Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN BRONKOPNEUMONIA

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernapasan


A. Definisi
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi (Bennete,
2013) :
1. Pneumonia lobaris
2. Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu
peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering terjadi pada
anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti
bakteri, virus, jamur dan benda asing.Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan
oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu
dipertimbangkan.Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder
terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga
sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa (Bennete, 2013).
Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai
pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di
dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya.
(Smeltzer & Suzanne C, 2002). Bronchopneomonia adalah penyebaran daerah
infeksi yang berbercak dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm mengelilingi dan
juga melibatkan bronchi.(Sylvia A. Price & Lorraine M.W, 2006).
Bronkhopneumonia adalah salah satu peradangan paru yang terjadi pada
jaringan paru atau alveoli yang biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratus
bagian atas selama beberapa hari.Yang dapat disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing lainnya. (Dep. Kes. 1996 :
Halaman 106).
Bronkopneumonia digunakan untuk menggambarkanpneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak,teratur dalam satu atau lebih area
terlokalisasi didalambronki dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di
sekitarnya. Pada bronkopneumonia terjadi konsolidasi area berbercak.
(Smeltzer,2001).
Jadi bronkopneumonia adalah radang paru terutama pada bagian bronkus
dan alveolus yang berada di sekitarnya, serta terjadi konsolidasi area berbercak,
yang sebelumnya didahului dengan adanya infeksi pada saluran pernapasan
bagian atas.

B. Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah (Bradley et.al.,
2011) :
1.      Faktor Infeksi
a) Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).
b) Pada bayi :
 Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus,
RSV,Cytomegalovirus.
 Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
 Bakteri: Streptokokus pneumoni, Haemofilus influenza,Mycobacterium
tuberculosa, Bordetella pertusis.
c) Pada anak-anak :
 Virus : Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV
 Organisme atipikal : Mycoplasma pneumonia
 Bakteri: Pneumokokus, Mycobakterium tuberculosis
d) Pada anak besar – dewasa muda :
 Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C. trachomatis
 Bakteri: Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis
2. Faktor Non Infeksi.
Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi
a) Bronkopneumonia hidrokarbon :
Terjadi oleh karena aspirasi selama penelanan muntah atau sonde
lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur, minyak tanah dan bensin).

b) Bronkopneumonia lipoid :
Terjadi akibat pemasukan obat yang mengandung minyak secara
intranasal, termasuk jeli petroleum.Setiap keadaan yang mengganggu
mekanisme menelan seperti palatoskizis,pemberian makanan dengan
posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian makanan seperti minyak ikan
pada anak yang sedang menangis.Keparahan penyakit tergantung pada
jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang yang mengandung
asam lemak tinggi bersifat paling merusak contohnya seperti susu dan
minyak ikan.
Selain faktor di atas, daya tahan tubuh sangat berpengaruh untuk
terjadinya bronkopneumonia.Menurut sistem imun pada penderita-penderita
penyakit yang berat seperti AIDS dan respon imunitas yang belum berkembang
pada bayi dan anak merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
3. Faktor Predisposisi
a. Usia
b. Genetik

4. Faktor Presipitasi
a. Gizi buruk/kurang
b. Berat badan lahir rendah (BBLR)
c. Tidak mendapatkan ASI yang memadai
d. Imunisasi yang tidak lengkap
e. Polusi udara
f. Kepadatan tempat tinggal

C. Klasifikasi
Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan,
dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli
telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti
secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011).
1. Berdasarkan lokasi lesi di paru
a) Pneumonia lobaris
b) Pneumonia interstitialis
c) Bronkopneumonia
2. Berdasarkan asal infeksi
a) Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia
= CAP)
b) Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab
a) Pneumonia bakteri
b) Pneumonia virus
c) Pneumonia mikoplasma
d) Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit
a) Pneumonia tipikal
b) Pneumonia atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit
a) Pneumonia akut
b) Pneumonia persisten

D. Tanda dan Gejala


Pneumonia khususnya bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi
saluran nafas bagian atas selama beberapa hari.
1. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C
2. Mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi.
3. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan
cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
4. Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk
setelah beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian
menjadi produktif (Bennete, 2013).
Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia khususnya
bronkopneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut (Bennete, 2013):
1. Pada inspeksi : terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan
pernapasan cuping hidung.
Tanda objektif yang merefleksikan adanya distres pernapasan adalah
 retraksi dinding dada
 penggunaan otot tambahan yang terlihat dan cuping hidung
 orthopnea
 pergerakan pernafasan yang berlawanan.
Tekanan intrapleura yang bertambah negatif selama inspirasi
melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan retraksi bagian-bagian
yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu jaringan ikat inter dan
sub kostal, dan fossae supraklavikula dan suprasternal. Kebalikannya,
ruang interkostal yang melenting dapat terlihat apabila tekanan intrapleura
yang semakin positif.Retraksi lebih mudah terlihat pada bayi baru lahir
dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan lebih lemah dibandingkan
anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda
yang paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada
infant, kontraksi otot ini terjadi akibat “head bobbing”, yang dapat
diamati dengan jelas ketika anak beristirahat dengan kepala disangga
tegal lurus dengan area suboksipital. Apabila tidak ada tanda distres
pernapasan yang lain pada “head bobbing”, adanya kerusakan sistem
saraf pusat dapat dicurigai.
Pengembangan cuping hidung adalah tanda yang sensitif akan adanya
distress pernapasan dan dapat terjadi apabila inspirasi memendek secara
abnormal (contohnya pada kondisi nyeri dada). Pengembangan hidung
memperbesar pasase hidung anterior dan menurunkan resistensi jalan
napas atas dan keseluruhan.Selain itu dapat juga menstabilkan jalan
napas atas dengan mencegah tekanan negatif faring selama inspirasi.    
2. Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan
getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi
akan berkurang.
3. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
4. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek
dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada
tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang
mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang
atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar
(tergantung dari mekanisme terjadinya).Crackles dihasilkan oleh gelembung-
gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-
tiba terbuka.
F. Patofisiologi dan Web Caution

Normalnya, saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai


parenkim paru.Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme
pertahanan anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik.Mekanisme
pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier
aparatus.Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.
Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau
bila virulensi organisme bertambah.Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian atas,
dan jarang melalui hematogen.Virus dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi
mekanisme pembersihan dan respon imun.Diperkirakan sekitar 25-75 % anak
dengan pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan konsolidasi eksudatif
jaringan ikat paru yang bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau
intersisial.Pneumonia bakteri dimulai dengan terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intra-alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi
neutrofil, yang dikenal dengan stadium hepatisasi merah.Konsolidasi jaringan
menyebabkan penurunan compliance paru dan kapasitas vital.Peningkatan aliran
darah yamg melewati paru yang terinfeksi menyebabkan terjadinya pergeseran
fisiologis (ventilation-perfusion missmatching) yang kemudian menyebabkan
terjadinya hipoksemia.  Selanjutnya desaturasi oksigen menyebabkan peningkatan
kerja jantung.
Stadium berikutnya terutama diikuti dengan penumpukan fibrin dan
disintegrasi progresif dari sel-sel inflamasi (hepatisasi kelabu).Pada kebanyakan
kasus, resolusi konsolidasi terjadi setelah 8-10 hari dimana eksudat dicerna secara
enzimatik untuk selanjutnya direabsorbsi dan dan dikeluarkan melalui
batuk.Apabila infeksi bakteri menetap dan meluas ke kavitas pleura, supurasi
intrapleura menyebabkan terjadinya empyema.Resolusi dari reaksi pleura dapat
berlangsung secara spontan, namun kebanyakan menyebabkan penebalan jaringan
ikat dan pembentukan perlekatan (Bennete, 2013).
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi.Hal ini ditandai dengan peningkatan
aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.Hiperemia ini terjadi
akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin.Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
2.    Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian
dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.
4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X : mengidentifikasi distribusi struktural; dapat juga menyatakanabses
luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atauterlokalisasi
(bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). Pneumonia
mikoplasma sinar X dada mungkin bersih.
Gambaran radiologis mempunyai bentuk difus bilateral dengan
peningkatan corakan bronkhovaskular dan infiltrat kecil dan halus yang
tersebar di pinggir lapang paru.Bayangan bercak ini sering terlihat pada lobus
bawah.

Gambar 2. Bronchopneumonia pada Anak umur 5 tahun

2. GDA : tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlibat
dan penyakit paru yang ada. Mungkin menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
3. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah : diambil dengan biopsyjarum,
aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaanparu untuk
mengatasi organisme penyebab.
4. JDL : leukositosis biasanya ada, meski sel darah putih rendah terjadipada
infeksi virus, kondisi tekanan imun memungkinkan
berkembangnyapneumonia bakterial. Infeksi virus: leukosit normal atau
meningkat (tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan limfosit predominan) dan
infeksi bakteri; leukosit meningkat 15.000-40.000/mm3 dengan neutrofil yang
predominan.
5. Pemeriksaan serologi : titer virus atu legionella, aglutinin dingin.
6. LED : meningkat
7. Pemeriksaan fungsi paru : volume mungkin menurun (kongesti dan
kolaps alveolar); tekanan jalan nafas mungkin meningkat dan komplain
menurun, hipoksemia.
8. Elektrolit : natrium dan klorida mungkin rendah
9. Bilirubin : mungkin meningkat
10. Aspirasi perkutan/biopsi jaringan paru terbuka :menyatakan intranuklear
tipikal dan keterlibatan sitoplasmik(CMV) (Doenges, 2000)

H. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 3 dari 5 gejala berikut (Bradley, et
all, 2011):
a. Sesak napas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan
dindingdada.
b. Panas badan
c. Ronki basah halus-sedang nyaring (crakles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrate difus
e. Leukositas (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm 3 dengan
limfositpredominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang
predominan)
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Keperawatan yang dapat diberikan pada klien
bronkopneumonia adalah:
1. Menjaga kelancaran pernapasan
2. Kebutuhan istirahat
3. Kebutuhan nutrisi dan cairan
4. Mengontrol suhu tubuh
5. Mencegah komplikasi atau gangguan rasa nyaman dan nyaman
Sementara Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan adalah:
1. Oksigen 2 liter/menit (sesuai kebutuhan klien)
2. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makan eksternal bertahap
melalui selang nasogastrik dengan feeding drip
3. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal
dan beta agonis untuk transpor muskusilier
4. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit (Arief
Mansjoer,2000). 
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak
terdiri dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus (IDAI, 2012;
Bradley et.al., 2011).
1.    Penatalaksaan Umum
a) Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau
PaO2pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
b) Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c) Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2. Penatalaksanaan Khusus
a) Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibioti awal.
b) Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung.
c) Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis
(di wilayah dengan angka resistensi  penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan
menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
1. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
2. Berat ringan penyakit
3. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
4. Ada tidaknya penyakit yang mendasari
Pemilihan antibiotik dalam penanganan pneumonia pada anak harus
dipertimbangkan berdasakan pengalaman empiris, yaitu bila tidak ada kuman
yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam pertama) menurut kelompok
usia.
1.    Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
a) ampicillin + aminoglikosid
b) amoksisillin - asam klavulanat
c) amoksisillin + aminoglikosid
d) sefalosporin generasi ke-3
2. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
a) beta laktam amoksisillin
b) amoksisillin-asam klavulanat
c) golongan sefalosporin
d) kotrimoksazol
e) makrolid (eritromisin)
3. Anak usia sekolah (> 5 thn)
a) amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
b) tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun).
Dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali
sampai hari ketiga.Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih
tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan
dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan
seolah-olah antibiotik tidak efektif).

J. Komplikasi
Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :
a. Atelektasis adalah pengembangan paru-paru yang tidak sempurna atau kolaps
paru merupakan akibat kurangnyamobilisasi atau refleks batuk hilang.
b. Empisema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalam rongga
pleura terdapat di satu tempat atau seluruhrongga pleura.
c. Abses paru adalah pengumpulan pus dalam jaringan paru yang meradang.
d. Infeksi sitemik
e. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial.
f. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.

K. Pencegahan Bronkopneumonia
1. Pencegahan Primer
Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak
sakit.Secara garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum
dan pencegahan khusus.
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a) Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu
kali (pada usia 9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali
(pada usia 2-11 bulan), Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan
Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan)..
b) Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi
neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
c) Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi
di luar ruangan.
d) Mengurangi kepadatan hunian rumah.

2. Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari
komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan.Pencegahan sekunder meliputi
diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya
penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :26
a) Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri
antibiotik benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif,
nilai setiap hari.
b) Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c) Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
3. Pencegahan Tersier
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a) Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b) Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses
pemberian makan.
c) Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d) Tingkatkan pemberian ASI.
e) Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
f) Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,
pernapasan menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk,
jika terdapat tanda-tanda seperti itu segera membawa anak ke petugas
kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based


Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.

Bennete M.J. 2013.Pediatric Pneumonia.


Diakses pada tanggal 21 Juli 2013
http://emedicine.medscape.com/article/967822-overview.

Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C, Kaplan
SL et all. The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants
and Children Older Than 3 Month of Age:Clinical Practice Guidelines by the
Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseas Society of
America. Clin Infect Dis. 2011; 53 (7): 617-630.

Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. 2009. Nursing Interventions


Classification (NIC) Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.

Dahlan Z. 2006. Pneumonia, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam SuyonoS.
(ed). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Departemen Kesehatan RI.1996.  Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat,
Jakarta :Depkes.

Doenges M.2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakata : EGC.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012. Panduan Pelayanan Medis Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : Penerbit IDAI.

Mansjoer A.2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ke 3 Jilid ke 2. Jakarta:


Media Aesculapius.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Martin T, Susan. 2000. Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan,


Diagnosis, Dan Evaluasi. Jakarta: EGC.

Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009.Nursing Outcome


Classification (NOC) Fourth Edition. United States of America: Mosby
Elsevier.

Nurarif AH, Kusuma H. 2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan


Diagnosa Medis, NANDA, dan NIC-NOC.Yogyakarta : Media Action.

Pearce, C. Evelyn. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.
Reevers, Charlene J, et all .2001. Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta :Salemba
Medica.

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda GB. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8.
Vol 1. Jakarta: EGC.

Smetlzer SC, Bare BG. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
dan Suddart . Jakarta: EGC,

Sylvia A. Price & Lorraine M.W. 2006.Patofisiologi konsep klinis dan proses-
proses penyakit.Jakarta: ECG.

Wiley, Blackwell. 2009. Nursing Dianoses Definition and Classification 2009-


2011. United States of America: Mosby Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai