Anda di halaman 1dari 8

II.

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Zona Intertidal

Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat.
Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Menurut
Nybakken (1992) zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit diantara zona laut yang
lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya
terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai
pantainya, maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal pantainya maka zona
intertidalnya akan semakin sempit.

Zona intertidal adalah daerah yang langsung berbatasan dengan daratan. Radiasi matahari,
variasi temperature dan salinitas mempunyai pengaruh yang lebih berarti untuk daerah ini
dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Biota yang hidup di daerah ini antara lain : ganggang
yang hidup sebagai bentos, teripang, binatang laut, udang, kepiting, cacing laut. Pada tiap zona
intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Jenis substrat daerah intertidal ada yang berpasir adapula yang berbatu. Hal lain yang dapat
dilihat yakni pembagian zona juga dapat dilihat dari pasang surutnya dan organismenya.

2.2 Ekologi Zona Intertidal

Susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai di zona intertidal sebagian
disebabkan zona ini berada di udara terbuka selama waktu tertentu dalam setahun. Kebanyakan
faktor menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara daripada di air.

Secara umum daerah intertidal sangat dipengaruhi oleh pola pasang dan surutnya air laut,
sehingga dapat dibedakan menjadi tiga zona yaitu :

a. Zona Pertama
Zona pertama merupakan daerah di atas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan
siraman air laut dari hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut
backshore (supratidal).

b. Zona Kedua

Zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan
laut (intertidal).

c. Zona Ketiga

Zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal).

Secara umum kita dapat membagi tipe-tipe pantai berdasarkan material/substrat penyusun dasar
perairan, antara lain:

1.    Tipe pantai berbatu


Pantai ini terbentuk dari batu granit dari berbagai ukuran tempat ombak pecah. Umumnya pantai
berbatu terdapat bersama-sama atau berseling dengan pantai berdinding batu. Kawasan ini paling
padat makroorganismenya, dan mempunyai keragaman fauna maupun flora yang paling besar.
Tipe pantai ini banyaak ditemui di selatan jawa, nusa tenggara, dan Maluku.
2.    Tipe pantai berpasir
Pantai ini dapat ditemui didaerah yang jauh dari pengaruh sungai besar, atau dipulau kecil yang
terpencil. Makroorganisme yang hidup disini tidak sepadat dikawasan pantai berbatu karena
kondisi lingkungan organisme yang ada cenderung menguburkan dirinya kedalam substrat.
Kawasan ini lebih banyak dimanfaatkan manusia untuk berbagai aktivitas reaksi.
3.    Tipe pantai berlumpur
Perbedaan antara tipe pantai ini dengan tipe pantai sebelumya terletak pada ukuran butiran
sedimen (substrat). Tipe pantai berlumpur mempunyai ukuran butiran yang paling halus. Pantai
berlumpur terbentuk disekitar muara-muara sungai, dan umumnya berasosiasi dengan estuaria.
Tebal endapan lumpurnya dapat mencapai 1 meter atau lebih. Pada pantai berlumpur yang amat
lembek sedikit fauna yang hidup disana. Perbedaan yang lain adalah gelombang yang tiba
dipantai dimana aktifitas gelombangnya sangat kecil, sedangkan untuk pantai yang lain
kebalikannya.

Sebagai akibat adanya perubahan kondisi padang dan kondisi surut air laut dan akibat aktifitas
ombak pantai, menyebabkan kondisi fisik pantai akan selalu berubah baik secara temporal
maupun spasial. Perubahan secara temporal membuat kondisi fisik pantai akan berbeda dalam
rentang waktu jam, hari, bulan maupun tahun. Perubahan secara spasial membuat kondisi fisik
dapat berubah-ubah pada berbagai tempat sekalipun jaraknya cukup berdekatan.

 2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Lingkungan Zona Intertidal

Menurut Prajitno (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan zona intertidal
antara lain :
a.     Pasang surut
Pasang surut yaitu naik turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu
tertentu. Pasang surut merupakan faktor lingkungan paling penting yang mempengaruhi
kehidupan di zona intertidal. Tanpa adanya pasang surut secara periodik zona ini tidak berarti
dan faktor lain akan kehilangan pengaruhnya. Penyebab terjadinya pasang surut dan kisaran
berbeda sangat kompleks dan berhubungan dengan interaksi tenaga penggerak pasang surut,
matahari, bulan, rotasi bumi, dan geomorfologi samudra.
b.    Suhu
Suhu mempengaruhi zona intertidal selama harian/musiman. Kisaran ini dapat melebihi batas
toleransi.
c.     Perubahan salinitas
Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui dua
cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat pasang turun kemudian digenangi air atau
aliran air akibat hujan lebat, salinitas yang turun. Kedua, ada hubungannya dengan genangan
pasang surut, yaitu daerah yang menamoung air laut ketika pasang turun.
d.    Gelombang
Gelombang merupakan parameter utama dalam proses erosi atau sedimentsi. Besarnya erosi
tergantung pada besarnya energi dihempaskan oleh gelombang.
Gelombang/ombak dibagi menjadi 2 macam yaitu ombak terjun dan ombak landai. Ombak terjun
biasanya terlihat di pantai yang lautnya terjal, ombak ini menggulung tinggi kemudian jatuh
dengan bunyi yang keras dan bergemuruh. Sedangkan ombak landai terbentuk di pantai yang
dasar lautnya di landai, sehingga bergulung ke pantai agak jauh sebelum pecah.

e.    Faktor-faktor lain

Adanya substrat yang berbeda-beda yaitu pasir, batu dan lumpur menyebabkan perbedaan fauna
dan struktur komunitas dari daerah intertidal.

Mungkin faktor tunggal yang paling penting yang memodifikasi ketinggian di zona tertentu
dipantau dari sifat organisme hidup terhadap tingkat penjagaan terhadap aksi gelombang.
Sebagaimana telah disebutkan di atas ada berbagai faktor pasang surut seperti waktu makan
terbatas untuk organisme pemakan suspensi, pengeringan dan suhu ekstrim yang cenderung
untuk membatasi distribusi ke atas yaitu ke litoral. Selain itu gelombang beroperasi di arah
sebaliknya dan cenderung untuk melembabkan tingkat atas baik oleh gelombang splash atau
semprot dengan demikian akan bertambah periode perandaman yang efektif memungkinkan
suatu distribusi perluasan organisme intertidal ke atas (Nyabakken, 1992).

2.4 Biota pada Zona Intertidal

Menurut Nyabakken (1988), Dilingkungan laut khususnya di intertidal. Spesies yang berumur
panjang cenderung terdiri dari berbagai hewan invertebrata. Hewan-hewan intertidal dominan
yang menguasi ruang selain Mytilus californianus yang terdapat dalam jumlah banyak dipesisir
pasifik adalah teritip Balanus cariogus dan Balanus glandula. Dua spesies tersebut terdapat
melimpah di wilayah intertidal walaupun kenyataanya mereka bersaing dengan Mytilus
californianus hal ini menyebabkan pertumbuhan teritip dapat berlangsung dengan baik. Pisaster
Ochraceus merupakan predator kerang yang rakus sehingga secara efektif mencegah kerang
menempati seluruh ruang.
Pantai yang terdiri dari batu-batuan merupakan tempat yang sangat baik bagi hewan-hewan atau
tumbuha-tumbuhan yang dapat menempelkan diri pada lapisan ini. Golongan ini termasuk
banyak jenis gastropoda, molusca, dan tumbuhan-tumbuhan yang berukuran besar. Dua spesies
Uttorina undulata dan Tectarius malaccensis, tinggal dan hidup di bagian batas atas dari pantai
dibawahnya berturut-turut di tempati oleh jenis spesies lain Monodonta labio dan Nerita undata.
Kemudian oleh Cerithium molrus dan Turbo intercostalis. Akhirnya pada batas yang paling
bawah terdapat lambis-lambis dan Trochus gibberula (Hutabarat, 2008).

2.5 Pola Adaptasi Organisme Intertidal

Bentuk adaptasi adalah mencakup adaptasi struktural, adaptasi fisiologi dan adaptasi tingkah
laku. Adaptasi structural merupakan cara hidup untuk menyesuaikan dirinya dengan
mengembangkan struktur tubuh atau lat tubuh kearah yang lebih sesuai dengan keadaan
lingkungan dan keperluan hidup.

Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara
penyelesaiaan proses-proses fisiologis dalam tubuhnya.

Adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk
perubahan prilaku.

Organisme intertidal memiliki kemampuan adaptasi dengan kondisi lingkungan yang dapat
berubah secara signifikan, pola tersebut meliputi :

a.     Daya tahan terhadap kehilangan air


Organisme laut berpindah dari air keudara terbuka, mereka mulai kehilangan air. Mekanisme
yang sederhana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada hewan-hewan yang bergerak
seperti kepiting dan anemon.
b.    Pemeliharaan keseimbangan panas
Organisme intertidal juga mengalami keterbukaan terhadap suhu panas dan dingin yang ekstrim
dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk menjaga keseimbangan
panas internal.
c.     Tekanan Mekanik
Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda, pada pantai berbatu dan pada pantai
berpasir. Untuk mempertahankan posisi menghadapi gerakan ombak, organisme intertidal telah
membentuk beberapa adaptasi.
d.    Pernapasan
Diantara hewan intertidal terdapat kecendrungan organ pernapasan yang mempunyai tonjolan
kedalam rongga perlindungan untuk mencegah kekeringan. Hal ini dapat terlihat jelas pada
berbagai molusca dimana insang terdapat pada rongga mantel yang dilindungii cangkang.
e.     Cara makan
Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagian-bagian berdaging dari
tubuhnya. Karena itu seluruh hewan intertidal hanya aktif jika pasang naik dan tubuhnya
terendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan baik pemakan tumbuhan, pemakan bahan-
bahan tersaring, pemakan detritus maupun predator.
f.     Tekanan Salinitas
Zona intertidal juga mendapat limpahan air tawar yang dapat menimbulkan masalah tekanan
osmotik bagi organisme intertidal yang hanya dapat menyesuaikan diri dengan air laut.
Kebanayakan tidak mempunyai mekanisme untuk mengontrol kadar garam cairan tubuhnya dan
disebut osmokonformer. Adaptasi satu-satunya sama dengan adaptasi untuk melindungi dari
kekeringan.

g.    Reproduksi
Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau bahkan melekat, sehingga dalam
penyebarannya mereka menghasilkan telur atau larva yang terapung bebas sebagai plankton.
Hampir semua organisme mempunyai daur perkembangbiakan yang seirama dengan munculnya
arus pasang surut tertentu, seperti misalnya pada saat pasang purnama.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa daerah intertidal merupakan daerah yang memiliki variasi
pasang-surut yang regular, dimna di daerah tersebut pada suatu waktu terendam oleh air laut dan
pada awaktu yang lain akan surut dan terpapar ke udara bebas. Hal ini menjadikan daerah
tersebut memiliki salinitas dan suhu yang cukup bervariasi, dan juga perubahan habitat saat
terendam dan saat surut, sehingga dibutuhkan suatu strategi adaptasi untuk dapat terus bertahan
hidup. Adaptasi yang dilakukan oleh kerang di daerah mangrove seperti Polymesoda erosa,
P.coaxans dan jenis lainnya biasanya meliputi adaptasi morfologi, fisilogi, dan tingkah laku.
Sebagai contoh, Polymesoda coaxans seperti halnya hewan dari kelas Bivalvea lainnya
mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena memiliki kemampuan untuk mencegah
kehilangan air. Kerang akan menutup rapat cangkangnya yang kedap air, sehingga air tidak
keluar dari tubuhnya Muslih (2008). Kerang ini juga mempunyai kemampuan untuk
membenamkan diri ke dalam substrat sebagai upaya mengindarkan diri dari predator dan untuk
mencari tempat yang lebih lembab.
Nybakken et al (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis kerang, seperti Donax sp. dan Mytilus
edulis, mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena mempunyai kemampuan untuk
mencegah kehilangan air dengan cara membenamkan diri. Pada P. coaxans korelasi ini terdapat
pada ukuran lebar dan tebal cangkang dengan habitat hidupnya. P. coaxans yang hidup pada
tempat terbuka memiliki ukuran lebar dan tebal cangkang yang lebih besar dibandingkan dengan
P. coaxans yang hidup pada tempat tertutup, dari hal tersebut dapat diasumsikan semakin besar
dan tebal ukuran cangkang maka kemungkinan untuk dimangsa predatornya rendah.
  A.     Adaptasi terhadap suhu
 Temperatur perairan merupakan salah satu faktor abiotik yang mempunyai peranan penting
dalam kehidupan dan pertumbuhan, sebab temperatur berperan langsung dalam aktivitas dan
proses metabolisme bivalvia (Manzi dan Castagna, 1989; Bayne, 1976). Ironisnya temperatur
berbanding terbalik dengan kelarutan oksigen dalam air, padahal meningkatnya temperatur akan
meningkatkan aktivitas metabolisme dan konsekuensinya akan meningkatkan kebutuhan
oksigen. Proses  perubahan temperatur juga berpengaruh terhadap proses fisika dan kimia badan
air. Temperatur juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Menurut Suprapto (2011) reaksi dari perubahan tingkat metabolisme bivalvia ini menyebabkan
respirasi meningkat dan energi yang dikeluarkan turut meningkat. Bivalvia akan meningkatkan
filtrasi atau konsumsi makannya untuk mengimbangi energi yang hilang dan untuk
mengantisipasi keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari perubahan temperatur yang
ekstrim. Jadi angka kecepatan filtrasi ikut dipengaruhi pula oleh kondisi temperatur
lingkungannya. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa temperatur dalam batasan normal tidak
akan banyak memberikan pengaruh terhadap laju filtrasi. Pada temperatur rendah, misalnya 5ºC
bivalvia memiliki laju filtrasi 1,64 l/jam, sementara pada temperatur tinggi (28ºC) laju filtrasinya
sebesar 5,82 l/jam. Pada akhirnya peningkatan temperatur menyebabakan peningkatan kecepatan
metabolisme dan respirasi organisme air yang selanjutnya akan mengakibatkan peningkatan
konsumsi oksigen.
 B.    Adaptasi saat kekurangan oksigen keadaan anaerobiosis
 Anaerobiosis sering terjadi saat suasana pasang surut yang akan mengakibatkan naik turunnya
permukaan laut. Pada waktu surut, kelompok bivalvia tertentu akan terekspos ke udara terbuka
dan harus menyesuaikan diri karena tidak adanya makanan maupun oksigen. Menurut Suprapto
(2011) jika dalam kondisi ini maka memaksa bivalvia menyediakan energinya dengan
mengoksidasi secara enzimatis persediaan makanan yang berupa jaringan tubuhnya. Proses
perombakan jaringan akan diawali dengan membakar karbohidrat, lemak, dan diakhiri dengan
protein.
Dengan demikian, bivalvia masih bisa bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu dan apabila
bivalvia telah mengoksidasi protein, maka periode ini sudah tahapan yang berbahaya, karena
dapat menyebabkan mortalitas.
Kondisi anaerobiosis dapat juga terangsang oleh adanya fluktuasi ekstrim temperatur, salinitas,
serta ketersediaan oksigen. Pada kerang Polymesoda cozxans dan bivalvia lainnya aktifts yang
akan dilakukan adalah dengan menutup cangkang agar tidak terjadi dehidrasi. Hal ini setara
dengan pernyataan Suprapto (2011)  dimana pada  kondisi ini kedua cangkangnya akan menutup
rapat-rapat sehingga metabolisme didalam menyediakan energi dilaksanakan dengan kondisi
anaerob, karena insang (branchie) tidak berfungsi sehingga oksigen tidak dapat masuk ke dalam
tubuh.
Dalam suasana anaerobiosis, tingkat metabolisme akan menurun drastis. Demikian juga tingkat
proses penyediaan energi, seperti pencernaan, penyerapan makanan, aktivitas otot, serta
pertumbuhan. Dengan kondisi ini dapat pula terjadi suatu proses yang disebut “konservasi
energi”.
Menurut Bayne et al. (1976) untuk perubahan temperatur yang sangat ekstrim, menyebabkan
terjadinya metabolisme anaerobik secara cepat.

Anda mungkin juga menyukai