Anda di halaman 1dari 2

KRISIS BACA INDONESIA = HOAX DIMANA-MANA

Literasi merupakan salah satu indikator penting bagi suatu generasi atau Negara untuk
menjadi lebih baik, literasi menunjukkan bagaimana “well-educated”nya seseorang. Dengan
semakin banyak kita membaca tidak hanya dari buku tapi darimanapun sumber informasi,
membuat kita menjadi semakin dapat memahami dan dapat membedakan mana informasi yang
dapat diyakini kebenarannya dan mana informasi yang tidak valid. Kebijaksanaan dalam
menelaah informasi ini tidak didapat dengan hanya sekali dua kali baca, namun melalui
kegemaran dan minat baca yang harus tinggi dari seseorang. Apalagi dalam dunia digital seperti
ini, akses berita sangatlah mudah, kemudahan akses ini yang menyebabkan berita dan data yang
dapat kita terima bisa jadi sembarangan saja, ada yang tingkat kebenaran dapat dipertanggung
jawabkan dan ada yang berita hanya hoax semata. Disisi lain dengan kemudahan akses ini
seharusnya dapat dimanfaatkan untuk dimulainya pergerakan literasi generasi milenial, di
Indonesia sendiri menurut data dari The United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), tingkat literasi Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara dengan
penggunaan akses internet dan media sosial media di Indonesia yang sangat tinggi, menurut
Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 jumlah netizen
Indonesia sebesar 132,7 juta jiwa atau 51,1% dari total penduduk Indonesia. Sungguh ironis
melihat perbandingan ini, “Indonesia suka menulis namun lupa membaca”. Bisa dibayangkan,
bila setengah dari informasi yang dibagikan 132,7 juta netizen Indonesia ialah berbagi berita
bohong. Maka, wajar belakangan ini ada kekhawatiran terhadap rusaknya sendi-sendi kehidupan
bangsa akibat masifnya penyebaran berita hoax di media sosial.

Hoax di Indoneisa

Inilah salah satu penyebab hoax yang menyebar di Indonesia yang secara khususnya
mulai santer terdengar pada 2014 pemilihan legislatif dan pemilu saat itu hoax mulai tidak asing
kita dengarkan, yaitu mudahnya orang menuliskan banyak informasi tidak benar yang diaminkan
oleh netizen dengan menyebarkan informasi yang tidak benar tersebut tanpa fikir panjang.
Dewan Pers mencatat saat ini ada 43.300 media daring di RI. Pada 2014 hanya 254 media yang
terverifikasi di Dewan Pers. Pada 2015, jumlahnya menyusut tinggal sekitar 180 media.
Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, terdapat sekitar 800
ribu situs yang memproduksi berita hoax di internet. Data Subdirektorat Cyber Crime Polda
Metro Jaya, saat ini sekitar 300 konten media sosial menyebarkan berita hoax. Konten-konten
hoax itu kebanyakan diproduksi para buzzer politik yang tidak jarang menggunakan nama
menyerupai media yang terverifikasi.

Kemudahan akses, kurangnya literasi, dan juga hoax yang dapat dijadikan ajang mencari
profit menjadikan Indonesia sasaran empuk pemberitaan hoax. Septiaji Eko Nugroho dari
Masyarakat Anti Hoax mengatakan keuntungan situs penyebar hoax dari Google Adsense
dihitung dalam setahun melalu trafik pengunjung situs bisa dapat keuntungan 600-700 juta
setahun. Tidak menutup kemungkinan hoax akan semakin merajalela jika menguntungkan
seperti ini.

Lawan Hoax Dengan Literasi

Education Development Center (EDC) juga menyatakan, literasi lebih dari sekadar
kemampuan baca tulis melainkan kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan
keterampilan yang dimiliki dalam hidupnya. Maka dari itu, literasi media digital adalah
kemampuan memahami dunia media massa sehingga kritis dan selektif dalam menerima
informasi dari media dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak benar. Kemampuan
untuk melakukan hal ini ditujukan agar pemirsa sebagai konsumen media menjadi sadar tentang
cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses. Seseorang yang tidak memiliki literasi media
digital akan mudah terpengaruh dan mempercayai segala hal yang terdapat di media digital.

Rendahnya literasi merupakan masalah mendasar yang memiliki dampak sangat luas bagi
kemajuan bangsa. Literasi rendah berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas bangsa. Ini
berujung pada rendahnya pertumbuhan dan akhirnya berdampak terhadap rendahnya tingkat
kesejahteraan. Literasi rendah juga berkontribusi secara signifikan terhadap kemiskinan,
pengangguran dan kesenjangan.

Menurut Fisher (1993) literasi merupakan kegiatan membaca-berpikir-menulis. Masyarakat yang


tingkat literasinya rendah merupakan tempat yang sempurna bagi perkembangan berita-berita
hoax.

Menurut saya yang terpenting dari literasi adalah konsep berfikir dengan referensi, ketika
kita menemukan suatu berita yang sumbernya tidak jelas, berasal dari argumen orang yang tidak
ahli dalam bidangnya, apakah berita dapat dinyatakan sebagai berita yang valid? jangan baca
satu berita lalu disebarkan. Ketika ada berita yang viral, dibaca ditelaah kebenaran mencari pada
situs lain atau bacaan lain apakah berita itu disebarkan di semua situs media pers dengan bahasa
dan inti yang sama, jika dirasa penting untuk disebarkan, maka sebarkan, kebijaksaan ini perlu
pembiasaan diri, untuk mau terus membaca, berfikir kritis dalam melihat informasi, tidak hanya
berita mainstream, namun begitu juga dalam pendidikan, kita diajarkan untuk mencari referensi
dalam pembuatan makalah, belajar cara mencari data, jurnal dalam 5 tahun terakhir, dan
sebagainya itu agar kita tidak dengan sembarangan mengambil dan menyebarkan informasi yang
salah. Dalam islam, hal pertama yang diwahyukan Tuhan terhadap Nabi adalah Iqro’ yang
berarti bacalah, dapat disimpulkan makna dari wahyu ini sendiri adalah sebagai manusia yang
diberikan akal untuk berfikir, kita wajib untuk terus “bacalah”, bukan berarti sekedar membaca
namun menggunakaan otak kita untuk kritis dalam berpola fikir menganalisa masalah dan
menjadi solusi dari setiap permasalahan, bukannya malah menyebarkan masalah dan menjadikan
masalah itu lebih besar dari sebelumnya.

Anda mungkin juga menyukai