanya refleks faring dan trakea.

• Apnea ditandai dengan tidak adanya usaha bernapas.

3. Pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi kematian batang otak dilakukan jika hasil
pemeriksaan fisik neurologi masih meragukan. Pemeriksaan penunjang yang umum digunakan
antara lain: EEG, nuclear scan, dan cerebral angiogram.

4. Pemeriksa mencatat waktu saat kematian batang otak telah dinyatakan positif di dalam rekam
medis. Kematian batang otak dinyatakan positif jika penyebab koma diketahui, arefleks batang

26
otak, tidak ada respons motorik dan adanya apnea.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan stroke yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa masing-
masing bentuk penyakit memiliki karakteristik manifestasi klinisnya. Dengan memahami
betul hal tersebut, diharapkan dapat dibedakan antara Stroke hemoragik atau iskemik yang
disebabkan suatuhal antara yang satu dengan yang lain. Dari yang paling sederhana sampai
yang menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Sebagai dokter umum harus mengerti
benar apa penyakitnya dan penanganan apa saja yang bisa diberikan sesuai kompetensi dan
merujuk pasien dengan keadaan yang tidak bisa ditangani oleh dokter umum.

3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang memberikan
materi kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2014 dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan
laporan ini.

27
DAFTAR PUSTAKA
Misbach, Y.et al (2006). “Neurologi”. Buku Pedoman Standard Pelayanan Medis (SPM) dan
Standar Prosedur Operasional (SPO). PERDOSSI

Harsono, 2009, Kapita Selekta Neurologi 2nded., Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Sidharta P, Mardjono M,2005, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta.

Wilson M. L, Price S. A,2002 Patofisiologi, vol.2, Edisi 6.

Mansjoer A, Suprohaita, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke 3, Jilid 2, UI.

28

Anda mungkin juga menyukai