Anda di halaman 1dari 19

DEMAM BERDARAH

Definisi
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegepty dan Aedes albopictus dengan empat manifestasi klinis utama
berupa demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali, dan pada kasus yang berat
ditandai dengan kegagalan sirkulasi. Pasien dengan keadaan ini dapat berkembang
menjadi syok hipovolemik karena adanya kebocoran plasma, yang dikenal dengan
Dengue Shock Syndrome (DSS) yang berakibat fatal.

Epidemiologi
Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai telah terjadi di Surabaya pada tahun
1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus
pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di
Bandung dan Jogjakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun
1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau, Sulawesi Utara dan Bali
(1973). Pada tahun 1974, epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara
Barat. Pada tahun 1994 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada saat
ini DBD sudah endemis di banyak kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini telah
terjangkit di pedesaan.
Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua setelah
Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia terus meningkat
dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973) menjadi 8,65 (1983) dan mencapai angka tertinggi
pada tahun 1988 yaitu 27,09 per 100.000 penduduk dengan penderita sebanyak 57.573
orang, dengan 1.527 orang penderita dilaporkan meninggal dari 201 daerah tingkat II.
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat
penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dengan kondisi metereologis.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur penderita
memperlihatkan jumlah penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15
tahun (86-95%). Namun, pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang
digolongkan dalam usia dewasa muda meningkat.
Di Indonesia virus DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 telah berhasil diisolasi
dari darah penderita. Di Jakarta daerah endemis tinggi, dari sebagian besar penderita
DBD derajat berat maupun yang meninggal dapat diisolasi virus DEN-3. Survei virologis
penderita DBD telah dilekukan di beberapa rumah sakit di Indonesia sejak tahun 1972
sampai dengan tahun 1995. Keempat serotipe virus dengue berhasil diisolasi baik dari
penderita DBD derajat ringan maupun berat. Selama 17 tahun, serotipe yang berdominasi
adalah virus dengue serotipe DEN-2 atau DEN-3
Laporan kepustakaan mengenai demam berdarah dengue dalam kehamilan dan
persalinan masih sangat sedikit. Penelitian di Haiti dan Republik Dominika melaporkan
bahwa setengah dari semua anak yang telah mencapai usia 2 tahun di negara tersebut
mempunyai antibodi terhadap dengue. Pada saat periode non epidemik, surveilens di
Republik Dominika terhadap darah dari 54 ibu hamil dan darah tali pusat bayi yang
dilahirkannya menunjukkan bahwa attack rate adalah 6%. Dilaporkan pula bahwa kadar
antibodi di dalam darah tali pusat lebih tinggi daripada di dalam darah ibu. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dalam kehamilan telah terjadi imunisasi pasif
transplasental.

Etiologi
Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk
kelompok B Arthropod Borne Virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviridae, yang memiliki 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3, dan DEN-4. Infeksi oleh salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap
serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe yang
lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai
terhadap serotipe lain tersebut.
Patofisiologi
Patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permeabilitas
vaskuler yang mengarah pada kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler, sehingga
meningmbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasme
menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung oleh penemuan post-
mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia.
Tidak terjadi lesi destruktif yang nyata pada vaskuler, menunjukkan bahwa
perubahan sementara fungsi vaskuler diakibatkan suatu mediator kerja singkat. Jika
penderita sudah stabil dan mulai sembuh, cairan ekstravasasi diarborbsi dengan cepat,
menimbulkan penurunan hematokrit. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS
melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopenia, dan kelainan koagulasi.
Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan
trombositopenia, dan banyak di antaranya penderita menunjukkan hasil pemeriksaan
koagulasi yang abnormal.

Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
aegepty atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus ini adalah organ hepar, nodus
limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru. Data dari perbagai penelitian menunjukkan
bahwa sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue mulai dengan menempelnya virus genomnya masuk ke
dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-
komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah
komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangbiakan
virus DEN terjadi di sitoplasma sel.
Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan reaksi silang pada uji serologis. Hal ini menyebabkan diagnosis pasti
dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini dapat terjadi di antara keempat serotipe
virus DEN. Infeksi oleh satu serotipe virus DEN menimbulkan imunitas protektif
terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada proteksi silang terhadap serotipe virus
yang lain.
Patogenesa DBD dan DSS masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua
teori yang banyak dianut pada DBD dan DSS adalah hipotesis infeksi sekunder
(secondary heterologous infection theory) atau hipotesis immune enchancement.
Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi
yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog, mempunyai risiko yang
lebih besar untuk menderita DBD atau DSS. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan faktor reseptor dari
membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus
tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel
makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enchancement (ADE),
suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel
mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator
vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah,
sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection theory yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respon antibodi
anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan
transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Di
samping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya kompleks antigen antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan
mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya plasma dari ruang intravaskuler ke ruang ekstravaskuler. Pada pasien
dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan
berlangsung selama 24-43 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya
peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam
rongga serosa (efusi pleura, ascites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal, oleh karena itu pengobatan
syok sangat penting guna mencegah kematian.
Hipotesis kedua menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain,
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi
baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan
genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia,
peningkatan virulensi, dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah yang besar.
Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen antibodi
selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua
faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi
sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phospat) sehingga trombosit mekekat satu
sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo
endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan
menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati
konsumtif (KID=koagulasi intravaskuler diseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi
sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akibatnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.
Gangguan Hemostasis Pada Demam Berdarah Dengue
Infeksi virus dengue dapat asimtomatik atau disertai manifestasi klinis berupa
demam tidak terdiferensiasi, demam dengue atau demam berdarah dengue. Demam
Berdarah Dengue (DBD) merupakan manifestasi infeksi virus dengue yang berat yang
ditandai dengan terjadinya perembesan plasma dan gangguan hemostasis sehingga
berpotensi menimbulkan syok (Dengue Shock Syndrome). Gangguan hemostasis pada
demam berdarah dengue dapat berupa vaskulopati, trombositopenia, gangguan fungsi
trombosit, koagulopati dan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID).
Proses imunopatologi yang terjadi pada demam berdarah dengue melibatkan
sistem imunitas humoral dan selular. Hipotesis secondary heterologous infection oleh
Halstead menyatakan reaksi antibodi terhadap virus dari infeksi sebelumnya akan
mempermudah infeksi virus terhadap monosit dan makrofag (antibody dependent
enhancement). Disamping hipotesis tersebut diketahui pula peran komplemen, limfosit T
dan berbagai mediator seperti TNF-a, IL-2, IL-6, IFN-g, PAF, C3a, C5a dan histamin
yang menyebabkan disfungsi endotel, perembesan plasma, renjatan, gangguan koagulasi
dan manifestasi perdarahan Peran IL-18 terhadap diferensiasi sel T menjadi T-helper 1
diperkirakan juga berperan dalam patogenesis demam berdarah dengue.
Vaskulopati bermanifestasi sebagai uji 1 touniquet yang positif dan petekie yang
terjadi pada awal demam sebelum terjadinya, trombositopenia. Gangguan vaskular yang
terjadi berupa infiltrasi dinding vaskular oleh limfosit fagosit mononuklear, deposit IgM,
komplemen dan fibrinogen. Vaskulopati terjadi sebagai akibat pengaruh virus secara
langsung saat awal infeksi atau sebagai akibat reaksi imunologis yang terjadi saat
konvalesen.
Trombositopenia dengan jumlah trombosit  100.000/ mm3 terjadi pada hari ke
3-7 demam dan kembali meningkat pada hari ke 8-9. Jumlah trombosit pada syok (DSS)
pada umumnya  50.000/mm3 dengan rata-rata 20.000/mm3. Perdarahan umumnya
tidak terjadi walaupun jumlah trombosit  20.000/mm3 kecuali pada keadaan syok
berkepanjangan (prolonged shock). Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui
mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi
peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin
dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini
menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi
terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan
frogmen C3g, karena terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses
koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui
mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar B-tromboglobulin dan PF4
yang merupakan petanda degranulasi trombosit.
Koagulopati terjadi pada berbagai infeksi virus dan bakteri termasuk infeksi
virus dengue. Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati
konsumtif pada demam berdarah dengue derajat III dan IV. Terjadi pemanjangan masa
protombin (PT), masa tromboplasin parsial teraktivasi (APTT), penurunan fibrinogen dan
peningkatan D-Dimer atau FDP, serta penurunan berbagai faktor koagulasi (11, V, VII,
VIII, IX, X dan XII). Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue seperti juga pada
sepsis diperkirakan melalui jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga
berperan melalui aktivasi faktor XIa namun tidak melalui, aktivasi kontak (kalikrein C1-
inhibitor complex). Aktivitas antitrombin III pada demam berdarah dengue menurun
terutama pada DSS dan berkorelasi dengan PT, APTT, kadar albumin dan fibrinogen.
Proses koagulopati yang berlangsung di luar batas kompensasi menyebabkan terjadinya
penumpukan fibrin, KID dan kegagalan organ multipel.
Bagaimana pengaruh gangguan hemostasis/koagulasi terhadap risiko perdarahan
dan mortalitas pada pasien DBD dan DSS, kiranya masih memerlukan penelitian lebih
lanjut; walaupun pada DBD derajat I pada umumnya dapat membaik tanpa memerlukan
intervensi terapi. Sebagai penutup dapat disimpulkan bahwa gangguan hemostasis pada
demam berdarah dengue merupakan proses kompleks yang melibatkan fungsi vaskuler,
trombosit dan koagulasi dan terkait dengan keadaan klinis dan derajat penyakit.
Manifestasi Klinis
Infeksi virus dengue tergantung dari faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi virulensi virus. Dengan demikian infeksi virus
dengue dapat menyebabkan keadaan yang bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala
(asimptomatik), demam ringan yang tidak spesifik, demam dengue, atau bentuk yang
lebih berat yaitu demam berdarah dengue (DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS).

1. Demam dengue (DD)


Bentuk klasik demam dengue adalah gejala demam tinggi mendadak, kadang-
kadang bifasik (saddle back fever), nyeri kepala berat, nyeri belakang bola mata, nyeri
otot, tulang atau sendi, mual, muntah, dan timbulnya ruam-ruam di kulit. Ruam
berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit dapat menghilang namun
timbul kembali pada hari ke 6 atau ke 7 terutama di daerah kaki, tangan, dan telapak kaki
atau tangan. Kadang-kadang ditemui keadaan trombositopenia dan leukopenia. Masa
penyembuhan dapat disertai rasa lesu yang berkepanjangan.

2. Demam Berdarah Dengue (DBD)


Bentuk klasik DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai
dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang,
sendi, mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan
dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk
pilek. Nyeri epigastrium dan di bawah tulang iga kanan, serta nyeri di daerah perut yang
bersifat umum, biasa ditemukan. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam
terutama pada bayi.
Bentuk perdarahan yang paling sering ditemukan adalah uji tourniquet (rumple
leed) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada
bekas pengambilan darah. Pada kebanyakan kasus petekia halus ditemukan tersebar di
daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase
awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan
saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam. Keadaan hepatomegali juga
dapat ditemukan.
Masa kritis dari penyakit terjadi pada fase akhir demam, pada saat ini penurunan
suhu yang tiba-tiba sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam
berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan, perubahan yang terjadi
minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.
DBD dibedakan dari DD dengan adanya kebocoran plasma yang bermanifestasi
sebagai peningkatan nilai hematokrit, efusi pada rongga pleura atau rongga peritoneum,
atau hipoproteinemia. Perjalanan penyakit dapat dipengaruhi oleh diagnosis dini dan
pemberian cairan.

Berdasarkan manifestasi klinis yang ditemukan, DBD dibagi atas 4 derajat, yaitu:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi
perdarahan ialah uji tourniquet.
Derajat II : Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
dan/atau perdarahan lain.
Derajat III : Kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang
cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau
kurang), atau hipotensi, ditandai dengan kulit dingin dan
lembab serta pasien menjadi gelisah.
Derajat IV :Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur.

Diagnosis
Perubahan patofisiologi pada infeksi dengue menentukan perbedaan perjalanan
penyakit antara DBD dengan DD. Perubahan patofisiologis tersebut adalah kelainan
hemostasis dan perembesan plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan
adanya trombositopenia dan peningkatan hematokrit. Oleh karena itu, trombositopenia
dan hemokonsentrasi merupakan kejadian yang selalui dijumpai.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun
1997 yang terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris.
Kriteria klinis:
1. Demam tinggi mendadak tanpa diketahui penyebab yang jelas dan berlangsung
terus menerus selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan:
a. Uji tourniquet positif
b. Ptekie, ekimosis, purpura
c. Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi
d. Hematemesis dan atau melena
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, kaki dan
tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.

Kriteria Laboratoris adalah:


1. Trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang)
2. Hemokonsentrasi, peningkatan hematokrit 20% atau lebih

Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau


peningkatan hematokrit cukup untuk menegakkan diagnosis klinis DBD. Efusi pleura dan
atau hipoalbuminemia dapat memperkuat diagnosis terutama pada pasien anemia dan
atau terjadi perdarahan. Pada kasus syok, peningkatan hematokrit dan adanya
trombositopenia mendukung diagnosis DBD.

Diagnosis Laboratoris
Diagnosis defenitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium dengan
cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan tubuh, dan
deteksi antibodi spesifik dalam serum pasien.

Diagnosis Serologis
Dikenal 5 jenis uji serologis yang biasa dipakai untuk menentukan adanya infeksi virus
dengue, yaitu:
1. Uji hemaglutinasi inhibisi
Uji hemaglutinasi inhibisi adalah uji serologis yang dianjurkan dan paling sering
dipakai dan dipergunakan sebagai gold standard pada pemeriksaan serologis.
2. Uji komplemen
Uji komplemen fiksasi jarang dipergunakan sebagai uji diagnostik secara rutin, oleh
karena selain cara pemeriksaan agak rumit prosedurnya juga memerlukan tenaga
pemeriksa yang berpengalaman. Berbeda dengan antibodi HI, antibodi komplemen
fiksasi hanya bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).
3. Uji neutralisasi
Uji neutralisasi adalah uji serologi yang paling spesifik dan sensitif untuk virus
dengue. Biasanya uji neutralisasi memakai cara yang disebut Plaque Reduction
Neutralization Test (PRNT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang
terjadi. Saat antibodi neutralisasi dapat dideteksi dalam serum hampir bersamaan
dengan HI antibodi tetapi lebih cepat dari antibodi komplemen fiksasi dan bertahan
lama (>4-8 tahun). Uji ini juga rumit dan memerlukan waktu yang cukup lama
sehingga tidak dipakai secara rutin.
4. IgM Elisa
Uji ini pada tahun terakhir merupakan uji serologi yang banyak dipakai. Uji ini
mempunyai sensitifitas sedikit di bawah uji HI, dengan kelebihan yaitu hanya
memerlukan satu serum akut saja dengan spesifisitas yang sama dengan uji HI.
5. IgG Elisa
Uji IgG Elisa sebanding dengan uji HI, hanya sedikit lebih spesifik.

Diagnosis banding
Etiologi demam pada awal penyakit umumnya sulit diketahui, karenanya perlu
ditelit infeksi pada alat-alat tubuh baik yang disebabkan bakteri maupun virus, seperti
bronkopneumonia, kolesistitis, pielonefritis, demam tifoid, malaria dan sebagainya.
Adanya ruam yang akut seperti pada morbili perlu dibedakan dengan DBD. Biasanya
pada morbili ruamnya lebih banyak, adanya bintik-bintik koplik pada selaput lendir mulut
dan selalu ditemukan koriza. Adanya pembesaran hati perlu dibedakan dengan hepatitis
akut dan leptospirosis. Pada hari ke 3-4 demam dengan adanya manifestasi perdarahan,
kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar.
Perdarahan di kulit seperti petekie dan kimosis ditemukan pada beberapa penyakit
infeksi, misalnya sepsis, meningitis, meningokokus. Pada sepsis, sejak semula pasien
tampak sakit berat, demam naik turun, dan ditemukan tanda-tanda infeksi. Di samping itu
jelas terdapat leukositosis disertai dominasi sel polimorfonuklear. Pemeriksaan laju endap
darah (LED) dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi bakteri dengan virus. Pada
meningitis meningokokus jelas terdapat tanda rangsangan meningeal dan kelainan pada
pemeriksaan cairan serebrospinalis.
Penyakit-penyakit darah seperti idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP),
leukemia pada stadium lanjut dan anemia aplastik dapat pula memberikan gejala-gejala
yang mirip DBD. Pemeriksaan sumsum tulang akan dapat memberi kepastian mengenai
diagnosis.
Renjatan endotoksik dan renjatan karena dengue sulit dibedakan. Umur, faktor
predisposisi dan perjalanan klinisnya dapat membantu membedakannya.
Gejala penyakit yang disebabkan virus Chikungunya (juga suatu arbovirus) mirip
sekali dengan dengue, terutama mengenai lama demam dan manifestasi perdarahan,
tetapi tidak pernah menyebabkan renjatan dan gangguan kesadaran.

Komplikasi
1. Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan
dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD yang tidak disertai syok.
Gangguan metabolik seperti hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi
penyebab terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara, maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis pembuluh darah otak sementara
sebagai akibat dari koagulasi intravaskular diseminata (KID).

2. Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat dari
syok yang tidak teratasi dengan baik.

3. Edema Paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat berlebihan
pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai kelima sesuai panduan yang
diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma
masih terjadi. Akan tetapi apabila pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstra,
apabila cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan kadar
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien akan mengalami
distres pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan tampak adanya gambaran
edema paru pada foto dada.

Prognosis
Kematian oleh demam dengue hampir tidak ada, sebaliknya pada DBD atau DSS
mortalitasnya cukup tinggi.

Pencegahan
Untuk memutuskan rantai penularan, pemberantasan vektor dianggap cara paling
memadai saat ini. Vektor dengue khususnya A.aegypti sebenarnya mudah diberantas
karena sarang-sarangnya terbatas di tempat yang berisi air bersih dan jarak terbangnya
maksimum 100 meter. Tetapi karena vektor terbesar luas, untuk keberhasilan
pemberantasan diperlukan total coverage (meliputi seluruh wilayah) agar nyamuk tak
dapat berkembang biak lagi. Terdapat 2 cara pemberantasan vektor:
1. Menggunakan insektisida.
Yang lazim dipakai dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah
malathion untuk membunuh nyamuk dewasa (adultisida) dan temephos (abate) untuk
membunuh jentik (larvasida). Cara penggunaan malathion ialah dengan pengasapan
(thermal fogging) atau pengabutan (cold fogging). Untuk pemakaian rumah tangga
dapat digunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan di dalam
kamar/ruangan, misalnya golongan organofosfat, karbamat atau pyrethroid. Cara
penggunaan temephos (abate) ialah dengan pasir abate (sand granules) ke dalam
sarang-sarang nyamuk aedes, yaitu bejana tempat penampungan air bersih. Dosis
yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram Abate SG 1 % per 10 liter air.
2. Tanpa insektisida
Caranya adalah:
a. Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1x seminggu
(perkembangan telur ke nyamuk lamanya 7-10 hari.
b. Menutup tempat penampungan air rapat-rapat.
c. Membersihkan halaman rumah dari kaleng-kaleng bekas, botol-botol pecah dan
benda lain yang memungkinkan nyamuk bersarang.

Isolasi pasien agar pasien tidak digigit vektor untuk ditularkan kepada orang lain
sulit dilaksanakan lebih awal dari perawatan di rumah sakit karena kesulitan praktis.
Mencegah gigitan nyamuk dengan cara memakai obat gosok maupun pemakaian kelambu
memang dapat mencegah gigitan nyamuk, tetapi cara ini dianggap kurang praktis.
Imunisasi maupun pemberian anti-virus dalam usaha memutuskan rantai penularan, saat
ini baru dalam taraf penelitian.

Dampak Infeksi Virus Dengue Pada Kehamilan


Wanita hamil harus berhati-hati pada infeksi virus dengue, karena infeksi yang
terjadi mungkin dapat mempengaruhi janin. Demam dengue pada wanita hamil tidak
menyebabkan abnormalitas pada janin tetapi dapat berisiko terjadi kematian janin. Janin
yang dilahirkan dapat menderita kegagalan multiorgan pada saat lahir.
Ada beberapa laporan kasus transmisi vertikal virus dengue. Salah satunya pada
wanita Thailand dengan sakit panas yang melahirkan bayinya melalui seksio sesarea.
Meski virus dengue tidak dapat diisolasi dari si ibu, namun data serologi menunjukkan
dengue sebagai penyebab panas pada ibu tersebut. Bayi yang dilahirkan menderita
pireksia pada umur 6 hari dan hal ini mungkin dikarenakan si bayi mendapat infeksi virus
dengue dari ibunya, meskipun ada kemungkinan si bayi digigit nyamuk pada umur 1 atau
2 hari. Selain itu, pada kasus yang lain dilaporkan bayi yang dilahirkan dari seorang
wanita yang menderita DBD pada waktu hamil menderita panas pada umur 48 jam. Bayi
ini menderita panas selama 2 hari, hepatomegali, trombositopenia, dan efusi pleura.
Dengan menggunakan PCR (polymerase chain reaction) terdeteksi virus dengue tipe 1 di
serumnya.
PENATALAKSANAAN DEMAM BERDARAH DENGUE
Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk DD dan DBD karena infeksi virus ini
adalah self limited. Pengobatan dengue fever tanpa komplikasi mencakup terapi suportif
dan meliputi penghilangan rasa nyeri, penurunan temperatur tubuh, tirah baring, dan
pemberian cairan.
Pada beberapa kasus yang meragukan diperlukan observasi dan pemeriksaan
lanjut dan penderita dapat dirawat di rumah sakit apabila:
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan
2. DBD dengan perdarahan masih dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan:
a. Hb, Ht normal dengan trombositopenia < 100.000/µl
b. Hb, Ht yang meningkat dengan trombositopenia < 150.000/µl
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil pemeriksaan Hb, Ht, dan
trombosit dalam batas normal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke
poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya atau apabila keadaan pasien memburuk.

1. Penatalaksanaan DBD tanpa perdarahan masif dan syok


Pada pasien DBD tanpa perdarahan masif dan syok di ruang rawat, cairan Ringer
Laktat merupakan pilihan pertama. Cairan lain yang dapat digunakan antara lain adalah
cairan Dextrosa 5% dalam Ringer Laktat atau Ringer Asetat, Dextrosa 5% dalam NaCl
0,45%, Dextrosa 5% dalam larutan garam atau NaCl 0,9%.
Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan selama 24 jam, pasien mengalami
dehidrasi sedang, maka pasien dengan berat badan sekitar 50-70 kg diberikan Ringer
Laktat perinfus sebanyak 3.000 cc/24 jam. Pada pasien dengan berat badan lebih dari 70
kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/24 jam. Jumlah ini harus
diperhitungkan kembali dengan cermat terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu.
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap
harinya tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu
tubuh mulai menurun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar 2 liter/24
jam) dan tidak didapatkan tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah trombosit mulai
meningkat lebih dari 50.000/ul, maka jumlah cairan infus selanjutnya dapat mulai
dikurangi.
Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD dewasa tanpa
perdarahan masif dan tanpa syok tersebut sudah memadai, maka pemeriksaan Hb, Ht, dan
trombosit dilakukan setiap 12 jam untuk pasien dengan jumlah trombosit kurang dari
100.000/ul, sedangkan untuk pasien dengan jumlah trombosit berkisar 100.000-
150.000/ul, pemeriksaan dilakukan setiap 24 jam. Pemeriksaan darah, frekuensi nadi dan
pernafasan, dan jumlah urin dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien makin
memburuk dengan didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tana vital
harus diawasi dengan ketat.
Mengenai tanda-tanda syok harus diwaspadai sedini mungkin karena
penatalaksanaan pasien dengan syok (DSS) lebih sulit, dan disertai dengan risiko
kematian yang lebih tinggi. Tanda-tanda syok dini yang harus segera dicurigai adalah
apabila pasien tampak gelisah, atau adanya penurunan kesadaran, akral teraba dingin dan
tampak pucat, serta jumlah urin yang menurun kurang dari 0,5 ml.kgBB/jam. Gejala-
gejala tersebut merupakan tanda berkurangnya aliran darah ke organ vital tubuh. Tanda-
tanda lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari
100 mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dan kecil. Apabila ditemui
tanda-tanda tersebut, maka penatalaksanaan DBD dengan syok (DSS) harus segera
diberikan.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif
(perdarahan dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit < 100.000
ul, dengan atau tanpa koagulasi intravaskular diseminata (KID). Pasien DBD dengan
trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.

Pasien dapat dipulangkan apabila:


a. Keadaan umum/kesadaran dan hemodinamika baik, serta tidak demam
b. Pada umum Hb, Ht dan jumlah trombosit dalam batas normal serta stabil 24 jam,
tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit belum mencapai normal,
pasien sudah dapat dipulangkan.
2. Penatalaksanaan DBD dengan perdarahan spontan dan
masif tanpa syok
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD misalnya epistaksis, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian
cairan Ringer Laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya yaitu 500 ml/4
jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan, dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin. Pemeriksaan
Hb. Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda
KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma
diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang
memanjang). Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan yang masif
dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000 µl, disertai dengan KID.

3. Penatalaksanaan DBD dengan syok dan perdarahan


spontan
Pada kasus DBD dengan syok (DSS), cairan yang diberikan adalah Ringer Laktat
sebagai cairan kristaloid pertama karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa.
Pilihan lainnya adalah NaCL 0,9%. Selain resusitasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-
4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer
lengkap, pemeriksaan hemostasis, analisis gas darah, kadar elektrolit natrium, kalium,
klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal Ringer Laktat diberikan sebanyak 20 ml.kgBB/jam dan kemudian
dievaluasi selama 30-120 menit. Syok harus dapat diatasi segera dalam 30 menit pertama.
Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien membaik, kesadaran/keadaan sistem
saraf pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20
mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang cukup, akral teraba
hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam.
Apabila syok sudah dapat diatasi, pemberian Ringer Laktat selanjutnya dapat
dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan dievaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila
keadaan klinis stabil, maka pemberian cairan Ringer Laktat selanjutnya sebanyak 500
cc/4 jam. Pengawasan dini terhadap kemungkinan terjadinya syok berulang harus
dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh karena selain
proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga karena sifat cairan kristaloid hanya
sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat
pemberiannya. Oleh karena itu apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht
lebih dari 30 vol%, dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan
perbandingan 4:1 atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol% hendaknya
diberikan transfusi sel darah merah (PRC).
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada DBD dengan syok mengingat
kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna.
Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD adalah apabila didapatkan adanya infeksi
sekunder di tempat lain. Antibiotik yang digunakan hendaknya tidak mempunyai efek
terhadap sistem pembekuan.

Penatalaksanaan DBD dengan syok tanpa perdarahan


Pada prinsipnya penatalaksanaan kelompok ini mirip dengan penatalaksanaan
pasien DBD dengan syok dan perdarahan, hanya pemeriksaan secara klinis maupun
laboratorium perlu dilakukan secara lebih teliti dan seksama untuk menentukan
kemungkinan adanya perdarahan yang tersembunyi disertai dengan KID. Apabila tidak
ditemukan tanda-tanda perdarahan, walaupun hasil hemostasis menunjukkan adanya
KID, heparin tidak diberikan, kecuali bila ada perkembangan ke arah perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hadinagoro SR. Tatalaksana Demam Dengue/Demam Berdarah dengue.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia Rektorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular Dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. 1999
2. Satari HI. Demam Berdarah Dengue. Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Dokter
Spesialis Anak dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus
DBD. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta, 1999
3. WHO. Reported Cases and Deaths of DF/DHF in SEAR. Diakses dari
http://www.who.int
4. Prawirohardjo S. Penyakit Menular. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 1999: 567-560
5. Sumarmo S.P.S. Infeksi Virus Dengue. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis.
Hipokrates. Jakarta, 1999: 177-205
6. Dengue Haemorrhagic Fever. Diakses dari:
http://www.who.int/csr/resources/publications/dengue/012-23.pdf
7. Prasetyo AA. Infeksi Virus Dengue. Infeksi Virus & Kehamilan. Penerbit Pustaka
Cakra Surakarta. Surakarta, 2005: 138-142
8. Hacker NF, Moore JG. Fisiologi Ibu. Esensial obstetri dan ginekologi. Jakarta :
Hipokrates, 2001 : 68-82
9. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ. Anatomy and Physiology. William
Obstetrics, 22nd ed. Mc Graw Hill Medical Publishing Division. New York, 2001:
64-66
10. Prawirohardjo S. Perubahan Anatomik dan Fisiologik pada Wanita Hamil. Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 1999: 89-100
11. Soegijanto Soegeng. Aspek Imunologi Penyakit Demam Berdarah Dengue.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya, 1998: 11-33
12. Dengue Fever. Diakses dari: http://www.acpmedicine.com/sample2/ch0731s.htm
13. Shepherd Suzanne. Dengue Fever. Diakses dari:
http://www.emedicine.com/MED/topic528.htm

Anda mungkin juga menyukai