Anda di halaman 1dari 9

Tugas Kampanye Sosial

Shofani Azhari - 27118072

Investigasi dan Identifikasi Masalah Sosial: Mental Illness.

Gangguan jiwa atau mental illness adalah keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan
mengenai persepsinya tentang kehidupan, hubungan dengan orang lain, dan sikapnya terhadap
dirinya sendiri. Gangguan jiwa merupakan suatu gangguan yang sama halnya dengan gangguan
jasmaniah lainnya, tetapi gangguan jiwa bersifat lebih kompleks, mulai dari yang ringan seperti
rasa cemas, takut hingga tingkat berat berupa sakit jiwa (Budiman, 2010).

Mental Illness adalah kumpulan penyakit gangguan kejiwaan yang mempengaruhi pikiran,
perasaan dan perilaku seseorang. Gangguan kepribadian ini membuat penderita sulit untuk
mengetahui perilaku yang dianggap normal dan tidak. Mental Illness juga bisa terjadi pada
remaja, sebagian besar gangguan kesehatan mental muncul pada masa remaja atau mungkin di
awal usia 20-an.

Para peneliti dari Harvard Medical School menemukan separuh dari kasus gangguan mental
dimulai dari usia sangat muda, 14 tahun dan tigaperempatnya terjadi sejak usia 24 tahun.
Karena kemunculannya yang sangat dini itu, maka terapi dan penanganannya harus dilakukan
sejak awal pula.

Direktur Eksekutif National Alliance on Mental Illness (NAMI), Mary Giliberti, menyatakan,
ada 1 dari 5 remaja mengidap kondisi gangguan mental seperti yang dijelaskan dari name.org,
tapi hanya kurang dari setengahnya yang memutuskan mencari bantuan. Padahal Mental Illness
adalah gangguan jiwa yang cukup berbahaya dan dapat menyebabkan seseorang memiliki
keinginan untuk bunuh diri.

Penyebab terjadinya Mental Illness muncul oleh banyak factor, bisa karena stress, depresi,
karena mengalami tekanan yang dalam terhadap mental, atau traumatic akan kehilangan sesuatu
dan seseorang. Tekanan batin karena lingkungan sekitar atau orang tua, kurang perhatian atau
kasih sayang juga dapat menjadi faktor pemicu stress dan depresi.
Menurut Maramis (2010) dalam Buku Ajar Keperawatan Jiwa, sumber penyebab gangguan
jiwa dapat dibedakan atas :

1.Faktor Somatik (Somatogenik), yaitu akibat gangguan pada neuro anatomi, neuro fisiologi,
dan nerokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan organik, serta faktorpranatal
dan perinatal.

2. Faktor Psikologik (Psikogenik), yaitu keterkaitan interaksi ibu dan anak, peranan ayah, persa
ingan antara saudara kandung, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permintaan masyarakat.
Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi juga
akan mempengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan tersebut kurang
baik, maka dapat menyebabkan kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang
berlebihan.

3. Faktor Sosial Budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh anak, tingkat
ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas
kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh mengenai keagamaan. Harus
diakui, literasi publik mengenai kesehatan jiwa masih minim. Setiap orang sangat mudah
terpapar masalah kejiwaan. Namun, tidak semua orang sadar dengan kondisi kesehatan
kejiwaannya, apalagi untuk meminta pertolongan. Oleh karena penyebab masalah kejiwaan
tidak hanya karena faktor individu, negara juga punya tanggung jawab besar untuk mencegah
terjadinya dan menyediakan layanan kesehatan jiwa yang baik.

Jenis-jenis Gangguan Jiwa

1. Gangguan kegelisahan (Anxiety Disorder)


2. Gangguan depresi (Depressive Disorder)
3. Mengasingkan Diri (Schizophrenia)
4. Kelainan Kebiasaan Makan (Eating Disorder)
5. Autis
6. Bipolar
7. Gangguan Hiperaktif (Hiperactivity Disorder)
8. Gangguan Perilaku (Conduct Disorder)
9. Retardasi Mental
10. Gangguan Mental lainnya
Di banyak negara, termasuk Indonesia, penanganan terhadap orang yang mengalami gangguan
kejiwaan masih minim. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam paparan Mental Health
Action Plan 2013-2020 disebutkan, sistem jaminan kesehatan di negara mana pun belum
melayani pasien yang mengalami gangguan mental. Itu sebabnya terjadi kesenjangan yang
tinggi antara orang-orang yang membutuhkan penanganan masalah kejiwaannya dan angka
orang-orang yang tertangani.

Catatan WHO menunjukkan 76-85 persen orang dengan gangguan mental berat di negara yang
berpendapatan rendah dan menengah tidak mendapat penanganan yang semestinya. Sementara
pada negara yang berpendapatan tinggi pun angkanya masih cukup tinggi, yaitu 35-50 persen.
Secara global, pengeluaran tahunan untuk kesehatan mental kurang dari 2 dollar AS per orang
dan di negara berpendapatan rendah angkanya kurang dari 0,25 dollar AS per orang. Artinya,
tidak sampai Rp 5.000 per orang per tahun pada kurs rupiah saat ini.

Mengapa negara punya peran dan harus ikut bertanggung jawab dalam penanganan masalah
kesehatan jiwa? Hal itu karena faktor utama yang menyebabkan seseorang mengalami
gangguan kejiwaan bukan semata akibat ketidakmampuan individu dalam mengendalikan
pikiran, perasaan, dan perilakunya dalam berinteraksi dengan orang lain.

Hal itu juga disebabkan oleh faktor-faktor di luar diri individu yang terkait dengan kondisi
sosial, kultural, ekonomi, lingkungan, bahkan politik yang memengaruhi, antara lain standar
hidup dan kondisi pekerjaan seseorang. WHO menyebutkan, terdapat beberapa kelompok
dalam masyarakat yang berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan mental.

Kelompok yang rentan ini adalah keluarga yang hidup dalam kemiskinan, orang yang
mengalami sakit kronis, bayi dan anak-anak yang salah asuh dan ditelantarkan, remaja yang
terlibat penggunaan zat adiktif, kelompok minoritas, orang lansia, orang yang mengalami
diskriminasi dan kekerasan, kelompok LGBT, mantan narapidana, serta orang-orang yang
hidup di daerah konflik dan korban bencana alam.

Dalam beberapa kelompok masyarakat, gangguan mental terkait dengan kondisi marginalisasi
dan pemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, serta beban kerja yang menimbulkan stres,
terutama pada perempuan. Itu sebabnya, penanganan kesehatan jiwa ini harus melibatkan
negara dengan pendekatan dan konsep yang tepat.
Selain itu, aksesibilitas pengobatan kesehatan mental tidak setara dengan aksesibilitas
pengobatan kesehatan fisik. Hal ini terjadi karena masyarakatnya sendiri belum terbuka dengan
masalah kesehatan mental. Ditambah dengan adanya stigma yang mengitari kesehatan mental,
bahwa seseorang yang mempunyai suatu mental disorder adalah orang yang sedang mencari
perhatian. Sebenarnya memang pengobatan kesehatan mental tidak bisa disamakan dengan
kesehatan fisik. Untuk menyembuhkan mental illness itu tidak semudah dengan memberi obat
lalu langsung sembuh seperti layaknya penyakit fisik pada umumnya. Proses penyembuhannya
pun cukup panjang, mulai dari mengidentifikasi penyebabnya, pemberian obat bila perlu,
merubah gaya hidup, sampai kontrol secara rutin.

Presentase penderita pasien mental illness yang mengalami relapse pun sangat tinggi. Hal
tersebut utamanya dikarenakan oleh ketidaktuntasan pengobatan yang didapat oleh pasien.
Kasus yang sering sekali terjadi dan dialami pasien adalah ketika mereka datang ke psychiatrist
diberi obat antidepressants lalu akan dibiarkan begitu saja tanpa diwajibkan untuk datang
kontrol secara rutin. Jadi sebenarnya aksesbilitas pemberian obat untuk mental illness
sebenarnya tidak terlalu berkendala namun yang menjadi masalah adalah penyembuhan secara
tuntasnya.

Dengan munculnya media sosial, kasus-kasus cyber harassment makin meningkat, hal ini juga
bisa menyebabkan masalah mental menjadi semakin kompleks.

Dampak Kontraproduktif

Ketidakpekaan, ketidakpedulian, dalam penanganan gangguan jiwa itu dalam jangka panjang
akan kontraproduktif bagi kemajuan perekonomian. Penderita skizofrenia/psikosis yang
termasuk dalam kategori gangguan mental berat akan sulit menghasilkan karya produktif yang
memiliki nilai ekonomi. Dengan kata lain sulit memperoleh pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya sehingga menjadi beban hidup keluarganya.

Demikian juga dengan gangguan depresi apabila tidak tertangani akan menurunkan
produktivitas sang penderita. Apalagi, sekitar 81 persen penderita depresi berada pada rentang
usia produktif antara 15-54 tahun dengan berbagai tingkatan pendidikan dari rendah hingga
jenjang pendidikan tinggi level perguruan tinggi. Apabila tidak disembuhkan, para penderita
ini berpotensi kehilangan kualitas hidup, tidak lagi produktif sehingga menjadi kerugian bagi
perekonomian secara nasional.
Jika dinominalkan, kerugian tersebut dapat diukur dengan pendekatan sederhana. Misalnya
saja, diasumsikan semua penderita depresi yang tidak melakukan pengobatan diproyeksikan
akan kehilangan pekerjaan karena tidak produktif lagi.

Pada data Riskesdas 2018, ada 665.720 penderita depresi yang tidak melakukan pengobatan.
Angka ini lalu dikalikan dengan rata-rata pendapatan per kapita nasional pada 2017 yang
nilainya sekitar Rp 4,87 juta rupiah/kapita/bulan. Hasil yang diperoleh dari perkalian itu saja
sudah mencapai sekitar Rp 3,25 triliun per bulan atau hampir Rp 39 triliun setahun.

Nilai itu setidaknya menggambarkan kerugian yang cukup fantastis dengan hilangnya
produktivitas akibat gangguan jiwa depresi. Angka ini belum termasuk hilangnya nilai ekonomi
penderita gangguan jiwa berat lainnya, yakni skizofrenia/psikosis yang lebih potensial untuk
tidak bekerja akibat penyakitnya.

Kalkulasi tersebut adalah proyeksi terburuk apabila gangguan depresi tidak tertangani dan
berubah menjadi gangguan mental berat yang relatif sulit untuk disembuhkan. Oleh sebab itu,
ada baiknya jika semua warga masyarakat kembali menggungah kepeduliannya pada
lingkungan sekitar.

Kenali ciri-ciri adanya indikasi gangguan mental pada orang-orang terdekat. Ajak bicara dan
komunikasi untuk membantu meringankan beban masalah yang mengimpit pikirannya.

Selain itu, tingkatkan kesadaran untuk turut serta melibatkan ahli profesional untuk membantu
meringankan penyakit gangguan mental. Konsultasikan kepada psikolog, psikiater, serta ahli
kejiwaan untuk membantu proses penyembuhan dan pengobatannya. Dengan demikian, akan
semakin banyak para penderita gejala gangguan mental yang terdampingi sehingga dapat
kembali menjadi manusia produktif yang memiliki masa depan lebih baik.

Stigma Masyarakat

Stigma negatif terhadap gangguan dan kesehatan mental memang menjadi keprihatinan kita
bersama. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kesadaran terhadap isu-isu kesehatan
mentaldi masyarakat. Padahal, stigma negatif yang disematkan pada kesehatan dan gangguan
mental berakibat jauh lebih buruk dari apa yang pernah kita bayangkan.
Stigma negatif pada gangguan mental bisa membuat orang dengan gangguan mental merasa
malu, menyalahkan diri sendiri, putus asa, dan enggan mencari serta menerima bantuan.
Ditambah lagi, stigma-stigma tersebut menjadi sebuah penghakiman yang ekstrem terhadap
mereka yang mengalami gangguan mental. Hal ini bisa menjadi pemicu diskriminasi
publik yang berpengaruh terhadap kualitas hidup mereka.

Menurut sebuah penelitian, sebanyak 75% orang dengan gangguan mental mengaku pernah
mengalami stigma negatif dari masyarakat. Angka tersebut seakan-akan menggambarkan
perilaku masyarakat kita yang minim edukasi, tapi mengedepankan persepsi. Banyak orang
masih beranggapan bahwa kesehatan dan gangguan mental adalah sesuatu yang tabu dan layak
untuk dihindari. Banyak isu-isu yang sengaja tidak dibicarakan karena pemahaman dan
kesadaran masyarakat terkait kesehatan mental masih sebatas hal gaib yang hanya dapat
disembuhkan oleh dukun.

1. Introver Sama Dengan Ansos (Anti Sosial)

Introver merupakan salah satu dimensi kepribadian manusia. Seorang introver adalah
seseorang yang merasa kesendirian membantunya untuk lebih berenergi. Mereka yang
memiliki kepribadian introver menganggap dengan berada di keramaian maka, energi
mereka akan tersedot habis. Itulah mengapa oarang-orang introver lebih memilih untuk
menyendiri. Dengan menyendiri mereka merasa mendapatkan energi dan semangat baru
sehingga mereka lebih nyaman dengan kondisi yang demikian.

Mereka yang introver bukan berarti tidak memiliki teman atau anti dengan kehidupan
sosial. Namun, ketika membangun hubungan dengan orang lain, mereka lebih
mengedepankan kualitas dibandingkan dengan kuantitas interaksi. Orang introver lebih
memilih untuk membentuk kelompok pertemanan yang intim dibandingkan jaringan
pertemanan yang luas.

2. Orang Dengan Bipolar Disebut Gila

Gangguan bipolar memang merupakan gangguan mood yang dikenal memiliki dua fase,
yaitu manik dan depresif. Seseorang dengan gangguan bipolar dapat berubah dengan cepat
dari yang awalnya sangat senang (manik), tiba-tiba menjadi sangat sedih (depresif).
Namun, bukan berarti orang dengan gangguan bipolar adalah orang gila hanya karena mood
swing yang tiba-tiba.

Orang-orang dengan gangguan bipolar adalah manusia yang sama seperti kita. Hanya saja,
mereka memiliki gangguan perasaan yang apabila ditangani dengan tepat maka gangguan
tersebut dapat dikontrol. Mariah Carey, Demi Lovato, Kurt Cobain, hingga Marshanda
adalah beberapa contoh orang-orang dengan bipolar yang mampu menjalani hidup seperti
manusia pada umumnya. Mereka mampu berkembang menjadi pribadi yang berkualitas dan
menjalani peran sosialnya dengan baik. Maka dari itu, stigma “gila” pada bipolar adalah
stigma yang tidak beralasan bahkan tanpa dasar. Sayangnya kita sudah melabeli bipolar
dengan label negatif.

3. Depresi Disebabkan Karena Kurang Iman dan Kurang Bersyukur

Orang-orang yang mengalami depresi seringkali mendapat cemoohan bahwa mereka


kurang dekat dengan Tuhan, kurang beribadah, atau cemoohan seperti kurang
bersyukur. Padahal komentar yang mencemooh tersebut justru akan semakin membuat
orang dengan depresi semakin tenggelam dalam fase depresinya. Gangguan depresi
adalah gangguan suasana hati yang berdampak pada penurunan kondisi emosi, fisik dan
pikiran akibat sedih, hampa dan ketidakberdayaan berkepanjangan.

Depresi bukan tentang bersyukur. Orang-orang dengan depresi klinis memiliki rasa rendah
diri yang besar, memiliki perasaan bersalah yang tinggi, dan bahkan memiliki keinginan
untuk mati. Depresi juga bukan karena kurangnya ibadah dan hubungan dengan Tuhan.
Seseorang yang mengalami depresi juga pergi beribadah ke gereja, melakukan meditasi
bagi penganut Budha, rajin sholat serta puasa bagi Muslim, tetapi masih saja depresi.
Mereka masih mengalami depresi, panic attack, melakukan self-cutting, dan masih berpikir
untuk bunuh diri. Jadi, depresi tidak hanya sekadar tentang tingkat keimanan, ketagwaan,
dan relasi seseorang terhadap Tuhannya. Namun, depresi lebih dari itu. Depresi adalah
gangguan yang membuat orang dengan gangguan ini sakit. Orang yang depresi adalah
orang sakit yang seharusnya diberi perawatan khusus oleh para ahli dan profesional. Maka
dari itu, pernyataan depresi disebabkan karena kurang dekat dengan Tuhan, kurang
beribadah dan bersyukur adalah stigma yang salah. Stigma tersebut justru memperburuk
kondisi dan perasaan orang yang mengalami depresi.
4. Seseorang Dengan Gangguan Mental Tidak Akan Sukses

Orang-orang dengan gangguan mental, seperti bipolar, schizophrenia, ADHD, dan


sebagainya bukan berarti tidak akan mencapai kualitas hidup yang baik. Mereka sama
seperti manusia pada umumnya yang memiliki kesempatan untuk sukses, asalkan ditangani
dengan tepat. Orang-orang dengan gangguan mental sebenarnya berada pada kondisi
kesehatan yang dapat mengubah pemikiran, perasaan, atau perilakunya. Hal tersebut yang
menyebabkan mereka terkadang kesulitan dalam menjalankan fungsinya sebagai manusia.
Namun, bukan berarti mereka tidak bisa berkembang menjadi versi terbaik dari dirinya.

Beberapa figur publik diketahui telah terbuka dengan gangguan mental yang mereka alami.
Diantaranya, Jim Carrey, Catherine Zeta Jones, The Rock Johnson, Carrie Fisher, J.K
Rowling, Ted, Turner, Kristen Bell, dan lain sebagainya. Mereka membuktikan bahwa
depresi, kecemasan, ADHD, bipolar tidak menjadi penghalang untuk tetap berkarya dan
sukses.

5. Berbicara Dengan Diri Sendiri Adalah Gangguan Mental

Ada berapa banyak orang yang pada akhirnya membuka pembicaraan dengan diri sendiri
pada masa-masa sulit? Self-talk atau berbicara dengan diri sendiri bukan merupakan
gangguan mental. Sebaliknya, self-talk justru merupakan salah satu cara untuk menjaga
kesehatan mental. Self-talk adalah cara berdialog dengan inner voice diri sendiri saat
menghadapi berbagai macam situasi. Self-talk bisa diucapkan dalam hati maupun dengan
suara lantang.

Berbicara dengan diri sendiri terkadang menjadi hal yang penting. Apalagi, ketika kita
mengalami masa-masa sulit atau situasi yang dihadapkan pada berbagai pilihan. Self-
talk menjadi sebuah sugesti untuk diri yang akan membantu diri sendiri menjadi lebih sadar
dalam berpikir, merasa, dan bertindak.

6. Sibuk Dengan Dunianya Disebut Autis

Bagi orang-orang yang seringkali menatap layar handphone, terkadang mendapatkan label
autis dari lingkungannya. Label itu pun bisa juga didapatkan ketika ada seseorang yang
sibuk dengan “dunianya” sendiri, atau dunia yang tidak banyak dipahami oleh orang.
Namun, label autis yang disematkan tersebut jauh sekali dari definisi autis sebenarnya.
Gangguan autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan
pada anak yang ditandai oleh hambatan dalam berinteraksi sosial, komunikasi, serta
memiliki pola perilaku dan minat yang terbatas dan berulang. Jadi, tidak ada alasan lagi
untuk memakai autisme untuk melabeli dan mencemooh orang yang sibuk dengan
“dunianya”. Bisa jadi mereka yang sibuk dengan handphone adalah mereka yang sedang
membalas pesan penting dengan orang terkasih. Bisa jadi orang-orang yang sibuk
dengan”dunianya” adalah mereka yang sedang berpikir secara mendalam tentang hal-hal
yang menjadi perhatiannya. Sekali lagi, kata autis untuk melabeli orang apalagi bertujuan
untuk sebuah candaan adalah bentuk perilaku yang merendahkan karena autism bukanlah
cemoohan.

Kesimpulan

Sudah saatnya kita bersama-sama menghapus stigma yang salah tentang kesehatan dan
gangguan mental. Sudah saatnya, kita sebagai manusia tidak buru-buru memberikan label
terhadap orang-orang dengan gangguan mental tanpa adanya pemahaman utuh terkait gangguan
mental tersebut. Sudah saatnya, kita membuka mata dan terbuka terkait isu-isu kesehatan
mental yang telah lama kita abaikan.

Dengan demikian, maka dunia akan sangat mungkin menjadi tempat yang ramah bagi siapapun,
termasuk orang-orang dengan gangguan mental. Itu karena kita telah menyadari betul bahwa
kesehatan mental adalah bagian dari kesehatan diri sebagai manusia. Gangguan mental tidak
lagi jauh dari pemahaman kita, sehingga harapannya tidak ada lagi alasan untuk kita
membenarkan stigma yang salah tentang gangguan dan kesehatan mental yang ada di
masyarakat.

Daftar Pustaka

Budiman, M.A. 2010. Stigmatisasi Gangguan Jiwa. larantuquerro's Weblog: Opini.

Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Ed. 2. Surabaya : Airlangga

University Press.

Kompas.com

Anda mungkin juga menyukai