Anda di halaman 1dari 11

Penyelidikan Geoteknik Pasca Liquifaksi Daerah Palu,

Provinsi Sulawesi Tengah.

Oleh : Jonathan Anggi Hasian


NPM : 1906433253
Universitas Indonesia
1.1 Geologi Regional Palu
Pada bagian ini akan dibahas mengenai geologi regional Palu, yang meliputi
fisiografi regional, stratigrafi regional, struktur geologi regional, dan sejarah geologi
regional.
1.1.1 Fisiografi Regional
Secara umum Hamilton (1979), Sukamto (1975a; 1975b), dan Smith (1983) telah
membagi wilayah Sulawesi ke dalam tiga bagian fisiografi (Gambar 2.1) yaitu :
1. Busur Vulkanik Neogen (Neogene Volcanic Arc), terdiri dari kompleks basement
Paleozoikum Akhir dan Mesozoikum Awal pada bagian utara dan tengahnya, batuan
melange pada awal Kapur Akhir di bagian selatan (Sukamto, 2000), sedimen flysch
berumur Kapur Akhir hingga Eosen yang kemungkinan diendapkan pada fore arc
basin (cekungan muka busur) (Sukamto, 1975a;1975c) pada bagian utara dan
selatan, volcanic arc (busur vulkanik) berumur Kapur Akhir hingga pertengahan
Eosen, sekuen batuan karbonat Eosen Akhir sampai Miosen Awal dan volcanic arc
(busur vulkanik) Miosen Tengah hingga Kuarter (Silver dkk, 1983). Batuan plutonik
berupa granitik dan diorit berumur Miosen Akhir hingga Pleistosen, sedangkan
batuan vulkanik berupa alkali dan kalk-alkali berumur Paleosen sampai Pleistosen.
Sulawesi bagian barat memiliki aktifitas vulkanik kuat yang diendapkan pada
lingkungan submarine sampai terestrial selama periode Pliosen hingga Kuarter Awal
di bagian selatan, namun pada Sulawesi Utara aktifitas vulkanik masih berlangsung
hingga saat ini.

Gambar 1.1 Pembagian jalur fisiografi Sulawesi (Smith, 1983)


2. Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi (Central Schist Belt), tersusun atas fasies
metamorfik sekis hijau dan sekis biru. Bagian barat merupakan tempat terpisahnya
antara sekis tekanan tinggi dengan sekis temperatur tinggi, genes, dan batuan granitik
(Silver dkk, 1983). Fasies sekis biru mengandung glaukofan, krosit, lawsonit, jadeit,
dan aegerine.
3. Kompleks Ofiolit (Ophiolite), merupakan jalur ofiolit dan sedimen terimbrikasi serta
molasse. Pada lengan Tenggara Sulawesi (segmen selatan) didominasi oleh batuan
ultramafik (van Bemmelen, 1970; Hamilton, 1979; dan Smith, 1983), harzburgit dan
serpentin harzburgit (Silver dkk, 1983), sedangkan pada lengan Timur Sulawesi
(segmen utara) merupakan segmen ofiolit lengkap, berupa harzburgit, gabro, sekuen
dike diabas dan basalt, yang merupakan hasil dari tumbukan antara platform Sula dan
Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Hamilton, 1979; Smith,
1983), serta batuan sedimen pelagos dan klastik yang berhubungan dengan batuan
ultramafik (Silver dkk, 1983). Berdasarkan pembagian di atas, maka daerah
penelitian terletak pada Jalur Sekis dan Batuan Terdeformasi (Central Schist Belt).
Jalur ini merupakan fasies metamorfik sekis hijau dan sekis biru yang penyebarannya
mulai dari Sulawesi Tengah memanjang hingga Sulawesi Tenggara.

1.1.2 Stratigrafi Regional


Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan umur batuan, terdapat 3 kelompok
batuan (Simandjuntak, 1983), pada daerah penelitian yaitu :
1. Batuan Malihan Kompleks Mekongga
Batuan malihan berderajat rendah (low grade metamorphic) ini merupakan batuan
alas di lengan tenggara Sulawesi. Batuan malihan kompleks Mekongga ini
diperkirakan berumur Permo-Karbon. Dan termasuk kepada batuan metamorf fasies
epidot-amfibolit. Batuan malihan ini terjadi karena adanya proses burial
metamorphism. Batuan penyusunnya berupa sekis mika, sekis kuarsa, sekis klorit,
sekis mika-amfibol, sekis grafit dan genes.
2. Kelompok Batuan Sedimen Mesozoikum
Di atas batuan malihan itu secara tak selaras menindih batuan sedimen klastika, yaitu
Formasi Meluhu dan sedimen karbonat Formasi Laonti. Keduanya diperkirakan
berumur Trias Akhir hingga Jura Awal. Formasi Meluhu tersusun dari batusabak, filit
dan kuarsit, setempat sisipan batugamping hablur. Formasi Laonti terdiri atas
batugamping hablur bersisipan filit di bagian bawahnya dan setempat sisipan
kalsilutit rijangan.
3. Kelompok Mollasa Sulawesi
Pada Neogen tak selaras di atas kedua mendala yang saling bersentuhan itu,
diendapkan Kelompok Molasa Sulawesi. Batuan jenis Molasa yang tertua di daerah
penelitian adalah Formasi Langkowala yang diperkirakan berumur akhir Miosen
Tengah. Formasi ini terdiri dari batupasir konglomerat. Formasi Langkowala
mempunyai Anggota Konglomerat yang keduanya berhubungan menjemari. Di
atasnya menindih secara selaras batuan berumur Miosen Akhir hingga Pliosen yang
terdiri dari Formasi Eemoiko dan Formasi Boepinang. Formasi Eemoiko dibentuk
oleh batugamping koral, kalkarenit, batupasir gampingan dan napal. Formasi
Boepinang terdiri atas batulempung pasiran, napal pasiran, dan batupasir. Secara tak
selaras kedua formasi ini tertindih oleh Formasi Alangga dan Formasi Buara yang
saling menjemari. Formasi Alangga berumur Pliosen, terbentuk oleh konglomerat
dan batupasir yang belum padat. Formasi Buara dibangun oleh terumbu koral,
setempat terdapat lensa konglomerat dan batupasir yang belum padat. Formasi ini
masih memperlihatkan hubungan yang menerus dengan pertumbuhan terumbu pada
pantai yang berumur Resen. Satuan batuan termuda yaitu endapan sungai, rawa, dan
kolovium.

1.1.3 Struktur Geologi Regional


Struktur geologi di Sulawesi didominasi oleh arah barat laut – tenggara yang
berupa sesar mendatar sinistral dan sesar naik (Gambar 1.2).
Sesar Palu–Koro memotong Sulawesi bagian barat dan tengah, menerus ke bagian
utara hingga ke Palung Sulawesi Utara yang merupakan batas tepi benua di Laut Sulawesi.
Jalur Sesar Palu – Koro merupakan sesar mendatar sinistral dengan pergeseran lebih dari
750 km (Tjia, 1973; Sukamto, 1975), arah gerak sesuai dengan jalur Sesar Matano dan
jalur Sesar Sorong. Sesar Sadang yang terletak di bagian barat dan sejajar dengan Sesar
Palu berada pada lengan Selatan Sulawesi, menghasilkan

Gambar 1. 2 Struktur utama di Sulawesi, Hamilton (1979)


Sesar Matano merupakan sesar mendatar sinistral berarah barat laut – timur
memotong Sulawesi Tengah dan melalui Danau Matano, merupakan kelanjutan dari Sesar
Palu ke arah timur yang kemudian berlanjut dengan prisma akresi Tolo di Laut Banda
Utara.
Sistem Sesar Lawanopo berarah barat laut – tenggara, melewati Teluk Bone dan
Sulawesi Tenggara. Sesar ini kemungkinan berperan dalam pembukaan Teluk Bone, seperti
pembukaan yang terjadi di daratan Sulawesi Tenggara yang merupakan zona sesar
mendatar sinistral Neogen. Sesar Lawanopo memisahkan mintakat benua Sulawesi
Tenggara pada lengan Tenggara Sulawesi dengan metamorf Sulawesi Tengah.
Sesar naik Batui terletak pada bagian timur lengan Timur Sulawesi, merupakan hasil
dari tumbukan platform Banggai – Sula dengan Sulawesi yang menyebabkan pergeseran
secara oblique sehingga Cekungan Gorontalo menjadi terangkat.
Kompleks Pompangeo diduga telah beberapa kali mengalami masa perlipatan.
Perlipatan tua diperkirakan berarah utara – selatan atau baratdaya – timurlaut, sedangkan
lipatan muda berarah baratlaut – tenggara atau barat – timur, serta ada pula yang berarah
hampir sama dengan lipatan tua.
Perdaunan atau foliasi juga umumnya berkembang baik dalam satuan batuan malihan
Kompleks Pompangeo dan di beberapa tempat dalam amfibolit, sekis glaukofan dan
serpentin yang tersekiskan dalam Kompleks Ultramafik. Secara umum perdaunan berarah
barat – timur dan baratlaut – tenggara. Di beberapa tempat perdaunan terlipat dan pada
jalur sesar mengalami gejala kink banding.
Belahan umumnya berupa belahan bidang sumbu dan di beberapa tempat berupa
belahan retak (fracture cleavage). Belahan retak umumnya dijumpai dalam batupasir malih
dan batugamping malih. Secara umum bidang belahan berarah sejajar atau hampir sejajar
dengan bidang perlapisan; oleh karenanya belahan ini digolongkan sebagai berjajar bidang
sumbu.
Kekar dijumpai hampir pada semua batuan, terutama batuan beku (Kompleks
Ultramafik dan Mafik), batuan sedimen malih Mesozoikum, dan batuan malihan
(Kompleks Pompangeo). Dalam batuan Neogen kekar kurang berkembang. Sejarah
pengendapan batuan di daerah Sulawesi Tenggara diduga sangat erat hubungannya dengan
perkembangan tektonik daerah Indonesia bagian timur, tempat Lempeng Samudera Pasifik,
Lempeng Benua Australia dan Lempeng Benua Eurasia saling bertumbukkan.

2.1 Daerah Terdampak Liquifaksi Palu


2.1.1 Daerah Petobo
Jenis kerusakan yang d iidentifikasi adalah gerakan tanah, yang menyebar lateral
pada sisi atas/timur (crown) di dekat saluran irigasi yang dipicu oleh gempa Palu 28
September 2019. Pergerakan lateral ini menyebabkan kerusakan pada bangunan di daerah
yang terkena likuifaksi. Kerusakan bangunan bagi karena pergeseran bangunan dan
rekahan pada dasar saluran irigasi. Ini sebagian besar disebabkan oleh pergerakan lateral
yang dipicu oleh gempa bumi. Sementara di sawah yang terkena dampak sekitar 388 ha
dimana terdapat keruntuhan lateral pada sisi atas area sawah yang hanya berjarak sekitar
beberapa meter dari saluran irigasi. Sementara di daerah bawah (barat) dari runtuhan
lateral ada likuifaksi yang besar dengan area yang luas dalam bentuk likuifaksi aliran.
Sumber muka air tanah sangat tinggi di daerah yang terkena likuifaksi ini, selain
bersumber dari infiltrasi saluran irigasi Gumbasa di atasnya, aquifer tertekan yang pecah
juga ada kemungkinan bersumber dari sungai tua yang telah tertimbun akibat
pendangkalan dan sebagian sudah dijadikan area permukiman. Ada kemungkinan air
masih mengalir di alur sungai tua ini dan memberi kontribusi pada tingginya muka air
tanah di area tersebut.

Gambar 2.1 Area likuifaksi Petobo (area sawah terkena dampak langsung 388 Ha)

2.1.2 Daerah Jono Oge


Jenis kerusakan yang diidentifikasi adalah gerakan tanah, yaitu gerakan tanah lateral
(lateral spread) di bagian atas / timur (crown) yang dipicu oleh gempa bumi. Likuifaksi
aliran terjadi ketika goncangan gempa diikuti oleh pecahnya saluran irigasi dan meluapnya
sungai, sehingga air memicu aliran debris sejauh sekitar 3,2 km. Debris dianggap berjalan
beriringan ketika massive sand boiling terjadi. Debris diperparah oleh akuifer bebas yang
telah muncul ke permukaan, lapisan tanah atas terus dialiri dan debris terus mengalir
sampai keseimbangan tercapai di ujung debris.
Luas sawah yang mengalami dampak likuifaksi sekitar 1.784 ha. Dengan kondisi
debris banyak reruntuhan berupa pasir dan kerikil dari sungai serta bahan sand boiling
berupa pasir kerikil. Sehingga banyak sawah tidak siap untuk ditanam kembali, tetapi
perawatan khusus perlu diambil, seperti pembuangan lapisan atas dan pematangan kembali
sawah. Sumber muka air tanah yang sangat tinggi sebelum gempa di daerah yang terkena
likuifaksi ini, selain bersumber dari infiltrasi saluran irigasi Gumbasa di atasnya, juga ada
kemungkinan bersumber dari sungai yang berada di sisi utara dari area likuifaksi, dimana
sungai ini ikut rusak dan memberikan andil pada aliran debris yang terjadi ketika gempa
2018.

Gambar 2.2 Area likuifaksi Jono Oge (Areal sawah terkena dampak langsung 1.788 Ha)

2.1.3 Daerah Sibalaya


Jenis kerusakan yang diidentifikasi adalah gerakan tanah, yang merupakan
penyebaran lateral yang dipicu oleh gempa bumi di area bangunan dan saluran irigasi.
Pergerakan lateral terjadi ketika goncangan gempa diikuti dengan pecahnya saluran irigasi,
sehingga air memicu aliran lateral sejauh sekitar 800m. Gerakan lateral ini terjadi di tanah
dengan kemiringan sedang dengan kedalaman lapisan ripping yang mengalir sekitar 2-4
meter dari lapisan kedap air (caping layer).
Luas sawah yang mengalami dampak likuifaksi adalah sekitar 30 ha. Dengan banyak
kondisi pasir yang pecah dari bahan yang mendidih berupa pasir kerikil. Hasil penggalian
menunjukkan bahwa lapisan cair berada di kedalaman 3 hingga 4 meter dan berada di
bawah lapisan kedap air dalam bentuk tanah liat berlumpur. Sumber muka air tanah yang
sangat tinggi di daerah Sibalaya ini diperkiakan murni kontribusi dari bersumber dari
infiltrasi saluran irigasi gumbasa di atasnya, kondisi muka air tanah sebelum gempa
berkisar antara 2-4 meter dari muka tanah, namun saat ini posisi muka air tanah sedah
sekitar 18 meter.
Gambar 2.3 Area likuifaksi Sibalaya Utara (Area sawah terkena dampak langsung 30 Ha)

2.1.4 Daerah Balaroa


Mekanisme keruntuhan tanah di kelurahan Balaroa yang terletak sekitar1 km di
sebelah barat Sesar Palu-Koro dapat di gambarkan seperti Gambar 2.4 (a). Dimana awal
Gerakan tanah (crown) terletak di jalan Gunung Gawalise, sedangkan ujungnya terletak di
jalan Balaroa. Daerah yang terkena dampak adalah perumahan dengan luas area terdampak
sekitar 34,5 Ha dengan keliling 2,5 km. Pemandangan kerusakan di Balaroa disajikan pada
Gambar 2.4 (d). Dari pengamatan langsung di jalan Gunung Gawalise di mana puncak
longsoran dimulai menunjukkan bahwa terjadi longsoran berupa landslide dengan
ketinggian lereng setelah longsor sekitar +10 meter Gambar 2.4 (b). sementara flow
likuifaksi (Nalodo) yang dipicu oleh gempa mulai terlihat pada jarak sekitar 60 meter dari
crown gambar 2.4 (c). Dimana flow likuifaksi ini menyebabkan rumah yang beradadi
lokasi tenggelam dan berpindah sejauh300-600 meter dari lokasi awal.
Gambar 2.4 (a) Model mekanisme keruntuhan Likuifaksi Balaroa, (b) Landslide pada Crown,
(c) Digital elevation kontur Balaroa, (d) Gambar Aerial Flow likuifaksi setelah15 hari Gempa
Palu

3.1 Investigasi Geoteknik Pada Daerah Terdampak Liquifaksi


investigasi geologi teknik (pemetaan geologi permukaan, pemboran teknik, pengujian
sondir, pengukuran CPT/CPTu). Juga dilakukan peninjuan lapangan paska gempa bumi yang
telah terjadi terhadap gejala peristiwa likuifaksi seperti pengamatan semburan pasir, “lateral
spreading” , amblasan tanah, rekahan rekahan, pengukuran pola arah zona rekahan dan seberan
besar penurunan tanah. Dari hasil pemboran teknik diperoleh rekaman perulangan gambaran
stratifikasi lapisan bawah permukaan yang mencerminkan lapisan lanau-pasir yang diduga
sebagai zona likuifaksi. Dari gambaran stratifikasi bawah permukaan ini memberikan petunjuk
dan bukti sebagai validasi terhadap kejadian likuifaksi di wilayah tersebut. Lingkup Investigasi
Geoteknik merupakan penyelidikan yang dilaksanakan meliputi sejumlah tahapan pekerjaan,
sebagai berikut
3.1.1 Pekerjaan Lapangan
Pekerjaan lapangan meliputi :
a. Penyelidikan sebaran tanah / batuan serta pengamatan sifat fisik
b. Pengamatan gemorfologi untuk mengetahui karakteristik bentang alamnya, tata guna
lahan, pola aliran, serta kemiringan lereng.
c. Pekerjaan sondir Pekerjaan sondir menggunakan dengan alat sondir berkapasitas
maksimum 2,5 ton dengan tipe konus menggunakan tipe bikonus.
d. Pemboran tangan Pemboran tangan dilakukan dengan mempergunakan jenis bor
tangan tipe iwan dan spiral, untuk mengetahui jenis lapisan tanah dan ketebalan.
e. Pengambilan contoh tanah dan batuan Pengambilan contoh tanah/batuan yang
dilakukan ada dua macam yaitu contoh tanah tidak terganggu (undistrub sample),
dimaksudkan untuk mendapatkan contoh tanah yang dapat mewakili kondisi asli.
Pengambilan contoh tanah ini dengan mempergunakan tabung contoh dari baja (thin
wall tube), yang dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan penyondiran, dan contoh
tanah terganggu (disturb sample), dilakukan dengan menggunakan plastik, sesuai
dengan keperluan penyelidikan.
f. Pengamatan kondisi air tanah Pengamatan kondisi airtanah di daerah penyelidikan
meliputi pengamatan terhadap airtanah bebas dan terutama ditujukan untuk
mengetahui kedalaman muka air tanah yang merupakan satu aspek yang berpengaruh
terhadap potensi terjadinya liquifaksi.

3.2.2 Pekerjaan laboratorium


Pekerjaan laboratorium meliputi :
a. Pengujian basic properties terdiri dari :
. - Kadar air (Wn) (ASTM.D. 2217-71)
-. Berat jenis (Gs) (ASTM.D.854-72)
-. Berat isi/density ( γ ) (ASTM.D.4718)
-. Densitas relative (ASTM.D. 7370-09)
b. Pengujian index properties terdiri :
-. Atterberg limit ( LL,PL,PI ) (ASTM.D.4318)
-. Analisa butir (ASTM.D.422-72)
c. Pengujian engineering properties terdiri dari:
-. Triaxial (ASTM.D.2850)

3.3.3 Survey Geofisika


1. Survey microtremor array
Survei mikrotremor dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pendekatan pertama
adalah perekaman dilakukan secara simultan pada dua atau lebih lokasi. Salah satu
tempat perekaman harus dilakukan di daerah batuan keras (hard rock) sehingga tidak
menunjukkan adanya penguatan frekuensi akibat gerakan tanah. Rasio spektrum
yang didapatkan pada tempat lain akan dibandingkan dengan yang terekam pada hard
rock sehingga akan didapatkan respon site terhadap mikrotremor. Pendekatan kedua
diperkenalkan oleh Nakamura pada tahun 1989 bersamaan dengan metode
analisisnya. Nakamura menemukan bahwa rasio spektrum horizontal dan vertikal
dari mikrotremor meningkat pada frekuensi resonansi dan akan menunjukkan puncak
pada frekuensi tersebut. Nakamura mengasumsikan bahwa H/V merefleksikan
tingkat amplifikasi dari gerakan tanah. Dengan metode ini pengukuran tidak perlu
dilakukan dengan syarat adanya batuan keras (hard rock) (Nakamura 1989). Survey
microtremor array dilakukan untuk mendapatkan pofil Vs hingga kedalaman
maksimum.
2. Metode resistivity mapping
Metode resistivity mapping merupakan metode resistiviti yang bertujuan untuk
mempelajari variasi tahanan jenis lapisan bawah permukaan secara horizontal. Oleh
karena itu, pada metode ini dipergunakan konfigurasi elektroda yang sama untuk
semua titik pengamatan di permukaan bumi. Setelah itu baru dibuat kontur
resistivitasnya dan mendapatkan struktur lapisan tanah hingga kedalaman yang
diinginkan.
Referensi

Arsyad Ardy. 2019. National Workshop on Joint Research, Assesment, and Mitigation of
Liquifaction Hazards.
Nurdin Sukiman. 2019. National Workshop on Joint Research, Assesment, and Mitigation
of Liquifaction Hazards.
Tohari Andrin. 2019. National Workshop on Joint Research, Assesment, and Mitigation of
Liquifaction Hazards.

Anda mungkin juga menyukai