Anda di halaman 1dari 44

Konsep dan Model Promosi Kesehatan

2.1.1 Definisi dan Tujuan Promosi Kesehatan


Promosi kesehatan adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat mandiri
menolong diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan. (Depkes RI, 2007). Tujuan promosi kesehatan dibagi menjadi tiga
tingkatan, menurut (Ahmad, 2014), yaitu berdasarkan program, pendidikan dan perilakunya.
Tujuan program (jangka panjang) meliputi refleksi dari fase sosial dan epidemiologi berupa
pernyataan mengenai hal-hal yang akan dicapai dalam periode tertentu yang berhubungan
dengan status kesehatan. Tujuan pendidikan (jangka menengah) merupakan pembelajaran
yang harus dicapai agar perilaku yang diinginkan dalam mengatasi masalah kesehatan dapat
tercapai (Green dalam Ahmad, 2014). Sementara, tujuan perilaku (jangka pendek)
merupakan gambaran perilaku yang akan dicapai dalam mengatasi masalah kesehatan yang
berhubungan dengan pengetahuan, sikap dan tindakan.
2.1.2 Visi dan Misi Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan memiliki visi dan misi tertentu. Visi promosi kesehatan membahas
mengenai pembangunan kesehatan Indonesia yang diatur dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun
1992. Isi dari visi tersebut yaitu meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memelihara
dan meningkatkan derajat kesehatan, baik fisik, mental dan sosial sehingga masyarakat dapat
produktif secara ekonomi maupun sosial (Notoatmodjo, 2012). Visi lainnya yaitu
menerapkan pendidikan kesehatan pada program-program kesehatan, baik pemberantasan
penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun
program kesehatan lainnya.
Sedangkan misi promosi kesehatan ialah terkait upaya pencapaian suatu visi, di
antaranya yaitu advokasi, mediasi dan kemampuan atau keterampilan. Advokasi merupakan
kegiatan terencana yang ditujukan kepada para penentu kebijakan untuk mempengaruhi para
pembuat keputusan bahwa program kesehatan yang ditawarkan perlu mendapat dukungan
melalui suatu keputusan (Notoatmodjo, 2012). Mediasi (penghubung) berarti pelaksanaan
promosi kesehatan perlu menjalin kemitraan dengan berbagai program yang berkaitan
dengan kesehatan. Kemampuan (enable) berarti masyarakat diberikan suatu keterampilan
agar mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya secara mandiri.
2.1.3 Sasaran Promosi Kesehatan
Pelaksanaan promosi kesehatan ditujukan kepada sasaran yang telah disesuaikan.
Sasaran dalam promosi kesehatan terbagi menjadi tiga jenis, yaitu (Kementerian Kesehatan,
2011):
1. Sasaran primer upaya promosi kesehatan adalah pasien, individu sehat dan keluarga
atau rumah tangga yang diharapkan dapat mengubah perilaku, misalnya mengubah perilaku
hidup tidak bersih dan tidak sehat menjadi perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
2. Sasaran sekunder upaya promosi kesehatan yaitu para pemuka masyarakat baik
pemuka informal seperti pemuka adat dan pemuka agama, maupun pemuka formal seperti
petugas kesehatan dan pejabat pemerintahan, serta organisasi kemasyarakatan dan media
massa yang diharapkan dapat turut serta dalam upaya peningkatan PHBS pasien, individu
sehat dan keluarga.
3. Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik berupa peraturan perundang-
undangan di bidang kesehatan, bidang lainnya yang berkaitan dan pihak yang memfasilitasi
sumber daya.
2.1.4 Ruang Lingkup dan Konsep Dasar Promosi Kesehatan
Ruang lingkup promosi kesehatan secara sederhana menurut (Notoatmodjo, 2010)
mencakup pendidikan kesehatan yang menekankan pada perubahan perilaku, pemasaran
sosial yang menekankan pada pengenalan produk melalui kampanye, penyuluhan yang
menekankan pada penyebaran informasi, upaya promotif yang menekankan pada upaya
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, upaya advokasi untuk mempengaruhi pihak lain
dalam mengembangkan kebijakan, pengorganisasian, pengembangan, pergerakan dan
pemberdayaan masyarakat.
Berdasarkan definisi promosi kesehatan yang merupakan proses yang memungkinkan
orang untuk meningkatkan kontrol atas status kesehatan mereka, untuk itu kesehatan tidak
hanya dipandang sebagai tujuan hidup melainkan juga dipandang sebagai sumber daya bagi
kehidupan sehari-hari karena kesehatan merupakan konsep positif menekankan sumber daya
sosial dan pribadi, serta kemampuan fisik.
2.1.5 Sejarah Promosi Kesehatan
Konferensi Promosi Kesehatan WHO secara global telah membentuk konsep, prinsip,
dan area aksi yang meletakkan promosi kesehatan dalam konteks globalisasi yang lebih luas.
(Ottawa 1986 dan Bangkok 2005). Konsep promosi kesehatan merupakan pengembangan
dari konsep pendidikan kesehatan, berlangsung sejalan dengan perubahan paradigma
kesehatan masyarakat. Konferensi tersebut telah meneliti pembuatan kebijakan publik
(Adelaide 1988) dan penciptaan lingkungan yang mendukung (Sundsvall 1991). Mereka
telah dianggap berperan penting dalam pembangunan kapasitas untuk promosi kesehatan
serta dalam mengatasi faktor-faktor penentu kesehatan (Jakarta 1997 dan Meksiko 2000).
Mereka telah menyerukan tindakan untuk menutup kesenjangan implementasi antara bukti
dan aplikasi konkret dalam pembangunan kesehatan (Nairobi 2009). Konferensi Global 8
dari Promosi Kesehatan (Helsinki 2013) meninjau pengalaman dalam terlibat dalam
Kesehatan di Semua Kebijakan pendekatan dan mendirikan bimbingan untuk tindakan nyata
di negara-negara di semua tingkat pembangunan (WHO, 2016).
Pada tahun 1986 di Ottawa, Kanada, berlangsung konfrensi internasional promosi
kesehatan yangmenghasilkan piagam Ottawa (Ottawa Charter). Konferensi Internasional
pertama pada Promosi Kesehatan, pertemuan di Ottawa hari ke-21 ini November 1986,
dengan ini menyajikan CHARTER ini untuk tindakan untuk mencapai Kesehatan untuk
Semua pada tahun 2000 dan seterusnya (WHO, 2016)
Upaya promosi kesehatan awal difokuskan pada tanggung jawab individu untuk
kesehatan dan menekankan penentu perilaku dan pendekatan pendidikan. Namun, bukti
menunjukkan kesehatan yang program promosi juga harus mengatasi lingkungan sosial dan
fisik, karena ini juga berkontribusi kesehatan yang buruk. Fokus pada promosi kesehatan
sebagai suatu proses untuk memungkinkan orang untuk mengatasi tantangan dan
meningkatkan kontrol atas lingkungan mereka untuk meningkatkan kesehatan mereka
(WHO, 1986). Dokumen ini meletakkan dasar untuk teori dan praktek promosi kesehatan dan
menekankan peran sumber daya sosial dan pribadi serta kemampuan fisik, dan
kebutuhanuntuk mencapai kesetaraan dalam kesehatan. Ottawa Charter juga
mendokumentasikan tanggung jawab nonpemerintahdan instansi pemerintah dalam
menciptakan lingkungan yang mendukung dan kebijakan publik kesehatan
(Pender;Murdaligh;Parson, 2015).
Konferensi ini terutama tanggapan terhadap harapan yang berkembang untuk gerakan
kesehatan masyarakat baru di seluruh dunia. Diskusi difokuskan pada kebutuhan di negara-
negara industri, tetapi memperhitungkan kepedulian yang sama di semua wilayah lainnya. Ini
dibangun di atas kemajuan yang dibuat melalui Deklarasi Kesehatan Primer di Alma-Ata,
Target Organisasi Kesehatan Dunia untuk Kesehatan untuk semua dokumen, dan perdebatan
baru-baru ini di Majelis Kesehatan Dunia pada tindakan lintas sektoral untuk kesehatan.
Menurut Otawa Charter, kondisi fundamental dan sumber daya untuk kesehatan
adalah: perdamaian, berlindung, pendidikan, makanan, pendapatan, eko-sistem yang stabil,
sumber daya yang berkelanjutan, keadilan sosial, dan keadilan. Peningkatan kesehatan
memerlukan landasan prasyarat dasar, yaitu Advocate, Enable, dan Mediate. Ottawa Charter
adalah katalis yang bergerakpromosi kesehatan di luar didefinisikan sebagai suatu kegiatan
pendidikan untuk konsep yang lebih luas yang juga berfokus pada lingkungan sosial dan
politik (McQueen & De Salazar, 2011). Bangkok Charter mengidentifikasi tindakan,
komitmen dan janji yang diperlukan untuk mengatasi faktor-faktor penentu kesehatan di
dunia global melalui promosi kesehatan. Bangkok Charter bertujuan membuat kebijakan dan
kemitraan untuk memberdayakan masyarakat, dan untuk meningkatkan kesehatan dan
kesetaraan kesehatan, harus menjadi pusat pembangunan global dan nasional (WHO, 2005).
Bangkok Charter ini mencakup penonton yang menjangkau orang, kelompok dan
organisasi yang sangat penting untuk pencapaian kesehatan, termasuk: pemerintah dan
politisi di semua tingkatan, masyarakat sipil, sektor swasta, organisasi internasional, dan
komunitas kesehatan masyarakat. Promosi kesehatan PBB mengakui bahwa penikmatan
standar kesehatan tertinggi adalah salah satu hak dasar setiap manusia tanpa diskriminasi.
promosi kesehatan berdasarkan hak asasi manusia kritis dan menawarkan konsep positif dan
inklusif kesehatan sebagai penentu kualitas hidup dan meliputi mental dan spiritual
kesejahteraan. promosi kesehatan adalah proses yang memungkinkan orang untuk
meningkatkan kontrol atas kesehatan mereka dan penentunya, dan dengan demikian
meningkatkan kesehatan mereka. Ini adalah fungsi inti dari kesehatan masyarakat dan
berkontribusi terhadap pekerjaan menanggulangi penyakit menular dan tidak menular dan
ancaman lain terhadap kesehatan (WHO, 2005).
2.1.6 Tingkat Program Promosi Kesehatan
Program promosi kesehatan memiliki tiga tingkat, yaitu (Barker, 2007):
1. kesehatan primer cenderung berfokus pada orang-orang yang sehat dan berfokus
pada sekitar layanan seperti klinik untuk wanita, klinik bayi, pesan seks yang aman,
imunisasi anak (Barker, 2007). Tugas promosi kesehatan tingkat ini seperti pencegahan yang
bertujuan untuk mencegah penyakit dan cedera, meningkatkan homeostasis biologis, dan
self-regulation tubuh dengan menyebarluaskan informasi kesehatan dengan selektif yang
berasal dari medis yang berkaitan dengan individu tentang faktor risiko dan tindakan
pencegahan yang terkait (Piper, 2009).
2. Promosi kesehatan sekunder berfokus pada orang-orang yang sudah sakit dan
perawat dalam situasi ini akan berusaha untuk membantu orang kembali ke keadaan sehat
(Barker, 2007). Tujuan dari manajemen diri pasien yang memiliki cedera atau penyakit
adalah untuk memaksimalkan peluang pemulihan secara penuh, pemulihan fungsi dan untuk
meminimalkan risiko terjadinya komplikasi atau munculnya kembali penyakit (Piper, 2009).
3. Promosi kesehatan pencegahan tersier berfokus pada situasi di mana seorang
pasien atau klien memiliki masalah kesehatan yang sedang berlangsung atau cacat, misalnya
pada orang yang memiliki kanker yang agresif, mereka dapat ditawarkan perawatan paliatif
untuk meningkatkan kualitas hidup mereka dan menjadi sejahtera sebagai bentuk promosi
kesehatan (Piper, 2009; Barker, 2007).

2.1.7 Model Promosi Kesehatan


Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor, baik faktor internal (fisik dan
psikis) maupun faktor eksternal (sosial, budaya, lingkungan fisik, politik, ekonomi seta
pendidikan). Hal tersebut dapat menjadi latar belakang dikembangkannya model-model
kesehatan. Model-model promosi kesehatan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Health Belief Model (HBM), merupakan model kognitif, yang digunakan untuk
meramalkan perilaku  peningkatan kesehatan yang digunakan untuk menjelaskan kegagalan
partisipasi masyarakat secara luas dalam program pencegahan atau deteksi penyakit. Menurut
HBM, kemungkinan seseorang melakukan tindakan pencegahan dipengaruhi oleh keyakinan
dan penilaian kesehatan (Maulana,  2009) yang di pengaruhi oleh :
a. Ancaman yang dirasakan dari sakit atau luka (perceived threat of injury or illness).
Hal ini berkaitan dengan sejauh mana seseorang berpikir bahwa penyakit atau kesakitan
betul-betul merupakan ancaman bagi dirinya. Oleh karena itu, jika ancaman yang dirasakan
meningkat, perilaku pencegahan juga akan meningkat.
b. Keuntungan dan kerugian (benefits and costs). Pertimbangkan antara keuntungan dan
kerugian perilaku untuk memutuskan melakukan tindakan pencegahan atau tidak.
c. Petunjuk berperilaku. Petunjuk berperilaku disebut sebagai keyakinan terhadap posisi
yang menonjol. Hal ini berupa berbagai informasi dari luar atau nasihat mengenai
permasalah kesehatan (misalnya media massa, kampanye, nasihat orang lain, penyakit dari
anggota keluarga yang lain atau teman).
HBM memiliki fungsi sebagai model pencegahan atau preventif (Stanley & Maddux; 1986
dalam Community Health Nursing, 2010). 6 komponen dari HBM ini, yaitu :
1. Perceived Susceptibility (kerentanan yang dirasakan). Contohnya seseorang percaya
kalau semua orang berpotensi terkena kanker.
2. Perceived Severity (bahaya/kesakitan yang dirasakan). Contohnya individu percaya
kalau merokok dapat menyebabkan kanker. 
3. Perceived Benefits (manfaat yang dirasakan dari tindakan yang diambil). Contohnya
melakukan perilaku sehat seperti medical check up rutin selain itu kalau tidak merokok, dia
tidak akan terkena kanker.
4. Perceived Barriers (hambatan yang dirasakan akan tindakan yang diambil).
Contohnya kalau tidak merokok tidak enak, mulut terasa asam. 
5. Cues to Action (isyarat untuk melakukan tindakan). Saran dokter atau rekomendasi
menjadi cues to action untuk bertindak dalam konteks berhenti merokok.
6. Self Efficacy. Merasa percaya diri dengan perilaku sehat yang dilakukan
2. Theory of  Reasoned Action (TRA), digunakan dalam berbagai perilaku manusia,
khususnya berkaitan dengan masalah sosiopsikologis, kemudian berkembang dan banyak
digunakan untuk menentukan faktor-faktor yang berkaitan dengan perilaku kesehatan.
(Maulana, 2009) Teori ini menghubungkan antara keyakinan (beliefs), sikap
(attitude), kehendak (intention), dan perilaku.. TRA Merupakan model untuk meramalkan
perilaku preventif dan telah digunakan dalam berbagai jenis perilaku sehat yang berlainan,
seperti pengaturan penggunaan substanti terterntu (merokok, alcohol, dan narkotik), perilaku
makan dan pengaturan makan, pencegahan AIDS dan penggunaan kondom dll.  (Maulana,
2009)      
 Keuntungan TRA. Teori TRA pegangan untuk menganalisis komponen perilaku
dalam item yang operasional.  Fokus sasaran prediksi dan pengertian perilaku yang dapat
diamati secara langsung dan berada dalam kendali seseorang, artinya perilaku sasaran harus
diseleksi dan diidentifikasi secara jelas.
 Kelemahan TRA. Kelemahan TRA adalah tidak mempertimbangkan pengalaman
sebelumnya dengan perilaku dan mengabaikan akibat-akibat jelas dari variable eksternal
terhadap pemenuhan  intensi perilaku.

3. Transteoritikal Model (TTM), adalah kerelaan individu untuk berubah,


yaitu  merubah perilaku yang tidak sehat menjadi sehat, dan yang sehat menjadi lebih sehat
lagi. Terbagi menjadi 5 tahap yaitu :
1) Pre-contemplation. Individu tidak mengetahui adanya masalah dan tidak memikirkan
adanya perubahan.
2) Contemplation. Individu berfikir tentang perubahan di masa yang akan datang dengan
cara memberi dukungan dan motivasi.
3) Decission/ determination. Membuat rencana perubahan namun butuh bantuan dalam
mengembangkan dan mengatur tujuan dan rencana tindakan.
4) Action. Implementasi dari rencana dan tindakan spesifik dapat dibantu dengan
diberikannya umpan balik dan dukungan sosial.
5) Maintenance. Individu dapat menunjukan tindakan yang ideal dan mampu
mengulangi tindakan yang direkomendasikan secara berkala.

4. PRECEDE dan PROCEED Model. Model ini dikembangkan untuk diagnosis


mengenai pendidikan mulai dari kebutuhan pendidikan sampai pengembangan program.
PRECEDE merupakan kependekan dari Predisposing, Reinforcing, and Enable Causes in
Educational Diagnosis and Evaluation. Terdapat tujuh tahap dalam merumuskan diagnosis
dalam model ini, yaitu: diagnosis sosial, diagnosis epidemologi, diagnosis perilaku dan
lingkungan, diagnosis pendidikan. Perawat dapat mengembangkan pernyataan diagnosa yang
menggambarkan pendidikan apa yang dibutuhkan oleh klien (Ivanov & Blue, 2008).
PROCEED yang merupakan kependekan dari Policy, Regulatory, and Organizational
Construct for Educational and Enviromental Development digunakan untuk merencanakan,
mengimplementasi, dan mengevaluasi dalam program pendidikan kesehatan. Model ini
terdiri dari empat tahap implementasi, proses, dampak, dan evaluasi hasil dari proses
pendidikan (Ivanov & Blue,  2008).
Fokus model ini adalah mempengaruhi individu, kelompok dan masyarakat untuk
berperilaku sehat dalam diagnosa, pendidikan dan evaluasi. Green & Kreuter (2005) dalam
Saifah (2011) mendefinisikan bahwa terdapat tiga faktor yang dapat digunakan dalam
menginvestigasi perilaku yang berkontribusi terhadap status kesehatan, yaitu :
a. Faktor predisposisi (predisposing factor) 
b. Faktor pemungkin (enabling factor) 
c. Faktor penguat (reinforcing factor) 

2. 1 Kebijakan Promosi Kesehatan


2.2.1 Peran Kebijakan Nasional dalam Promosi Kesehatan
Di dalam promosi kesehatan, ada keterlibatan tiap-tiap sektor dalam membuat hingga
menjalankan kebijakan. Dinas kesehatan provinsi mengembangkan, mengkoordinasi dan
memfasilitasi promosi kesehatan, kabupaten/kota memperkuat pemberdayaan masyarakat
oleh kabupaten/kota bina suasana dan advokasi tingkat provinsi. Pemerintah
membuat program kegiatan sesuai masalah kesehatan yang ada di dinas kesehatan provinsi,
sementara pemerintahan tingkat pusat mempromosikan kesehatan, mengembangkan
kebijakan nasional, menjadi pedoman dan standar fasilitas serta koordinasi promosi
kesehatan daerah bina suasana dan advokasi tingkat nasional. Promosi kesehatan di daerah
dikembangkan dari kebijakan nasional dan pedoman standar promosi kesehatan yang
didukung adanya fasilitas koordinasi promosi kesehatan dari pemerintah pusat dan daerah
dengan adanya bina suasana dan advokasi. Kebijakan yang mengatur tentang promosi
kesehatan adalah Permenkes dan Kepmenkes.
2.2.1.1 Peran Tingkat Pusat
Ada 2 unit utama di tingkat Pusat yang terkait dalam Promosi Kesehatan, yaitu:
1. Pusat Promosi Kesehatan
2. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Pengelolaan promosi kesehatan khususnya terkait program Pamsimas di tingkat Pusat
perlu mengembangkan tugas dan juga tanggung jawabnya antara lain :
1. Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia yang terkait
dengan kegiatan promosi kesehatan secara nasional
2. Mengkaji metode dan teknik-teknik promosi kesehatan yang effektif untuk
pengembangan model promosi kesehatan di daerah
3. Mengkoordinasikan dan mengsinkronisasikan pengelolaan promosi kesehatan di
tingkat pusat
4. Menggalang kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan lain yang terkait
5. Melaksanakan kampanye kesehatan terkait Pamsimas secara nasional
6. Bimbingan teknis, fasilitasi, monitoring dan evaluasi.
2.2.1.2 Peran Tingkat Propinsi
Sebagai unit yang berada dibawah naungan tingkat pusat, maka peran tingkat
Provinsi, khususnya kegiatan yang diselenggrakan oleh Dinas Kesehatan Provinsi antara lain
sebagai berikut:
1. Menjabarkan kebijakan promosi kesehatan nasional menjadi kebijakan promosi
kesehatan local (provinsi) untuk mendukung penyelenggaraan promosi kesehatan dalam
wilayah kerja Pamsimas
2. Meningkatkan kemampuan Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan promosi
kesehatan, terutama dibidang penggerakan dan pemberdayaan masyarakat agar mampu ber-
PHBS.
3. Membangun suasana yang kondusif dalam upaya melakukan pemberdayaan
masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat pada level provinsi
4. Menggalang dukungan dan meningkatkan kemitraan dari berbagai pihak serta
mengintegrasikan penyelenggaraan promosi kesehatan dengan lintas program dan lintas
sektor terkait dalam pencapaian PHBS dalam level Provinsi
2.2.1.3 Peran Tingkat Kabupaten
Promosi Kesehatan yang diselenggarakan di tingkat Kabupaten, khususnya yang
dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dapat mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Meningkatkan kemampuan Puskesmas, dan sarana kesehatan lainnya dalam
penyelenggaraan promosi kesehatan, terutama dibidang penggerakan dan pemberdayaan
masyarakat agar mampu ber-PHBS.
2. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan yang
bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat
3. Membangun suasana yang kondusif dalam upaya melakukan pemberdayaan
masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat.
4. Menggalang dukungan dan meningkatkan kemitraan dari berbagai pihak serta
mengintegrasikan penyelenggaraan promosi kesehatan dengan lintas program dan lintas
sektor terkait dalam pencapaian PHBS.
Kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh bangsa Indonesia, untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuanhidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. Wujud upaya kesehatan tersebut
dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu :
1) Upaya kesehatan wajib, yang ditetapkan berdasarkan komitmen nasional, regional,
global, serta memiliki daya ungkit tinggi untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat
meliputi :
 promosi kesehatan
 kesehatan lingkungan, kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana
 perbaikan diri masyarakat, pencegaham dan pemberantasan penyakit menular
 pengobatan
2) Upaya kesehatan pengembangan, adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan
permasalahan kesehatan yang ditemukan di masyarakat serta disesuaikan dengan
kemampuan sektor pelayanan kesehatanyang terkait.
Kebijakan sosial memberikan pengetahuan bagaimana melakukanhealthy public
policy dimana mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan kesehatan. Bidang kebijakan
sosial dapat memberikan pengetahuan reflektif penting pada asalmula promosi kesehatan itu
sendiri dan pada kemunculannya sebagai jenis kebijakan kesehatan yang lebih baru.
Kebijakan sosial terdiri dari perspektif yang bermacam-macam, hal itulah yang
merefleksikan asumsi-asumsi yang berbeda tentang dunia sosial.
Oleh karenanya, studi kebijakan sosial akan memberikan sumbangan besar pada
promosi kesehatan. Hal tersebut akan terus memberikan pemahaman bagaimana ciri-ciri
menonjol healthy public policy dalam lingkungan kebijakan saat ini; peran negara, penduduk,
dan masyarakat dalam pengembangan kebijakan; proses dan kemungkinan pengembangan
visi healthy public policy, jangkauan kerjasama lintas sektoral; jangkauan koordinasi healthy
public policy, dan bagaimana “public good” dapat direkonsiliasikan dengan minat individu
dan minat lainnya dalam memelihara healthy public policy. Program-program di area studi
berkaitan dengan pengembangan ke kebijakan sosial seperti juga pada healthy public policy,
membawa kita untuk mempertimbangkan promosi kesehatan sebagai kebijakan sosial.

2.2.2 Kebijakan Internasional Promosi Kesehatan


Dasar kebijakan internasional promosi kesehatan sudah terbentuk sejak dilaksanakan
konferensi pertama di kota ottawa canada pada tahun 1986 dengan tema “menuju kesehatan
masyarakat baru” dan menghasilkan dasar promosi kesehatan yaitu Piagam Ottawa.
Selanjutnya konferensi promosi kesehatan terus dilakukan di tempat yang berbeda sampai
terakhir yaitu konferensi ke tujuh di kenya pada tahun 2009. Pada setiap dilakukan
konferensi akan menghasilkan strategi baru untuk menyelasaikan masalah yang muncul pada
periode tersebut di dunia.
Konferensi promosi kesehatan I dilakukan di kota Ottawa Canada tahun 1986 dengan
tema “Menuju kesehatan masyarakat baru” mengahasilkan piagam Ottawa. Piagam Ottawa
menyebutkan ada sembilan faktor prasyarat untuk menuju kesehatan: perdamaian, tempat
tinggal, pendidikan, makanan, pendapatan, ekosistem yang seimbang, sumberdaya yang
berkesinambungan, keadaan sosial sejahtera, dan pemerataan. Piagam Ottawa memiliki
tujuan promosi kesehatan yaitu: Advokasi (meyakinkan pembuat kebijakan aturan yang
diajukan itu penting), menjembatani (antara bidang kesehtan dan bidang lain), dan
memampukan (membuat masyarakat mandiri). Strategi promosi kesehatan dalam Piagam
Ottawa ada lima, yaitu mengembangkan kebijakan publik berkaitan dengan kesehatan,
membuat lingkungan yang sehat, membangun masyarakat yang aktif, mengembangkan
ketrampilan masyarakat, dan reorientasi sistem pelayanan kesehatan.
Konferensi promosi kesehatan ke dua di Adelaide, Australia tahun 1988 dengan tema
“Membangun kebijakan publik yang berwawasan kesehatan”. Dalam konferensi kedua
strategi yang digunakan mengarah untuk mendukung terciptanya masyarakat yang hidup
dalam lingkungan yang sehat dan berprilaku sehat.  Untuk mencapai tujuan tersebut
menggunakan enam strategi, yaitu kebijakan publik berwawasan kesehatan, mengupayakan
revvitalisasi nilai-nilai asasi kesehatan, pemerataan akses pelayanan kesehatan, akuntabilitas
program kesehatan, meningkatkan pelayanan, dan kemitraan. Dalam konfrensi ini juga
membagi prioritas kebijakan publik di bidang kesehatan, yaitu program perempuan, pangan
dan gizi, tembakau dan alkohol, dan lingkungan yang baik.
Konferensi promosi kesehatan ke tiga di Sundvall, Swedia tahun 1991 dengan tema
“Menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan”. Dalam koferensi ini menghasilkan
model yang dijalankan dengan praktis dalam promosi kesehatan, yaitu Health promotion
strategy analysis model (HELPSAME) berupa analisis pengalaman dalam menciptakan
lingkungan yang mendukung, Sundsvall pyramid of supportive enviroment,  dan Supportive
enviroment action model berupa fasilitator dalam kelompok.
Konferensi promosi kesehatan ke empat di Jakarta, Indonesia dengan tema “Pemeran
baru di era baru” tahun 1997. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Jakarta yang berisi
pendekatan baru promosi kesehatan. Deklarasi jakarta terdiri dari empat pendekatan, yaitu
pendekatan komprehensif berupa promosi kesehatan dilakukan secara serentak, pendekatan
melalui tatanan berupa ahli kesehatan ikut dalam kursi pemerintahan, institusi pendidikan,
dan institusi pelayanan kesehatan, pendekatan peran serta masyarakat, dan pendekatan
pembelajaran kesehatan. 
Konferensi promosi kesehatan ke empat menghasilkan prioritas peningkatan
kesehatan. Pertam meningkatkan tanggung jawab sosial dalam kesehatan yang dilakukan
oleh pemberi layanan kesehatan. Prioritas kedua meningkatkan investasi untuk pembangunan
kesehatan. Prioritas ketiga yaitu meningkatkan kemitraan untuk meningkatakan pelayanan
kesehatan. Prioritas ke-empat yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
pemberdayaan masyarakat, dan mengembangkan infrastruktur secara bertahap dan
berkelanjutan untuk meningkatkan intensitas promosi kesehatan.
Konferensi promosi kesehatan ke lima di Mexico, Mexico tahun 2000 dengan tema
“menjembatani kesenjangan pemerataan”. Konferensi ini menghasilkan program-program
kementrian berupa delapan macam, yaitu menghargai pencapaian standar kesehatan sebagai
aset positif bagi kenyamanan hidup dan pertumbuhan pembangunan sosial ekonomi dan
pemerataan, memahami promosi kesehatan sebagai tanggung jawab bersama, terjadi
perbaikan layanan kesehatan, menyadari banyak masalah belum teratasi, infeksi mengurangi
keberhasilan bidang kesehatan, pentinganya kolaborasi, promosi kesehatan komponen dasar
publik, dan strategi efektif.

2. 2 Konsep Perubahan, Kolaborasi, Kemitraan dan Motivasi dalam Promosi


Kesehatan.
2.3.1 Konsep Perubahan dalam Promosi Kesehatan
Menurut Pender (2006, dalam Potter & Perry, 2013) Perubahan perilaku sehat merupakan
suatu usaha untuk berubah yang dapat ditunjukkan dengan penghentian tingkah laku yang
memperburuk kesehatannya atau meningkatkan tingkah laku sehat. Sedangkan yang
dimaksud perilaku hidup sehat adalah tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan dan
meningkatkan kesehatannya (Maulana, 2007).
Perubahan perilaku sehat menurut Prochaska, Redding, dan Evers (2009, dalam Kozier et al,
2015) perubahan perilaku sehat antara lain:
1) Tahap Prakontemplasi
Tahap prakontemplasi ialah tahap dimana klien membantah bahwa ia memiliki masalah,
klien tidak tertarik dengan informasi kesehatan atau klien pernah mengalami kegagalan
dalam proses perubahan sehingga masalah yang dihadapi klien dianggap sebagai takdir dan
membiarkannya saja.
2) Tahap Kontemplasi
Pada tahap ini klien menyadari masalah yang dihadapinya itu serius dan perlu perubahan
perilaku maka dari itu klien mulai mencari-cari informasi dan mengungkapkan rencana untuk
mengubah perilakunya.
3) Tahap Persiapan
Klien pada tahap ini sudah mulai membuat rencana khusus yang akan dilakukan hingga akhir
perubahan. Klien menganggap keuntungan perubahan perilaku lebih banyak daripada
kerugiannya.
4) Tahap Tindakan
Pada tahap ini klien sudah melakukan rencana yang telah dibuat sebelumnya maka dari itu
klien membutuhkan motivasi agar semangat dalam menjalani rencana ini berjalan dengan
baik.
5) Tahap Pemeliharaan
Tahap ini menekankan pada perubahan perilaku yang terjadi diintegrasikan ke dalam gaya
hidup klien. Klien yang gagal dalam tahap ini akan mengalami relaps dan kembali ke tahap
awal. Relaps merupakan suatu kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan memperbarui
usaha untuk berubah (Kozier et al, 2015).
6) Tahap Terminasi
Klien pada tahap ini sudah yakin bahwa masalah bukan lagi godaan atau ancaman bagi
kehidupan. Sebagai contoh, klien tadi sudah tidak takut beresiko diabetes melitus lagi karena
ia sudah yakin bahwa dengan menjaga pola makan sehat dan bergizi akan menurunkan berat
badannya.
2.3.2 Hambatan Proses Perubahan Perilaku dan Jenis Perubahan Perilaku
Perubahan tersebut dapat dilihat ketika seseorang tidak melakukan tingkah laku yang dapat
menurunkan status kesehatannya (Nursalam & Efendi, 2008).
Hambatan Proses Perubahan Perilaku, (Alhamda, 2015) yaitu:
1. Ancaman kepentingan pribadi.
2. Persepsi yang kurang tepat.
3. Reaksi psikologis.
4. Toleransi terhadap perubahan rendah.
5. Kebiasaan. Ketergantungan.
6. Perasaan tidak aman.
7. Norma.
Perubahan perilaku manusia diklasifikasikan menjadi 5 (lima) jenis, yaitu:
1. Perubahan alamiah merupakan suatu sikap atau perilaku yang terjadi karena adanya
perubahan alam atau lingkungan secara alamiah (Alhamda, 2015).
2. Perubahan terencana atau planned change adalah perubahan perilaku yang terjadi
karena memang direncanakan oleh orang yang bersangkutan.
3. Kesiapan berubah atau readiness to change adalah perubahan perilaku yang terjadi
karena terjadinya proses internal (readiness) pada diri yang bersangkutan, dimana proses
internal ini berbeda pada setiap individu (Alhamda, 2015).
4. Perubahan evolusioner adalah perubahan yang bertingkat, merupakan hasil
modifikasi perilaku sebelumnya, dan membutuhkan waktu yang tidak singkat.
5. Perubahan revolusioner adalah perubahan yang cepat, drastis, dan merupakan tipe
perubahan yang mengancam yang mungkin secara komplit keluar dari keseimbangan sistem.
Perubahan revolusioner biasanya terjadi pada situasi yang tidak aman, tidak dapat ditoleransi
atau mengancam nyawa seperti perubahan perilaku yang terjadi pada masyarakat dimana
terjadi wabah influenza serius, atau pada situasi banjir

2.3.3 Konsep Motivasi


Motivasi menurut Weiner (1990) yang dikutip Elliot et al. (2000) menjelaskan bahwa
motivasi sebagai kondisi internal yang membangkitkan seseorang untuk bertindak,
mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu, dan membuat seseorang tetap tertarik
dalam kegiatan tertentu.
1. Teori Proses
a.) Pada teori penguatan yang dikemukakan oleh Skinner, dikatakan bahwa pembelajaran
timbul dari akibat perilaku individu atau modifikasi perilaku.
b.) Teori pengharapan yang dikemukakan oleh Victor H. Vroom, dikatakan bahwa
kekuatan kecenderungan seseorang dalam bertindak bergantung pada harapan bahwa
tindakan tersebut akan diikuti oleh suatu hasil tertentu dan terdapat daya tarik pada hasil
tersebut bagi orang yang bersangkutan.
c.) Teori keadilan yang dikemukankan oleh Adam, menyatakan bahwa puas atau
tidaknya seseorang terhadap apa yang dikerjakannya merupakan hasil dari membandingkan
antara input usaha, pengalaman, skill, pendidikan, dan jem kerjanya dnegan output atau hasil
yang didapatkan dari pekerjaan tersebut.
d.) Kemudian untuk teori selanjutanya yaitu teori penetapan tujuan yang dikemukakan
oleh Edwin Locke, yang menyatakan bahwa penetapan suatu tujuan tidak hanya berpengaruh
terhadap pekerjaan saja, tetapi juga memengaruhi ornag tersebut untuk mencari cara yang
efektif dalam mengerjakannya.
 FAKTOR/HAMBATAN MOTIVASI
Bastable (2002) menjelaskan bahwa faktor yang bersifat memfasilitasi atau
menghalangi untuk membentuk motivasi belajar terdiri atas 3 faktor, yakni (1)atribut pribadi,
yang terdiri atas komponen fisik, perkembangan, dan psikologis peserta didik; (2)pengaruh
lingkungan, yang mencakup kondisi fisik dan sikap peserta didik; dan (3)system hubungan
peserta didik, misalnya pihak lain yang berkepentingan, komunitas, keluarga, dan pengaruh
pengajar-peserta didik pada motivasi.

 PENERAPAN KONSEP MOTIVASI DALAM PROMOSI KESEHATAN


Peran perawat sebagai instrument peningkatan motivasi kerja Peran perawat sebagai
instrument peningkatan motivasi kerja:
1.Model
2.Energizer
3.Investor
4.Teacher coach
5. Problem solver
6.Feedback giver
7.chalengger
1. Status ansietas optimal
Pada keadaan ini, kemampuan seseorang untuk mengobservasi, memfokuskan perahtian,
belajar, dan beradaptasi bersifat operatif (Peplau, 1989 dalam Bastable, 2002). Pada saat
status ansietas individu ringan, hal tersebut merupakan keadaan paling optimal untuk
memberikan motivasi kepada individu tersebut. Status ansietas ringan lebih mudah untuk
diatur dan memang diketahui dapat mempromosikan pembelajaran.
2. Kesiapan peserta didik
Sebagai fasilitator bagi peserta didik, seorang perawat sebagai pendidik harus dapat
memberikan dorongan dan perspektif yang positif, yang membentuk perilaku yang
diinginkan untuk mencapai tujuan.
3. Tujuan yang realistis
Tujuan yang tidak realistis serta banyaknya waktu yang hilang dapat mengakibatkan peserta
didik memasuki tahap “menyerah” untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Idealnya tujuan
dibentuk bersama oleh peserta didik serta pendidiknya agar mengurangi dampak negative
dari maksud tersembunyi maupun penyabotan rencana pendidikan.
4. Kepuasan/keberhasilan peserta didik
Ketika peserta didik merasa puas dengan tahap demi tahap pencapainnya, maka hal ini
mengakibatkan meningkatnya motivasi pada diri peserta didik tersebut. Dengan fokus pada
keberhasilan sebagai suatu cara untuk memberikan kekuatan positif dapat meningkatkan
kepuasan peserta didik dan rasa pencapaiannya. Sebaliknya, jika berfokus pada kinerja klinis
yang buruk maka harga diri peserta didik dapat berkurang.
5. Berkurang atau bertahannya ketidakpastian
Mishel (1990) dalam Bastable (2002) melihat ketidakpastian sebagai kebutuhan dan irama
alami kehidupan lebih daripada pengalaman yang merugikan. Ketidakpastian mempengaruhi
pilihan. Hal ini dapat menjadi yang utama dalam kesiapan untuk berubah dan mempengaruhi
perilaku sehat peserta didik.
2.3.4 Konsep Kolaborasi
Pada lingkup keperawatan komunitas, kolaborasi berarti interaksi yang memiliki tujuan yang
melibatkan perawat, profesi lain, klien serta anggota komunitas lain berdasarkan kesamaan
nilai, usaha dan partisipasi (Kozier, 2015). Sehingga, kolaborasi memiliki dua kunci utama
yakni adanya kesamaan tujuan dan keterlibatan beberapa pihak. Terdapat penjelasan
mengenai praktik kolaborasi, menurut Murdaugh, C.L., dan Parsons, M.A., Pender, N.J.
(2015) bahwa praktik kolaborasi dapat terjadi saat penyedia layanan kesehatan bekerjasama
dengan orang-orang se-profesi, antar profesi dan pasien beserta keluarganya. Dalam
menjalankan praktik kolaborasi dibutuhkan rasa saling percaya diantara individu yang
terlibat.
Kolaborasi memiliki beberapa karakteristik, sehingga dapat dibedakan dari interaksi lainnya.
Karakteristik tersebut menurut DeLaune, S. C., dan Ladner, P. K. (2011) yakni:
1. Kesamaan tujuan 4. Partisipasi yang saling menguntungkan
2. Tanggung jawab yang jelas 5. Ada batasan yang jelas yang telah ditentukan
3. Maksimalisasi penggunaan sumber daya
Selain karakteristik, kolaborasi juga memiliki strategi demi mencapai kolaborasi yang efektif.
Strategi menurut Murdaugh, C.L., dan Parsons, M.A., Pender, N.J. (2015) adalah:
1. Menentukan tujuan serta kegunaan dari sebuah tim dengan jelas
2. Pembagian peran dan tanggung jawab yang jelas
3. Berkomunikasi secara berkala
4. Saling mempercayai, menghormati, memahami dan mendukung satu sama lain
5. Memberikan pengakuan dan apresiasi terhadap segala kontribusi yang dilakukan oleh
seluruh anggota tim
6. Kepemimpinan yang efektif
7. Mengatur mekanisme serta strategi dalam menyelesaikan tugas
8. Mengadakan pertemuan secara rutin
Terdapat elemen kunci efektifitas dalam kolaborasi. Elemen tersebut menurut Murdaugh,
C.L., dan Parsons, M.A., Pender, N.J. (2015) yakni sebagai berikut:
1. Kerjasama 4. Komunikasi
2. Asertifitas 5. Otonomi
3. Tanggung jawab 6. Koordinasi
2.3.5 Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan merupakan upaya menumbuhkan
kemampuan masyarakat agar mereka mempunyai daya atau kekuatan untuk hidup mandiri
menjaga kesehatannya (Depkes RI, dalam Maulana, 2009). Upaya tersebut dilakukan sesuai
dengan keadaan, masalah, dan potensi sepempat dan dilakukan dari, oleh, untuk, dan
bersama masyarakat. Hasil output dari pemberdayaan adalah kemandirian masyarakat di
bidang kesehatan. Pemberdayaan peran klien dalam promosi kesehatan berhubungan dengan
sadar sehat klien. Sadar sehat melibatkan kemampuan membaca, mengatahui, memahami,
dan bertindak berdasarkan informasi medis dan kesehatan. Pemberdayaan klien penting bagi
perawat, karena jika klien mempunyai kesadaran sehat yang rendah akan berdampak pada
ketidak mampuan klien dalam membuat keputusan yang efektif ketika bekerja sama dengan
tenaga kesehatan, yang akan mengahasilkan kesehatan yang buruk.
Sasaran pemberdayaan masyarakat adalah perorangan, keluarga, dan masyarakat umum.
Sasaran primer pemberdayaan adalah masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan masyarakat
dapat dilakukan melalui partisipasi aktif masyarakat. Menurut Kasmel dan Andersen (2011),
pemberdayaan melalui partisipasi memliki tiga komponen esensial yaitu:
1. Partisipasi adalah proses aktif, dimana semua anggota masyarakat saling menyuarakan
pendapatnya.
2. Partisipasi adalah pilihan, dimana semua berhak untuk membuat keputusan yang
berpengaruh dalam kehidupan.
3. Partisipasi yang efektif
Menurut Maulana (2009) ada beberapa prinsip, model atau bentuk, dan langkah kegiatan
dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu:
Prinsip
1. Menumbuh- kembangkan potensi masyarakat.
2. Menumbuhkan kontribusi masyarakat dalam upaya kesehatan
3. Mengembangkan kegiatan kegotong- royongan di masyarakat
4. Bekerja sama dengan masyarakat
5. Promosi, pendidikan dan pelatihan dengan sebanyak mungkin menggunakan dan
memanfaatkan potensi setempat
6. Upaya dilakukan secaran kemitraan dengan berbagai pihak
7. Desentralisasi (sesuai dengan keadaan dan budaya setempat)
Model dan bentuk
1. Pemberdayaan pimpinan masyarakat
2. Pengembangan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
3. Pemberdayaan pendanaan masyarkat
4. Pemberdayaan sarana masyarakat
5. Peningkatan pengetahuan masyarakat
6. Peningkatan pengetahuan masyarakat
7. Pengembangan teknologi tepat guna
Langkah kegiatan di tingkat operasional
1. Pendekatan pada pimpinan masyarakat (ad vokasi)
2. Survei mawas diri, atau pengkajian masalah di masyarakat (community diagnosis)
3. Perumusan masalah dan kesepakatan bersama dalam musyawarah masyarakat desa
(community prescription)
4. Pemecahan masalah bersama (community treatment)
5. Pembinaan dan pengembangan (development)
2.3.6 Konsep Kemitraan
Kemitraan adalah suatu hubungan atau sebuah kerja sama antara kedua belah pihak
atau lebih, didasarkan pada kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan atau
memberikan manfaat (Depkes RI, 2012). Victoria Health Promotion Foundation (2011)
mengemukakan tujuan dari kemitraan, yang dibagi menjadi tujuan umum dan khusus. Tujuan
umum dari kemitraan adalah untuk meningkatkan percepatan, efektivitas, serta efisiensi
terkait upaya kesehatan dan upaya pembangunan pada umumnya. Tujuan khususnya adalah
berhubungan dengan aspek rasa di dalam sebuah kesepakatan kerja sama, terkait rasa saling
membutuhkan, percaya, memerlukan, membantu, dll. Hasil yang diharapkan dengan bermitra
berhubungan dengan tujuan yang ditetapkan, yaitu terjadinya percepatan, efektivitas, dan
efisiensi dalam berbagai upaya termasuk kesehatan.
Tingkatan kemitraan dalam promosi kesehatan menurut Victoria Health Promotion
Foundation (2011) adalah: (1) Jaringan/ Networking (melibatkan pertukaran informasi dan
memerlukan waktu serta kepercayaan; (2) Koordinasi/ Coordinating (informasi, dan
menggubah kegiatan berdasarkan tujuan bersama); (3) Kerjasama/ Cooperating (informasi,
kegiatan, dan berbagi sumber daya); (4) Kolaborasi/ Collaborating (sampai pada tahap
peningkatab kapasitas mitra lain untuk saling menguntungkan dengan berpegang pada tujuan
bersama).
Sifat kemitraan bergantung pada kebutuhan, tujuan, serta kesediaan dari lembaga,
profesi, atau individu yang berpartisipasi untuk terlibat dalam kemitraan. Menurut
Kuswidanti (2008) sifat kemitraan terdiri dari:
1. Incidental (sifat kerja sesuai dengan kebutuan sesaat ex: peringatan hari anak
Indonesia)
2. Jangka pendek (proyek dalam kurun waktu tertentu)
3. Jangka panjang (pelaksanaan program tertentu, ex: pemberantasan TB paru)
Menurut Beryl Levinger dan Jean Mulroy (2004), ada empat jenis atau tipe kemitraan
yaitu:
a) Potential Partnership (peduli tetapi belum bekerja bersama secara dekat)
b) Nascent Partnership (pelaku kemitraan adalah patner, tetapi belum efisien)
c) Complementary Partnership (antar mitra sudah mendapay keuntungan dan telah
saling berpengaruh)
d) Synergistic Partnership (Kemitraan jenis ini memberikan mitra keuntungan dan
pengaruh dengan masalah pengembangan sistemik melalui penambahan ruang lingkup
aktivitas baru seperti advokasi dan penelitian)
Prinsip dalam kemitraan yang menjadi pondasi dalam penatalaksanaan terhadap
tujuan bersama yang telah ditetapkan, terdiri dari (Ditjen P2M & PL, 2004): (1) Prinsip
Kesetaraan (Equality); (2) Prinsip Keterbukaan; (3) Prinsip Azas Manfaat Bersama (Mutual
Benefit). Keberhasilan dari suatu kemitraan dapat diniai melalui indikator berikut
(Kuswidanti, 2008):
1. Input (semua sumber daya yang dimiliki)
2. Proses (kegiatan yang membangun, frekuensi dan kualiatas pertemuan tim atau
secretariat sesuai kebutuhan ex: lokakarya, kesepakatan, dll)
3. Output (terbentuknya jaringan kerja, yang terdiri dari berbagai unsur, dan jumlah
kegiatan yang berhasil terrealisasi dari rencana yang dimiliki)
4. Outcome (dampak yang dihasilkan dari terbentuknya suatu kemitraan terhadap
kesehatan masyarakat. Outcome kemitraan adalah menurunnya angka atau indikator
kesehatan (negatif), misalnya menurunkan angka orang kesakitan atau angka kematian. Atau
meningkatnya indikator kesehatan (positif), misalnya meningkatnya ststus gizi anak balita)
Langkah-langkah dalam penatalaksanaan suatu kemitraan (Kuswidanti, 2008):
1) Pengenalan masalah dan seleksi masalah;
2) Melakukan identifikasi calon mitra dan pelaku potensial
3) Melakukan identifikasi peran mitra/jaringan kerjasama mitra dalam upaya mencapai
tujuan
4) Membuat kesepakatan
5) Menyusun rencana kerja (jadwal kegiatan, pengaturan peran dan tanggung jawab)
6) Melaksanakan kegiatan terpadu yaitu menerapkan kegiatan sesuai kesepakatan, dan
melaporkannya secara berkala.
7) Pemantauan dan evaluasi.

2. 3 Prinsip, Metode, Media, dan Strategi Promosi Kesehatan


2.4.1 Prinsip Umum Promosi Kesehatan serta Prinsip Spesifik Promosi Kesehatan di
Keluarga, Tempat Kerja, Sekolah, dan Tempat Umum.
Dalam dunia kesehatan, tenaga kesehatan memberikan layanannya tidak hanya pada
pengobatan penyakit namun juga pada pencegahan penyakit. Dalam proses pencegahan
penyakit tenaga kesehatan dapat memberikan promisi kesehatan guna meningkatkan status
kesehatan kliennya. Dalam melaksanakan promosi kesehatan baiknya mengikut prinsip-
prinsip promosi kesehatan yang berguna sebagai dasar dari pelaksanaan program promosi
kesehatan. Berikut merupakan prinsip-prinsip umum promosi kesehatan menurut Green &
Sputh, 2006 dan Potvin & McQueen, 2001):
1. Empowerment atau pemberdayaan
2. Partisipative atau partisipasi
3. Holistic atau menyeluruh
4. Equitable atau kesetaraan
5. Intersectoral atau antar sector
6. Sustainable atau berkelanjutan
7. Multi-strategy
Dalam memberikan promosi kesehatan, tenaga kesehatan seperti perawat juga perlu
memahami prinsip promosi kesehatan yang lebih spesifik dalam tiap ruang lingkup, yaitu:
1. Prinsip promosi kesehatan di keluarga:
a. Promosi kesehatan yang dilakukan harus bisa lebih spesifik sebab keluarga
merupakan kelompok masyrakat yang paling kecil.
b. Keluarga terdiri atas beberapa orang yang sudah terikat hubungan satu sama lain,
yaitu ayah, ibu, dan anak. Ketika promosi kesehatan yang dilakukan telah dijalankan dengan
baik, maka hal tersebut akan berpengaruh kepada perilaku keluarga tersebut. 
c. Setiap keluarga memiliki keunikannya tersendiri. Keunikan yang dimaksud yaitu
aturan yang dimiliki pada keluarga tersebut. Dalam hal ini pemberi promosi kesehatan harus
mampu menyesuaikan diri dengan aturan tersebut agar keluarga tersebut bisa lebih terbuka
dalam menerima segala bentuk promosi yang dilakukan.
2. Prinsip Promosi Kesehatan di Tempat Kerja
a. Komprehensif
Promosi kesehatan di tempat kerja merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa disiplin
ilmu guma memaksimalkan tujuan yang ingin dicapai.
b. Partisipasi
Para peserta atau sasaran promosi kesehatan hendaknya terlibat secara aktif mengidentifikasi
masalah kesehatan yang dibutuhkan untuk pemecahannya dan meningkatkan kondisi
lingkungan kondisi lingkungan kerja yang sehat.
c. Keterlibatan berbagai sektor terkait
Kesehatan yang baik adalah hasil dari berbagai faktor yang mendukung. Berbagai upaya
untuk meningkatkan kesehatan pekerja hendaknya harus melalui pendekatan yang integrasi
yang mana penekanannya pada berbagai faktor tersebut bila memungkinkan.
d. Kelompok organisasi masyarakat
Program pencegahan dan peningkatan kesehatan hendaknya melibatkan semua anggota
pekerja.
e. Berkesinambungan atau Berkelanjutan
Program promosi kesehatan dan pencegahan hendaknya terus menerus dilakukan dan
tujuannya jangka panjang.

3. Prinsip Promosi Kesehatan di Sekolah


a. Melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan sekolah yaitu
peserta didik, orangtua dan para tokoh masyarakat maupun organisasi-organisasi di
masyarakat.
b. Memberikan pendidikan kesehatan sekolah dengan kurikulum yang mampu
meningkatkan sikap dan perilaku peserta didik yang positif terhadap kesehatan serta dapat
mengembangkan berbagai keterampilan hidup yang mendukung kesehatan fisik, mental, dan
sosial.
c. Memperhatikan pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk guru maupun orangtua.
d. Mengupayakan agar sekolah mempunyai akses untuk di laksanakannya pelayanan
kesehatan di sekolah, yaitu :
‒ Penjaringan, diagnosa dini, imunisasi serta pengobatan sederhana.
‒ Kerjasama dengan Puskesmas setempat
‒ Adanya program-program makanan bergizi dengan memperhatikan keamanan-
keamanan makanan.

4. Prinsip Promosi Kesehatan di Fasilitas Layanan Kesehatan, (Ayubi, 2006):


a. Ditujukan untuk individu yang memerlukan pengobatan dan atau perawatan,
pengunjung, keluarga pasien.
b. Memberikan pemahaman kepada pasien dan keluarga atas masalah kesehatan yang
diderita pasien.
c.  Memberdayakan pasien dan keluarga dalam kesehatan.
d. Menerapkan proses belajar di fasilitas pelayanan kesehatan. 

5. Prinsip Promosi Kesehatan di Tempat Umum


Bentuk pendekatan massa diberikan secara tidak langsung, biasanya menggunakan atau
melalui media massa.Tempat umum merupakan sarana yang dilalui oleh banyak orang, dapat
dikatakan sasaran dari tindakan promosi kesehatan di tempat umum tidak menentu. Maka
penerapan yang paling efektif adalah dengan memanfaatkan media berupa poster, spanduk,
dan lainnya.

2.4.2 Metode dalam Promosi Kesehatan


Pelaksanaan promosi kesehatan agar dapat menarik perhatian masyarakat untuk
mengikutinya, perlu memperhatikan metode yang digunakan dalam promosi kesehatan. 
Metode promosi kesehatan merupakan cara atau pendekatan tertentu yang digunakan dengan
tujuan tercapainya tujuan dari proses promosi kesehatan (Effendi & Makhfudli,
2009). Pendidik harus dapat memilih dan menggunakan metode (cara) mengajar yang cocok
atau relevan, sesuai dengan kondisi setempat. Meskipun berlaku pedoman umum bahwa
tidak ada satu pun metode belajar yang paling baik dan tidak ada satu pun metode belajar
yang berdiri sendiri (Maulana, 2009).
Secara garis besar metode dalam proses promosi kesehatan terdapat dua jenis metode,
yaitu metode didaktif dan metode sokratik (Maulana, 2009). 

a. Metode didaktif, didasarkan atau dilakukan secara satu arah atau one way method,
misalnya ceramah, film, leaflet, buklet, poster, dan siaran radio). 
b. Metode sokratik, dilakukan secara dua arah atau two way method. Metode ini
kemungkinan antara pendidik dan peserta didik bersikap aktif dan kreatif, misalnya diskusi
kelompok, debat, panel, forum, buzzfgroup, seminar, bermain peran, sosiodrama, curah
pendapat, demonstrasi, studi kasus, lokakarya, dan penugasan perorangan). 
Pemilihan metode promosi kesehatan harus dilakukan secara cermat dan tepat agar menjadi
metode belajar yang efektif dan efisien ini harus mempertimbangkan hal-hal berikut.
1. Hendaknya disesuaikan dengan tujuan pendidikan
2. Bergantung pada kemampuan guru atau pendidiknya
3. Kemampuan pendidik
4. Bergantung pada besarnya kelompok sasaran atau kelas
5. Harus disesuaikan dengan waktu pemerian atau penyampaian pesan.
6. Hendaknya mempertimbangkan fasilitas-fasilitas yang ada. 
Metode pembelajaran selain terdapat dua jenis, metode pun menurut Notoatmodjo, 2007) ;
Maulana (2009), diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu, metode pendidikan individu,
kelompok, dan massa. Memiliki pendapat yang sama menurut Departemen Kesehatan RI
menggolongkan metode promosi kesehatan berdasarkan jumlah sasaran yang ingin dicapai
yaitu, pendekatan perorangan, pendekatan kelompok, dan pendekatan massal. 
1. Metode pendidikan individu
a. Bimbingan berisi penyampaian inforasi yang berkenaan dengan masalah pendidikan,
pekerjaan, pribadi, dan masalah sosial yang disajikan dalam bentuk pelajaran.
b. Konseling adalah proses belajar yang bertujuan memungkinkan konseling (peserta
didik) mengenal dan menerima diri sendiri serta realistis dalam proses penyelesaian dengan
lingkungannya (Nurihsan, 2005) dalam (Maulana, 2009). 
2. Metode pendidikan kelompok
a. Ceramah, ialah pidato yang disampaikan oleh seorang pembicaraa di depan
sekelompok pengunjung atau pendengar. Metode ini dipergunakan sesuai kondisi–kondisi
tertentu. 
b. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu atau beberapa ahli tentang suatu
topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat di masyarakat. 
c. Diskusi kelompok, percakapan yang direncakan atau dipersiapkan di antara tuga
orang atau lebih tentang topik tertentu dan salah seorang di antaranya memimpin diskusi
tersebut. 
d. Bermain peran (role play), peserta diminta memainkan atau memerankan bagian-
bagian dari berbagai karakter dalam suatu kasus.
e. Simulasi, suatu cara peniruan karakteristik-karakteristik atau perilaku-perilaku
tertentu dari dunia rill sehingga para peserta latihan dapat berekasi seperti pada keadaan
sebenarnya.
3. Metode pendidikan massa
Metode pendidikan massa dilakukan untuk mengonsumsikan pesan-pesan kesehatan yang
ditujukan untuk masyarakat. Pesan yang ingin disampaikan perlu dirancang agar dapat
ditangkap oleh massa.
Metode kesehatan pun dapat digolongkan berdasarkan teknik komunikasi dan indera
penerima dari sasaran promosi kesehatan.
1. Berdasarkan teknik komunikasi
a. Metode penyuluhan langsung.
b. Metode yang tidak langsung.
2. Berdasarkan indera penerima
a. Metode melihat/memperhatikan.
b. Metode pendengaran
c. Metode “kombinasi”

2.4.3 Media Promosi Kesehatan


Dalam melakukan promosi kesehatan perlu diperhatikan media yang digunakan agar
dapat menarik perhatian sasaran dalam mengikuti promosi kesehatan. Menurut (Kholid, A.,
2012) media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi atau materi
pembelajaran seperti buku, film, video dan sebagainya. Media merupakan alat yang
digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran (Maulana,
H. D., 2007). Tujuan dari penggunaan media dalam pengajaran yaitu untuk memperjelas
pesan, mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga, daya indra, menimbulkan semangat
belajar, interaksi langsung antara peserta didik dan sumber belajar, serta memungkinkan
peserta belajar mandiri sesuai bakat (Simamora, 2009).
Media yang berupa alat peraga berfungsi untuk (Maulana, H. D., 2007):
a. menimbulkan minat sasaran
b. mencapai sasaran yang lebih banyak
c. membantu mengatasi hambatan dalam pemahaman
d. merangsang sasaran untuk meneruskan pesan pada orang lain
e. memudahkan penyampaian informasi
f. memudahkan penerimaan informasi oleh sasaran
g. mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi oleh orang banyak.
h. mendorong keinginan  untuk mengetahui, mendalami, dan mendapat pengertian yang
lebih baik.
i. membantu menegakkan pengetahuan yang diterima agar bisa lebih lama tersimpan
dalam ingatan.
Pelaksanaan promosi kesehatan membutuhkan media yang dapat memudahkan aktivitas
promosi kesehatan terutama pada saat pendidik (sumber) tidak dapat bertemu langsung
dengan sasaran. Adapun jenis – jenis media pembelajaran menurut (Kholid, A., 2012) yaitu:
1. Media visual seperti grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun dan komik
2. Media auditif seperti radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya
3. Projected still media seperti slide, over head projector, in focus dan sejenisnya
4. Projected motion media seperti film, televise, video, computer dan sejenisnya.
Sedangkan, menurut Sharon, S. E. (2005) terdapat enam jenis dasar dari media pembelajaran,
yaitu:
1. Teks, yaitu penyampaian informasi yang berupa tulisan.
2. Media audio, seperti suara latar, musik, atau  rekaman suara yang dapat
meningkatkan daya tarik sasaran.
3. Media visual, yaitu media yang memberikan rangsangan - rangsangan visual seperti
gambar/photo, sketsa, diagram, bagan, grafik, kartun poster dan papan bulletin.
4. Media proyeksi gerak, seperti film geral, film gelang, program TV, video kaset (CD,
VCD, atau DVD).
5. Benda-benda tiruan/miniatur, seperti benda-benda tiga dimensi yang dapat disentuh
dan diraba oleh penerima pesan.
6. Manusia, yang dapat berupa guru, siswa, atau pakar/ ahli dibidang/ materi tertentu.

Adapun ciri – ciri media pembelajaran menurut (Gerlach & Ely, 1971) yaitu:

1. Ciri fiksasif
2. Ciri manipulatif
3. Ciri distributif
Kriteria yang harus diperhatikan dalam memilih media pembelajaran menurut (Kholid, A.,
2012) yaitu:
1. Sesuai dengan tujuan atau standar kompetensi yang ingin dicapai.
2. Tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta, konsep, prinsip dan
generalisasi
3. Praktis, luwes dan bertahan
4. Memperhatikan pengelompokan sasaran.
5. Penyaji terampil dalam menggunakan media.

2.4.4 Strategi Promosi Kesehatan: Advokasi


a. Advokasi
Pada dasarnya promosi kesehatan bertujuan untuk mengenalkan kesehatan kepada masyarkat,
untuk mencapai hal ini perlu adanya pendekatan persuasif, dan menggunakan cara yang
komunikatif serta inovatif yang memerhatikan sasaran promosi kesehatan yang bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terkait kesehatan [ CITATION Mau07 \l 1033 ].
Advokasi merupakan strategi dengan pendekatan pimpinan dengan tujuan untuk
mengembangkan kebijakan publik yang berwawasan kesehatan [ CITATION Efe09 \l 1033 ].
Advokasi berperan dalam mendukung kegiatan promosi kesehatan yang dapat memfasilitasi
adaptasi perilaku dan lingkungan untuk memperbaiki kesehatan. Pelaku advokasi kesehatan
ialah orang yang peduli terhadap upaya kesehatan dan memandang perlu adanya mitra untuk
mendukung upaya tersebut [ CITATION Mau07 \l 1033 ].
b. Tahap Advokasi
Komitmen yang didapat dari proses advokasi tentunya tidak berjalan dengan cepat karena
melewati beberapa tahapan. Pertama, mengetahui atau menyadari adanya masalah. Kedua,
tertarik untuk ikut mengatasi masalah. Ketiga, peduli terhadap pemecahan masalah (dengan
mencari alternatif pemecahan masalah). Keempat, sepakat untuk memecahkan masalah
dengan memilih caranya. Kelima, memutuskan tindak lanjut kesepakatan. Bahan-bahan
advokasi pun perlu disiapkan terlebih dahulu dan matang, diataranya ialah sesuai minat dan
sasaran advokasi, memuat rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah, memuat
peran sasaran dalam pemecahan masalah, berdasarkan fakta dan bukti (evidence-based),
dikemas secara menarik dan jelas, serta sesuai dengan waktu yang tersedia [ CITATION
Dep11 \l 1033 ].
c. Proses Pendekatan Advokasi
Proses pendekatan dalam advokasi kesehatan ialah pendekatan persuasive, dewasa, dan bijak.
Menurut UNFPA dan BKKBN (2002) terdapat lima pendekatan utama yaitu, melibatkan para
pemimpin, bekerja sama dengan media massa, membangun kemitraan, memobilisasi massa,
dan membangun kapasitas [ CITATION Mau07 \l 1033 ]. Advokasi akan lebih efektif jika
dilaksanakan dengan prinsip kemitraan, dengan membentuk jejaring advokasi atau forum
kerjasama. Hal tersebut dapat mendukung proses advokasi karena akan terjadinya proses
kerja sama yang didalamnya terdapat pembagian tugas dan saling mendukung, maka sasaran
advokasi akan dapat diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, metode dan media
advokasi perlu ditentukan secara cermat, sehingga dapat terjalin kerjasama yang baik
[ CITATION Dep11 \l 1033 ].
d. Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dengan menggunakan strategi ini berupa kebijakan dan peraturan-
peraturan yang mendukung untuk mempengaruhi terciptanya perilaku hidup bersih dan sehat
serta adanya sumber dukungan dari aspek lain.

2.4.5 Strategi Promosi Kesehatan: Social Support dan Enpowerment 


  Proses belajar akan terlaksana dengan baik jika klien mengalami perubahan tingkat
pengetahuan, kesadaran maupun perilaku. Strategi-strategi yang dibahas biasanya meliputi
belajar-mengajar, pemecahan masalah, penggunaan diri secara terapeutik, kepedulian,
manajemen stres, modifikasi pelaku, membuat kontrak, proses kelompok dan prinsip-prinsip
praktik keperawatan. Terdapat tiga strategi yang dapat dilakukan untuk melakukan
perubahan tersebut pada klien yaitu empiric-rational change, normative-reeducative, dan
power-coersive (Allender, Rector, & Warner, 2014). Selain itu, menurut WHO (1994) dan
DepKes RI (2007) terdapat beberapa strategi dalam promosi kesehatan, yaitu:
a. Bina Suasana (Social Support). Strategi ini dilakukan untuk mencari dukungan sosial
melalui tokoh masyarakat, baik tokoh masyarakat formal maupun informal. Tujuan utama
kegiatan ini adalah para tokoh masyarakat, dapat menjadi jembatan antara sektor kesehatan
sebagai pelaksana program kesehatan dengan masyarakat sebagai penerima program
kesehatan. 
b. Pemberdayaan adalah kegiatan yang melibatkan masyarakat berupa kegiatan dari,
oleh, dan untuk masyarakat dalam mengenali masalah kesehatan mereka sendiri serta
bersedia untuk memelihara, meningkatkan, dan melindungi kesehatannya masing-
masing (Efendi & Makhfudli, 2009). Tujuan umum dalam gerakan pemberdayaan
masyarakat ini adalah masyarakat mampu mengenali, memelihara, melindungi dan
meningkatkan kualitas kesehatannya termasuk apabila mereka sakit, mereka dapat
memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengalami kesulitan terutama dalam biaya. Sasaran
dan pelaku dalam gerakan pemberdayaan masyarakat ditujukan pada masyarakat langsung
sebagai sasaran primer. Prinsip dalam gerakan pemberdayaan masyarakat ini berupa
menumbuhkembangkan potensi masyarakat, menumbuhkan kontribusi masyarakat dalam
upaya kesehatan, mengembangkan kegiatan yang melibatkan kebersamaan antar-masyarakat,
kerjasama masyarakat, promosi pendidikan dan pelatihan dengan pemanfaatan potensi
setempat, upaya yang dilakukan secara kemitraan dengan berbagai pihak dan sesuai dengan
keadaan atau budaya setempat. Selain prinsip dalam gerakan pemberdayaan masyarakat,
adapula bentuk dari gerakan pemberdayaan masyarakat, yaitu community leader, community
organizations, community fund, community material, community knowledge, community
technology, dan community decision making. Dalam gerakan pemberdayaan masyarakat
dibutuhkan peran dari dinas kesehatan dalam kota maupun kabupaten yang berupa
pengkajian dalam membantu memahami permasalahan kesehatan di wilayah tersebut,
pemberi arah terkait tujuan dan sasaran dari kegiatan yang akan dilakukan, memberikan
bimbingan dan bantuan teknis yang sesuai dengan keperluan serta memberikan dukungan
moral, memberikan dukungan sumber daya manusia dan memantau perkembangan masalah
kesehatan yang dialami. Indikator keberhasilan terhadap strategi gerakan pemberdayaan
masyarakat terdiri dari indikator input, indikator proses dan indikator output (Maulana,
2009). 

2. 4 Tahapan dan Intervensi Promosi Kesehatan


Pemberian promosi kesehatan dapat dilakukan untuk berbagai macam klien, seperti
individu, keluarga, dan masyarakat. Terdapat beberapa tahapan yang harus dilakukan
perawat untuk memberikan promosi kesehatan kepada klien. Tahapan promosi kesehatan
adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh perawat untuk memberi edukasi
kesehatan kepada klien mulai dari kegiatan mengkaji beberapa aspek klien seperti identitas
klien, kebutuhan belajar hingga mengevaluasi kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan
(Potter & Perry, 2009). Tahapan pemberian promosi kesehatan dibagi menjadi 5 langkah,
yaitu tahap pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Kozier, 2012).
1. Pengkajian
Tahap pertama dalam promosi kesehatan adalah mengkaji tentang apa yang dibutuhkan
oleh klien untuk mencapai tujuan hidup sehat. Pengkajian bertujuan untuk menentukan
kebutuhan dan masalah kesehatan klien. Berikut adalah beberapa hal yang harus dikaji sesuai
dengan jenis klien.
a. Pengkajian pada klien: individu
1) Riwayat keperawatan
2) Identitas klien
3) Pemeriksaan fisik
4) Gaya hidup
5) Risiko kesehatan
6) Budaya dan spiritual klien
7) Tekanan hidup
b. Pengkajian pada klien: keuarga
1) Identitas anggota keluarga (jumlah anggota keluarga, agama, usia, pekerjaan, tingkat
pendidikan, penghasilan, dll)
2) Lingkungan tempat tinggal keluarga
3) Suku atau budaya klien
4) Nilai dan norma keluarga
5) Riwayat kesehatan anggota keluarga
6) Pengkajian fisik anggota keluarga
c. Pengkajian pada klien: masyarakat
Berikut adalah hal apa saja yang perlu dikaji dimasyakarakat sebelum memberikan
promosi kesehatan menurut E.T. Anderson dan J. McFarlane (2007) dalam Kozier, B., Erb.,
A.J. & Snyder (2012):

Hal yang dikaji Keterangan

Lingkungan fisik Mempertimbangkan batas-batas alam dan kepadatan penduduk, tempat tinggal, dan
kejadian kejahatan yang terjadi

Pendidikan Pertimbangkan fasilitas pendidikan baik dari segi kualitas maupun kuantitas

Keselamatan dan tranportasi


Pertimbangkan pelayanan keamanan seperti polisi, pertimbangkan sanitasi air dan
sumber air, kualitas udara, layanan pembungan sampah, dan ketersediaan dan
kemanan transportasi umum serta ketersediaan ambulan

Kesehatan dan jasa social


Pertimbangkan pelayanan kesehatan yang tersedia, jumlah kejadian sakit akibat
berbagai penyakit, jumlah kematian, jumlah ibu hamil, bayi, dan balita, cakupan
upaya kesehatan, dan jumlah kader kesehatan

Komunikasi Petimbangkan alat dan media komunikasi yang digunakan, seperti Koran lokal, radio,
TV, akses internet, forum public, ataupun papan bulletin informal

Ekonomi Pertimbangkan presentase penduduk yang bekerja dan atau bersekolah, tingkat
pendapatan, program kesehatan kerja, dan industry yang tersedia

Rekreasi Pertimbangkan fasilitas rekreasi di masyarakat

Informasi yang terkandung pada kegiatan pengkajian ini merupakan dasar untuk
menetapkan proses asuhan keperawatan yang harus dilakukan selanjutnya (Kozier, 2012).
2. Diagnosis
Pada tahap ini, perawat menetapkan masalah keperawatan pada klien berdasarkan hasil
dari pengkaijan yang sudah dianalisa. Diagnosis keperawatan yang berkaitan dengan
promosi kesehatan adalah diagnosis sejahtera. Tujuan dari diagnosis tersebut adalah
meningkatkan kesejarhteraan klien tanpa menunjukan adanya masalah. Contoh diagnosis
sejahtera seperti, keseiapan meningkatkan kesejahteraan spiritual, kesiapan meningkatkan
koping, kesiapan meningkatkan pengetahuan.
3. Perencanaan
Tahap perencanaan penting untuk memastikan bahwa promosi kesehatan yang dilakukan
benar-benar terfokus pada kebutuhan belajar klien yang sesuai dengan tujuan/goal yang
ditetapkan. Hal-hal yang perlu diidentifikasi pada proses perencanaan ialah: Menetapkan
tujuan, kebutuhan dan prioritas pembelajaran klien, menetapkan domain yang dituju pada
klien, metode/strategi yang akan digunakan, menyiapkan bahan/materi pembelajaran, waktu
dan tempat pemberian promosi kesehatan, serta media dan alat yang dibutuhkan dalam
kegiatan pembelajaran klien. Lalu, berikut adalah langkah-langkah penyusunan perencanaan
pada promosi kesehatan:
1) Mengidentifikasi tujuan kesehatan dan perubahan perilaku: klien memilih prioritas
kesehatannya
2) Mengidentifikasi perilaku klien terhadap kesehatan
3) Menyusun rencana perubahan perilaku: dikaji ketidakkonsistensian klien terhadap
perilaku
4) Mengulang pertanyaan tentang manfaat perubahan: untuk menjadikan klien
termotivasi dalam perubahan kesehatan
5) Membahas pendukung dan kendala lingkungan: meningkatkan motivasi positif
6) Menentukan kerangka waktu untuk implementasi
7) Komitmen terhadap tujuan perubahan perilaku: secara verbal dengan kontrak tertulis
4. Implementasi
Pada tahap ini, perawat menjalankan perencanaan yang telah disusun. Dibutuhkan peran
klien untuk mencapai tujuan dari promosi kesehatan tersebut. Tanggung jawab klien harus
diselesaikan untuk mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan. Pada jenis klien
masyarakat, promosi kesehatan dilakukan dengan pemberdayaan keluarga melalui
dasawisma, yang didukung oleh bina suasana. Pemberdayaan ini melalui individu yang
datang berkunjung ke fasilitas kesehatan masyarakat seperti posyandu ataupun kader yang
berkunjung ke lingkungan RT. Sedangkan bina suasana dapat dilakukan dengan
memanfaatkan media masa yang tepat untuk masyarakat, misalnya koran online, spanduk, dll
(Kemenkes RI, 2014).
5. Evaluasi
Tahap evaluasi pada kegiatan promosi kesehatan sama dengan tahap evaluasi pada proses
keperawatan pada umumnya. Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini ialah standar yang
ditetapkan dari tujuan dan hasil, yang kemudian dijadikan pedoman evaluasi pada kegiatan
promosi kesehatan. Evaluasi yang dilakukan meliputi tiga evalusi, yaitu evaluasi proses,
evaluasi dampak, dan evaluasi hasil. Pada evalusi proses dilihat faktor yang mempengaruhi
promosi kesehatan seperti faktor pedisposisi. Evaluasi dampak melihat dampak yang
ditimbulkan setelah dilaksanakan promosi kesehatan baik dari perilaku dan kebiasaan
masyarakat maupun lingkungan. Terakhir, evaluasi hasil akan terlihat kulitas hidup pada
klien (Maulana, H. D. J. 2007).

2. 5 . Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan


Peran perawat dalam praktik profesi memiliki beberapa elemen diantaranya adalah
kordinator, kolaborator, pembaharu, peneliti, advokat, konsultan, pendidik, pelaksana,
konselor, komunikator dan fasilitator (Allender, Rector, & Warner, 2014). Tujuan dari
elemen ini yaitu memandirikan klien seoptimal mungkin dengan mencakup aspek fisik,
psikologik, sosial – cultural dan spiritual. Upaya ini tidak hanya tentang masyarakat luas,
namun juga dapat dilakukan untuk perorangan, keluarga kemudian komunitas. Pada bagian
ini, secara spesifik, perawat komunitaslah yang memegang peranan. Perawat komunitas
mengintegrasikan keterlibatan komunitas dan pengetahuan tentang keseluruhan populasi
dengan pengalaman  personal dan klinis di dalam populasi tersebut.

a. Peran perawat sebagai koordinator

Perawat komunitas memiliki peran dalam mengatur pelayanan kesehatan. Sebagai


kordinator perawat mengkaji  arah administrasi yang menuju pada pencapaian tujuan spesifik
dari hasil assessment kebutuhan klien, merencanakan dan mengatur kebutuhan klien,
mengarahkan dan memimpin agar tujuan tersebut dapat tercapai, terakhir, mengontrol dan
mengevaluasi progress untuk meyakini bahwa target telah tercapai. Selain itu juga perawat
berfungsi sebagai kordinator ketika mengawasi perawatan klien, mengawasi tenaga
kesehatan lain yang mendukung kesembuhan klien, menjalankan praktik klinis atau
melakukan assessment untuk kebutuhan kesehatan masyarakat.

Dalam setiap contoh, perawat terlibat dalam empat fungsi dasar yang membentuk
proses manajemen. Proses manajemen, seperti proses keperawatan, menggabungkan
serangkaian kegiatan pemecahan masalah atau fungsi: perencanaan, pengorganisasian,
memimpin, dan mengendalikan dan mengevaluasi. Kegiatan ini sekuensial, namun juga
terjadi secara bersamaan untuk mengelola tujuan layanan (Cherry & Jacob, 2011). Sambil
melakukan fungsi-fungsi ini, perawat kesehatan masyarakat paling sering adalah manajer
partisipatif; yaitu, mereka berpartisipasi dengan klien, profesional lain, atau keduanya untuk
merencanakan dan melaksanakan jasa.

Perawat komunitas jarang praktik sendirian. Mereka harus bekerja dengan banyak
orang, termasuk klien, perawat lainnya, dokter, guru, pendidik kesehatan, pekerja sosial,
terapis fisik, ahli gizi, terapis okupasi, psikolog, ahli epidemiologi, biostatistik, pengacara,
sekretaris, ahli kesehatan lingkungan , perencana kota, dan anggota legislatif. Sebagai
anggota tim kesehatan, perawat komunitas berperan sebagai kolaborator, yang berarti bekerja
bersama-sama dengan orang lain dalam usaha bersama, bekerja sama sebagai mitra. Praktik
kesehatan masyarakat yang sukses tergantung pada ini multidisiplin kolegialitas dan
kepemimpinan (Clark-McMullen, 2010; Powell, Gilliss, Hewitt, & Flint, 2010).

b. Peran perawat sebagai kolaborator

Semua orang di tim memiliki kontribusi penting dan unik untuk membuat untuk upaya
pelayanan kesehatan. Seperti pada tim sepak bola, semua anggota memainkan posisi masing-
masing dan bekerja sama dengan anggota lain. Hal ini juga berlaku pada tim tenaga
kesehatan. Perawat komunitas memerlukan keterampilan dalam berkomunikasi, dalam
menafsirkan kontribusi yang unik perawat ke tim, dan dalam bertindak tegas sebagai mitra
sejajar. Peran kolaborator mungkin juga melibatkan berfungsi sebagai konsultan. Contoh
berikut ini menunjukkan seorang perawat komunitas berfungsi sebagai kolaborator.

Tiga keluarga diperlukan untuk menemukan rumah jompo yang baik bagi kakek
mereka. Perawat kesehatan masyarakat bertemu dengan keluarga, termasuk anggota tua;
membuat daftar fitur yang diinginkan, seperti mandi dan akses ke berjalan jalan; dan
kemudian bekerja dengan pekerja sosial untuk mencari dan mengunjungi beberapa rumah.
Dokter masing-kakek-nenek 'dihubungi untuk konsultasi medis, dan dalam setiap kasus,
anggota lansia dilakukan seleksi akhir. Dalam situasi lain, perawat komunitas  bekerja sama
dengan dewan kota, kepolisian, warga lingkungan, dan manajer gedung tinggi apartemen
warga senior’ untuk membantu sekelompok orang tua mengatur dan lobi untuk jalan-jalan
yang lebih aman. Dalam contoh ketiga, perawat sekolah melihat kenaikan dalam kejadian
penggunaan narkoba di sekolah nya. Dia memulai program konseling setelah perencanaan
bersama dengan siswa, orang tua, guru, psikolog sekolah, dan satu rehabilitasi obat lokal.

c. Peran perawat sebagai edukator

Peran sebagai edukator merupakan salah satu peran penting yang dimiliki oleh perawat
komunitas (Allender, Rector, Warner, 2014). Perawat sebagai pendidik memiliki tujuan
untuk melakukan promosi kesehatan. Penggabungan konten yang spesifik kedalam disiplin
ilmu keperawatan, pengetahuan dari teori edukasi dan model perilaku sehat dapat
memungkinkan pendekatan yang terintegrasi untuk membentuk perilaku sehat pada peserta
didik (klien) (Bastable, 2008). Beberapa peran perawat sebagai edukator mencakup fasilitator
perubahan, kontraktor, organisator, dan evaluator. Pada lembar tugas ini akan dibahas peran
perawat sebagai fasilitator serta evaluator.
Peran perawat komunitas sebagai fasilitator menyatukan berbagai macam orang dan
kelompok untuk membicarakan mengenai isu dan kebutuhan yang dipelukan. Peran sebagai
fasilitator yang paling signifikan melibatkan membantu masyarakat dan kelompok dengan
berbagi pandangan untuk mencapai suatu kesepakatan agar mereka dapat menemukan titik
tengah untuk menyelesaikan permasalahan serta membawa perubahan positif dan meredakan
permasalahan kesehatan spesifik pada komunitas (Lundy & Janes, 2009).
Perawat sebagai edukator disaat yang bersamaan berperan juga sebagai fasilitator perubahan.
Ketika pembelajaran dipandang sebagai sebuah bentuk intervensi, maka pembelajaran perlu
dipertimbangkan seperti dalam konteks intervensi keperawatan lainnya yang dapat
mempengaruhi perubahan (Bastable, 2008). DeTornay dan Thompsn (1987) dalam Bastable
(2008) mengemukakan bahwa penjelasan, analisis, pembagian keterampilan yang kompleks,
demonstrasi, praktik, pengajuan pertanyaan, dan pemberian kesimpulan merupakan cara yang
efektif dalam memfasilitasi perubahan di dalam situasi pembelajaran.
Program pendidikan, layaknya proyek perawatan kesehatan lain harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada peserta didik maupun konsumen. Pengetahuan yang
menyeluruh akan persyaratan rumah sakit, tenaga profesional, serta tenaga kesehatan dapat
membantu untuk mengidentifikasi kemungkinan kebutuhan belajar staff sebagai peserta
didik. Perawat sebagai edukator perlu memantau penatalaksaan peraturan baru yang
diterapkan serta perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar institusi berkaitan dengan
pemberian asuhan keperawatan. Penerapan pembelajaran yang dapat meningkatkan
kesehatan seseorang, keluarga, kelompok, atau komunitas menjadi ukuran evaluatif dari
pembelajaran (Bastable, 2008).
d. Peran perawat sebagai edukator

Peran sebagai edukator merupakan salah satu peran penting yang dimiliki oleh perawat
komunitas (Allender, Rector, Warner, 2014). Perawat sebagai pendidik memiliki tujuan
untuk melakukan promosi kesehatan. Penggabungan konten yang spesifik kedalam disiplin
ilmu keperawatan, pengetahuan dari teori edukasi dan model perilaku sehat dapat
memungkinkan pendekatan yang terintegrasi untuk membentuk perilaku sehat pada peserta
didik (klien) (Bastable, 2008). Beberapa peran perawat sebagai edukator mencakup fasilitator
perubahan, kontraktor, organisator, dan evaluator. Pada lembar tugas ini akan dibahas peran
perawat sebagai fasilitator serta evaluator.
Peran perawat komunitas sebagai fasilitator menyatukan berbagai macam orang dan
kelompok untuk membicarakan mengenai isu dan kebutuhan yang dipelukan. Peran sebagai
fasilitator yang paling signifikan melibatkan membantu masyarakat dan kelompok dengan
berbagi pandangan untuk mencapai suatu kesepakatan agar mereka dapat menemukan titik
tengah untuk menyelesaikan permasalahan serta membawa perubahan positif dan meredakan
permasalahan kesehatan spesifik pada komunitas (Lundy & Janes, 2009).
Perawat sebagai edukator disaat yang bersamaan berperan juga sebagai fasilitator perubahan.
Ketika pembelajaran dipandang sebagai sebuah bentuk intervensi, maka pembelajaran perlu
dipertimbangkan seperti dalam konteks intervensi keperawatan lainnya yang dapat
mempengaruhi perubahan (Bastable, 2008). DeTornay dan Thompsn (1987) dalam Bastable
(2008) mengemukakan bahwa penjelasan, analisis, pembagian keterampilan yang kompleks,
demonstrasi, praktik, pengajuan pertanyaan, dan pemberian kesimpulan merupakan cara yang
efektif dalam memfasilitasi perubahan di dalam situasi pembelajaran.
Program pendidikan, layaknya proyek perawatan kesehatan lain harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada peserta didik maupun konsumen. Pengetahuan yang
menyeluruh akan persyaratan rumah sakit, tenaga profesional, serta tenaga kesehatan dapat
membantu untuk mengidentifikasi kemungkinan kebutuhan belajar staff sebagai peserta
didik. Perawat sebagai edukator perlu memantau penatalaksaan peraturan baru yang
diterapkan serta perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar institusi berkaitan dengan
pemberian asuhan keperawatan. Penerapan pembelajaran yang dapat meningkatkan
kesehatan seseorang, keluarga, kelompok, atau komunitas menjadi ukuran evaluatif dari
pembelajaran (Bastable, 2008).
E. Peran perawat sebagai konselor
Peran perawat konselor merupakan perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi
pasien, keluarga dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami klien.
Peran ini dilakukan oleh perawat sesuai dengan permintaan klien (Kusnanto, 2004). Perawat
sebagai konselor mempunyai tujuan membantu klien dalam memilih keputusan yang akan
diambil terhadap penyakit yang dideritanya atau segala permasalahan yang terkait dengan
kesehatan masyarakat. Cara untuk mempermudah didalam mengambil keputusan klien wajib
mempertanyakan langkah – langkah yang akan diambil terhadap dirinya.
Keperibadian serta sikap yang kondesif untuk terciptanya interaksi yang adekuat antara
konselor dengan klien sangat diperlukan didalam mempermudah melakukan proses
pelayanan keperawatan secara profesional. Perawat konselor menurut Potter & Perry (2013)
perlu memiliki dan memenuhi persyaratan antara lain:
1. Mempunyai minat dan sikap positif terhadap penyakit yang diderita.
2. Memiliki pengetahuan teknis mengenai perjalanan suatu penyakit.
3. Menguasai dasar – dasar teknis konseling.
4. Memiliki keterampilan.
Sikap seorang konselor didalam melakukan pelayanan terhadap kilen diwaktu terjadinya
konseling anrata lain: sabar, ramah, empati dan terbuka, menghargai pendapat klien, duduk
sejajar dan memposisikan dirinya sejajar dengan klien, menggunakan bahasa yang sederhana
dan mudah dimengerti, tidak menilai dan bisa menerima klien apa adanya, mempu membina
hubungan antara konselor dengan klien, dapat menemukan kepercayaan dari klien yang
dibantunya, memberikan informasi yang lengkap dan rasional kepada klien, menghindari
pemberian info yang berlebihan, hanya memberikan informasi yang dibutuhkan oleh klien,
dan membantu klien untuk mengerti dan mengingat (Potter & Perry, 2013).
Jadi, dalam promosi kesehatan banyak sekali peran perawat yang harus dilakukan,
diantaranya adalah sebagai edukator dan konselor. Kedua peran ini sangatlah penting untuk
digunakan. Peran perawat sebagai konselor dan edukator memiliki tujuan dan hambatan
masing-masing yang harus diselesaikan sehingga pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
masyarakat sebagai upaya pencegahan penyakit dapat tercapai.
F. Peran perawat sebagai caregiver
Peran perawat yang paling dikenal secara publik adalah pemberi asuhan atau
caregiver. Menjadi seorang caregiver dalam sebuah komunitas, berarti perawat memastikan
bahwa pelayanan kesehatan bukan hanya tersedia secara individual atau keluarga, tetapi juga
dalam tingkat kelompok atau populasi. Asuhan keperawatan tetap dirancang untuk
memenuhi kebutuhan spesifik setiap kliennya, namun, asuhan keperawatan dalam sebuah
kelompok atau populasi memiliki bentuk tersendiri. Dibutuhkan kemampuan yang berbeda
untuk menkaji kebutuhan massa secara kolektif dan menyalurkannya. Caregiver dalam
keperawatan komunitas memiliki penekanan khusus yang berbeda dari keperawatan dasar.
Terdapat 3 penekanan yaitu holism, promosi kesehatan, serta keterampilan tambahan. Dalam
LTM ini, akan difokuskan penjelasan mengenai perawat komunitas dalam promosi
kesehatan.
Seorang perawat menyediakan asuhan keperawatan dalam semua tahapan fase
kesehatan, namun terutama adalah dalam mempromosikan kesehatan untuk mencegah
penyakit. Pelayanan yang efektif seperti mencari tahu klien yang berisiko memiliki kondisi
kesehatan yang buruk bisa memberikan pelayanan yang preventif.
Perawat dapat mengidentifikasi kelompok masyarakat yang tertarik untuk memiliki
tingkat kesehatan yang lebih tinggi dan bekerja sama dengan mereka untuk mencapai tujuan
yang dinginkan serta memiliki perubahan perilaku (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2011).
Contoh dari hal tersebut adalah, perawat dapat membantu para karyawan sebuah perkantoran
untuk hhidup lebih sehat dengan berhenti merokok. Contoh-contoh lainnya adalah
mengadakan seminar, imunisasi, program perencanaan keliarga, dan lain-lain.
g. Peran perawat sebagai advokator
Isu mengenai hak klien sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Setiap klien
memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bijak, adil, dan manusiawi. Banyak klien
terutama yang berasal dari kalangan ekonomi rendah, klien yang tidak memiliki asuransi
kesehatan, klien dengan keterbatasan bahasa, tidak terpenuhi haknya secara benar dalam
pelayanan kesehatan. Hal ini membuat klien menjadi frustasi, bingung, dan tak mampu
koping dengan sistem yang ada. Peran perawat adalah sebagai advokator hak klien yang
mewakili klien agar hak mereka dapat terpenuhi.
Klien membutuhkan seseorang untuk menjelaskan tentang pelayanan yang akan
mereka terima, menerima arahan yang tepat, serta untuk diwakili di depan agen-agen
penyedia kesehatan. Mereka membutuhkan seseorang untuk memandu mereka dalam sistem
pelayanan yang kompleks agar terpastikan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi. Hal ini
sangat ditekankan terutama bagi minoritas serta orang-orang yang kurang beruntung
(Traeger, Thompson, Dickson, & Prvencio, 2006)
Terdapat dua tujuan utama dalam advokasi klien. Yang pertama adalah agar klien
memiliki kuasa atas kebutuhan pelayanan kesehatan dirinya. Sampai klien dapat mencari
informasi yang ia butuhkan dan mengakses pelayanan kesehatan dan sosial yang tepat,
perawat harus berperan sebagai advokator kepada klien dengan menunjukkan kepada mereka
pelayanan apa yang tersedia, untuk siapa pelayanan tersebut tersedia, dan bagaimana agar
dapat mengakses pelayanan tersebut. Tujuan kedua adalah agar sistem pelayanan kesehatan
bisa lebih responsif serta relevan dalam menunjang kebutuhan klien. Hal ini bisa dicapai
dengan membuat perubahan dalam pelayanan kesehatan yang buruk, sulit diakses, serta tidak
adil.
h. Peran perawat sebagai pembawa perubahan
Marriner torney (2009) mendiskripsi bahwa pembawa perubahan adalah seseorang yang
mengidentifikasikan masalah, mengkaji motifasi dan kemampuan klien untuk berubah
menunjukkan alternatif, menggali kemungkinan hasil dari alternatif, mengkaji sumber daya
menunjukkan peran pembantu, membina dan mempertahankan hubungan membantu selama
fase dari proses perubahan membina dan mempertahankan hubungan pembantu, membantu
selama proses perubahan serta membimbing klien melalui fase-fase ini. Peningkatan dan
perubahan adalah komponen inti dari keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan
perawat membantu klien untuk merencanakan melaksanakan, dan menjaga perubahan seperti
pengetahuan keterampilan, perasaan, dan perilaku yang dapat meningkatkan kesehatan klien
tersebut.
Istilah pembaharuan juga dapat diartikan sama dengan kata inovasi (innovation) dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia memgartikan istilah inovasi sebagai pemasukan atau
pengenalan hal-hal baru atau sebagai penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada yang
sudah dikenal sebelumnya gagasan, metode, atau alat.
Dari penjelasan yang terdapat dalam kamus diatas, secara harfiah istilah
pembaharuan dapat diartikan dalam dua pengertian. Pertama, pembaharuan diartikan sebagai
proses, perbuatan, atau cara untuk memperbaharui sesuatu. Kedua, pembaharuan (inovasi)
dapat diartikan sebagai sesuatu penemuan hal baru gagasan, metode, alat, atau yang lainnya
yang berbeda dari yang sudah ada atau sudah dikenal sebelumnya.
Selain peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan, terdapat pembagian peran
perawat menurut hasil lokakarya keperawatan Tahun 1983 yang membagi menjadi empat
peran diantaranya peran perawat sebagai pelaksana pelayanan keperawatan, peran perawat
sebagai pengelola pelayanan dan institusi keperawatan, peran perawat sebagai pendidik
dalam keperawatan serta peran peran perawat sebagai peneliti dan pengembang pelayanan
keperawatan
Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja
sama pembaharu yang sistematis, dan terarah sesuai dengan metode pemperian pelayanan
keperawatan Seorang perawat di harapkan dapat menjadi pembaharu dalam ilmu
keperawatan karena ia memiliki kreativitas, inisiatif, dan cepat tanggap terhadap rangsangan
dari lingkungannya. Kegiatan ini dapat di peroleh melalui kegiatan riset atau penelitian.
Penelitian pada hakekatnya adalah melakukan evaluasi, mengukur kemampuan
menilai, dan mempertimbangkan sejauh mana efektivitas tindakan yang telah di berikan.
Kebutuhan dasar manusia terdiri dari kenutuhan biologis, fisikologis sosial dan spritual pada
masa yang akan datang, di harapkan seluruh perawat memiliki pemahaman yang sama
tentang hakikat keperawatan makna keperwatan sebagai profesi praktik keperawatan
profesional serta peran dan fungsi perawat profesional.
Peran ini dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang
sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. Biasanya
dilakukan oleh perawat dalam level struktural.
Peran perawat sebagai pembaharu sangat diperlukan, karena perawat sebagai
pembaharu merupakan jalan agar perawat membuat pembaharuan dalam pelayanan
kesehatan keperawatan karena syarat yang harus di miliki perawat sebagai pembaharu ialah
harus memiliki kreativitas, inisiatif, dan cepat tanggap terhadap rangsangan dari
lingkungannya. Kegiatan ini dapat di peroleh melalui kegiatan riset atau penelitian.
Penelitian pada hakekatnya adalah melakukan evaluasi, mengukur kemampuan menilai, dan
mempertimbangkan sejauh mana evektivitas tindakan yang telah di berikan. Kebutuhan dasar
manusia terdiri dari kenutuhan biologis, fisikologis sosial dan spritual pada masa yang akan
datang, di harapkan seluruh perawat memiliki pemahaman yang sama tentang hakikat
keperawatan makna keperwatan sebagai profesi praktik keperawatan profesional serta peran
dan fungsi perawat profesional dapat berjalan dengan baik.

KONSEP MODEL DALAM PROMOSI KESEHATAN YAITU THEORI OF


REASONED ACTION AND TRANSACTION MODEL (klp 5)
A. Theory of Reasoned Action (Teori Tindakan Beralasan)
Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan oleh Martin Fishbein dan
Ajzen dalam Jogiyanto (2007). Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap
(attitude), kehendak (intention) dan perilaku (behavior).
Kehendak merupakan prediktor terbaik perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang
akan dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui kehendak orang tersebut. Namun,
seseorang dapat membuat pertimbangan berdasarkan alasan-alasan yang sama sekali berbeda
(tidak selalu berdasarkan kehendak). Konsep penting dalam teori ini adalah fokus perhatian
(salience), yaitu mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting. Kehendak (intetion)
ditentukan oleh sikap dan norma subyektif (Jogiyanto, 2007).
Ajzen (1991) yang mengatakan bahwa sikap mempengaruhi perilaku lewat suatu proses
pengambilan keputusan yang teliti dan beralasan dan dampaknya terbatas hanya pada tiga
hal;
Pertama, perilaku tidak banyak ditentukan oleh sikap umum tapi oleh sikap yang
spesifik terhadap sesuatu. Kedua, perilaku dipengaruhi tidak hanya oleh sikap tapi juga oleh
norma-norma objektif (subjective norms) yaitu keyakinan kita mengenai apa yang orang lain
inginkan agar kita perbuat. Ketiga, sikap terhadap 10 suatu perilaku bersama norma- norma
subjektif membentuk suatu intensi atau niat berperilaku tertentu. Teori perilaku beralasan
diperluas dan dimodifikasi oleh (Ajzen dalam Jogiyanto 2007) dan dinamai Teori Perilaku
Terencana (theory of planned behavior). Inti teori ini mencakup 3 hal yaitu; yaitu keyakinan
tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral beliefs), keyakinan
tentang norma yang diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative
beliefs), serta keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi
perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs). Jogiyanto (2007)
berpendapat bahwa Intensi atau niat merupakan fungsi dari dua determinan dasar, yaitu sikap
individu terhadap perilaku (merupakan aspek personal) dan persepsi individu terhadap
tekanan sosial untuk melakukan atau untuk tidak melakukan perilaku yang disebut dengan
norma subyektif. Secara singkat, praktik atau perilaku menurut Theory of Reasoned Action
(TRA) dipengaruhi oleh niat, sedangkan niat dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif.
Sikap sendiri dipengaruhi oleh keyakinan akan hasil dari tindakan yang telah lalu. Norma
subyektif dipengaruhi oleh keyakinan akan pendapat orang lain serta motivasi untuk menaati
pendapat tersebut. Secara lebih sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan
melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya
bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya.
B. Pengertian Theory of Planned Behavior (Teori Perilaku Rencanaan)
Theory of Planned Behavior (TPB) yang merupakan pengembangan dari Theory of
Reasoned Action (TRA) (Ajzen dalam Jogiyanto, 2007).
Jogiyanto (2007) Mengembangkan teori ini dengan menambahkan konstruk yang belum
ada di TRA. Konstruk ini di sebut dengan kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral
control). Konstruk ini ditambahkan di TPB untuk mengontrol perilaku individual yang
dibatasi oleh kekurangan-kekurangannya dan keterbatasan-keterbatasan dari kekurangan
sumber-sumber daya yang digunakan untuk melekukan perilakuny (Hsu and Chiu 2002).
Dengan menambahkan sebuah konstruk ini, yaitu kontrol perilaku persepsian (Perceived
behavioral control), maka bentuk dari model teori perilaku rencanaan (Theory of planned
behavior atau TPB)
(Jogiyanto, 2007) sebagai berikut:
1. Teori ini mengansumsi bahwa kontrol persepsi perilaku (perceived behavioral
control) mempunyai implikasi motivasional terhadap minat. Orang – orang yang percaya
bahwa mereka tidak mempunyai sumber- sumber daya yang ada atau tidak mempunyai
kesempatan untuk melakukan perilaku tertentu mungkin tidak akan membentuk minat
berperilaku yang kuat untuk melakukannya walaupun mereka mempunyai sikap yang positif
terhadap perilakunya dan percaya bahwa orang lain akan menyetujui seandainya mereka
melakukan perilaku tersebut. Dengan demikian diharapkan terjadi hubungan antara kontrol
persepsi perilaku (perceived behavioral control) dengan minat yang tidak dimediasi oleh
sikap dan norma subyektif. Di model ini ditunjukkan dengan panah yang mennghubungkan
kontrol perilaku persepsian ( perceived behavioral control) ke minat.
2. Fitur kedua adalah kemungkinan hubungan langsung antara kontrol persepsi
perilaku (perceived behavioral control) dengan perilaku. Di banyak contoh, kinerja dari suatu
perilaku tergantung tidak hanya pada motivasi untuk melakukannya tetapi juga kontrol yang
cukup terhadap perilaku yang dilakukan. Dengan demikian. Kontrol perilaku persepsian
(perceived behavioral control) dapat mempengaruhi perilaku secara tidak langsung lewat
minat, dan juga dapat memprediksi perilaku secara langsung. Di model hubungan langsung
ini ditunjukan dengan panah yang menghubungkan kontrol persepsi perilaku (perceived
behavioral control) langsung ke perilaku (behavior).
Kontrol perilaku yang dirasakan dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu dan
perkiraan seseorang mengenai sulit atau tidaknya untuk melakukan perilaku tertentu (Azwar,
2003). TPB mengganggap bahwa teori sebelumnya mengenai perilaku yang tidak dapat
dikendalikan sebelumnya oleh individu melainkan, juga dipengaruhi oleh faktor mengenai
faktor non motivasional yang dianggap sebagai kesempatan atau sumber daya yang
dibutuhkan agar perilaku dapat dilakukan. Sehingga dalam teorinya, Ajzen menambahkan
satu dertiminan lagi, yaitu kontrol persepsi perilaku mengenai mudah atau sulitnya perilaku
yang dilakukan. Oleh karena itu menurut TPB, intensi dipengaruhi oleh tiga hal yaitu: sikap,
norma subjektif, kontrol perilaku (Ajzen dalam Jogiyanto 2007).

a. Sikap
Beberapa pendapat pakar dalam psikologi sosial di kemukakan beberapa definisi.
Sikap adalah evaluasi kepercayaan (belief) atau perasaan positif atau negatif dari seseorang
jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan. (Fishbein dan Ajzen dalam Ramdhani
2008) Mendenifisikan sikap (Atitude) sebagai jumlah dari afeksi (perasaan) yang dirasakan
seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek atau perilaku dan diukur dengan suatu
prosedur yang menempatkan individual dalam skala evaluatif dua kutub, misalnya baik atau
jelek; setuju atau menolak, dan lainnya. Sikap adalah suatu reaksi evaluatif menguntungkan
terhadap sesuatu atau beberapa, dipamerkan dalam keyakinan seseorang, perasaan perilaku,
kemudian definisi lain mengatakan
Attitude is a disposition to respond favourably or unfuorably to object, person,
institution or event, Sarwono (2002). Definisi ini memberikan 14 pengertian bahwa sikap
adalah suatu disposisi bertindak positif atau negatif terhadap suatu objek, orang, lembaga
atau peristiwa. Attitude is a psyshological tendency that is expressed by evaluating a
particular entity with some degree of favor or disfavor. Eagly & Chaiken dalam Sarwono
(2002). Sikap adalah kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan mengevaluasi
kesatuan tertentu dengan beberapa derajat mendukung atau tidak mendukung. Definisi lain
dikemukakan Gerungan (2004) attitude dapat kita terjemahkan dengan sikap terhadap objek
tertentu yang dapat merupakan sikap pandanagan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut
disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan objek.
Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman, yang
mengarahkan dan secar dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua
objek dan situasi yang terkait. Sikap adalah ide yang berkaitan dengan emosi yang
mendorong dilakukannya tindakan-tindakan tertentu dalam situasi sosial. Secara tegas
menyatakan bahwa predisposisi itu diperoleh dari proses belajar. Ramdhani (2008)
menyatakan bahwa ide yang merupakan predisposisi tersebut berkaitan dengan emosi.
Menurut Luthfi (2009) domain sikap dapat dipahami sebagai dimensi atau unsur-unsur dari
sikap. Unsur ini memudahkan seseorang dalam melakukan pemahaman ataupun pengukuran
terhadap sikap.

1). Aspek-Aspek Sikap


Menurut Baron et. al., (2003). Beberapa aspek-aspek penting dari sikap:
1). Sumber suatu sikap (attitude origin). Faktor inilah yang mempengaruhi bagaimana
pertama kali sikap terbentuk.bukti yang ada mengidikasikan bahwa sikap yang terbentuk.
Bukti yang ada mengindikasikan bahwa sikap yang terbentuk berdasarkan pada pengalaman
langsung sering kali memberikan pengaruh yang lebih kuat pada tingkah laku dari pada sikap
yang terbentuk berdasarkan pada pengalaman tidak lanhsung atau pengalaman orang lain.
Tampaknya, sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung lebih muda diingat, hal
ini meningkatkan dampakmereka terhadap tingkah laku.

2). Kekuatan sikap (attitude strenght)


Faktor lain salah satu faktor yang paling penting melibatkan apa yang disebut sebagai
kekuatan sikap yang dipertanyakan. Selain kuat sikap tersebut, semakin kuat pula dampaknya
pada tingkah laku. c. Kekhusukan sikap (attitude specificity). Aspek yang ketiga yang
mempengaruhi sikap dengan tingkah laku adalah kekhusukan sikap yaitu sejauh mana
terfokus pada objek tertentu atau situasi dibandingkan hal yang umum.
2). Komponen Sikap
Fishbein dan Ajzen dalam Rahma (2011), berpendapat bahwa ada dua kelompok
dalam pembentukan sikap yaitu:
1). Behavioral belief adalah keyakinan-keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap
perilaku dan merupakan keyakinan yang akan memdorong terbentuknya sikap.
2). Evaluation of behavioral belief merupakan evaluasi positif atau negatif individu
terhadap perilaku tertentu berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya.
Sikap memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku (Latief, 2011). Dalam
memutuskan merek apa yang akan dibeli, atau toko mana untuk dijadikan langganan,
konsumen secara khas memilih merek atau toko yang dievaluasi secara paling
menguntungkan. Sikap mewakili perasaan senang atau tidak senang seseorang terhadap suatu
obyek. Aaker, et al, (2001) mendefinisikan sikap sebagai konstruk psikologis (psychological
constructs). Sikap menunjukkan status mental seseorang yang digunakan oleh individu untuk
menyusun cara mereka mempersepsikan lingkungan mereka dan memberi petunjuk cara
meresponnya. Kotler (2003), mendefinisikan sikap sebagai evaluasi, perasaan emosional, dan
kecenderungan bertindak baik yang favorable maupun unfavorable serta bertahan lama dari
seseorang terhadap suatu objek atau ide. Sikap cenderung membentuk pola yang konsisten.
Sikap relatif sulit berubah dan sikap membuat orang berperilaku relatif konsisten
terhadap suatu obyek. Sikap dapat didefinisikan sebagai suatu evaluasi menyeluruh yang
memungkinkan individu merespon dengan cara yang menguntungkan atau tidak
menguntungkan secara konsisten berkaitan dengan suatu obyek (Engel et al., dalam
Burhannudin 2007). Menurut Gordon Allport yang dikutip oleh Burhanudin (2007) 17 sikap
adalah mempelajari kecenderungan memberikan respon terhadap suatu obyek atau kelompok
obyek baik yang disenangi (favorable) maupun yang tidak disenangi (unfavorable) secara
konsisten.
Sementara Fishbein dan Azjen (2005) mendefinisikan sikap sebagai penilaian atau
evaluation positif atau negatif terhadap suatu obyek. Pengertian ini membatasi sikap hanya
pada komponen affective saja. Komponen ini merupakan komponen utama yang terlibat
dengan sikap. Pengertian ini sesuai dengan pengertian sikap terhadap merek yaitu
kecenderungan untuk mengevaluasi merek baik yang disenangi maupun yang tidak disenangi
(Azwar, 2003). Sikap merupakan faktor penting dalam pengambilan keputusan pembelian.
Sikap konsumen dapat menjadi kontrol yang akurat terhadap perilaku pembelian
(Dharmmesta, 1998) dan dapat mempengaruhi pola pikir individu dalam pengambilan
keputusan.
Hanna (2001) mengungkapkan bahwa sikap menentukan cara-cara berperilaku
individu terhadap objek tertentu ada empat definisi sikap. Pertama, bagaimana perasaan
mereka terhadap obyek positif atau negatif, terima atau tidak terima, pro atau kontra. Kedua,
sikap sebagai kecenderungan untuk merespon sebuah objek atau golongan objek dengan
sikap yang secara konsisten menerima atau tidak menerima. Ketiga, sikap berorientasi pada
psikologi sosial yaitu motivasi, emosi, persepsi, dan proses kognitif yang bertahan lama
dengan beberapa aspek dari masing-masing individu. Keempat, keseluruhan sikap dari
seseorang terhadap obyek dilihat dari fungsi kekuatan dari tiap-tiap sejumlah kepercayaan
yang seseorang pegang tentang beberapa aspek dari obyek dan evaluasi yang diberikan dari
tiap-tiap kepercayaan 18 yang bersangkut paut pada obyek. Sikap juga diartikan sebagai
"suatu konstruk untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktivitas". Pengertian sikap itu
sendiri dapat dipandang dari berbagai unsur yang terkait seperti sikap dengan kepribadian,
motif, tingkah laku, keyakinan dan lain-lain. Namun dapat diambil pengertian yang memiliki
persamaan karakteristik; sikap ialah tingkah laku yang terkait dengan kesediaan untuk
merespon objek sosial yang membawa dan menuju ke tingkah laku yang nyata dari
seseorang. Hal itu berarti suatu tingkah laku dapat diprediksi apabila telah diketahui
sikapnya. Walaupun manifestasi sikap itu tidak dapat dilihat langsung tapi sikap dapat
ditafsirkan sebagai tingkah laku yang masih tertutup (Suharyat, 2009).

b. Norma Subyektif Norma Subyektif (subjective norm)


Adalah persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan-kepercayaan orang
lain yang akan mempengaruhi minat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang
sedang dipertimbangkan (Jogiyanto, 2007). Konsumen berperilaku tidak terlepas dari
kegiatan melakukan keputusan untuk berperilaku. Keputusan yang akan diambil seseorang
dilakukan dengan pertimbangan sendiri maupun atas dasar pertimbangan orang lain yang
dianggap penting. Keputusan yang dipilih bisa gagal untuk dilakukan jika pertimbangan
orang lain tidak mendukung, walaupun pertimbangan pribadi menguntungkan. Dengan
demikian pertimbangan subyektif pihak lain dapat memberikan dorongan untuk melakukan
wirausaha atau keputusan berwirausaha, hal demikian dinamakan norma subjektif.
Norma subjektif diartikan sebagai faktor sosial yang menunjukkan tekanan sosial
yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan wirausaha (Dharmmesta, 2005).
Dalam penelitian sebagai norma subjektfi dalah kelompok referensi berupa orang tua, teman
dekan dan dosen, yang mampun mendorong mahsiswa berperilaku yaitu niat untuk
berwirausaha.
1. Kompoen Norma Subyektif
Menurut Fishbein dan Azjen (2005), norma subjektif secara umum mempunyai dua
komponen berikut:
1). Normative beliefs (Keyakinan Norma).
Persepsi atau keyakinan mengenai harapan orang lain terhadap dirinya yang menjadi
acuan untuk menampilkan perilaku atau tidak. Keyakinan yang berhubungan dengan
pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan berpengaruh bagi individu atau tokoh
panutan tersebut apakah subjek harus melakukan atau tidak suatu perilaku tertentu.
2). Motivation to comply (motivasi untuk memenuhi).
Motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut. Norma subjektif dapat dilihat
sebagai dinamika antara dorongan-dorongan yang dipersepsikan individu dari orang-orang
disekitarnya dengan motivasi untuk mengikuti pandangan mereka (motivation to comply)
dalam melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tersebut.
Norma subyektif adalah persepsi seseorang mengenai tekanan sosial untuk melakukan
atau tidak melakukan perilaku (Ajzen, 2005). Dalam model TRA dan TPB norma subjektif
adalah fungsi dari normative beliefs, yang mewakili persepsi mengenai preferensi signifikan
lainya mengenai apakah perilaku tersebut harus dilakukan. Model ini mengkuantifikasi
keyakinan ini dengan mengalikan kemungkinan subyektif seorang disebut relevan berpikir
bahwa seseorang harus melaksanakan perilaku tersebut dengan motivasi seseorang untuk
mengikuti (motivation to comply) apa yang ingin dilakukan.

c. Kontrol Perilaku. Kontrol


Perilaku menurut Ajzen (2005) mengacu pada persepsi-persepsi seseorang akan
kemampuannya untuk menampilkan perilaku tertentu. Dengan kata lain kontrol perilaku
menunjuk kepada sejauh mana seseorang merasa bahwa menampilkan atau tidak
menampilkan perilaku tertentu berada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Kontrol
perilaku ditentukan oleh sejumlah keyakinan tentang hadirnya faktor-faktor yang dapat
memudahkan atau mempersulit terlaksananya perilaku yang ditampilkan. Perilaku adalah
semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak
dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus rangsangan dari luar (Notoatmodjo, 2003).
Kontrol perilaku secara langsung mempengaruhi niat untuk melaksanakan suatu
perilaku dan juga mempengaruhi perilaku (Ajzen, 2006). Di mana dalam situasi 21 pengguna
berniat untuk melaksanakan suatu perilaku namun dihalangi dalam melakukan tindakan
tersebut. Kontrol perilaku yang dirasakan ditunjukan dengan tanggapan seseorang terhadap
halangan dari dalam atau halangan dari luar sewaktu melakukan perilaku atau tingkah laku.
Kontrol perilaku dapat mengukur kemampuan seseorang dalam mendapatkan sesuatu dalam
mengambil suatu kegiatan.
Perilaku akan bergantung pada interaksi antara sikap, keyakinan, dan niat berperilaku.
Niat berperilaku seseorang juga akan dipengaruhi oleh kontrol keperilakuan yang dirasakan.
Kontrol keperilakuan yang dirasakan merupakan kondisi di mana orang percaya bahwa suatu
tindakan itu mudah atau sulit dilakukan, mencakup juga pengalaman masa lalu di samping
rintangan-rintangan yang ada yang dipertimbangkan oleh orang tersebut (Tjahjono, 2005).
Pengaruh langsung dapat terjadi jika terdapat actual control di luar kehendak individu
sehingga memengaruhi perilaku. Semakin positif sikap terhadap perilaku dan norma
subjektif, semakin besar kontrol yang dipersepsikan seseorang, sehingga semakin kuat niat
seseorang untuk memunculkan perilaku tertentu. Akhirnya, sesuai dengan kondisi
pengendalian yang nyata di lapangan (actual behavioral control) niat tersebut akan
diwujudkan jika kesempatan itu muncul. Sebaliknya, perilaku yang dimunculkan bisa jadi
bertentangan dengan niat individu tersebut. Hal tersebut terjadi karena kondisi di lapangan
tidak memungkinkan memunculkan perilaku yang telah diniatkan sehingga dengan cepat
akan memengaruhi kontrol perilaku yang dipersepsikan individu tersebut. Kontrol perilaku
yang dipersepsikan yang telah berubah akan memengaruhi 22 perilaku yang ditampilkan
sehingga tidak sama lagi dengan yang diniatkan, (Ernawati, 2010).

Tentang Pengantar Pendidikan Kesehatan Pada klien, Konsep dan Teori


Belajar Mengajar,Domain Prinsip Metoda Strategi dan Media Dalam
Belajar (klmp 6)
2.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan
Pendidikan kesehatan adalah proses membuat orang mampu meningkatkan kontrol
dam memperbaiki kesehatan individu. Kesempatan yang direncanakan untuk individu,
kelompok atau masyarakat agar belajar tentang kesehatan dan melakukan perubahan-
perubahan secara suka rela dalam tingkah laku individu (Entjang, 1991).
Pengertian pendidikan kesehatan merupakan sejumlah pengalaman yang berpengaruh
menguntungkan secara kebiasaan, sikap dan pengetahuan ada hubungannya dengan
kesehatan perseorangan, masyarakat, dan bangsa. Kesemuanya ini, dipersiapkan dalam
rangka mempermudah diterimanya secara suka rela perilaku yang akan meninhkatkan dna
memelihara kesehatan.Menurut Wood dikutip dari Effendi (1997).
Unsur program ksehatan dan kedoktern yang didalamnya terkandung rencana untuk
merubah perilaku perseorangan dan masyarakat dengan tujuan untuk membantu tercapainya
program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Menurut
Stewart dikutip dari Effendi (1997)
Pendidikan kesehatan adalah proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatan. Sedang dalam keperawatan, pendidikan kesehatan
merupakan satu bentuk intervensi keperawatan yang mandiri untuk membantu klien baik
individu, kelompok, maupun masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya melalui
kegiatan pembelajaran, yang didalamnya perawat berperan sebagai perawat pendidik.
Menurut (Notoatmodjo. S, 2003: 20)
2.2 Tujuan Pendidikan Kesehatan
Tujuan utama pendidikan kesehatan adalah agar orang mampu menerapkan masalah
dan kebutuhan mereka sendiri, mampu memahami apa yg dapat mereka lakukan terhadap
masalahnya, dengan sumber daya yg ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar,
dan mampu memutuskan kegiatan yg tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup sehat dan
kesejahteraan masyarakat (Mubarak, 2009).
Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan
pendidikan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan; baik secara fisik, mental dan sosialnya, sehingga produktif
secara ekonomi maupun social, pendidikan kesehatan disemua program kesehatan; baik
pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan,
maupun program kesehatan lainnya (Mubarak, 2009).
2.3 Konsep dan teori belajar Mengajar
1. Pengertian Belajar
Menurut Kozier (200) Belajar Merupakan Berubahnya Kemampuan seseorang yang terus
berlanjut dalam suatu waktu. Sementara Itu, Menurut Patricia Potter Dan Anne Perry (2005),
belajar adalah proses memperoleh ilmu, sikap, dan kemampuan baru melalui latihan dan
pengalaman. berdasarkan beberapa arti dari belajar di atas, belajar dapat disimpulkan sebagai
kegiatan dalam memperoleh hal-hal baru terutama ilmu yang didapat melalui latihan
atau menempa diri serta pengalaman.
2. Mengajar
Mengajar menurut kamus besar bahasa indonesia mempunyai arti memberi pelajaran
atau pelatihan. sementara itu, menurut The Free Dictionary, mengajar merupakan suatu
aktivitas untuk mendidik atau melatih dan Di dalam aktivitas mengajar, pengajar
berusaha memberi atau menanamkan pengetahuan atau keterampilan kepada para pelajar.
Selain definisi – definisi di atas mengajar juga memiliki beberapa definisi yang berasal dari
berbagai tokoh Yaitu:
a. Mengajar tak hanya menyampaikan pengetahuan tetapi juga merangsang terjadinya
proses berpikir, tumbuhnya sikap kritis, atau hingga mengubah pandangan para pelajar
(Rooijakkers, 1991).
b. Mengajar atau pembelajaran merupakan perolehan pengetahuan, perilaku, dan
keterampilan baru. (Bastable, 2003 Dalam Potter Dan Perry, 2010) dari beberapa definisi di
atas, mengajar dapat disimpulkan sebagai suatu kegiatan yang bertujuan untuk
menularkan ilmu pengetahuan yang dimiliki kepada orang yang belajar sehingga dapat
menumbuhkan sikap kritis dari para pelajar hingga mengubah sikap pelajar dan juga agar
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari – hari.
2.4 Teori belajar Mengajar
1. Teori Behavior
Teori belajar behavior berpandangan bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku.
J.B. Watson yang dikenal sebagai bapak teori behavior mempelajari studi yang
dilakukan oleh Ivan Pavlov tentang eksperimennya terhadap respon seekor anjing yang
dikondisikan pada kondisi berulang.
Watson menyimpulkan bahwa belajar adalah proses penerimaan respon dari stimulus yang
dapat diukur dan dapat diobservasi. belajar dapat dicapai melalui perilaku yang tepat dari
sejumlah respon dan melalui pendekatan penguatan.
2. Teori Kognitif
Teori kognitif melihat kegiatan belajar sebagai sesuatu yang aktif. mereka berinisiatif
Mencari pengalaman untuk belajar, mencari informasi untuk menyelesaikan masalah,
mengatur kembali, dan mengorganisasi apa yang telah mereka ketahui untuk mencapai
pelajaran baru. teori belajar kognitif juga sering disebut sebagai teori perseptual karena
menurut teori ini, Kegiatan belajar adalah perubahan persepsi yang terkadang tidak dapat
diamati dan / atau diikuti menurut teori ini pula, Proses belajar akan berjalan dengan baik jika
materi pelajaran atau
informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki seseorang.
teori belajar kognitif dikemukakan oleh Ausubel, Bruner, Jean Piaget, Dan Robert M. Gagne
3. Teori Humanistik
Menurut teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Hal itu
dikarenakan menurut teori ini, Kepribadian individu tidak hanya berasal dari pembelajaran
lingkungan tetapi juga hasil pembelajaran dan motivasi dari dalam diri individu tersebut.
Contoh pembelajaran dari dalam diriiIndividu tersebut adalah kebebasan untuk memilih, dan
motivasi untuk mencapai aktualisasi diri atau memenuhi keunikan mereka sebagai
manusia. Menurut teori ini pula, Terdapat dua tipe belajar yaitu tipe belajar kognitif atau
tipe belajar berdasarkan
makna dan tipe belajar eksperiensial atau tipe belajar berdasarkan pengalaman.
Tetapi, secara umum teori ini bersifat elektif sehingga teknik belajar apapun dapat dilakukan
oleh seorang individu agar tujuan belajar dapat tercapai. hingga saat ini, terdapat tiga tokoh
pelopor teori humanistik yaitu arthur combs, Abraham maslow, dan carl rogers.
4. Teori Sibernetik
Menurut teori ini, Belajar adalah pengolahan informasi (nursalam dan ferry efendi, 2008).
teori ini lebih mementingkan sistem informasi daripada proses sistem informasi adalah
suatu cara tertentu untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh organisasi agar
dapat beroperasi secara benar dan menguntungkan(teguh wahyono, 2010). Tokoh yang
mengembangkan teori sibernetik adalah landa yang berpendapat bahwa ada dua macam
proses berpikir, algoritmik (proses berpikir linier, konvergen, dan lurus menuju ke satu target
tertentu
Seseorang dapat dikatakan belajar apabila didalam dirinya terjadi perubahan dari tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak dapat mengerjakan menjadi dapat mengerjakan sesuatu.
Kegiatan belajar mempunyai ciri-ciri :
1) Belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan diri pada individu, kelompok
atau masyarakat yang sedang belajar, baik actual maupun potensial
2) Hasil belajar adalah bahwa perubahan tersebut di dapatkan karena kemampuan baru
yang berlaku untuk waktu yang relative lama
3) Perubahan itu terjadi karena usaha dan disadari bukan karena kebetulan
Bertolak dari konsep pendidikan, maka konsep pendidikan kesehatan itu juga proses belajar
pada individu, kelompok atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan
menjadi tahu, dari tidak mampu mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri menjadi
mampu dan lain sebagainya
Proses Pendidikan Kesehatan
Pokok dari pendidikan kesehatan adalah proses belajar. Kegiatan belajar terdapat tiga
persalan pokok, yakni :
 Persoalan masukan (input)
Persoalan masukan dalam pendidikan kesehatan adalah menyangkut sasaran belajar (sasaran
didik) yaitu individu, kelompok atau masyarakat yang sedang belajar itu sendiri dengan
berbagai latar belakangnya.
 Persoalan proses
Persoalan proses adalah mekanisme dan interaksi terjadinya perubahan kemampuan (prilaku)
pada diri subjek belajar tersebut. Di dalam proses ini terjadi pengaruh timbale balik antara
berbagai faktor, antara lain : subjek belajar, pengajar (pendidik atau fasilitator) metode dan
teknik belajar, alat bantu belajar, dan materi atau bahan yang dipelajari.
 Keluaran (output)
Keluaran adalah merupakan hasil belajar itu sendiri yaitu berupa kemampuan atau perubahan
perilaku dari subjek belajar.

2.5 Prinsip Pendidikan Kesehatan

1. Pendidikan kesehatan bukan hanya pelajaran di kelas, tetapi merupakan


kumpulan pengalaman dimana saja dan kapan saja sepanjang dapat mempengaruhi
pengetahuan sikap dan kebiasaan sasaran pendidikan.
2. Pendidikan kesehatan tidak dapat secara mudah diberikan oleh seseorang
kepada orang lain, karena pada akhirnya sasaran pendidikan itu sendiri yang dapat mengubah
kebiasaan dan tingkah lakunya sendiri.
3. Bahwa yang harus dilakukan oleh pendidik adalah menciptakan sasaran agar
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat dapat mengubah sikap dan tingkah lakunya
sendiri.
4. Pendidikan kesehatan dikatakan berhasil bila sasaran pendidikan (individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat) sudah mengubah sikap dan tingkah lakunya sesuai
dengan tujuan yang telah ditetapkan.

.       2.6 Metode pendidikan kesehatan


a.         Metode pendidikan Individual (perorangan)
Bentuk dari metode individual ada 2 (dua) bentuk :
1)        Bimbingan dan penyuluhan (guidance and counseling), yaitu ;
 Kontak antara klien dengan petugas lebih intensif
 Setiap masalah yang dihadapi oleh klien dapat dikorek dan dibantu penyelesaiannya.
 Akhirnya klien tersebut akan dengan sukarela dan berdasarkan kesadaran, penuh
pengertian akan menerima perilaku tersebut (mengubah perilaku)
2)        Interview (wawancara)
 Merupakan bagian dari bimbingan dan penyuluhan
 Menggali informasi mengapa ia tidak atau belum menerima perubahan, untuk
mengetahui apakah perilaku yang sudah atau yang akan diadopsi itu mempunyai dasar
pengertian dan kesadaran yang kuat, apabila belum maka perlu penyuluhan yang lebih
mendalam lagi.
b.        Metode pendidikan Kelompok
Metode pendidikan Kelompok harus memperhatikan apakah kelompok itu besar atau kecil,
karena metodenya akan lain. Efektifitas metodenya pun akan tergantung pada besarnya
sasaran pendidikan.
1.)      Kelompok besar
 Ceramah ; metode yang cocok untuk sasaran yang berpendidikan tinggi maupun
rendah.
 Seminar ; hanya cocok untuk sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah
ke atas. Seminar adalah suatu penyajian (presentasi) dari satu ahli atau beberapa ahli tentang
suatu topik yang dianggap penting dan biasanya dianggap hangat di masyarakat.
2.)      Kelompok kecil
a)      Diskusi kelompok ;
Dibuat sedemikian rupa sehingga saling berhadapan, pimpinan diskusi/penyuluh duduk
diantara peserta agar tidak ada kesan lebih tinggi, tiap kelompok punya kebebasan
mengeluarkan pendapat, pimpinan diskusi memberikan pancingan, mengarahkan, dan
mengatur sehingga diskusi berjalan hidup dan tak ada dominasi dari salah satu peserta.
b)      Curah pendapat (Brain Storming) ;
Merupakan modifikasi diskusi kelompok, dimulai dengan memberikan satu masalah,
kemudian peserta memberikan jawaban/tanggapan, tanggapan/jawaban tersebut ditampung
dan ditulis dalam flipchart/papan tulis, sebelum semuanya mencurahkan pendapat tidak boleh
ada komentar dari siapa pun, baru setelah semuanya mengemukaan pendapat, tiap anggota
mengomentari, dan akhirnya terjadi diskusi.
c)      Bola salju (Snow Balling)
Tiap orang dibagi menjadi pasangan-pasangan (1 pasang 2 orang). Kemudian dilontarkan
suatu pertanyaan atau masalah, setelah lebih kurang 5 menit tiap 2 pasang bergabung menjadi
satu. Mereka tetap mendiskusikan masalah tersebut, dan mencari kesimpulannya. Kemudian
tiap 2 pasang yang sudah beranggotakan 4 orang ini bergabung lagi dengan pasangan lainnya
dan demikian seterusnya akhirnya terjadi diskusi seluruh kelas.
d)     Kelompok kecil-kecil (Buzz group)
Kelompok langsung dibagi menjadi kelompok kecil-kecil, kemudian dilontarkan suatu
permasalahan sama/tidak sama dengan kelompok lain, dan masing-masing kelompok
mendiskusikan masalah tersebut. Selanjutnya kesimpulan dari tiap kelompok tersebut dan
dicari kesimpulannya.
e)      Memainkan peranan (Role Play)
Beberapa anggota kelompok ditunjuk sebagai pemegang peranan tertentu untuk memainkan
peranan tertentu, misalnya sebagai dokter puskesmas, sebagai perawat atau bidan, dll,
sedangkan anggota lainnya sebagai pasien/anggota masyarakat. Mereka memperagakan
bagaimana interaksi/komunikasi sehari-hari dalam melaksanakan tugas.
f)       Permainan simulasi (Simulation Game)
Merupakan gambaran role play dan diskusi kelompok. Pesan-pesan disajikan dalam bentuk
permainan seperti permainan monopoli. Cara memainkannya persis seperti bermain
monopoli dengan menggunakan dadu, gaco (penunjuk arah), dan papan main. Beberapa
orang menjadi pemain, dan sebagian lagi berperan sebagai nara sumber.
c.         Metode pendidikan Massa
Pada umumnya bentuk pendekatan (cara) ini adalah tidak langsung. Biasanya menggunakan
atau melalui media massa. Contoh :
1.)    Ceramah umum (public speaking)
Dilakukan pada acara tertentu, misalnya Hari Kesehatan Nasional, misalnya oleh menteri
atau pejabat kesehatan lain.
2.)    Pidato-pidato diskusi tentang kesehatan melalui media elektronik baik TV maupun
radio, pada hakikatnya adalah merupakan bentuk pendidikan kesehatan massa.
3.)    Simulasi, dialog antar pasien dengan dokter atau petugas kesehatan lainnya tentang
suatu penyakit atau masalah kesehatan melalui TV atau radio adalah juga merupakan
pendidikan kesehatan massa. Contoh : ”Praktek Dokter Herman Susilo” di Televisi.
4.)    Sinetron ”Dokter Sartika” di dalam acara TV juga merupakan bentuk pendekatan
kesehatan massa. Sinetron Jejak sang elang di Indosiar hari Sabtu siang (th 2006)
5.)    Tulisan-tulisan di majalah/koran, baik dalam bentuk artikel maupun tanya jawab
/konsultasi tentang kesehatan antara penyakit juga merupakan bentuk pendidikan kesehatan
massa.
6.)    Bill Board, yang dipasang di pinggir jalan, spanduk poster dan sebagainya adalah juga
bentuk pendidikan kesehatan massa. Contoh : Billboard ”Ayo ke Posyandu”. Andalah yang
dapat mencegahnya (Pemberantasan Sarang Nyamuk).
2.7 Domain perilaku kesehatan
1.)      Menurut Bloom
a)        Perilku kognitif (kesadaran, pengetahuan)
b)        Afektif (emosi )
c)        Psikomotor (gerakan, tindakan)
2.)      Menurut Ki Hajar Dewantara
a)        Cipta (peri akal)
b)        Rasa (peri rasa)
c)        Karsa (peri tindak)
3.)      Ahli-ahli lain
a)        Knowledge (pengetahuan), yaitu hasil ”tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan (rasa, lihat, dengar, raba, bau) terhadap suatu obyek tertentu.
Faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang :
1.      Faktor internal : faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat, kondisi
fisik
2.      Faktor eksternal : faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, sarana
3.      Faktor pendekatan belajar : faktor upaya belajar, misalnya strategi dan metode dalam
pembelajaran
Ada enam tingkatan domain pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007: 139) , yaitu :
1.      Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) terhadap suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.
2.      Memahami (Comprehension)
Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
diintepretasikan materi tersebut secara benar.
3.      Aplikasi
Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi
dan kondisi yang sebenarnya.
4.      Analisis
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-
komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan ada kaitannya dengan yang lain.
5.      Sintesa
Sintesa menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-
bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru.
6.      Evaluasi
Evalusi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi/objek.
b.      Sikap (Attitude)
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen
pokok :
1.      Kepercayaan (keyakinan), ide konsep terhadap suatu objek
2.      Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek
3.      Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :
1.      Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memerhatikan stimulus yang diberikan
(objek).
2.      Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan
adalah suatu indikasi dari sikap.
3.      Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu
indikasi sikap tingkat tiga.
4.      Bertanggungjawab (Responsible)
Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko merupakan
sikap yang paling tinggi.
c.      Praktik atau Tindakan (Practice)
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau
suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support)
praktik ini mempunyai beberapa tingkatan :
1.      Persepsi (Perception)
Mengenal dna memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil
adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2.      Respon terpimpin (Guide response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah
merupakan praktik tingkat kedua.
3.      Mekanisme (Mecanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu
itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.
4.      Adaptasi (Adaptation)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya
tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara langsung yakni dengan wawancara terhadap
kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu. pengukuran
juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan
responden.
Menurut penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi
perilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi proses berurutan yakni :
1.      Kesadaran (Awareness)
Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus
(objek).
2.      Tertarik (Interest)
Dimana orang mulai tertarik pada stimulus,
3.      Evaluasi (Evaluation)
Menimbang-nimbang terhadap baik an tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti
sikap responden sudah lebih baik lagi.
4.      Mencoba (Trial)
Dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5.      Menerima (Adoption)
Dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya
terhadap stimulus.

2.8 Media pendidikan kesehatan


a.         Alat bantu (peraga)
1.)      Pengertian ;
Alat-alat yang digunakan oleh peserta didik dalam menyampaikan bahan
pendidikan/pengajaran, sering disebut sebagai alat peraga. Elgar Dale membagi alat peraga
tersebut menjadi 11 (sebelas) macam, dan sekaligus menggambarkan tingkat intensitas tiap-
tiap alat bantu tersebut dalam suatu kerucut. Menempati dasar kerucut adalah benda asli yang
mempunyai intensitas tertinggi disusul benda tiruan, sandiwara, demonstrasi, field
trip/kunjungan lapangan, pameran, televisi, film, rekaman/radio, tulisan, kata-kata.
Penyampaian bahan dengan kata-kata saja sangat kurang efektif/intensitasnya paling rendah.
2.)      Faedah alat bantu pendidikan
a)        Menimbulkan minat sasaran pendidikan.
b)        Mencapai sasaran yang lebih banyak.
c)        Membantu mengatasi hambatan bahasa.
d)       Merangsang sasaran pendidikan untuk melaksanakan pesan-pesan kesehatan.
e)        Membantu sasaran pendidikan untuk belajar lebih banyak dan cepat.
f)         Merangsang sasaran pendidikan untuk meneruskan pesan-pesan yang diterima kepada
orang lain.
g)        Mempermudah penyampaian bahan pendidikan/informasi oleh para pendidik/pelaku
pendidikan.
h)        Mempermudah penerimaan informasi oleh sasaran pendidikan.Menurut penelitian ahli
indra, yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke dalam otak adalah mata. Kurang
lebih 75-87% pengetahuan manusia diperoleh/disalurkan melalui mata, sedangkan 13-25%
lainnya tersalurkan melalui indra lain. Di sini dapat disimpulkan bahwa alat-alat visual lebih
mempermudah cara penyampaian dan penerimaan informasi atau bahan pendidikan.
i)          Mendorong keinginan orang untuk mengetahui, kemudian lebih mendalami, dan
akhirnya memberikan pengertian yang lebih baik.
j)          Membantu menegakkan pengertian yang diperoleh.
3.)      Macam-macam alat bantu pendidikan
a)        Alat bantu lihat (visual aids) ;
Alat yang diproyeksikan : slide, film, film strip dan sebagainya.Alat yang tidak
diproyeksikan ; untuk dua dimensi misalnya gambar, peta, bagan ; untuk tiga dimensi
misalnya bola dunia, boneka, dsb.
b)        Alat bantu dengar (audio aids) ; piringan hitam, radio, pita suara, dsb.
c)        Alat bantu lihat dengar (audio visual aids) ; televisi dan VCD.
4.)      Sasaran yang dicapai alat bantu pendidikan
a)        Individu atau kelompok
b)        Kategori-kategori sasaran seperti ; kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, dsb.
c)        Bahasa yang mereka gunakan
d)       Adat istiadat serta kebiasaan
e)        Minat dan perhatian
f)         Pengetahuan dan pengalaman mereka tentang pesan yang akan diterima.
5.)      Merencanakan dan menggunakan alat peraga
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
a)        Tujuan pendidikan, tujuan ini dapat untuk :
           Mengubah pengetahuan / pengertian, pendapat dan konsep-konsep.
           Mengubah sikap dan persepsi.
           Menanamkan tingkah laku/kebiasaan yang baru.
b)        Tujuan penggunaan alat peraga
           Sebagai alat bantu dalam latihan / penataran/pendidikan.
           Untuk menimbulkan perhatian terhadap sesuatu masalah.
           Untuk mengingatkan sesuatu pesan / informasi.
           Untuk menjelaskan fakta-fakta, prosedur, tindakan.
6.)      Persiapan penggunaan alat peraga
Semua alat peraga yang dibuat berguna sebagai alat bantu belajar dan tetap harus diingat
bahwa alat ini dapat berfungsi mengajar dengan sendirinya. Kita harus mengembangkan
ketrampilan dalam memilih, mengadakan alat peraga secara tepat sehingga mempunyai hasil
yang maksimal.Contoh : satu set flip chart tentang makanan sehat untuk bayi/anak-anak
harus diperlihatkan satu persatu secara berurutan sambil menerangkan tiap-tiap gambar
beserta pesannya. Kemudian diadakan pembahasan sesuai dengan kebutuhan pendengarnya
agar terjadi komunikasi dua arah. Apabila kita tidak mempersiapkan diri dan hanya
mempertunjukkan lembaran-lembaran flip chart satu demi satu tanpa menerangkan atau
membahasnya maka penggunaan flip chart tersebut mungkin gagal.
7.)      Cara mengunakan alat peraga
Cara mempergunakan alat peraga sangat tergantung dengan alatnya. Menggunakan gambar
sudah barang tentu lain dengan menggunakan film slide. Faktor sasaran pendidikan juga
harus diperhatikan, masyarakat buta huruf akan berbeda dengan masyarakat berpendidikan.
Lebih penting lagi, alat yang digunakan juga harus menarik, sehingga menimbulkan minat
para pesertanya.
Ketika mempergunakan AVA, hendaknya memperhatikan :
a)        Senyum adalah lebih baik, untuk mencari simpati.
b)        Tunjukkan perhatian, bahwa hal yang akan dibicarakan/diperagakan itu, adalah
penting.
c)        Pandangan mata hendaknya ke seluruh pendengar, agar mereka tidak kehilangan
kontrol dari pihak pendidik.
d)       Nada suara hendaknya berubah-ubah, adalah agar pendengar tidak bosan dan tidak
mengantuk.
e)        Libatkan para peserta/pendengar, berikan kesempatan untuk memegang dan atau
mencoba alat-alat tersebut.
f)         Bila perlu berilah selingan humor, guna menghidupkan suasana dan sebagainya.
b.        Media pendidikan kesehatan
Media pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah alat bantu pendidikan (audio visual
aids/AVA). Disebut media pendidikan karena alat-alat tersebut merupakan alat saluran
(channel) untuk menyampaikan kesehatan karena alat-alat tersebut digunakan
untukmempermudah penerimaan pesan-pesan kesehatan bagi masyarakat atau ”klien”.
Berdasarkan fungsinya sebagai penyaluran pesan-pesan kesehatan (media), media ini dibagi
menjadi 3 (tiga) : Cetak, elektronik, media papan (bill board)
1.)      Media cetak
a)        Booklet : untuk menyampaikan pesan dalam bentuk buku, baik tulisan maupun
gambar.
b)        Leaflet : melalui lembar yang dilipat, isi pesan bisa gambar/tulisan atau keduanya.
c)        Flyer (selebaran) ; seperti leaflet tetapi tidak dalam bentuk lipatan.
d)       Flip chart (lembar Balik) ; pesan/informasi kesehatan dalam bentuk lembar balik.
Biasanya dalam bentuk buku, dimana tiap lembar (halaman) berisi gambar peragaan dan di
baliknya berisi kalimat sebagai pesan/informasi berkaitan dengan gambar tersebut.
e)        Rubrik/tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah, mengenai bahasan suatu masalah
kesehatan, atau hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan.
f)         Poster ialah bentuk media cetak berisi pesan-pesan/informasi kesehatan, yang
biasanya ditempel di tembok-tembok, di tempat-tempat umum, atau di kendaraan umum.
g)        Foto, yang mengungkapkan informasi-informasi kesehatan.
2.)      Media elektronik
a)        Televisi ; dapat dalam bentuk sinetron, sandiwara, forum diskusi/tanya jawab,
pidato/ceramah, TV, Spot, quiz, atau cerdas cermat, dll.
b)        Radio ; bisa dalam bentuk obrolan/tanya jawab, sandiwara radio, ceramah, radio spot,
dll.
c)        Video Compact Disc (VCD)
d)       Slide : slide juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan/informasi kesehatan.
e)        Film strip juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan kesehatan.
3.)      Media papan (bill board)
Papan/bill board yang dipasang di tempat-tempat umum dapat dipakai diisi dengan pesan-
pesan atau informasi – informasi kesehatan. Media papan di sini juga mencakup pesan-pesan
yang ditulis pada lembaran seng yang ditempel pada kendaraan umum (bus/taksi).

Anda mungkin juga menyukai