Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Rumah Sakit

a. Definisi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

58 Tahun 2014 pasal 1 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah

Sakit, rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang

menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna

yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Rumah sakit adalah tempat menyelenggarakan setiap kegiatan untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan

derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Rumah sakit dapat

dipandang sebagai suatu struktur terorganisasi yang menggabungkan

bersama-sama semua profesi kesehatan, fasilitas diagnostic dan terapi,

alat perbekalan serta fasilitas fisik ke dalam suatu sistem terkoordinasi

untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat (Siregar dan

Amalia, 2003).

b. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 pasal 4 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai tugas

memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yaitu

7
8

pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan

rehabilitatif.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 pasal 5 tentang rumah sakit, rumah sakit mempunyai fungsi sebagai

berikut:

1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan

sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui

pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai

kebutuhan medis.

3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia

dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan

kesehatan.

4) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

kesehatan.

c. Klasifikasi dan Struktur Organisasi Rumah Sakit

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit,

berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, Rumah Sakit Umum

diklasifikasikan menjadi :
9

1) Rumah sakit umum kelas A adalah rumah sakit yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)

spesialis dasar, 5 (lima) spesialis penunjang medik, 12 (dua belas)

spesialis lain dan 13 (tiga belas) sub spesialis.

2) Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)

spesialis dasar, 4 (empat) spesialis penunjang medik, 8 (delapan)

spesialis lainnya dan 2 (dua) sub spesialis dasar.

3) Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat)

spesialis dasar dan 4 (empat) spesialis penunjang medik.

4) Rumah sakit umum kelas D adalah rumah sakit yang mempunyai

fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua)

spesialis dasar.

d. Struktur Organisasi Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 pasal 33 tentang rumah sakit, setiap rumah sakit harus memiliki

organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel. Organisasi rumah sakit

paling sedikit terdiri atas kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit,

unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis,

komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan

keuangan.
10

e. Tim Farmasi dan Terapi

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 Tahun 2014 tentang

Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, dalam pengorganisasian

Rumah Sakit dibentuk Tim Farmasi dan Terapi (TFT) yang merupakan

unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan rumah sakit

mengenai kebijakan penggunaan obat di rumah sakit yang anggotanya

terdiri dari dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di rumah

sakit, apoteker instalasi farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila

diperlukan. TFT harus dapat membina hubungan kerja dengan komite

lain di dalam rumah sakit yang berhubungan atau berkaitan dengan

penggunaan obat.

Ketua TFT dapat dipimpin oleh seorang dokter atau seorang

apoteker, apabila dipimpin oleh dokter maka sekretarisnya adalah

apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya

adalah dokter. TFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2

(dua) bulan sekali dan untuk Rumah Sakit besar rapat diadakan sekali

dalam satu bulan. Rapat TFT dapat mengundang pakar dari dalam

maupun dari luar Rumah Sakit yang dapat memberikan masukan bagi

pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian atau

pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT.


11

1) Tugas Tim Farmasi dan Terapi

Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 tahun

2014 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, tugas

panitia farmasi dan terapi sebagai berikut:

a) Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di Rumah

Sakit.

b) Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam

formularium Rumah Sakit.

c) Mengembangkan standar terapi.

d) Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat.

e) Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat

yang rasional.

f) Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak

dikehendaki.

g) Mengkoordinir penatalaksanaan medication error.

h) Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat

di Rumah Sakit.

2. Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit di suatu rumah

sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang

apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan kompeten secara profesional dan merupakan tempat atau


12

penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta

pelayanan kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup

perencanaan, pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan atau

sediaan farmasi, dispensing obat, pengendalian mutu, pengendalian distribusi

dan penggunaan seluruh perbekalan kesehatan di rumah sakit serta pelayanan

farmasi klinik (Siregar dan Amalia, 2003).

a. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah

sakit, pengorganisasian instalasi farmasi rumah sakit harus mencakup

penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan manajemen mutu, dan

bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan dengan tetap menjaga

mutu.

b. Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit,

tugas instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) sebagai berikut:

1) Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi

seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang optimal dan

profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi.

2) Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan efisien.
13

3) Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna

memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan

risiko.

4) Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) serta

memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.

5) Berperan aktif dalam Tim Farmasi Dan Terapi (TFT).

6) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan

pelayanan kefarmasian.

7) Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan

formularium rumah sakit.

Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagai berikut:

1) Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai.

a) Memilih sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai sesuai kebutuhan pelayanan Rumah Sakit.

b) Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai secara efektif, efisien dan optimal.

c) Mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat

sesuai ketentuan yang berlaku.


14

d) Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di

Rumah Sakit.

e) Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang

berlaku.

f) Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan

kefarmasian.

g) Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai ke unit-unit pelayanan di Rumah Sakit.

h) Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu.

i) Melaksanakan pelayanan obat “unit dose” atau dosis sehari.

j) Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai (apabila sudah

memungkinkan).

k) Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait

dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai.

l) Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat

digunakan.
15

m) Mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai.

n) Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai.

2) Pelayanan farmasi klinik

a) Mengkaji dan melaksanakan pelayanan resep atau permintaan

obat.

b) Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan obat.

c) Melaksanakan rekonsiliasi obat.

d) Memberikan informasi dan edukasi penggunaan obat baik

berdasarkan resep maupun obat non resep kepada pasien atau

keluarga pasien.

e) Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait

dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai.

f) Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan

lain.

g) Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya.

h) Melaksanakan Pemantauan Terapi Obat (PTO).

i. Pemantauan efek terapi obat.

ii. Pemantauan efek samping obat.

iii. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).


16

i) Melaksanakan Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).

j) Melaksanakan dispensing sediaan steril.

i. Melakukan pencampuran obat suntik.

ii. Menyiapkan nutrisi parenteral.

iii. Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik.

iv. Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak

stabil.

k) Melaksanakan Pelayanan Informasi Obat (PIO) kepada tenaga

kesehatan lain, pasien atau keluarga, masyarakat dan institusi di

luar Rumah Sakit.

l) Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

c. Sumber Daya Manusia Instalasi Farmasi Rumah Sakit

Instalasi Farmasi harus memiliki apoteker dan tenaga teknis

kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain

agar tercapai sasaran dan tujuan Instalasi Farmasi Rumah Sakit.

Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian

(TTK) di rumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan klasifikasi dan

perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh menteri (Permenkes RI,

2014).

Uraian tugas tertulis dari masing-masing staf Instalasi Farmasi harus

ada dan sebaiknya dilakukan peninjauan kembali paling sedikit setiap

tiga tahun sesuai kebijakan dan prosedur di Instalasi Farmasi Rumah

Sakit (Permenkes RI, 2014).


17

1) Kualifikasi Sumber Daya Manusia (SDM)

Berdasarkan pekerjaan yang dilakukan, kualifikasi SDM

Instalasi Farmasi diklasifikasikan sebagai berikut (Permenkes RI,

2014) :

a) Untuk pekerjaan kefarmasian terdiri dari apoteker dan Tenaga

Teknis Kefarmasian (TTK).

b) Untuk pekerjaan penunjang terdiri dari operator komputer atau

teknisi yang memahami kefarmasian, tenaga administrasi dan

pekarya atau pembantu pelaksana.

Untuk menghasilkan mutu pelayanan yang baik dan aman,

maka dalam penentuan kebutuhan tenaga harus mempertimbangkan

kompetensi yang disesuaikan dengan jenis pelayanan, tugas, fungsi,

wewenang dan tanggung jawabnya (Permenkes RI, 2014).

2) Persyaratan SDM

Pelayanan Kefarmasian harus dilakukan oleh apoteker dan

Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Tenaga Teknis Kefarmasian

(TTK) yang melakukan pelayanan kefarmasian harus di bawah

supervisi apoteker (Permenkes RI, 2014).

Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) harus

memenuhi persyaratan administrasi seperti yang telah ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (Permenkes RI,

2014).
18

Ketentuan terkait jabatan fungsional di Instalasi Farmasi

Rumah Sakit (IFRS) diatur menurut kebutuhan organisasi dan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku (Permenkes RI, 2014).

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) harus dikepalai oleh

seorang apoteker yang merupakan apoteker penanggung jawab

seluruh pelayanan kefarmasian di rumah sakit. Kepala Instalasi

Farmasi Rumah Sakit diutamakan telah memiliki pengalaman

bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga) tahun

(Permenkes, 2014).

d. Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit

1) Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai.

Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di Rumah Sakit

yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan perbekalan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan

ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan

keamanannya. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai merupakan suatu siklus kegiatan, dimulai

dari pemilihan, perencanaan kebutuhan, pengadaan, penerimaan,

penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan,

pengendalian, dan administrasi yang diperlukan bagi kegiatan

Pelayanan Kefarmasian (Permenkes RI, 2014).


19

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir dan

menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan

kendali biaya. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa

pengelolaan alat kesehatan, sediaan farmasi, dan bahan medis habis

pakai di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem

satu pintu. Alat Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi

sistem satu pintu berupa alat medis habis pakai/peralatan non

elektromedik, antara lain alat kontrasepsi IUD, alat pacu jantung,

implan, dan stent (Permenkes RI, 2014).

Sistem satu pintu adalah satu kebijakan kefarmasian termasuk

pembuatan formularium, pengadaan, dan pendistribusian sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang bertujuan

untuk mengutamakan kepentingan pasien melalui instalasi farmasi

rumah sakit. Semua sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai yang beredar di Rumah Sakit merupakan tanggung

jawab Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), sehingga tidak ada

pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi

Farmasi Rumah Sakit (Permenkes RI, 2014).

Kebijakan pengelolaan sistem satu pintu, Instalasi Farmasi

sebagai satu-satunya penyelenggara pelayanan kefarmasian,


20

sehingga rumah sakit akan mendapatkan manfaat dalam hal

(Permenkes RI, 2014):

a) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penggunaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.

b) Standarisasi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai.

c) Penjaminan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai.

d) Pengendalian harga sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai.

e) Pemantauan terapi obat.

f) Penurunan risiko kesalahan terkait penggunaan sediaan farmasi,

alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai (keselamatan

pasien).

g) Kemudahan akses data sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai yang akurat.

h) Peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit dan citra Rumah

Sakit.

i) Peningkatan pendapatan rumah sakit dan peningkatan

kesejahteraan pegawai.

Rumah sakit harus menyusun kebijakan terkait manajemen

pengunaan obat yang efektif. Kebijakan tersebut harus ditinjau ulang

sekurang-kurangnya sekali setahun. Peninjauan ulang sangat


21

membantu rumah sakit memahami kebutuhan dan prioritas dari

perbaikan sistem mutu dan keselamatan penggunaan obat yang

berkelanjutan (Permenkes RI, 2014).

Rumah Sakit perlu mengembangkan kebijakan pengelolaan

obat untuk meningkatkan keamanan, khususnya obat yang perlu

diwaspadai (high-alert medication). High-alert medication adalah

obat yang harus diwaspadai karena sering menyebabkan terjadi

kesalahan/kesalahan serius (sentinel event) dan obat yang berisiko

tinggi menyebabkan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan (ROTD).

Kelompok Obat high-alert diantaranya (Permenkes RI, 2014):

a) Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip Nama Obat

Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM) atau Look Alike Sound Alike

(LASA).

b) Elektrolit konsentrasi tinggi (misalnya kalium klorida 2meq/ml

atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat

dari 0,9%, dan magnesium.

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai, meliputi (Permenkes RI, 2014):

a) Pemilihan

Pemilihan adalah kegiatan untuk mcenetapkan jenis

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai.


22

b) Perencanaan

Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk

menentukan jumlah dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai sesuai dengan hasil

kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat

jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien.

Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan

obat dengan menggunakan metode yang dapat

dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah

ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi

metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan

anggaran yang tersedia. Pedoman perencanaan harus

mempertimbangkan:

i. Anggaran yang tersedia.

ii. Penetapan prioritas.

iii. Sisa persediaan.

iv. Data pemakaian periode yang lalu.

v. Waktu tunggu pemesanan.

vi. Rencana pengembangan.

c) Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk

merealisasikan perencanaan kebutuhan. Pengadaan yang efektif

harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat


23

dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.

Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai

dari pemilihan, penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian

antara kebutuhan dan dana, pemilihan metode pengadaan,

pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan

proses pengadaan, dan pembayaran.

Untuk memastikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai sesuai dengan mutu dan spesifikasi

yang dipersyaratkan maka jika proses pengadaan dilaksanakan

oleh bagian lain di luar instalasi farmasi harus melibatkan tenaga

kefarmasian.

Pengadaan dapat dilakukan melalui:

i. Pembelian.

ii. Produksi sediaan farmasi.

iii. Sumbangan atau dropping atau hibah.

d) Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin

kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan

dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan

kondisi fisik yang diterima. Semua dokumen terkait penerimaan

barang harus tersimpan dengan baik.


24

e) Penyimpanan

Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu

dilakukan penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian.

Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian

yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,

sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.

Sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai yang harus disimpan terpisah yaitu:

i. Bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api

dan diberi tanda khusus bahan berbahaya.

ii. Gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi

penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis

gas medis. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah

dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung

gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi

keselamatan.

Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas

terapi, bentuk sediaan, dan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan,

dan bahan medis habis pakai dan disusun secara alfabetis

dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan


25

First In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen.

Penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai yang penampilan dan penamaan yang mirip (LASA,

Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan harus

diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan

pengambilan obat.

Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi

penyimpanan Obat emergensi untuk kondisi kegawat daruratan.

Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan terhindar dari

penyalahgunaan dan pencurian.

f) Pendistribusian

Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam

rangka menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai dari tempat

penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien dengan tetap

menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.

Rumah Sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat

menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di unit

pelayanan.
26

Sistem distribusi di unit pelayanan dapat dilakukan dengan

cara:

i. Sistem persediaan lengkap di ruangan (floor stock).

ii. Sistem resep perorangan.

iii. Sistem unit dosis.

iv. Sistem kombinasi.

g) Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai

Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang tidak dapat

digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemusnahan dilakukan untuk sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai bila:

i. Produk tidak memenuhi persyaratan mutu.

ii. Telah kadaluwarsa.

iii.Tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan

kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan.

iv. Dicabut izin edarnya.

Tahapan pemusnahan obat terdiri dari:

i. Membuat daftar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai yang akan dimusnahkan.

ii. Menyiapkan berita acara pemusnahan.


27

iii. Mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan

kepada pihak terkait.

iv. Menyiapkan tempat pemusnahan.

v. Melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk

sediaan serta peraturan yang berlaku.

Penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai dilakukan terhadap produk yang izin edarnya

dicabut oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai dilakukan oleh BPOM atau pabrikan asal. Rumah

Sakit harus mempunyai sistem pencatatan terhadap kegiatan

penarikan.

h) Pengendalian

Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah

persediaan dan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai. Pengendalian penggunaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat

dilakukan oleh Instalasi Farmasi harus bersama dengan Tim

Farmasi dan Terapi (TFT) di Rumah Sakit.

Cara untuk mengendalikan persediaan sediaan farmasi,

alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai adalah:

i. Melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow

moving)
28

ii. Melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam

waktu tiga bulan berturut-turut (death stock)

iii. Stock opname yang dilakukan secara periodik dan berkala.

i) Administrasi

Administrasi harus dilakukan secara tertib dan

berkesinambungan untuk memudahkan penelusuran kegiatan

yang sudah berlalu. Kegiatan administrasi terdiri dari pencatatan

dan pelaporan, administrasi keuangan dan administrasi

penghapusan.

2) Pelayanan farmasi klinik

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di

Rumah Sakit bahwa pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan

langsung yang diberikan Apoteker kepada pasien dalam rangka

meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya

efek samping karena obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient

safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.

a) Pengkajian dan Pelayanan Resep

Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan

ketersediaan, pengkajian resep, penyiapan sediaan farmasi, alat

kesehatan, dan bahan medis habis pakai termasuk peracikan

obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi.

Pada setiap tahap alur pelayanan resep dilakukan upaya


29

pencegahan terjadinya kesalahan pemberian obat (medication

error).

b) Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat

Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses

untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh obat atau

sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat

pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam

medic atau pencatatan penggunaan obat pasien.

c) Rekonsiliasi Obat

Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan

instruksi pengobatan dengan obat yang telah didapat pasien.

Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan

obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi,

kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan obat (medication

error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah

sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada

pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer

dan sebaliknya.

d) Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan

penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang

independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang

dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat,


30

profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar

Rumah Sakit.

e) Konseling

Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat

atau saran terkait terapi obat dari apoteker (konselor) kepada

pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan

maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan

atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau

keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan

kepercayaan pasien dan atau keluarga terhadap apoteker.

f) Visite

Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat

inap yang dilakukan apoteker secara mandiri atau bersama tim

tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara

langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi

obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan

terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada

dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.

Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar

rumah sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan

program rumah sakit yang biasa disebut dengan pelayanan

kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).


31

Sebelum melakukan kegiatan visite Apoteker harus

mempersiapkan diri dengan mengumpulkan informasi mengenai

kondisi pasien dan memeriksa terapi obat dari rekam medik atau

sumber lain.

g) Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses

yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang

aman, efektif dan rasional bagi pasien. Tujuan PTO adalah

meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko

Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).

h) Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan

kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak

dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada

manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek

samping obat adalah reaksi obat yang tidak dikehendaki yang

terkait dengan kerja farmakologi.

i) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program

evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan

berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.


32

j) Dispensing Sediaan Steril

Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi

Farmasi Rumah Sakit dengan teknik aseptik untuk menjamin

sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari

paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan

pemberian obat.

3. Perencanaan

Perencanaan adalah proses untuk merumuskan sasaran dan menentukan

langkah-langkah yang harus dilaksanakan dalam mencapai tujuan yang telah

ditentukan (Febriawati, 2013).

Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah

dan periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin

terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien

(Permenkes RI, 2014).

Perencanaan yang baik menuntut adanya monitoring, evaluasi dan

reporting yang memadai dan berfungsi sebagai umpan balik untuk tindakan

pengendalian terhadap devisi yang terjadi (Febriawati, 2013).

Manfaat perencanaan yaitu (Dirjen, 2010):

a. Menghindari tumpang tindih penggunaan anggaran.

b. Keterpaduan dalam evaluasi, penggunaan dan perencanaan.

c. Kesamaan presepsi antara pemakaian obat dan penyedia anggaran.


33

d. Estimasi kebutuhan obat lebih tepat.

e. Koordinasi antara penyedia anggaran dan pemakai obat.

f. Pemanfaatan dana pengadaan obat dapat lebih optimal.

Perencanaan ini dilakukan untuk menghindari kekosongan obat dengan

menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar

perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi,

kombinasi metode konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan

anggaran yang tersedia (Permenkes, 2014).

Dalam pembuatan perencanaan, terdapat tiga metode perencanaan

yaitu:

a. Metode konsumsi

Metode konsumsi didasarkan atas analisis data konsumsi sediaan

farmasi periode sebelumnya dengan berbagai penyesuaian dan koreksi

(Febriawati, 2013). Perencanaan kebutuhan obat berdasarkan pola

konsumsi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut (Dirjen, 2010):

1) Pengumpulan dan pengolahan data.

2) Analisis data untuk informasi dan evaluasi.

3) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat.

4) Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana.

Dalam memperoleh data kebutuhan obat yang mendekati ketepatan,

perlu dilakukan analisis trend (regresi linier) pemakaian obat tiga tahun

sebelumnya atau lebih (Dirjen, 2010).


34

Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitugan metode konsumsi

yaitu (Dirjen, 2010):

1) Daftar nama obat

2) Stok awal

3) Penerimaan

4) Pengeluaran

5) Sisa stok

6) Obat hilang, rusak dan kadaluarsa

7) Kekosongan obat

8) Pemakaian rata-rata obat per tahun

9) Waktu tunggu (lead time)

10) Stok pengaman (buffer stok)

11) Pola kunjungan

Rumus perencanaan sediaan farmasi berdasarkan metode konsumsi

(Dirjen, 2010):

AA==((BB++CC++DD))--EE

Keterangan :

A = Rencana pengadaan

B = Pemakaian rata-rata x 12 bulan

C = Buffer stock (10% - 20%)

D = Lead time 3 – 6 bulan

E = Sisa stok
35

Keunggulan metode konsumsi adalah data yang diperoleh akurat

(metode paling mudah), tidak memerlukan data penyakit (epidemiologi)

maupun standar pengobatan, jika data konsumsi dicatat dengan baik, pola

preskripsi tidak berubah dan kebutuhan relatif konstan. Kekurangan

metode konsumsi adalah data konsumsi, data obat dan data jumlah

kontak pasien kemungkinan sulit untuk didapat, tidak dapat dijadikan

dasar dalam mengkaji penggunaan obat dan perbaikan pola preskripsi,

tidak dapat diandalkan jika terjadi kekurangan stok obat lebih dari 3

bulan, obat yang berlebih atau ada obat yang hilang, pencatatan data

morbiditas yang baik tidak diperlukan (Febriawati, 2013).

b. Metode epidemiologi atau morbiditas

Metode epidemiologi didasarkan pada pola penyakit, data jumlah

kunjungan, frekuensi penyakit dan standar pengobatan yang ada

(Febriawati, 2013). Langkah-langkah dalam metode epidemiologi adalah:

memanfaatkan pedoman pengobatan, menentukan jumlah penduduk yang

akan dilayani, menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan

frekuensi penyakit dan menghitung jumlah kebutuhan obat (Dirjen,

2010).

Keunggulan metode epidemiologi adalah perkiraan kebutuhan

mendekati kebenaran, program-program yang baru dapat digunakan,

usaha memperbaiki pola penggunaan obat dapat didukung oleh standar

pengobatan. Kekurangan metode epidemiologi adalah membutuhkan

waktu dan tenaga yang terampil, data penyakit sulit diperoleh secara pasti
36

dan kemungkinan terdapat penyakit yang tidak termasuk dalam daftar

atau tidak melapor, memerlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang

baik, pola penyakit dan pola preskripsi tidak selalu sama, dapat terjadi

kekurangan obat karena ada wabah atau kebutuhan insidentil tidak

terpenuhi, variasi obat terlalu luas (Febriawati, 2013).

c. Metode kombinasi

Metode kombinasi merupakan kombinasi metode konsumsi dan

metode epidemiologi. Metode kombinasi berupa perhitungan kebutuhan

obat atau alat kesehatan yang mana telah mempunyai data konsumsi yang

jelas namun semua kasus penyakit cenderung berubah (naik atau turun)

(Febriawati, 2008).

Metode kombinasi digunakan untuk obat dan alat yang terkadang

fluktuatif, maka dapat menggunakan metode konsumsi dengan koreksi-

koreksi pola penyakit, perubahan, jenis/jumlah tindakan, perubahan pola

peresepan, perubahan kebijakan pelayanan (Febriawati, 2013).

Analisis perencanaan persediaan farmasi rumah sakit sebagai berikut:

a. Analisis ABC atau Pareto Analysis

Analisis ABC adalah mengelompokkan item barang atau obat ke

dalam tiga jenis klasifikasi berdasarkan volume tahunan dalam jumlah

uang (Febriawati, 2013). Analisis ABC merupakan metode penggolongan

berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah (Maimun,

2008).
37

Analisis ABC dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (Maimun, 2008):

1) Kelompok A adalah inventory dengan jumlah sekitar 20% dari item

tapi mempunyai nilai investasi sekitar 70% dari total nilai inventory.

2) Kelompok B adalah inventory dengan jumlah sekitar 30% dari item

tapi mempunyai nilai investasi sekitar 20% dari total nilai inventory.

3) Kelompok C adalah inventory dengan jumlah sekitar 50% dari item

tapi mempunyai nilai investasi sekitar 10% dari nilai inventory.

Tahapan-tahapan dalam analisis ABC dengan menggunakan

program Microsoft Excel yaitu (Maimun, 2008):

1) Buat daftar list semua item dan cantumkan harganya.

2) Masukkan jumlah kebutuhannya dalam periode tertentu.

3) Kalikan harga dan jumlah kebutuhan.

4) Hitung presentase harga dari masing-masing item.

5) Atur daftar list secara desending dengan nilai harga tertinggi berada

di atas.

6) Hitung presentase kumulatif dari masing-masing item terhadap total

harga.

7) Tentukan klasifikasinya A, B atau C.

Menurut Reddy (2008, dalam Simatupang, 2011) ciri-ciri masing-

masing kelompok barang sebagai berikut:

1) Kelompok A

a) Memerlukan pemantauan yang ketat, evaluasi dilakukan setiap

bulan.
38

b) Memerlukan sistem pencatatan (records) yang lengkap dan

akurat.

c) Memerlukan peninjauan secara tepat oleh pengambilan

keputusan.

2) Kelompok B

a) Memerlukan pemantauan atau pengendalian yang tidak terlalu

ketat, evaluasi dilakukan antara 3 – 6 bulan sekali.

b) Memerlukan sistem pencatatan yang cukup baik.

c) Peninjauan dilakukan secara berkala.

3) Kelompok C

a) Pemantauan atau pengendalian bisa dilakukan sangat longgar,

evaluasi dilakukan 6 bulan – 1 tahun sekali.

b) Sistem pencatatan cukup sederhana atau bahkan tidak

menggunakan sistem pencatatan.

c) Pencatatan dilakukan secara berkala dan dapat dilakukan

pemesanan kembali (re-order).

b. Analisis VEN

Metode analisis VEN merupakan pengelompokan obat berdasarkan

kepada dampak tiap jenis obat terhadap kesehatan. Semua jenis obat yang

direncanakan dikelompokan ke dalam tiga kategori, yakni (Dirjen, 2010):

1) Vital (V)

Adalah kelompok obat-obatan yang sangat esensial (vital), yang

termasuk dalam kelompok ini anatar lain: obat penyelamat (life


39

saving drugs), obat untuk pelayanan kesehatan pokok dan obat untuk

mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar.

2) Esensial (E)

Adalah kelompok obat yang bekerja kausal yaitu obat yang

bekerja pada sumber penyebab penyakit.

3) Non-esensial (N)

Adalah obat penunjang yaitu obat yang kerjanya ringan dan

biasa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk

mengatasi keluhan ringan.

c. Kombinasi ABC dan VEN

Metode kombinasi ini digunakan untuk menetapkan prioritas

pengadaan obat dimana anggaran yang tidak sesuai kebutuhan. Metode

kombinasi ini digunakan untuk melakukan pengurangan obat

(Febriawati, 2008).

d. Analisis perencanaan obat dengan metode ABC Indeks Kritis (ABC IK)

Metode ini digunakan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan

dana dengan pengelompokkan obat atau perbekalan farmasi, terutama

obat-obatan yang digunakan berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan.

Menentukan nilai indeks kritis obat yaitu:

NIK = Nilai Pakai + Nilai Investasi + (2 x Nilai Kritis)

Anda mungkin juga menyukai