29-Article Text-77-2-10-20200220 PDF
29-Article Text-77-2-10-20200220 PDF
29-Article Text-77-2-10-20200220 PDF
1. PENDAHULUAN
Dalam rangka meningkatkan kinerja bank, melindungi kepentingan para pemangku kepentingan, dan meningkatkan
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika yang berlaku umum pada industri perbankan,
diperlukan pelaksanaan tata kelola yang baik. Peningkatan kualitas pelaksanaan tata kelola merupakan salah satu upaya
untuk memperkuat kondisi internal perbankan nasional.
Sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur
berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan,
pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah, kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa
perbankan syariah semakin meningkat.
Perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Pengaturan mengenai
perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang
tersendiri yang akhirnya dikeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 TAHUN 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Dengan semakin meluasnya pelayanan yang disertai dengan peningkatan volume usaha Bank Syariah, semakin
meningkat pula risiko Bank Syariah sehingga mendorong kebutuhan terhadap Penerapan Tata Kelola yang harus
memenuhi prinsip syariah, yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja Bank Syariah, melindungi pemangku kepentingan,
meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah, serta mencerminkan
nilai-nilai etika yang berlaku umum pada perbankan Syariah.
Semakin kompleksnya risiko yang dihadapi bank, maka semakin meningkat pula kebutuhan praktek good
corporate governance oleh perbankan dalam rangka meningkatkan kinerja Bank, melindungi kepentingan stakeholders
dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta nilai-nilai etika yang berlaku
umum pada industri perbankan, diperlukan pelaksanaan good corporate governance dan juga peningkatan kualitas
pelaksanaan good corporate governance merupakan salah satu upaya untuk memperkuat kondisi internal perbankan
nasional sesuai dengan Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Berdasarkan pertimbangan tersebut Bank Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 Tentang Pelaksanaan Good
Corporate Governance, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 55 /POJK.03/2016 Tentang Penerapan Tata Kelola
Bagi Bank Umum, POJK Nomor 24/POJK.03/2018 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah, dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keangan Nomor 10/SEOJK.03/2014 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
Penelitian mengenai pengaruh Good Corporate Governance (GCG) terhadap kinerja keuangan telah dilakukan
oleh peneliti terdahulu antara lain: penelitian Risqiyah, Miqdad dan Kartika (2013) menyatakan bahwa pengaruh Good
Corporate Governance (GCG) terhadap kinerja keuangan perusahaan pada industri perbankan yang terdaftar dibursa efek
indonesia tidak berpengaruh terhadap Return on Equity (ROE).
Sedangkan penelitian Prasojo (2015) menyatakan bahwa penerapan Good Corporate Governance (GCG) terhadap
kinerja keuangan Bank Syariah berpengaruh terhadap Retrun On Equity (ROE). Penelitian Pratiwi (2016) menyatakan
bahwa pengaruh penerapan kualitas Good Corporate Governance (GCG) terhadap kinerja keuangan pada Bank Umum
Syariah di Indonesia 2010- 2015 berpengaruh terhadap Retrun On Equity (ROE).
Kinerja bank dapat dilihat dari rasio profitabilitas seperti Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), dan
Net Profit Margin (NPM). Mengkhususkan pada kinerja bank diukur menggunakan Return on Equity (ROE). Untuk
mengukur kemampuan bank dalam memperoleh keuntungan dengan menggunakan Rasio On Equity (ROE) yaitu tingkat
pengembalian modal bank tersebut (Desiana, dkk : 2016).
Alasan menggunakan rasio ini dikarenakan untuk mengetahui kemampuan bank dalam mengelola modal yang
dimilikinya untuk menerapkan Good Corporate Governance (GCG). Rasio ini juga merupakan ukuran kepemilikan
bersama dari pemilik bank tersebut (Desiana, dkk : 2016).
Mengacu pada hasil-hasil empiris yang telah dilakukan, hal ini menunjukkan adanya hasil yang tidak konsisten
mengenai pengaruh penerapan Good Corporate Governance (GCG) terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diukur
dengan Return on Equity (ROE). Dan kasus yang terjadi dibeberapa perusahaan khususnya perbankan berpengaruh
terhadap neraca khususnya CAR
2. KERANGKA TEORI
Tata Kelola yang baik adalah suatu tata cara pengelolaan Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan
kewajaran (fairness).
Istilah tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance/GCG) mengemukakan setelah “krisis
moneter” yang terjadi di Indonesia pada tahun 1988 yang berdampak dalam bidang perbankan. Terjadinya pelanggaran
batas maksimum pemberian kredit (BMPK), rendahnya praktek manajemen risiko, tidak adanya transparansi terhadap
informasi keuangan, merosotnya nilai tukar rupiah dan adanya dominasi para pemegang saham dalam mengatur
operasional menyebabkan industri perbankan nasional menjadi rapuh.
Hal tersebut sebagai akibat belum dilaksanakannya secara maksimal praktek GCG di kalangan perbankan. Dengan
melaksanakan konsep GCG, diharapkan tercipta suatu citra perbankan sebagai lembaga yang dapat dipercaya oleh
Pemerintah dalam mengelola dana masyarakat. Artinya ada keyakinan bahwa bisnis perbankan dikelola dengan baik
sehingga dapat tumbuh secara sehat, kuat dan efisien.
Isu tata kelola perusahaan yang baik (GCG) terjadi karena adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan
perusahaan yang memberikan kewenangan kepada direksi untuk mengurus perusahaan, seperti mengelola dana dan
mengambil keputusan perusahaan atas nama pemilik. Salah satu wujud konkrit pelaksanaan GCG adalah adanya
penerapan prinsip transparansi dalam pengelolaan berdasarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/4/PBI/2006
tentang Pelaksanaan Praktek Good Corporate Governance bagi Bank Umum. Bank mempunyai peranan yang sangat
besar dalam kehidupan perekonomian, sebagai pelaksana kebijakan moneter dan menghimpun dana dalam jumlah yang
besar dari masyarakat. Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip transparansi pada bank menjadi peranan yang sangat penting
dan patut menjadi perhatian bagi stakeholders, komisaris, direksi maupun pembina dan pengawas bank (Otoritas Jasa
Keuangan/OJK).
Kepercayaan masyarakat terhadap manajemen bank selain bergantung pada kinerja dan kemampuan dalam
mengelola risiko, juga dituntut sikap profesionalisme, independensi dan integritas serta transparansi atas informasi yang
berkaitan dengan kondisi keuangan maupun non keuangan, dengan tidak sama sekali mengurangi kewajiban untuk
memenuhi ketentuan kerahasiaan Bank sesuai peraturan yang berlaku. Perwujudan dari pemikiran tersebut hanya dapat
dilaksanakan apabila Bank dalam melakukan aktivitasnya senantiasa menerapkan prinsip-prinsip GCG meliputi :
1. Transparansi (transparency) atau keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan.
2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pengelolaan manajerial berjalan secara efektif.
3. Pertanggungjawaban (responsibility) atau kesesuaian pengelolaan bank dengan peraturan perundang undangan yang
berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.
4. Independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.
5. Kewajaran (fairness) adalah keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan
perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun, dengan beragam interpretasi dan pengertian yang dikemukakan oleh cendekia maupun praktisi perbankan
yang ada, sebenarnya inti dan pesan Good Corporate Governance atau tatakelola perusahaan yang baik adalah
“transparansi”, “moral” dan “etika” yang disertai dengan kepatutan dan kerangka hukum.
Good Corporate Governance adalah suatu tata kelola Bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan
(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan
kewajaran (fairness)
Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan usahanya pada
seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
Pelaksanaan prinsip-prinsip Good Corporate Governance sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang harus
diwujudkan dalam: a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi; b. kelengkapan dan
pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern bank; c. penerapan
fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal; d. penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian
intern; e. penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar; f. rencana strategis Bank; g. transparansi
kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Kualitas penerapan GCG sesuai hasil pengamatan memiliki rata-rata nilai komposit sebesar 1.55-2.20 yang masuk
kedalam kategori “Baik” atau peringkat kedua. Artinya kualitas penerapan GCG pada BUS telah sesuai dengan 11
indikator yang telah ditetapkan Bank Indonesia melalui peraturan No. 11/33/PBI/2009 mengenai pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah. 2. Secara parsial pengaruh kualitas GCG terhadap kinerja keuangan,
disimpulkan sebagai berikut: a. Kualitas penerapan GCG berpengaruh positif signifikan terhadap CAR. b. Kualitas
penerapan GCG berpengaruh positif signifikan terhadap NPF. c. Kualitas penerapan GCG berpengaruh negatif signifikan
terhadap ROA. d. Kualitas penerapan GCG berpengaruh negatif signifikan terhadap ROE
3. HASIL
Bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang
organisasi termasuk pada saat penyusunan visi, misi, rencana strategis, pelaksanaan kebijakan dan langkah-langkah
pengawasan internal. Cakupan penerapan prinsip-prinsip GCG dimaksud paling kurang harus diwujudkan dalam:
1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
2. Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern
bank;
3. Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan auditor eksternal;
4. Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian intern;
5. Penyediaan dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
6. Rencana strategis Bank;
7. Transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Bank.
Mengingat tujuan pelaksanaan GCG adalah untuk memberikan nilai perusahaan yang maksimal bagi para
Stakeholder maka prinsip-prinsip GCG tersebut harus juga diwujudkan dalam hubungan Bank dengan para
Stakeholder. Secara singkat cakupan penerapan GCG tersebut diuraikan sebagai berikut:
Tanpa adanya Good Corporate Governance (GCG) yang efektif bank syariah akan sulit bisa memperkuat posisi,
memperluas jaringan dan menunjukkan kinerjanya dengan lebih efektif. Kebutuhan bank syariah akan Good Corporate
Governance (GCG) menjadi sangat serius seiring dengan makin kompleksnya masalah yang dihadapi dimana
permasalahan itu akan mengikis kemampuan bank dalam menghadapi tantangan dalam jangka penjang dengan demikian
itu merupakan suatu keharusan bagi bank syariah untuk memakai semua ukuran yang dapat membantu meningkatkan
perannya (Chapra dan Ahmed, 2008: 13).
2. Dewan Komisaris
Jumlah anggota dewan Komisaris paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi. Paling kurang 1 (satu) orang
anggota dewan Komisaris wajib berdomisili di Indonesia. Dewan Komisaris terdiri dari Komisaris dan Komisaris
Independen dan paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris adalah Komisaris
Independen.
3. Direksi
Direksi dipimpin oleh Direktur Utama dan wajib berasal dari pihak yang independen terhadap pemegang saham
pengendali. Penilaian independensi didasarkan pada keterkaitan yang bersangkutan pada kepengurusan, kepemilikan
dan/atau hubungan keuangan, serta hubungan keluarga dengan pemegang saham pengendali. Setiap usulan penggantian
dan/atau pengangkatan anggota Direksi oleh Dewan Komisaris kepada Rapat Umum Pemegang Saham, harus
memperhatikan rekomendasi Komite Remunerasi dan Nominasi.
Mayoritas anggota Direksi paling kurang memiliki pengalaman 5 (lima) tahun di bidang operasional sebagai
Pejabat Eksekutif bank (tidak termasuk Bank Perkreditan Rakyat). Setiap anggota Direksi harus memenuhi persyaratan
telah lulus Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
4. Komite-Komite
Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris dibantu oleh
sekurang-kurangnya:
a. Komite Audit;
b. Komite Pemantau Risiko;
c. Komite Remunerasi dan Nominasi.
Komite tersebut wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite.
5. Satuan Kerja Kepatuhan
Satu orang direktur ditunjuk yang membawahkan fungsi kepatuhan dengan berpedoman pada persyaratan dan tata cara
sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum, dan membantuk satuan kerja
kepatuhan (compliance unit) yang independen terhadap satuan kerja operasional.
6. Satuan Kerja Audit Intern
Dalam rangka pelaksanaan fungsi audit intern secara efektif, Bank wajib membentuk satuan kerja audit intern yang
independen terhadap satuan kerja operasional. Penerapan fungsi audit intern secara efektif dengan berpedoman pada
persyaratan dan tata cara sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai penugasan direktur kepatuhan (compliance
director) dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum. Satuan kerja audit intern menyusun dan
mengkinikan pedoman kerja serta sistem dan prosedur, sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai penugasan
direktur kepatuhan (compliance director) dan penerapan standar pelaksanaan fungsi audit intern bank umum.
7. Audit Ekstern
Menunjuk akuntan publik dan kantor akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan audit
laporan keuangan Bank. Penunjukan akuntan publik dan kantor akuntan publik wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan RUPS berdasarkan usulan yang diajukan oleh Dewan Komisaris sesuai rekomendasi komite audit.
Penunjukan akuntan publik dan kantor akuntan publik wajib memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
Transparansi dan Publikasi Laporan Bank dan ketentuan yang mengatur mengenai penggunaan jasa akuntan publik dan
kantor akuntan publik.
8. Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pembentukan Satuan Kerja Manajemen risiko dengan menerapkan manajemen risiko secara efektif, yang disesuaikan
dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha serta kemampuan Bank dengan berpedoman pada
persyaratan dan tata cara sebagaimana dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penerapan manajemen risiko
bagi bank umum.
9. Stakeholders
Semua pihak di dalam masyarakat, baik itu individu, komunitas atau kelompok masyarakat, yang memiliki hubungan dan
kepentingan terhadap bank dan isu/ permasalahan yang sedang diangkat.
b. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Pengurus (Direksi, Dewan Komisaris dan Komite-Komite)
1. Direksi
Nomor 55 /POJK.03/2016 tentang penerapan tata kelola bagi Bank Umum BAB II Bagian Kedua Tugas dan Tanggung
Jawab Direksi
Pasal 10
(1) Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan kepengurusan Bank.
(2) Direksi wajib mengelola Bank sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab Direksi sebagaimana diatur dalam
anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11 Direksi wajib menerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola yang baik dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh
tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 12 Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari satuan kerja audit intern Bank, auditor ekstern,
hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan otoritas lain.
Pasal 13 Dalam rangka menerapkan prinsip Tata Kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Direksi paling
sedikit wajib membentuk: a. satuan kerja audit intern; b. satuan kerja manajemen risiko dan komite manajemen risiko;
dan c. satuan kerja kepatuhan.
Pasal 14 Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas kepada pemegang saham melalui RUPS. - 9 –
Pasal 15 Direksi wajib mengungkapkan kepada pegawai mengenai kebijakan Bank yang bersifat strategis di bidang
kepegawaian.
Pasal 16 (1) Direksi dilarang menggunakan penasihat perorangan dan/atau jasa profesional sebagai konsultan. (2)
Penggunaan penasihat perorangan dan/atau jasa profesional sebagai konsultan dapat dilakukan dalam hal memenuhi
persyaratan: a. untuk proyek bersifat khusus; b. didasarkan pada kontrak kerja yang jelas; dan c. merupakan Pihak
Independen dan memiliki kualifikasi untuk mengerjakan proyek yang bersifat khusus sebagaimana dimaksud dalam huruf
a.
Pasal 17 Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan, dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris.
Pasal 18 (1) Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Direksi. (2)
Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib mencantumkan: a. pengaturan
etika kerja; b. waktu kerja; dan c. pengaturan rapat.
Pasal 19 Keputusan Direksi yang diambil sesuai dengan pedoman dan tata tertib kerja mengikat dan menjadi tanggung
jawab seluruh anggota Direksi.
2. Dewan Komisaris
Nomor 55 /POJK.03/2016 tentang penerapan tata kelola bagi Bank Umum BAB III Bagian Kedua Tugas dan Tanggung
Jawab Dewan Komisaris
Pasal 30 Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara independen.
Pasal 31 (1) Dewan Komisaris wajib memastikan penerapan Tata Kelola yang baik terselenggara dalam setiap kegiatan
usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Dewan Komisaris
wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi serta memberikan nasihat
kepada Direksi. - 15 - (3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris
wajib mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis Bank. (4) Dalam melaksanakan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dewan Komisaris dilarang ikut serta dalam pengambilan keputusan
kegiatan operasional Bank, kecuali: a. penyediaan dana kepada pihak terkait sebagaimana diatur dalam ketentuan
mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum; dan b. hal-hal lain yang ditetapkan dalam anggaran dasar Bank
atau peraturan perundang-undangan. (5) Pengambilan keputusan kegiatan operasional Bank oleh Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan bagian dari tugas pengawasan oleh Dewan Komisaris sehingga tidak
meniadakan tanggung jawab Direksi atas pelaksanaan kepengurusan Bank.
Pasal 32 Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari
satuan kerja audit intern Bank, auditor ekstern, hasil pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau hasil pengawasan
otoritas lain.
Pasal 33 Dewan Komisaris wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
ditemukan: a. pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan; dan/atau b. keadaan atau
perkiraan keadaan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank.
Pasal 34 (1) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab, Dewan Komisaris wajib
membentuk paling sedikit: a. komite audit; b. komite pemantau risiko; dan c. komite remunerasi dan nominasi. (2) Dewan
Komisaris dapat membentuk komite remunerasi dan komite nominasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c secara
terpisah. (3) Pengangkatan anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Direksi
berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. (4) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah
dibentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjalankan tugas secara efektif. (5) Komite sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyusun pedoman dan tata tertib kerja komite.
Pasal 35 (1) Dewan Komisaris wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap
anggota Dewan Komisaris. (2) Pedoman dan tata tertib kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib
mencantumkan: a. pengaturan etika kerja; b. waktu kerja; dan c. pengaturan rapat.
Pasal 36 Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab
secara optimal.
3. Komite-komite
Nomor 55 /POJK.03/2016 tentang penerapan tata kelola bagi Bank Umum. Pada Bab IV bagian kesatu terdapat bagian
tentang Komite, diantaranya:
Pasal 41
1) Komite audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a beranggotakan paling sedikit: a. 1 (satu) orang
Komisaris Independen; b. 1 (satu) orang dari Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan atau
akuntansi; dan c. 1 (satu) orang dari Pihak Independen yang memiliki keahlian di bidang hukum atau perbankan.
2) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh Komisaris Independen merangkap sebagai anggota.
3) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4) Komisaris Independen dan Pihak Independen yang menjadi anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit berjumlah 51% (lima puluh satu persen) dari jumlah anggota komite audit.
5) Anggota komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki integritas, akhlak, dan moral yang baik.
c. Kinerja Keuangan
Pada dasarnya pengukuran kinerja keuangan perbankan tidak berbeda dengan pengukuran kinerja perusahaan pada
umumnya. Kinerja keuangan bank merupakan gambaran kondisi keuangan bank pada suatu periode tertentu baik
menyangkut aspek penghimpunan dana maupun penyaluran dana yang biasanya diukur dengan indikator kecukupan
modal, likuiditas, dan profitabilitas.
Dalam UU RI No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan disebutkan bahwa Bank Indonesia berhak untuk menetapkan
ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas,
solvabilitas, dan aspek lain yang berkaitan dengan usaha bank (Minan 2008 dalam Nizamulloh 2014: 45).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan menurut Hastuti (2005 : 12), antara lain sebagai
berikut:
1. Terkonsentrasi atau tidak terkonsentrasinya kepemilikan Kepemilikan yang banyak terkonsentrasi oleh institusi akan
memudahkan pengendalian sehingga akan meningkatkan kinerja perusahaan, pengendalian sehingga akan
meningkatkan kinerja perusahaan.
2. Manipulasi laba
Manipulasi laba merupakan upaya manajemen untuk mengubah laporankeuangan yang bertujuan menyesatkan
pemegang saham yang ingin mengetahui kinerja perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil kontraktual yang
mengandalkan angka-angka akuntansi yang dilaporkannya.
3. Pengungungkapan laporan keuangan (Disclosure)
Disclosure sebagai salah satu aspek Good Corporate Governance diharapkan dapat menjadi dasar untuk melihat baik
tidaknya kinerja perusahaan.
Hal ini kontradiktif dengan perilaku oportunitis.
d. Return On Equity
Rasio Retrun on Equity (ROE) adalah perbandingan laba bersih setelah pajak dengan modal sendiri (equity). Rasio ROE
merupakan indikator yang amat penting bagi para pemegang saham dan calon investor untuk mengukur kemampuan bank
dalam memperoleh laba bersih yang dikaitkan dengan pembayaran deviden. Semakin besar rasio ini menunjukkan
kemampuan modal disetor bank dalam menghasilkan laba pemegang saham semakin besar (Zamani dan Moeljadi, 2012:
6).
Kusuma (2008) menyatakan apabila Good Corporate Governance (GCG) tercapai, maka kinerja keuangan perusahaan
tersebut akan semakin meningkat. Penerapan Good Corporate Governance (GCG)membawa manfaat besar bagi
perusahaan. Perusahaan yang menerapkan Good Corporate Governance (GCG) dengan baik akan memiliki kinerja
operasional yang baik pula. Hal ini karena manfaat Good Corporate Governance (GCG)yakni terciptanya proses
pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan, serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholder.
Pengaruh Good Corporate Governance (GCG) terhadap ROE di Bank Syariah. Variabel Terikat (Dependent) yang
digunakan adalah ROE sedangkan variabel Bebas (Independent) adalah Good Corporate Governance (GCG). Bobot
penilaian Good Corporate Governance (GCG) pada surat edaran Bank Indonesia tahun 2007 adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Bobot Penilaian Good Corporate Governance (GCG)
No . Faktor Bobot (%)
1 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris 10,00%
2 Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi 20,00%
3 Kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite 10,00%
4 Penanganan benturan kepentingan 10,00%
5 Penerapan fungsi kepatuhan 5,00%
6 Penerapan fungsi audit intern 5,00%
7 Penerapan fungsi audit eksternal 5,00%
8 Penerapan manajemen risiko termasuk sistem pengendalian intern 7,50%
4. KESIMPULAN
Kualitas penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap NIM. f. Kualitas penerapan GCG tidak berpengaruh terhadap FDR.
g. Kualitas penerapan GCG berpengaruh positif signifikan terhadap BOPO. Dapat disimpulkan, berdasarkan hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa H1, H2, dan H7 terbukti, sedangkan H3, H4, H5, dan H6 tidak terbukti. Saran
Tentunya sebuah penelitian ingin memberikan kontribusi bagi objek penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan
secara umum. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diharapkan bank umum syariah mampu
mempertahankan prestasi yang telah dicapai dalam penerapan good corporate governance. Penerapan GCG bisa
terlaksana lebih baik untuk periode selanjutnya guna meningkatkan performa bank baik dari aspek operasional atau aspek
keuangan khususnya dalam peningkatan profitabilitas bank umum syariah. Keterbatasan Dalam sebuah penelitian
tentunya terdapat keterbatasan penelitian. Hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya untuk
lebih mengembangkannya. 1. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini hanya kualitas penerapan GCG.
Diharapkan untuk penelitian selanjutnya bisa menambah jumlah variabel independen yang secara teoritis bisa
mempengaruhi kinerja keuangan. 2. Penerapan GCG tidak hanya berlaku pada bank umum syariah, namun seluruh bank
umum telah menerapkan aturan ini di Indonesia. Pada peneliti selanjutnya bisa membandingkan bagaimana penerapan
GCG dari aspek syariah dan konvensional.
.
DAFTAR PUSTAKA
Arthesa, Ade dan Edia Handiman, Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank, Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia, 2006
Dewan Syariah Nasional MUI. 14 April 2014. Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Jakarta, penerbit Erlangga).
Gieseche, K., Credit risk modelling and valuation: An introduction, Credit Risk. Models andManagement, Vol. 2, Cornell University,
London, 2004
Kasmir. 2010. Manajemen Perbankan. (Jakarta: Rajawali Pers)
POJK no.65/ POJK 03/2016
Rivai, Veithzal dan Andria Permata Veithzal, Credit Management Handbook: Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis
Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010, hal: 814-823
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No.10/SEOJK.03/2019 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi BPRS
UU RI No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan.
Undang-undang Perbankan Syariah No.21 tahun 2008.
Yaniar Wineta Pratiwi, Dwiatmanto, Maria Goretti Wi Endang NP, Analisis Manajemen Resiko untuk Meminimalisir Kredit Modal
Kerj Bermasalah, Jurnl Administrasi Bisnis, Vol. 38, No. 1 September 2016, hal: 159-160