Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT

DARURAT PADA TRAUMA THORAX

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis
akibat gangguan emosional yang hebat (Nugroho, 2015).
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh
benturan pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura
paru-paru, diafragma ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam
maupun tumpul yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan
(Rendy, 2012).
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax
yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari
cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan
dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.Trauma thoraks
diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul merupakan
luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh
benda tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena
gejala-gejala umum dan rancu (Sudoyo, 2010).
Dari berberapa definisi diatas dapat didefinisikan trauma thoraks
adalah trauma yang mengenai dinding toraks yang secara langsung
maupun tidak langsung berpengaruh pada pada organ didalamnya, baik
sebagai akibat dari suatu trauma tumpul maupun oleh sebab trauma tajam.

2. Epidemiologi
Peningkatan pada kasus trauma toraks dari waktu ke waktu tercatat
semakin tinggi.Hal ini banyak disebabkan oleh kemajuan sarana
transportasi diiringi oleh peningkatan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Trauma toraks secara langsungmenyumbang 20% sampai 25% dari seluruh
kematian akibat trauma, danmenghasilkan lebih dari 16.000 kematian
setiap tahunnya di Amerika Serikatbegitu pula pada negara berkembang
(Hudak, 2011).
Di Amerika Serikat penyebab paling umumdari cedera yang
menyebabkan kematian pada kecelakaan lalu lintas, dimanakematian
langsung terjadi sering disebabkan oleh pecahnya dinding miokard
atauaorta toraks. Kematian dini (dalam 30 menit pertama sampai 3 jam)
yangdiakibatan oleh trauma toraks sering dapat dicegah, seperti misalnya
disebabkanoleh tension Pneumotoraks , tamponade jantung, sumbatan
jalan napas, danperdarahan yang tidak terkendali. Oleh karena seringnya
kasus trauma toraksreversibel atau sementara tidak mengancam nyawa dan
tidak memerlukantindakan operasi, sangat penting untuk dokter yang
bertugas di unit gawat daruratmengetahui lebih banyak mengenai
patofisiologi, klinis, diagnosis, serta jenis penanganan lebih (Nugroho,
2015).
Di antara pasien yang mengalami trauma toraks, sekitar 50% akan
mengalami cedera pada dinding dada terdiri dari 10% kasus minor, 35%
kasus utama, dan 5% flail chest injury. Cedera dinding dada tidak selalu
menunjukkan tanda klinis yang jelas dan sering dengan mudah saja
diabaikan selama evaluasi awal (Hudak, 2011).
Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks.
Dengan adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas
pada pasien dengan trauma. Trauma toraks dapat meningkatkan kematian
akibat Pneumotoraks 38%, Hematotoraks 42%, kontusio pulmonum 56%,
dan flail chest 69% (Hudak, 2011). Trauma tumpul toraks menyumbang
sekitar 75%-80% dari keseluruhan trauma toraks dan sebagian besar dari
pasien ini juga mengalami cedera ekstratoraks.Trauma tumpul pada toraks
yang menyebabkan cedera biasanya disebabkan oleh salah satu dari tiga
mekanisme, yaitu trauma langsung pada dada, cedera akibat penekanan,
ataupun cedera deselarasi.

3. Etiologi
Penyebab trauma toraks tersering adalah kecelakaan kendaraan
bermotor (63-78%) (Saaiq, et al., 2010). Dalam trauma akibat kecelakaan,
ada lima jenis benturan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping,
belakang, berputar, dan terguling (Sudoyo, 2010). Oleh karena itu harus
dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap
orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh
karena trauma tajam dibedakan menjadi 3 berdasarkan tingkat energinya,
yaitu berenergi rendah seperti trauma tusuk, berenergi sedang seperti
tembakan pistol, dan berenergi tinggi seperti pada tembakan senjata
militer. Penyebab trauma toraks yang lain adalah adanya tekanan yang
berlebihan pada paru-paru yang bisa menyebabkan Pneumotoraks seperti
pada aktivitas menyelam (Hudak, 2011).
Trauma toraks dapat mengakibatkan kerusakan pada tulang kosta
dan sternum, rongga pleura saluran nafas intratoraks dan parenkim paru.
Kerusakan ini dapat terjadi tunggal ataupun kombinasi tergantung dari
mekanisme cedera (Sudoyo, 2010).

4. Patofisiologi
Utuhnya suatu dinding Toraks sangat diperlukan untuk sebuah
ventilasipernapasan yang normal. Pengembangan dinding toraks ke arah
luar oleh otot -otot pernapasan diikuti dengan turunnya diafragma
menghasilkan tekanan negative dari intratoraks. Proses ini menyebabkan
masuknya udara pasif ke paru – paru selama inspirasi. Trauma toraks
mempengaruhi strukur - struktur yang berbedadari dinding toraks dan
rongga toraks. Toraks dibagi kedalam 4 komponen, yaitudinding dada,
rongga pleura, parenkim paru, dan mediastinum.Dalam dindingdada
termasuk tulang - tulang dada dan otot - otot yang terkait (Sudoyo, 2009).
Rongga pleura berada diantara pleura viseral dan parietal dan dapat
terisi oleh darah ataupunudara yang menyertai suatu trauma toraks.
Parenkim paru termasuk paru – parudan jalan nafas yang berhubungan,
dan mungkin dapat mengalami kontusio, laserasi, hematoma dan
pneumokel. Mediastinum termasuk jantung, aorta/pembuluh darah besar
dari toraks, cabang trakeobronkial dan esofagus. Secara normal toraks
bertanggung jawab untuk fungsi vital fisiologi kardiopulmonerdalam
menghantarkan oksigenasi darah untuk metabolisme jaringan pada tubuh.
Gangguan pada aliran udara dan darah, salah satunya maupun kombinasi
keduanya dapat timbul akibat dari cedera toraks (Sudoyo, 2009).
Secara klinis penyebab dari trauma toraks bergantung juga pada
beberapa faktor, antara lain mekanisme dari cedera, luas dan lokasi dari
cedera, cedera lain yang terkait, dan penyakit - penyakit komorbid yang
mendasari. Pasien – pasien trauma toraks cenderung akan memburuk
sebagai akibat dari efek pada fungsi respirasinya dan secara sekunder akan
berhubungan dengan disfungsi jantung (Sudoyo, 2009).

5. Klasifikasi
Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu trauma tumpul 65% dan
trauma tajam 34.9 % (Ekpe & Eyo, 2014).
1. Trauma tembus (tajam)
- Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat
penyebab trauma
- Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru
- Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi.

Trauma tembus, biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang


dikenakan secara direk yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal.
Pisau atau projectile, misalnya, akan menyebabkan kerusakan jaringan
dengan stretching dan crushing dan cedera biasanya menyebabkan
batas luka yang sama dengan bahan yang tembus pada jaringan.

Contoh dari trauma tajam yaitu :

- Pneumothoraks terbuka
- Hemothoraks
- Trauma tracheobronkial
- Contusio Paru
- Ruptur diafragma
- Trauma Mediastinal
2. Trauma tumpul
- Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.
- Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush
atau blastinjuries.
- Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio
paru
- Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi
- Trauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma
tembus,kira-kiralebih dari 90% trauma thoraks.

Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul:

- Transfer energi secara direk pada dinding dada dan organ thoraks
- Deselerasideferensial, yang dialami oleh organ thoraks ketika
terjadinya impak.

Benturan yang secara direk yang mengenai dinding torak dapat


menyebabkan luka robek dan kerusakan dari jaringan lunak dan tulang
seperti tulang iga. Cedera thoraks dengantekanan yang kuat dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal sehingga menyebabkan
ruptur dari organ organ yang berisi cairan atau gas.
Contoh dari trauma tumpul

- Tension pneumothoraks
- Trauma tracheobronchial
- Flail Chest
- Ruptur diafragma
- Trauma mediastinal
- Fraktur kosta

6. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala pada trauma thorax yaitu :
1. Nyeri pada tempat trauma, bertambah pada saat inspirasi.
2. Pembengkakan lokal dan krepitasi yang sangat palpasi.
3. Pasien menahan dadanya dan bernafas pendek.
4. Dyspnea, takipnea
5. Takikardi
6. Tekanan darah menurun.
7. Gelisah dan agitasi
8. Kemungkinan cyanosis.
9. Batuk mengeluarkan sputum bercak darah.
10. Hypertympani pada perkusi di atas daerah yang sakit.

Adapun tanda dan gejala pada pasien trauma thorax menurut Hudak,
(2009) yaitu :

1. Temponade jantung
a. Trauma tajam didaerah perikardium atau yang diperkirakan
menembus jantung
b. Gelisah
c. Pucat, keringan dinginPeninggian TVJ (9Tekanan Vena
Jugularis)
d. Pekak jantung melebar
e. Bunyi jantung melemah
f. Terdapat tanda-tanda paradoxical pulse pressure
g. ECG terdapat low Voltage seluruh lead
h. Perikardiosentesis kuluar darah (FKUI:2005)

2. Hematothorax
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
b. Gangguan pernapasan (FKUI:2005)
3. Pneumothoraks
a. Nyeri dada mendadak dan sesak napas
b. Gagal pernapasan dengan sianosis
c. Kolaps sirkulasi
d. Dada atau sisi yang terkena lebih resonan pada perkusi dan suara
napas yang terdapat jauh atau tidak terdengar sama sekali
e. Pada auskultasi terdengar bunyi klik

7. Pemeriksaan Fisik

a. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita
yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang
berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan
palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi,
massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan
serta adanya sakit kepala.
b. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan
kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai
memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan
pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat
kesadaran dengan skor GCS.
1) Mata : Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah
isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil
mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata
(macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau
adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos,
subconjunctival perdarahan, serta diplopia
2) Hidung :Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi
akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
3) Telinga :Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan
atau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai
keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum
4) Rahang atas : Periksa stabilitas rahang atas
5) Rahang bawah : Periksa akan adanya fraktur
6) Mulut dan faring : Inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur,
warna, kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna,
kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah
pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan
nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri

c. Vertebra servikalis dan leher

Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang


atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan
disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera
tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan.
Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema
subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi.
Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway,
pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak
sekunder..
d. Toraks

Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan


belakang
untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam ,
ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan
expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan
ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan
irama denyut jantung, (lombardo, 2005)
- Palpasi : Seluruh dinding dada untuk adanya trauma
tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
- Perkusi : Mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
- Auskultasi :Suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing,
rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)
e. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis,
misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran,
fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri
perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma
tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi
abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda
tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus,
perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi
abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan,
hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas
atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra
abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal
lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ
berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak
dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali.
Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila
diperlukan
f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)

Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan


fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan
penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi.
Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan
dari fraktur pelvis.
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi ,
ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra.
Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus
diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak
tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo
sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan
adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan
vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan
(pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga
harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada
wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle
injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut
jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi
pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk
frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus
ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil,
frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus
diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

g. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat
inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur
(fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa
denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan
dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra
kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan
aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan
penurunan kesadaran atau kelumpuhan. Inspeksi pula adanya
kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan,
paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari
periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan
hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15
detik.
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular.
Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai
fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak
stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan
sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan
oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat
dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian
lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam
keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan
muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan
punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol,
sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita
dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih
kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal
setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006).
h. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll,
memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada
saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung. Periksa`adanya
perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema
serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya
deformitas.

i. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan


tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan
sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan
pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan
kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan
short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi
dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang
sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada
kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan
leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita
memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi
neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena
merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan
kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada
perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli
bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching,
parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia
( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan
kaji pula adanya vertigo dan respon sensori

8. Pemeriksaan Primary Survey dan Secondary Survey

Pemeriksaan Primary Survey Pada Kasus Trauma Thorak

1. Open Pnemothorak
Apabila lubang ini lebih besar daripada 2/3 diameter trachea, maka
pada inspirasi udara mungkin lebih mudah melewati lubang pada dinding
dada disbanding melewati mulut, sehingga terjadi sesak yang hebat.
Dengan demikian maka pada open pneumothorak, usaha pertama adalah
menutup lubang pada dinding dada ini sehinggaopen pneumothorak
menjadi close pneumothorak (tertutup). Harus segara ditambahkan bahwa
apabila selain lubangpada dinding dada, juga ada lubang pada paru, maka
usaha menutup lbang ini secara total (occlusive dressing) dapat
mengakibatkan terjadinya tension pneumothorak. Dengan demikian maka
yang harus dilakukan adalah:
a. Menutup dengan kasa 3 sisi. Kasa ditutup dengan plester pada 3
sisinya, sedangkan pada sisi atas dibiarkan terbuka (kasa harus
dilapisi zalf/soffratule pada sisi dalamnya supaya kedap udara
b. Menutup dengan kasa kedap udara. Apabila diakukan cara ini maka
harus sering dilakukan evaluasi paru. Apabila ternyata timbu tanda
tension pnneumothorak maka kasa harus dibuka
c. Pada luka yang sangat besar maka dapat dipakai plastik infus yang
diguntingsesuai ukuran

2. Tension Pnemothorak
Tension pneumothorak dapat timbul dari komplikasi pneumothorak
sederhana akibat trauma tembus atau tajam. Penggunaan yang salah dari
pembalut occlusive yang akan menimbulkan mekanisme flap-valve,
penggunaan ventilator mekanik yang tidak tepat dan pada fraktur tulang
belakang thorak yang mengalami pergeseran. Apabila ada mekanisme
ventil karena kebocoran pada paru, maka udara akan semakin banyak
pada sisi rongga pleura, akibatnya adalah:
a. Paru menjadi kolap
b. Paru sebelahnya akan tertekan dengan akibat sesak berat
c. Mediastinum akan terdorong ke sisi yang berlawanan dengan akibat
timbul syok akibat penekanan pada vena sehingga menghambat
pengembalian darah ke jantung.

Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya hipersonor dan hilangnya


suara napas pada sisi paru yang terkena. Diagnosis tension pneumothorak
harus segera ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dan terapi tidak
boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologis.

Apabila diagnosis ditegakkan maka harus diambil tindakan


dengan melakukan dekompresi ”needle thorakosintesis”, yakni menusuk
dengan jarum besar pada ruang intercostal 2 pada garis midclavicularis.
Terapi definif dengan pemasangan selang dada (chest tube) pada sela iga
ke 5 di antara garis axillaris anterior dan midaxillaris.

3. Hematothorak Masif
Pada keadaan ini terjadi perdarahan hebat dalam rongga dada
(lebih 1500 cc). Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus/tumpul yang
merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah sistemik atau
pembuluh darah pada hilus paru.

Diagnosis hematothorak ditegakkan dengan adanya syok yang


disertai dengan suara napas yang menghilang dan perkusi pekak pada sisi
dada yang mengalami trauma. Perdarahan yang banyak dan cepat akan
lebih mempercepat timbulnya hipotensi dan syok. Terkumpulnya darah dan
cairan di slah satu henithorak dapat menyebabkan gangguan usaha
bernafas akibat penekanan paru-paru dan menghambat ventilasi yang
adekuat.

Tidak banyak yang dapat dilakukan pra rumah sakit pada keadaan
ini. Satu-satunya cara adalah membawa penderita secepat mungkin ke
rumah sakit dengan harapan masih dapat terselamatkan dengan tindakan
operatif. Terapi awal adalah dengan penggantian volume darah yang
dilakukan bersama dengan dekompresi rongga pleura dan keputusan
torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah awal lebih dari 1500
ml atau kehilangan terus-menerus 200 cc/jam dalam waktu 2-4 jam.

4. Flail Chest
Tulang iga patah pada 2 tempat, pada lebih dari 2 iga, sehingga ada
satu segmen dinding dada yang tidak ikut pada pernapasan. Pada ekspirasi,
segmen akan menonjol keluar, pada inspirasi justru akan masuk ke dalam.
Ini dikenal sebagai pernapasan paradoksal. Kelainan ini akan mengganggu
ventilasi, namun lebih diwaspadai adalah adanya kontusio paru. Sesak
berat yang mungkin terjadi harus dibantu dengan oksigenasi dan mungkin
diperluka ventilasi tambahan. Di rumah sakit penderita akan dipasang pada
respirator, apabila analisis gas darah menunjukkan pO2 yang rendah atau
pCO2 yang tinggi.

5. Temponade Jantung
Diagnosis temponade jantung cukup sulit dan terkadang sulit
dibedakan dengan tension pneumothorak, yaitu adanya Trias Beck yang
terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara
jantung yang menjauh. Pemasangan CVP dan USG abdomen dapat
membantu diagnosis tetapai tidak boleh menghambat untuk dilakukannya
resusitasi. Pada infuse guyur, tidak ada atau hanya sedikit respon. Metode
yang cepat untuk menyelamatkan penderita yaitu dilakukan
pericardiosintesis (penusukan rongga pericardium) dengan jarum besar
untuk mengeluarkan darah tersebut. Tindakan definitive ialah dengan
perikardiotomi yang dilakukan oleh ahli bedah.
Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care Council,
2012) :
Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care Council,
2012) :
Pemeriksaan Secondary Survey Pada Kasus Trauma Thorak

1. Fraktur Iga

Fraktur iga dicurigai apabila terdapat deformitas, nyeri, tekan pada


palpasi dan krepitas. Plester iga, pengikat iga, dan bidai eksternal
merupakan kontraindikasi, yang terpenting adalah menghilangkan rasa
sakit agar penderita dapat bernapas dengan baik. Terkadang hal ini
memerlukan blok anastesi interkostal, ataupun menggunakan analgesia
sistemik. Patah tulang iga sendiri tidak berbahaya dan pada pra rumah
sakit tidak memerlukan tindakan apa-apa. Yang harus lebih diwaspadai
adalah timbulnya pneumothorak atau hematothorak.

2. Kontusio Paru

Pemadatan paru karena trauma timbulnya agak lambat sehingga


fase pra rumah sakit tidak menimbulkan masalah. Kegagalan bernafas
dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung
terjadi setelah kejadian, sehingga penanganan definitive dapat berubah
berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus dilakukan ketat dan
berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang.

3. Ruptur Aorta

Rupture aorta traumatic sering menyebabkan kematian segera


setelah kecelakaan mobil, tabrakan frontal, atau jatuh dari ketinggian.
Untuk penderita yang selamat, sesampai di rumah sakit kemungkinan
sering dapat diselamatkan bila rupture aorta dapat diidentifikasi dan
secepatnyadioperasi.

Banyak penderita yang sempat sampai di rumah sakit dalam


keadaan hidup, tapi meninggal di rumah sakit bila tidak segera di terapi.
Seringkali gejala ataupun tanda spesifik tidak ada, namun adanya
kecurigaan yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan
temuan radiologis yang khas dan arteriografi merupakan dasar dalam
penetapan diagnosis.
4. Ruptur Diafragma

Ruptur diafragma traumatic sering terdiagnosis pada sisi kiri,


karena obliterasihepar pada sisi kiri, karea obliterasi hepar pada sisi kanan
atau adanya hepar pada sisi kanan sehingga mengurangi kemungkinan
terdiagnosis ataupun terjadinya rupture diafragma kanan. Trauma tumpul
dapat menghasilkan robekan besar yang menyebabkan timbulnya herniasi
organ abdomen. Sedangkan trauma tajam dapat menghasilkan perforasi
kecil yang memerlukan waktu untuk berkembang menjadi hernia
diafragmatik

5. Perforasi Eosofagus

Trauma esophagus lebih sering disebabkan oleh trauma tembus.


Trauma tumpul esophagus walaupun jarang tetapi mematikan bila tidak
teridentifikasi. Trauma tumpul esophagus disebabkan oleh gaya kompresi
dari isi gaster yang masuk ke dalam esofagus akibat trauma berat pada
abdomen bagian atas.

9. Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Anamnesa yang terpenting adalah mengetahui mekanisme dan pola dari
trauma, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kerusakan dari
kendaraan yang ditumpangi, kerusakan stir mobil /air bag dan lain lain.
2. Radiologi : Foto Thorax (AP)
Pemeriksaan ini masih tetap mempunyai nilai diagnostik pada pasien
dengan trauma toraks. Pemeriksaan klinis harus selalu dihubungkan dengan
hasil pemeriksaan foto toraks. Lebih dari 90% kelainan serius trauma toraks
dapat terdeteksi hanya dari pemeriksaan foto toraks.
3. Gas Darah Arteri (GDA) dan Ph
Gas darah dan pH digunakan sebagai pegangan dalam penanganan pasien-
pasien penyakit berat yang akut dan menahun. Pemeriksaan gas darah
dipakai untuk menilai keseimbangan asam basa dalam tubuh, kadar oksigen
dalam darah, serta kadar karbondioksida dalam darah. Pemeriksaan analisa
gas darah dikenal juga dengan nama pemeriksaan ASTRUP, yaitu suatu
pemeriksaan gas darah yang dilakukan melalui darah arteri. Lokasi
pengambilan darah yaitu: Arteri radialis, A. brachialis, A. Femoralis.
4. CT-Scan
Sangat membantu dalam membuat diagnosa pada trauma tumpul toraks,
seperti fraktur kosta, sternum dan sterno clavikular dislokasi. Adanya retro
sternal hematoma serta cedera pada vertebra torakalis dapat diketahui dari
pemeriksaan ini. Adanya pelebaran mediastinum pada pemeriksaan toraks
foto dapat dipertegas dengan pemeriksaan ini sebelum dilakukan aortografi.
5. Ekhokardiografi
Transtorasik dan transesofagus sangat membantu dalam menegakkan
diagnosa adanya kelainan pada jantung dan esophagus. Hemoperikardium,
cedera pada esophagus dan aspirasi, adanya cedera pada dinding jantung
ataupun sekat serta katub jantung dapat diketahui segera. Pemeriksaan ini
bila dilakukan oleh seseorang yang ahli, kepekaannya meliputi 90% dan
spesifitasnya hampir 96%.
6. EKG (Elektrokardiografi)
Sangat membantu dalam menentukan adanya komplikasi yang terjadi akibat
trauma tumpul toraks, seperti kontusio jantung pada trauma. Adanya
abnormalitas gelombang EKG yang persisten, gangguan konduksi,
tachiaritmia semuanya dapat menunjukkan kemungkinan adanya kontusi
jantung. Hati hati, keadaan tertentu seperti hipoksia, gangguan elektrolit,
hipotensi gangguan EKG menyerupai keadaan seperti kontusi jantung.
7. Angiografi
Gold Standard’ untuk pemeriksaan aorta torakalis dengan dugaan adanya
cedera aorta pada trauma tumpul toraks.
8. Hb (Hemoglobin)
Mengukur status dan resiko pemenuhan kebutuhan oksigen jaringan tubuh.

10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Trauma Thoraks adalah sebagai berikut:
1. Gawat Darurat / Pertolongan Pertama
Klien yang diberikan pertolongan pertama dilokasi kejadian maupun di
unit gawat darurat (UGD) pelayanan rumah sakit dan sejenisnya harus
mendapatkan tindakan yang tanggap darurat dengan memperhatikan
prinsip kegawatdaruratan. Penanganan yang diberikan harus sistematis
sesuai dengan keadaan masing-masing klien secara spesifik.Bantuan
oksigenisasi penting dilakukan untuk mempertahankan saturasi oksigen
klien. Jika ditemui dengan kondisi kesadaran yang mengalami
penurunan / tidak sadar maka tindakan tanggap darurat yang dapat
dilakukan yaitu dengan memperhatikan :
a. Pemeriksaan dan Pembebasan Jalan Napas (Air-Way)
Klien dengan trauma dada seringkali mengalami permasalahan
pada jalan napas.Jika terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu,
kalau sumbatan berupa cairan dapat dibersihkan dengan jari
telunjuk atau jari tengah yang dilapisi dengan sepotong kain,
sedangkan sumbatan oleh benda keras dapat dikorek dengan
menggunakan jari telunjuk yang dibengkokkan.Mulut dapat dibuka
dengan tehnik Cross Finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan
dengan jari telunjuk Pada mulut korban.
b. Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing,
biasa pada korban tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka
lidah dan epiglotis akan menutup farink dan larink, inilah salah satu
penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah
dapat dilakukan dengan cara Tengadah kepala topang dagu (Head
tild – chin lift) dan Manuver Pendorongan Mandibula (Jaw Thrust
Manuver)
c. Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Usaha Napas (Breathing)
Kondisi pernapasan dapat diperiksa dengan melakukan tekhnik
melihat gerakan dinding dada, mendengar suara napas, dan
merasakan hembusan napas klien (Look, Listen, and
Feel), biasanya tekhnik ini dilakukan secara bersamaan dalam satu
waktu.Bantuan napas diberikan sesuai dengan indikasi yang
ditemui dari hasil pemeriksaan dan dengan menggunakan metode
serta fasilitas yang sesuai dengan kondisi klien.
d. Pemeriksaan dan Penanganan Masalah Siskulasi (Circulation)
Pemeriksaan sirkulasi mencakup kondisi denyut nadi, bunyi
jantung, tekanan darah, vaskularisasi perifer, serta kondisi
perdarahan.Klien dengan trauma dada kadang mengalami kondisi
perdarahan aktif, baik yang diakibatkan oleh luka tembus akibat
trauma benda tajam maupun yang diakibatkan oleh kondisi fraktur
tulang terbuka dan tertutup yang mengenai / melukai pembuluh
darah atau organ (multiple).Tindakan menghentikan perdarahan
diberikan dengan metode yang sesuai mulai dari penekanan hingga
penjahitan luka, pembuluh darah, hingga prosedur operatif.
Jika diperlukan pemberian RJP (Resusitasi Jantung Paru) pada
penderita trauma dada, maka tindakan harus diberikan dengan
sangat hati-hati agar tidak menimbulkan atau meminimalisir
kompilkasi dari RJP seperti fraktur tulang kosta dan sebagainya.
e. Tindakan Kolaboratif
Pemberian tindakan kolaboratif biasanya dilakukan dengan jenis
dan waktu yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing klien
yang mengalami trauma dada. Adapun tindakan yang biasa
diberikan yaitu; pemberian terapi obat emergensi, resusitasi cairan
dan elektrolit, pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah
Vena dan AGD, hingga tindakan operatif yang bersifat darurat.
2. Konservatif
a. Pemberian Analgetik
Pada tahap ini terapi analgetik yang diberikan merupakan kelanjutan
dari pemberian sebelumnya.Rasa nyeri yang menetap akibat cedera
jaringan paska trauma harus tetap diberikan penanganan manajemen
nyeri dengan tujuan menghindari terjadinya Syok seperti Syok
Kardiogenik yang sangat berbahaya pada penderita dengan trauma
yang mengenai bagian organ jantung.
b. Pemasangan Plak / Plester
Pada kondisi jaringan yang mengalami perlukaan memerlukan
perawatan luka dan tindakan penutupan untuk menghindari
masuknya mikroorganisme pathogen.
c. Jika Perlu Antibiotika
Antibiotika yang digunakan disesuaikan dengan tes kepekaan dan
kultur. Apabila belum jelas kuman penyebabnya, sedangkan keadaan
penyakit gawat, maka penderita dapat diberi “broad spectrum
antibiotic”, misalnya Ampisillin dengan dosis 250 mg 4 x sehari.
d. Fisiotherapy
Pemberian fisiotherapy sebaiknya diberikan secara kolaboratif jika
penderita memiliki indikasi akan kebutuhan tindakan fisiotherapy
yang sesuai dengan kebutuhan dan program pengobatan konservatif.
3. Invasif / Operatif
a. WSD (Water Seal Drainage)
WSD merupakan tindakan invasif yang dilakukan untuk
mengeluarkan udara, cairan (darah, pus) dari rongga pleura, rongga
thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
b. Ventilator
Ventilator adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu
sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan
oksigenasi. Ventilasi mekanik adalah alat pernafasan bertekanan
negatif atau positif yang dapat mempertahankan ventilasi dan
pemberian oksigen dalam waktu yang lama.

B. Asuhan Keperawatan Trauma Thorax


1. Pengkajian
a) Pengkajian Primer
A. Airway:
Trauma laring dapat bersamaan dengan trauma thorax. walaupun gejala
kinis yang ada kadang tidak jelas, sumbatan airway karena trauma laring
merupakan cidera laring yang mengancam nyawa. Trauma pada dada
bagian atas, dapat menyebabkan dislokasi ke area posterior atau fraktur
dislokasi dari sendi sternoclavicular. Penanganan trauma ini dapat
menyebabkan sumbatan airway atas. Trauma ini diketahui apabila ada
sumbatan napas atas (stridor), adanya tanda perubahan kualitas suara dan
trauma yang luas pada daerah leher akan menyebabkan terabanya defek
pada regio sendi sternoclavikula. penanganan trauma ini paling baik
dengan reposisitertutup fraktur dan jika perlu dengan intubasi
endotracheal.
B. Breathing:
Dada dan leher penderita harus terbuka selama dilakukan penilaian
breathing dan vena-vena leher. Pergerakan pernapasan dan kualitas
pernapasan pernapasan dinilai dengan diobservasi, palpasi dan
didengarkan. Gejala yang terpenting dari trauma thorax adalah hipoksia
termasuk peningkatan frekuensi dan perubahan pada pola pernapasan,
terutama pernapasan yang dengan lambat memburuk. Sianosis adalah
gejala hipoksia yang lanjut pada penderita. Jenis trauma yang
mempengaruhi breathing harus dikenal dan diketahui selama primary
survey.
C. Circulation
Denyut nadi penderita harus dinilai kualitas, frekuensi dan keteraturannya.
Tekanan darah dan tekanan nadi harus diukur dan sirkulasi perifer dinilai
melalui inspeksi dan palpasi kulit untuk warna dan temperatur. Adnya
tanda-tanda syok dapat disebebkan oleh hematothorax masif maupun
tension pneumothorax. Penderita trauma thorax didaerah sternum yang
menunjukkan adanya disritmia harus dicurigai adanya trauma miokard.
D. Disability
Penurunan kesadaran (GCS <8)
E. Exposure
Terdapat bengkak dan jejas, akral teraba dingin, tampak sianosis, dan
bagian tubuh lainnya baik.
b) Pengkajian Sekunder
- Identitas pasien
- Identitas penanggung jawab
- Keluhan utama:
Pasien mengalami penurunan kesadaran (GCS <8), adanya bengkak dan
jejas.
- Aktivitas istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat.
- Sirkulasi
Tanda : Takikardia, disritmia, irama jantunng gallops, nadi apical
berpindah, tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ.
- Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah.
- Makanan dan cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
- Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni lateral, timbul tiba-tiba selama batuk atau regangan,
tajam dan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam,
kemungkinan menyebar ke leher, bahu dan abdomen.
Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkan
wajah.
- Keamanan
Gejala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk keganasan.
- Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko keluarga, TBC, kanker ; adanya bedah
intratorakal/biopsy paru.
c) Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan posisi tubuh yang
menghambat ekspansi paru ditandai dengan dipsnea, penggunaan otot
bantu pernafasan, fase ekspirasi memanjang, pola nafas abnormal
(misalnya takinea, bradipnea, hiperventilasi, kussmaul, cheyne-stokes),
ortopenea, pernafasan pursed-lip, pernafasan cuping hidung, diameter
thorax anterior-posterior meningkat, ventilasi semenit menurun,
kapasitas vital menurun, tekanan ekspirasi menurun, tekanan inspirasi
menurun, ekskursi dada berubah.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan ditandai dengan batuk tidak efektif, tidak mampu batuk,
sputum berlebihan, mengi, weezing, dana atau ronkhi kering, dipsnea,
sulit bicara, ortopnea, gelisah, sianosis, bunyi nafas menurun, frekuensi
nafas berubah, pola nafas berubah.
3. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan kekurangan volume
cairan ditandai dengan pengisian kapiler <3 detik, nadi perifer menurun
atau tidak teraba, akral teraba dingin, warna kulit pucat, turgor kulit
menurun, parastesia, nyeri ekstremitas (klaudikasi intermiten), edema,
penyembuhan luka lambat, indeks ankle-brachial >0.90, bruit vemoral.
4. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (misalnya abses,
amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi,
truma, latihan fisik berlebihan ditandai dengan mengeluh nyeri tampak
meringis, bersikap protektif (mis. Waspada, posisi menghindari nyeri),
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, tekanan darah meningkat,
pola nafas berubah, nafsu makan berubah, proses berpikir terganggu,
menarik diri, berfokus pada diri sendiri, diaphoresis.
5. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap kematian ditandai
dengan merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat dari kondisi
yang dihadapi, sulit berkonsentrasi, tampak gelisah, tampak tegang,
sulit tidur, mengeluh pusing, anoreksia, palpitasi, merasa tidak berdaya,
frekuensi nafas meningkat, frekuensi nadi meningkat, tekanan darah
meningkat, diaphoresis, tremor, muka tampak pucat, suara bergetar,
kontak mata buruk, sering berkemih, berorientasi pada masa lalu.
d) Intervensi Keperawatan

NoD Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional


x hasil
1. Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas 1. Memantau pola napas
Observasi :
asuhan keperawatan … (frekuensi, kedalaman,
1. Monitor pola napas
x 24 jam diharapkan usaha napas)
(frekuensi, kedalaman,
2. Memantau bunyi napas
pola napas membaik
usaha napas)
tambahan
dengan kriteria hasil : 2. Monitor bunyi napas
3. Memantau sputum
1. Dispnea tambahan (mis,
(jumlah, warna, aroma)
menurun ( skala gurgling, mengi, 4. Memperlancar jalan
1 sampai 5) wheezing, ronkhi napas pasien
2. Pernapasan 5. Mempermudah kluarnya
kering)
cuping hidung 3. Monitor sputum sputum
6. Mempermuah batuk
menurun ( skala (jumlah, warna, aroma)
1 sampai 5) Terapeutik : efektif
3. Frekuensi napas 7. Membantu pasien
4. Posisikan semi-Fowler
membaik ( skala bernafas
atau Fowler
8. Menstabilkan kondisi
1 sampai 5)
5. Berikan minum hangat
pasien
6. Lakukan fisioterapi 9. Mengajarkan teknik
dada, jika perlu batuk efektif yang benar
10. Memperbaiki kondisi
7. Berikan oksigen, jika
pasien
perlu

Edukasi :
8. Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
9. Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi :
10. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu

2. Setelah dilakukan Latihan Batuk Efektif 1. Mengetahui kemampuan klien


tindakan keperawatan Observasi : batuk efektif
selama ..x.. jam 1. Identifikasi
2. Mengidentifikasi adanya
diharapkan bersihan kemampuan batuk
2. Monitor adanya sputum berlebihan
jalan napas meningkat
retensi sputum
dengan kriteria hasil:
Terapiutik : 3. Membantu pasien bernafas
 Batuk efektif 3. Atur posisi semi
lebih baik/mengurangi sesak
meningkat dengan fowler atau fowler
nafas
4. Pasang perlak dan
skala (1-5)
 Produksi sputum bengkok dipangkuan
4. Menjaga kebersihan tubuh
menurun dengan pasien
pasien
5. Buang secret pada
skala (1-5)
 Mengi menurun tempat sputum
5. Memudahkan untuk
dengan skala(1-5) Edukasi : mengobservasi sekret
6. Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif 6. Menginformasikan kepada
7. Anjurkan tarik napas
pasien agar tidak terjadi miss
dalam melalui hidung
komunikasi
selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik 7. Mempermudah pengeluaran
kemudian keluarkan secret atau sputum
dari mulut dengan
8. Mengeluarkan dahak atau
bibir mencucu
sputum
(dibulatkan) selama 8
detik
9. Untuk melancarkan atau
8. Anjurkan batuk
mengencerkan dahak dan
dengan kuat langsung
melancarkan jalan nafas.
setelah tarik napas
dalam yang ke-3
kalinya
Kolaborasi :
9. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspetoran, jika perlu
3. Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi 1. Mengetahui kondisi
Observasi :
asuhan keperawatan … sirkulasi perifer pasien
1. Periksa sirkulasi
2. Mengidentifikasi faktor
x 24 jam diharapkan
perifer (mis, nadi
risiko gangguan sirkulasi
perfusi perifer pasien
perifer, edema, 3. Memantau terjadinya
meningkat dan kembali
pengisian kapiler, panas, kemerahan, nyeri,
normal dengan kriteria
warna, suhu, ankle- atau bengkak pada
hasil :
brachial index) ekstremitas.
1. Denyut nadi 2. Identifikasi faktor 4. Tidak memperburuk
perifer meningkat risiko gangguan kondisi pasien
5. Tidak memperburuk
(skala 1 sampai 5) sirkulasi (mis, diabetes,
2. Warna kulit pucat kondisi pasien
perokok, orang tua,
6. Menghindari munculnya
menurun ( skala 1
hipertensi, dan kadar
infeksi
sampai 5)
kolestrol tinggi) 7. Mencegah terjadinya
3. Akral dan turgor
3. Monitor panas,
kondisi buruk pada
kulit membaik
kemerahan, nyeri, atau
pasien
( skala 1 sampai
bengkak pada 8. Memperbaiki
5)
ekstremitas. kelembabpan kulit
9. Menstabilkan kondisi
Terapeutik :
pasien
4. Hindari pemasangan
10. Mencegah tanda dan
infus atau pengambilan
gejala yang muncul
darah di area
keterbatasan perfusi
5. Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
6. Lakukan pencegahan
infeksi
Edukasi :
7. Anjurkan berhenti
merokok
8. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang
tepat (mis,
melembabkan kulit
kering pada kaki)
9. njurkan menggunakan
obat penurun tekanan
darah, antikoagulan,
dan penurun kolestrol,
jika perlu
10. Informasikan tanda dan 1. Mengidentifikasi lokasi,
gejala darurat yang karakteristik, durasi,
harus dilaporkan (mis, frekuensi, kualitas,
rasa sakit yang tidak intensitas nyeri
2. Mengetahui skala nyeri
hilang saat istirahat,
pasien
luka tidak sembuh,
3. Mengidentifikasi respon
hilangnya rasa)
nyeri nonverbal
Manajemen Nyeri 4. Teknik non farmakologis
Observasi : dapat membuat pasien
1. Identifikasi lokasi,
lebih rileks sehingga
4
karakteristik,
nyeri yang dirasakan
Setelah dilakukan
durasi, frekuensi,
berkurang
asuhan keperawatan …
kualitas, intensitas 5. Mengontrol lingkungan
x 24 jam diharapkan
nyeri agar tidak memperberat
nyeri akut pada pasien 2. Identifikasi skala
nyeri yang dirasakan
dapat teratasi dan nyeri
pasien
3. Identifikasi respons
menurun dengan 6. Memberikan pasien
nyeri non verbal
kriteria hasil: istirahat yang cukup
Terapeutik : 7. Memberitahukan kepada
1. Keluhan nyeri
4. Berikan teknik pasien penyebab,
menurun ( skala
nonfarmakologis periode, dan pemicu
1 sampai 5)
2. Meringis untuk mengurangi nyeri
8. Mengajarkan teknik
menurun ( skala rasa nyeri (mis,
relaksasi dapat
1 samapi 5) TENS, hipnosis,
3. Gelisah menambah pengetahuan
akupresur, terapi
menurun ( skala pasien sehingga pasien
musik,
1 sampai 5) dapat mengatasi nyeri
biofeedback, terapi
secara mandiri
pijat, aroma terapi,
9. Mengurangi onset
teknik imajinasi
terjadinya nyeri yang
terbimbing,
datang secara tiba-tiba
kompres
hangat/dingin,
terrapin bermain)
5. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri (mis,
suhu ruangan,
pencahayaan,
kebisingan)
6. Fasilitasi istirahat
dan tidur
Edukasi :
7. Jelaskan penyebab,
periode, dan
1. Mengetahui tingkat ansietas
pemicu nyeri
pasien
8. Ajarkan teknik
2. Mengetahui tanda-tanda dari
nonfarmakologis
ansietas
untuk mengurangi 3. Memudahkan perawat dalam
nyeri memberikan tindakan
4. Memberikan dukungan
Kolaborasi :
kepada pasien
9. Kolaborasi
5. Membantu mengurangi
pemberian
tingkat kecemasan pasien
analgetik jika perlu 6. Memberikan keyakinan
bahwa pasien tidak sendirian
menghadapi masalah
7. Membantu pasien sehingga
merasa nyaman
8. Mengetahui segala tindakan
yang akan diberikan
Reduksi Ansietas 9. Pengetahuan yang meningkat
Observasi :
akan menambah kooperatif
1. Identifikasi saat tingkat
pasien dan menurunkan
ansietas berubah
kecemasan
(mis.kondisi, waktu,
10. Meningkatkan rasa percaya
5
stressor)
diri pasien
Setelah dilakukan 2. Monitor tanda-tanda
Menstabilkan kondisi pasien
asuhan keperawatan ansietas (verbal dan
selama ...x... jam, non verbal)
Terapiutik :
diharapkan tingkat
3. Ciptakan suasana
ansietas pasien
terapeutik untuk
menurun, dengan
menumbuhkan
kriteria hasil
kepercayaan
- Perilaku gelisah 4. Temani pasien untuk
menurun mengurangi kecemasan
5. Pahami situasi yang
- Perilaku tegang
membuat ansietas
menurun
6. Gunakan pendekatan
- Verbalisasi
yang tenang dan
khawatir akibat
meyakinkan
kondisi yang 7. Tempatkan barang
dihadapi pribadi yang
menurun memberikan
kenyamanan
Edukasi :
8. Jelaskan prosedur,
termasuk sensasi yang
mungkin dialami
9. Informasikan secara
factual mengenai
diagnosis, pengobatan,
prognosis
10. Anjurkan keluarga
untuk tetap bersama
pasien, jika perlu
Kolaborasi :
11. Kolaborasi pemberian
obat antiansi termasuk
sensasi yang mungkin
dialami
DAFTAR PUSTAKA

Aru W, Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing

Bedah Torak Kardiovaskular Indonesia: Website Bedah Torak Kardiovaskular


Indonesia: Anatomi Toraks: Surface Anatomy-Dinding Toraks :
http://www.bedahtvk.com/index.php?/e-
Education/FisiologiAnatomi/Anatomi-Toraks-Surface-Anatomy-
Dinding-Toraks.html, diakses tanggal 10 Maret 2020

Guillon, F. 2011. Epidemiology of Abdominal Trauma. In : CT of the Acute


Abdomen. London : Springer

Hudak dan Gallo. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik. Edisi

- VIII Jakarta: EGC

Kementrian Kesehatan Rsup Sanglah Denpasar, 2011, Pelatihan Trauma Live


Support .Denpasar

Khan A.N, Trauma Thorax (online):


http://www.emedicine.com/radio/byname/Thorax-Trauma.htm, diakses
tanggal 10 Maret 2020

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta : Noha Medika

Nugroho, T. Putri, B.T, & Kirana, D.P. 2015. Teori Asuhan Keperawatana
Gawat Darurat. Padang : Medical book

Nurarif, A.H, dan Kusuma, H. (2015). APLIKASI Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC , Jilid 1.
Yogjakarta : penerbit buka Mediaction.

Patriani. (2012). Asuhan Keperawatan pada pasien trauma dada. http://asuhan-


keperawatan-patriani.pdf.com/2008/07/askep-trauma-dada.html.
Diakses pada tanggal 10 Maret 2020

Rendy , M.C, & Th, M. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit
Dalam. Yogjakarta : Nuha medika
TIM PUSBANKES 118 BAKER-PGDM PERSI DIJ. 2008. Penanggulangan
Penderita Gawat Darurat (PPGD) Basic Life Support Plus. Yogyakarta

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Indikator Diagnostik). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan). Jakarta Selatan: DPP PPNI.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(Definisi dan Tindakan Keperawatan). Jakarta Selatan :DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai