Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecerdasan emosi sangat penting dalam perkembangan anak.

Khususnya dalam perekembangan anak sekolah dasar, kecerdasan emosional

mempunyai peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah.

Tanpa kecerdasan emosi, kemampuan untuk memahami dan mengelola

perasaan-perasaan diri sendiri dan orang lain, menghadapi segala macam

tantangan termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis serta kesempatan

untuk hidup bahagia dan sukses menjadi sangat tipis (Goleman, 2009).

Data demografi mennjukkan bahwa anak-anak merupakan populasi

yang besar dari penduduk dunia. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),

lebih dari 1 milyar orang atau 19,1% dari penduduk dunia adalah anak dengan

usia 5-12 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan meningkat sebesar 3%.

Data demografi di Asia Tenggara menunjukkan jumlah anak-anak pada tahun

2010 sekitar 110 juta jiwa. Di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik kelompok

umur 5-12 tahun sekitar 22% yang terdiri dari 50,9% anak laki-laki dan 49,1%

anak perempuan.sedangkan pada tahun 2016 meningkat menjadi 30%

penduduk indonesia adalah anak-anak, dengan jumlah sebesar 1,2 juta jiwa

(wawan, 2017).

Data world Bank (2010), mengenai instrumen perkembangan dini di

delapan negara (Indonesia, Filipina, Yordania, Cili, Kanada, Australia,

Meksiko dan Mozambik) menunjukkan bahwa kemampuan anak-anak

1
Indonesia yang berusia empat tahun setara dengan anak-anak Yordania dan

lebih baik dibandingkkan anak-anak filipina dalam hal komunikasi dan

pengetahuan umum. Sayangnya studi ini menempatkan Indonesia berada

diposisi kedua setelah filipina dalam hal presentasi anak yang memiliki

kelemahan dalam perkembangan kecerdasan emosional. Kecerdasan intelektual

hanya memberikan kontribusi 20% terhadap kesuksesan hidup seseorang.

Sementara 80% sangat tergantung pada kecerdasan emosional, kecerdasan

sosial dan kecerdasan spiritual. Bahkan dalam keberhasilan di dunia kerja,

kecerdasan intelektual hanya memberikan konstribusi sebanyak 4% saja(Arum,

2015).

Salah satu bentuk perilaku anak yang mengidentifikasi

ketidakmampuan pengendalian emosi adalah tindak kejahatan beberapa tahun

belakangan ini banyak terjadi di Indonesia. Di Indonesia hal ini dibuktikan

bahwa 78,3% anak menjadi pelaku kekerasan dan angka ini meningkat dari

tahun ke tahun. Tingginya angka kenakalan remaja mengidentifikasi

banyaknya anak yang belum optimal dalam mengembangkan kecerdasan

emosionalnya (KPPAI, 2014).

Pembentukkan kecerdasan emosional pada anak ditentukan oleh dua

faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang

mempengaruhi kecerdasan emosional anak adalah jasmani dan psikologi anak,

sedangkan faktor eksternal berupa stimulus dan lingkungan, termasuk

didalamnya pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yag

kuat bagi perkembangan emosi anak. Pola asuh terbukti memiliki pengaruh

2
yang kuat bagi perkembangan anak. Pola asuh terbukti memiliki pengaruh

terhadap kendali diri anak, empati, mengungkapkan dan memahami perasaan,

mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai,

kemampuan menyelesaikan masalah antarpribadi, ketekunan, kesetiakawanan,

keramahan, dan sikap hormat (subandi, 2009).

Menurut penelitian Sugihartono dalam Arum (2015) menyatakan bahwa

salah faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi seorang anak adalah

pengasuhan yang diberikan oleh orang tua. Pola asuh orang tua adalah pola

perilaku yang digunakan untuk berhubungan dengan anak-anak. Pola asuh

yang diberikan oleh orang tua akan mempengaruhi kepribadian anak, baik itu

dari segi sosial maupun emosional.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada 10 orang

siswa SD Madrasah Raha diketahui bahwa pola asuh orang tua siswa sangat

beragam. Terdapat 5 orang siswa yang memiliki sifat nakal dan keras kepala

dan 2 orang siswa memiliki sifat pemalu dan manja, dalam hal ini dikarenakan

orang tua menerapkan pola asuh otoriter dan permisif sehingga anak tidak

mendapatkan kecerdasan emosional yang optimal. Sedangkan 3 orang siswa

lainnya memiliki sifat periang, mudah bergaul dan memiliki sifat kasih sayang.

Hal ini dikarenakan orang tua menerapkan pola asuh demokratis.

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di SD Madrasah Raha

sebab masih sangat banyak orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter

yakni gaya pengasuhan yang membatasi dan menuntuk anak untuk mengikuti

perintah-perintah orang tua dan juga masih banyak terdapat siswa yang

3
kecerdasan emosinya masih relatif kurang. Hal ini terlihat dari pengakuan salah

seorang Guru yang mengatakan bahwa siswanya mudah marah saat seorang

teman menyinggung sesuatu tentang dirinya, siswa yang memilih-milih teman

dalam bermain, siswa yang sulit berbaur dengan temannya yang lain, siswa

yang sering berkelahi dengan temannya, serta siswa yang selalu memaksa

orang tua untuk membeli mainan kesukaannya.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, selain hal tersebut di

SD Madrasah Raha juga belum pernah diadakan penelitian mengenai hubungan

pola asuh dengan kecerdasan emosi anak sehingga peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan

Kecerdasan Emosional pada Anak Siswa SD Madrasah Raha”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah ada hubungan pola asuh orang tua dengan

kecerdasan emosional siswa SD Madrasah Raha ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan

emosional siswa SD Madrasah Raha.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui pola asuh orang tua pada siswa SD Madrasah Raha

b. Untuk mengetahui kecerdasan emosi pada siswa SD Madrasah Raha

4
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Peneliti ini dapat dijadikan sarana dalam meningkatkan

pengetahuan metodologi penelitian dan sarana menerapkan langsung

teori yang didapat dibangku kuliah dalam kegiatan pembelajaran nyata.

b. Bagi Orang Tua

Diharapkan orang tua dapat menerapkan pola asuh yang tepat

untuk mendidik anak sehingga seorang anak sehingga seorang anak dapat

memiliki kecerdasan emosional yang optimal.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai

hubungan tipe pola asuh orang tua dalam membangun kecerdasan emosional

anak dan juga dapat digunakan sebagai pijakan bagi peneliti lain mengenai

tipe pola asuh dan kecerdasan emosional anak.

E. Keaslian Penelitian

No Nama Peneliti Judul Persamaan Perbedaan


1 Asti Nurhayati Hubungan Pola Asuh Variabel yang Variabel yang
Orang Tua Terhadap diteliti adalah tidak diteliti
Tingkat Kecerdasan pola asuh pola asuh pada
Emosional Pada orang tua dan anak pra
Anak Usia kecerdasan sekolah
Prasekolah di TK emosional
ABA Candi Pakem
Sleman.

5
2 Anna Kurniawati Hubungan Pola Asuh Variabel yang Variabel yang
Husada Demokratis Dan diteliti adalah tidak diteliti
Kecerdasan Emosi pola asuh pola asuh
Dengan Perilaku Pro orang tua dan demokratis
Sosial Pada Remaja kecerdasan
3 Nur Istiqomah Pola Asuh Otoriter Variabel yang Variabel yang
Hidayati Orang Tua, diteliti adalah tidak diteliti
Kecerdasan Emosi, pola asuh kemandirian
Dan Kemandirian orang tua dan anak SD
Anak SD kecerdasan
4 Arum Dwi Mahatfi Korelasi Antara Pola Variabel yang Variabel yang
Asuh Orang Tua diteliti adalah tidak diteliti
Dengan Kecerdasan pola asuh korelasi antara
Orang Tua Dengan orang tua dan pola asuh
Kecerdasan Emosi kecerdasan orang
Siswa Sekolah Dasar
Kelas V Segugus
Satu Kecamatan
Panjatan Kabupaten
Kulon Progo
5 I W Sadia Pengaruh Pola Asuh Variabel yang Variabel yang
Orang Tua, Interaksi diteliti adalah tidak diteliti
sebaya Dan pola asuh interaksi teman
Kecerdasan orang tua dan sebaya
Emosional Terhadap kecerdasan
Hasil Belajar IPA
Pada Siswa Kelas
VIII SMP Negeri
Sekecamatan
Mengwi

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Sekolah Dasar

1. Pengertian Sekolah Dasar

Pendidikan sekolah dasar merupakan pendidikan yang diperoleh

seseorang disekolah secara teratur, sistematis, bertingkat dan mengikuti

syarat-syarat yang jelas dan ketat, mulai dari taman kanak-kanak sampai

perguruan tinggi. Salah satu tingkat pendidikan sekolah adalah sekolah

dasar. Sekolah dasar adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal

di Indonesia, ditempuh dalam waktu enam tahun, mulai dari kelas satu

sampai kelas enam dan merupakan suatu lembaga dengan organisasi yang

tersusun rapi dan segala aktivitasnya direncanakan dengan sengaja yang

disebut kurikulum (Asmadi, 2009)

Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan

berkembang secara efektif dan efisien dari dan oleh serta untuk masyarakat

merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada

masyarakat dalam mendidik warga negara. Sekolah dikelola secara formal,

hirarki, dan kronologis yang berhaluan pada falsafah dan tujuan

pendidikan nasional (Purwoko, 2009).

2. Fungsi dan Peranan Sekolah

Fungsi dan peranan sekolah dasar diatur dalam UU No.20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pada pasal 13 ayat 1 disebutkan

bahwa pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal

7
yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Peranan sekolah sebagai

lembaga yang membantus lingkungan keluarga, maka sekolah bertugas

mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku

anak didik yang dibawa dari keluarganya. Sebagai bagian dari

pembentukkan kepribadian, dilaksanakan oleh sekolah. Kenyataan ini

menunjukkan betapa penting dan besar pengaruh sekolah.Fungsi sekolah

antara lain sebagai berikut:

a. Mengembangkan kecerdasan pikiran dan memberikan pengetahuan

b. Lembaga sosial yang spesialisasinya dalam bidang pendidikan

pengajaran

c. Membantu perkembangan individu menjadi mahkluk sosial, mahkluk

yang beradaptasi dengan baik dimasyarakat

d. Memelihara warisan budaya yang hidup dalam masyarakat dengan jalan

menyampaikan warisan kebudayaan tersebut kepada generasi muda,

dalam hal ini adalah anak didik

e. Melatih peserta didik untuk berdiri sendiri dan bertanggung jawab

sebagai persiapan sebelum ke masyarakat (Hasbullah, 2010).

3. Karakteristik Murid Sekolah Dasar

Sekolah memainkan peran yang sangat penting sebagai dasar

pembentukkan sumber daya manusia yang bermutu. Melalui sekolah,

murid belajar untuk mengetahui dan membangun keahlian serta

membangun karakteristik mereka sebagai bekal menuju kedewasaan.

Melalui sekolah dasar, murid untuk pertama kalinya belajar untuk

8
berinteraksi dan menjalin hubungan yang lebih luas dengan orang lain

yang baru dikenalinya. Pada masa usia sekolah dasar ini terdapat dua fase

yang terjadi, yaitu :

a. Masa kelas rendah sekolah dasar (usia 6 tahun sampai usia sekitar 8

tahun). Pada usia ini dikategorikan kelas 1 sampai dengan kelas 3. Pada

masa ini siswa memiliki sifat khas yaitu adanya korelasi positif yang

tinggi antara keadaan kesehatan pertumbuhan jasmani dengan prestasi

sekolah, asanya sikap yang cenderung untuk memenuhi peraturan-

peraturan permainan yang tradisional, adanya kecenderungan memuji

diri sendiri dan suka membandingkan dirinya dengan anak yang lain.

b. Masa kelas tinggi sekolah dasar (usia 9 tahun sampai kira-kira usia 12

tahun). Pada usia ini dikategorikan kelas 4 sampai dengan kelas 6. Pada

masa ini terdapat minat terhadap kehidupan sehari-hari, sangat realistik,

ingin tahu dan ingin belajar. Menjelang akhir masa ini terdapat minat

terhadap hal-hal atau mata pelajaran khusus. Anak-anak pada masa ini

gemar untuk membentuk kelompok sebayanya, biasanya untuk bermain

bersama-sama. Biasanya pada permainan ini biasanya anak tidak lagi

terikat kepada aturan permainan yang tradisional melainkan mereka

membuat peraturan sendiri (Hasbullah, 2010).

9
B. Tinjauan umum Tentang Anak

1. Pengertian Anak

Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang

perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa

anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari

bayi (0-1 tahun), usia bermain/toddler (1-3 tahun), usia pra sekolah (3-5

tahun), usia sekola (5-11 tahun), hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini

berada antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak

berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan

perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses

perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep diri, pola koping

dan perilaku sosial. Ciri fisik adalah semua anak tidak mungkin memiliki

pertumbuhan fisik yang sama akan tetapi mempunyai perbedaan dalam

pertumbuhannya. Perkembangan kognitif juga mengalami perkembangan

yang tidak sama. Perkembangan konsep diri sudah ada sejak bayi, akan

tetapi belum terbentuk secara sempurna dan akan mengalami

perkembangan seiring dengan pertambahan usia pada anak (Wong, 2008).

Demikia juga pola koping yang dimiliki anak hampir sama dengan konsep

diri yang dimiliki anak. Hal ini dapat kita lihat pada saat bayi menangis.

Salah satu koping yang dimiliki anak adalah menangis seprti bagaimana

anak lapar, tidak sesuai dengan keinginannya dan lain sebagainya.

Kemudian pada perilaku sosial anak juga mengalami perkembangan yang

terbentuk mulai bayi. Pada masa bayi perilaku sosial pada anak sudah

10
dapat dilihat seperti bagaimana anak mau diajak orang lain dan dapt

menunjukkan keceriannya pada orang banyak (Azis, 2005).

2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Aspek tumbuh kembang pada anakadalah salah satu aspek yang

diperhatikan secara serius oleh pakar, karena hal tersebut merupakan aspek

yang menjelaskan mengenai proses pembentukkan seseorang,baik secara

fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum memahami

hal ini, terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan dan sosial

ekonomi yang relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama anak

tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah kesehatan termasuk

pertumbuhan dan perkembangannya (Adriana, 2011).

3. Perkembangan Emosi Anak Usia SD

Emosi anak berbeda dengan orang dewasa. Ciri-ciri emosi masa

kanak-kanak yaitu:

a. Emosi anak berlangsung relatif lebih singkat (sebentar)

Emosi hanya berlangsung beberapa menit dan sifatnya tiba-tiba. Hal ini

disebabkan karena emosi anak menampakkan dirinya pada kegiatan

yang nampak sehingga menampilkan emosi yang pendek.

b. Emosi anak kuat atau hebat

Hal ini terlihat bila anak takut maka perasaannya akan takut, marah atau

sedang bersenda gurau. Semua emosi yang timbul akan berlebihan dan

terkadang sulit untuk dikendalikan.

11
c. Emosi anak mudah berubah

Emosi anak berubah dengan cepat. Misalnya anak yang baru menangis

dapat langsung berubah menjadi tertawa, dari marah menjadi tersenyum

atau sebagainya.

d. Emosi anak nampak berulang-ulang

Hal ini timbul karena anak dalam proses perkembangan ke arah

kedewasaan. Maka, seringkali anak harus mengadakan penyesuaian

terhadap situasi di luar dengan berulang-ulang.

e. Respon emosi anak berbeda-beda

Respon emosi yang dialami oleh setiap anak berbeda-beda, hal ini

dikarenakan perbedaan pengalaman belajar dari lingkungan yang

membentuk tingkah lakunya.

f. Emosi anak dapat diketahui atau dideteksi dari gejala tingkah lakunya

Anak-anak terkadang tidak memperlihatkan reaksi emosi yang nampak

dan langsung. Namun, emosi itu dapat diketahui dari tingkah lakunya.

Misalnya, melamun, gelisah, menangis dan sebagainya.

g. Emosi anak mengalami perubahan dalam kekuatannya

Emosi anak masih belum stabil. Terkadang, anak mengalami emosi

yang sangat kuat kemudian berkurang atau mula-mula lemah kemudian

meningkat.

h. Perubahan dalam ungkapan-ungkapan emosi

Anak-anak memperlihatkan keinginan yang kuat terhadap apa yang

mereka inginkan. Ia tidak mempertimbangkan bahwa keinginan itu

12
merugikan bagi dirinya dan orang lain atau tidak. Anak juga tidak

peduli jika biaya yang diperlukan untuk keinginannya tidak terjangkau

oleh orang tuanya. Bila keinginannya tidak terpenuhi ia akan marah.

Sebaliknya, jika terpenuhi ia akan tersenyum. Pada masa kanak-kanak,

semua anak mengalami beberapa fase yang terkait dengan

perkembangan emosi yang dialaminya(Admin, 2010).

C. Tinjauan Tentang Kecerdasan Emosi

1. Pengertian Kecerdasan Emosi

emosi yaitu setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu,

setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Sedangkan, Emosi

yang didefinisikan Soegarda Poerbakawatja (Mohammad Ali, dkk, 2008:

62) yaitu suatu respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan

perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung

kemungkinan untuk meletus. Respon yang demikian terjadi baik terhadap

perangsang-perangsang eksternal maupun internal (Goleman, 2009).

Kecerdasan emosi merupakan gabungan dari kata kecerdasan dan

emosi. Istilah kecerdasan emosi pada mulanya dilontarkan oleh dua ahli

psikologi, yakni Salovey dari Universitas Harvard dan Mayer dari

Universitas New Hampshire. Salovey dan Mayer (Casmini, 2007: 20)

menggunakan istilah kecerdasan emosi untuk menggambarkan sejumlah

keterampilan yang berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi

diri sendiri dan orang lain, serta kemampuan mengelola perasaan untuk

memotivasi, merencanakan dan meraih tujuan hidup. Sedangkan kecerdasan

13
emosi menurut Davies et all (2003) yaitu kemampuan seseorang untuk

mengendalikan emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu

emosi dengan lainnya, dan menggunakan informasi tersebut untuk

menuntun proses berpikir serta perilaku seseorang (Subandi, 2009).

2. Faktor-faktor Kecerdasan Emosi

Ada dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi, faktor

tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor internal

Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri

seorang individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosi seseorang

(Goleman, 2009).

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal yaitu faktor yang datang dari luar individu dan

mempengaruhi individu untuk mengubah sikap. Pengaruh luar dapat

bersifat individu maupun kelompok. Misalnya antara individu

kepadaindividu lain ataupun antara kelompok kepada individu maupun

sebaliknya. Pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak merupakan

salah satu contoh pengaruh yang diberikan dari individu kepada individu

lain, dalam hal ini adalah anak. Pengaruh juga dapat bersifat tidak

langsung yaitu melalui perantara misalnya media masa baik cetak

maupun elektronik serta informasi yang canggih lewat jasa

satelit (Goleman, 2009).

14
Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi emosi seseorang,

diantaranya:

a. Kondisi kesehatan

Kondisi kesehatan yang baik mendorong emosi yang menyenangkan

menjadi dominan, sedangkan kesehatan yang buruk menjadikan emosi

yang tidak menyenangkan lebih menonjol (Achmadi, 2010).

b. Suasana rumah

Suasana rumah yang berisi kebahagiaan, sedikit kemarahan,

kecemburuan dan dendam, maka anak akan lebih banyak mempunyai

kesempatan untuk menjadi anak yang bahagia (Achmadi, 2010).

c. Cara mendidik anak

Mendidik anak secara otoriter, yang menggunakan hukuman untuk

memperkuat kepatuhan secara ketat, akan mendorong emosi yang tidak

menyenangkan menjadi dominan. Cara mendidik anak yang bersifat

demokratis dan permisif akan menjadikan suasana yang santai akan

menunjang emosi yang menyenangkan (Achmadi, 2010).

d. Hubungan dengan para anggota keluarga

Hubungan yang tidak rukun antara orang tua atau saudara akan lebih

banyak menimbulkan kemarahan dan kecemburuan sehingga emosi

negatif cenderung menguasai kehidupan anak di rumah (Achmadi, 2010).

e. Hubungan dengan teman sebaya

Jika anak diterima dengan baik oleh kelompok teman sebaya, maka

emosi yang menyenangkan akan menjadi dominan. Apabila anak ditolak

15
atau diabaikan oleh kelompok teman sebaya maka emosi yang dominan

adalah emosi yang negatif (Achmadi, 2010).

f. Perlindungan yang berlebih-lebihan

Orang tua yang melindungi anak secara berlebihan, yang selalu

berprasangka bahaya terhadap sesuatu akan menimbulkan rasa takut pada

anak menjadi dominan (Achmadi, 2010).

g. Aspirasi orang tua

Orang tua yang memiliki aspirasi yang tinggi dan tidak realistis bagi

anak, maka akan menjadikan anak merasa canggung, malu, dan merasa

bersalah terhadap suatu kritik. Jika perasaan ini terjadi berulangkali maka

akan menjadikan anak memiliki emosi yang tidak menyenangkan

(Achmadi, 2010).

h. Bimbingan

Bimbingan dengan menitikberatkan kepada penanaman pengertian

bahwa mengalami frustasi diperlukan sekali waktu dapat mencegah

kemarahan dan kebencian menjadi emosi yang dominan (Achmadi,

2010).

3. Kompetensi Kecerdasan Emosional

Dalam menelaah kompetensi seseorang yang didasarkan pada tingkat

kecerdasanemosional, maka dapat dikelompokkan ke dalam empat dimensi,

yaitu:

16
a. Kesadaran diri sendiri

Kemampuan seseorang sangat tergantung kepada kesadaran dirinya

sendiri, juga sangat tergantung kepada pengendalian emosionalnya.

Apabila seseorang dapat mengendalikan emosinya dengan sebaik-

baiknya, memanfaatkan mekanisme berpikir yang tersistem dan

kontruksi dalam otaknya, maka orang tersebut akan mampu

mengendalikan emosinya sendiri dan menilai kapasitas dirinya sendiri.

Orang dengan kesadaran diri yang tinggi, akan memahami betul tentang

impian, tujuan, dan nilai yang melandasi perilaku hidupnya.Apabila

seseorang telah mengetahui akan dirinya sendiri, maka akan muncul pada

dirinya kesadaran akan emosinya sendiri, penilaian terhadap dirinya

secara akurat, dan percaya akan dirinya sendiri (Goleman, 2009). 

b. Pengelolaan diri sendiri

Seseorang, sebelum mengetahui atau menguasai orang lain, ia harus

terlebih dahulu mampu memimpin atau menguasai dirinya sendiri. Orang

tersebut harus tahu tingkat emosional, keunggulan, dan kelemahan

dirinya sendiri. Apabila tingkat emosional tidak disadari, maka orang

tersebut akan selalu bertindak mengikuti dinamika emosinya. Manakala

kebetulan resonansi yang dipancarkan dari amygdale-nya, maka

gelombang positif yang dapat ditangkap oleh orang lain secara efektif,

dan komunikasi pun dapat berjalan dengan baik. Tetapi manakala yang

terpancar dari amygdale-nya disonansi, maka yang dapat ditangkap oleh

orang lain hanyalah kemarahan dan emosional yang tak terkendali,

17
akhirnya komunikasi tidak berjalan dengan baik.Untuk menciptakan

tingkat kompetensi pengelolaan diri sendiri yang tinggi, ada beberapa hal

yang harus diperhatikan, yaitu pengontrolan terhadap diri sendiri,

transparansi, penyesuaian diri, pencapaian prestasi, inisiatif, dan

optimistis (Goleman, 2009). 

c. Kesadaran sosial

Sebagai makhluk sosial, kita harus dan selalu berhubungan dan

bergesekan dengan orang lain, baik dalam lingkungan keluarga maupun

lingkungan masyarakat, karena kita tidak akan dapat hidup sendiri tanpa

orang lain.Oleh karena itu, semua orang harus memiliki kesadaran sosial,

dan apabila seseorang telah mempunyai kesadaran sosial, maka dalam

dirinya akan muncul empati, kesadaran, dan pelayanan(Goleman, 2009).

d. Manajemen hubungan sosial

Apabila seseorang telah memiliki kemampuan yang tinggi untuk

mengendalikan secara efektif emosionalnya, memanage dirinya sendiri,

dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi, maka perlu satu langkah lagi,

yaitu bagaimana memanage hubungan sosial yang telah berhasil

dibangun agar dapat bertahan bahkan berkembang lebih baik lagi. Hal

ini, yang disebut sebagai manajemen hubungan sosial. Jadi, manajemen

hubungan sosial merupakan muara dari derajat kompetensi emosional

dan intelegensi.Dalam rangka memanage hubungan sosial tersebut,

seseorang harus memiliki kemampuan sebagai inspirator, mempengaruhi

orang lain, membangun kapasitas, katalisator perubahan, kemampuan

18
memanage konflik, dan mendorong kerjasama yang baik dengan orang

lain atau masyarakat(Goleman, 2009).

4. Ciri-ciri Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosi Tinggi

Ciri-ciri anak yang memiliki kecerdasan emosi tinggi diantaranya:

a. Optimal dan selalu positif pada saat menangani situasi-situasi dalam

hidupnya, misalnya saat menangani peristiwa dalam hidupnya dan

menangani tekanan masalah yang dihadapi (Puspitasari, 2010).

b. Terampil dalam membina emosinya, dimana orang tersebut terampil di

dalam mengenali kesadaran emosi diri dan ekspresi emosi (Puspitasari,

2010).

c. Optimal pada kecakapan kecerdasan emosi, meliputi kecakapan

intensionalitas, kreativitas, ketangguhan, hubungan antarpribadi dan

ketidakpuasan kostruktif (Puspitasari, 2010).

d. Optimal pada nilai-nilai empati, intuisi, radius kepercayaan, daya pribadi

dan integritas (Puspitasari, 2010).

e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship

quotient dan kinerja optimal (Puspitasari, 2010).

5. Cara Melatih Kecerdasan Emosional Anak

Keluarga merupakan hal yang pertama kali diamati ketika anak baru

berusia lima tahun, dan sekali lagi diamati saat anak itu sudah mencapai usia

sembilan tahun. Oleh karena itu, orang tua dalam hal ini harus menjadi

pelatih yang efektif bagi anak untuk meningkatkan kecerdasan emosional

anak. Proses tersebut biasanya terjadi dalam lima langkah:

19
a. Menyadari emosi anaknya; yaitu orang tua merasakan apa yang dirasakan

oleh anak-anak mereka. Agar bisa melakukannya, orang tua harus

menyadari emosi-emosi, pertama dalam diri mereka sendiri kemudian

dalam diri anak-anak mereka.Orang tua yang awas dapat mengenali

isyarat-isyarat malapetaka emosional pada anak-anak mereka, isyarat-

isyarat itu muncul dalam tingkah laku seperti makan terlalu banyak,

hilangnya nafsu makan, mimpi buruk, dan keluhan pusing-pusing atau

sakit perut (Azizah, 2015).

b. Mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar;

yaitu mengakui emosi anak dan menolong mereka mempelajari

keterampilan-keterampilan untuk menghibur diri mereka sendiri(Azizah,

2015).

c. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak

tersebut; yaitu mendengarkan dan mengamati petunjuk-petunjuk fisik

emosi pada anak. Orang tua menggunakan imajinasi mereka untuk

melihat situasi tersebut dari titik pandang anak kemudian menggunakan

kata-kata mereka untuk merumuskan kembali dengan cara yang

menenangkan dan tidak mengecam untuk menolong anak-anak mereka

memberi nama emosi-emosi mereka itu(Azizah, 2015).

d. Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi

yang sedang dialaminya; langkah ini merupakan langkah yang gampang

dan sangat penting dalam pelatihan emosi, misalnya tegang, cemas, sakit

hati, marah, sedih dan takut. Menyediakan kata-kata dengan cara ini

20
dapat menolong anak-anak mengubah suatu perasaan yang tidak jelas,

menakutkan, dan tidak nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan,

sesuatu yang mempunyai batas-batas dan merupakan bagian wajar dari

kehidupan sehari-hari. Studi-studi memperlihatkan bahwa tindakan

memberi nama emosi itu dapat berefek menentramkan terhadap sistem

saraf, dengan membantu anak-anak untuk pulih kembali lebih cepat dari

peristiwa-peristiwa yang merisaukan(Azizah, 2015).

e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah

yang dihadapi; proses ini memiliki beberapa tahap: (1) menentukan

batas-batas terhadap tingkah laku yang tidak pada tempatnya, (2)

menentukan sasaran, (3) memikirkan pemecahan yang mungkin, (4)

mengevaluasi pemecahan yang disarankan berdasarkan nilai-nilai

keluarga, dan (5) menolong anak memilih satu pemecahan(Azizah,

2015).

D. Tinjauan Tentang Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pola asuh adalah cara orang tua dalam memperlakukan,

berkomunikasi, mendisplikan, memonitor, dan mendukung anak. Pengasuh

orang tua sebagai proses interaksi antara anggota keluarga,berhubungan

dengan keterampilan dalam menerapkan pengawasan (monitoring)

penggunaan displin dan hukum yang efektif, pemberian dorongan atau

penguatan yang mendukung perkembangan keterampilan pemecahan

masalah (Aulia, 2014).

21
Pengasuhan orang tua atau yang lebih dikenal dengan pola asuh orang

tua, menurut Casmini (2007) yaitu bagaimana orang tua memperlakukan

anak, mendidik, membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak

dalam mencapai proses kedewasaan, hingga kepada upaya pembentukan

norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat secara umum.Pola asuh

orang tua adalah pengasuhan atau implementasi serangkaian keputusan yang

dilakukan orang tua atau orang dewasa kepada anaknya sehingga

memungkinkan anaknya menjadi bertanggungjawab, menjadi anggota

masyarakat yang baik, serta memiliki karakter yang baik. Ada tujuh macam

dimensi yang perlu ditumbuhkan kembangkan pada diri anak, yaitu fisik,

akal, iman, akhlak,kewajiban, estetika, dan sosial (Anna, 2013).

2. Dimensi-dimensi Pola Asuh

Dimensi-dimensi besar yang menjadi dasar dari kecenderungan

macam pola asuh orang tua ada dua, yaitu:

a. Tanggapan atau responsiveness

Dimensi ini berkenaan dengan sikap orang tua yang menerima, penuh

kasih sayang, memahami, mau mendengarkan, berorientasi pada

kebutuhan anak, menentramkan dan sering memberikan pujian. Orang

tua yang menerima dan tanggap dengan anak-anak, maka memungkinkan

untuk terjadi diskusi terbuka, memberi dan menerima secara verbal

diantara kedua belah pihak. Contohnya mengekspresikan kasih sayang

dan simpati (Asti, 2016).

b. Tuntutan atau demandingness

22
Dimensi ini berkenaan dengan tuntutan orang tua kepada anak untuk

menjadikan kesatuan ke seluruh keluarga, melalui tuntutan mereka,

pengawasan, upaya disiplin dan kesediaan untuk menghadapi anak yang

melanggar (Asti, 2016).

Kontrol orang tua dibutuhkan untuk mengembangkan anak menjadi

individu kompeten, baik secara sosial maupun intelektual. Beberapa orang

tua membuat standar yang tinggi dan mereka menuntut anaknya untuk

memenuhi standar tersebut. Namun, ada juga orang tua yang sangat sedikit

memberikan tuntutan kepada anak. Tuntutan-tuntutan orang tua yang

ekstrim cenderung menghambat tingkah laku sosial, kreativitas, inisatif, dan

fleksibilitas dalam pendekatan masalah-masalah pendidikan maupun praktis

(Asti, 2016).

3. Macam-macam Pola Asuh

Pola asuh orang tua sangat bervariasi. Berdasarkan dua dimensii

responsiveness dan demandigness, pola pengasuhan menurut Baumrind

terbagi menjadi tiga macam yaitu:

a. Pola asuh otoriter (authortarian)

Merupakan pola asuh yang menetapkan standar mutlak yang harus

dituruti oleh anak dan sering disertai dengan ancaman. Pola asuh yang

penuh pembatasan dan hukuman (kekerasan) dengan cara orang tua

memaksakan kehendaknya, sehingga orang tua dengan pola asuh otoriter

memegang kendali penuh dalam mengontrol anak-anaknya. Orang tua

yang otoriter menerapkan batas-batas yang tegas dan tidak memberii

23
peluang yang besar kepada anak-anak untuk berbicara (bermusyawarah).

Orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunyai ciri kaku,

tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang serta simpatik. Orang

tua memaksa anak-anak patuh pada nila-nilai mereka serta mencoba

membentuk tingkah laku sesuai dengan keinginanya dan cenderung

mengekang keinginan anak. Orang tua juga tidak mendorong serta

memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan jarang memberi

pujian, hak anak dibatasi tetapi dituntut tanggung jawab seperti orang

dewasa (Hidayah, 2013).

b. Pola asuh demokratif (authoritative)

Yaitu pola asuh yang memberikan dorongan pada anak untuk

mandiri namun tetap menerapkan berbagai batasan yang akan

mengontrol perilaku mereka. Adanya saling memberi dan saling

menerima, mendengarkan dan didengarkan. Pola asuh ini

memproritaskan kepentingan anak tetapi tidak ragu untuk mengendalikan

mereka. Orang tua bersikap realistis terhadap kemampuan anak dan tidak

berharap berlebihan.Pola asuh demokratif dicirikan dengaan adanya

tuntutan dari orang tua disertai dengan komunikasi terbuka antara orang

tua dan anak. Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan

mencukupinya dengan mempertimbangkan faktor kepentingan dan

kebutuhan (Hidayah, 2013).

c. Pola asuh permisif (permissive)

24
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek

terhadap anak. Biasanya pola pngasuhan anak oleh orang tua semacam

ini diakibatkan oleh orang tua yang terlalu sibuk dengan pekeerjaan atau

urusan lain yang akhirnya menyebabkan orang tua lupa untuk mendidik

dan mengasuh anak dengan baik. Pola asuh permisif kerap memberikan

pengawasan yang sangat longgar. Cenderung tidak menegur atau

memperingatkan anak.Pola asuh permisif dicarikan dengan orang tua

yang terlalu membebaskan anak dalam segala hal tanpa adanya tuntutan

ataupun kontrol, anak diperbolehkan untuk melakukan apa saja yang

diinginkan orang tua selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa

tanpa memberikan kontrol sama sekali, memberikan kasih sayang

berlebihan dan cenderung memanjakan (Hidayah, 2013).

4. Kelebihan dan Kekurangan Pola Asuh Orang Tua

Setiap pola asuh yang diterapkan memiliki akibat positif dan

negatif. Berdasarkan ciri-ciri yang disebutkan pada pola asuh otoriter,

maka akibat negatif yang timbul pada pola asuh ini akan cenderung lebih

dominan. Hal yang senada juga disampaikan oleh Bjorklund dan

Bjorklund (Conny R. Semiawan, 1998: 207) yang mengatakan bahwa

pola asuh otoriter menjadikan seorang anak menarik diri dari pergaulan

serta tidak puas dan tidak percaya terhadap orang lain. Namun, tidak

hanya akibat negatif yang ditimbulkan, tetapi juga terdapat akibat positif

atau kelebihan dari pola asuh otoriter yaitu anak yang dididik akan

25
menjadi disiplin yakni menaati peraturan. Meskipun, anak cenderung

disiplin hanya di hadapan orang tua (Asti, 2016).

Pola asuh otoritatif atau pola asuh yang bersifat demokratis

memiliki kelebihan yaitu menjadikan anak sebagai seorang individu yang

mempercayai orang lain, bertanggungjawab terhadap tindakannya, tidak

munafik, dan jujur. Pendapat Bjorklund dan Bjorklund (Conny R.

Semiawan, 1998: 207) memperkuat pendapat Baumrind bahwa pola asuh

otoritatif juga menjadikan anak mandiri, memiliki kendali diri, bersifat

eksploratif, dan penuh dengan rasa percaya diri. Namun, terdapat

kekurangan dari pola asuh otoritatif yaitu menjadikan anak cenderung

mendorong kewibawaan otoritas orang tua, bahwa segala sesuatu harus

dipertimbangkan antara anak dan orang tua (Ike, 2014).

Pada pola asuh permisif, orang tua memberikan kebebasan yang

sebebas-bebasnya kepada anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa

kelebihan pola asuh ini adalah memberikan kebebasan yang tinggi pada

anak dan jika kebebasan tersebut dapat digunakan secara bertanggung

jawab, maka akan menjadikan anak sebagai individu yang mandiri,

kreatif, inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya. Di samping

kelebihan tersebut, akibat negatif juga ditimbulkan dari penerapan pola

asuh ini yaitu dapat menjadikan anak kurang disiplin dengan aturan-

aturan sosial yang berlaku. Sejalan dengan Baumrind, Bjorklund dan

Bjorklund (Conny R. Semiawan, 1998: 207) juga menyampaikan bahwa

pola asuh permisif menjadikan anak kurang dalam harga diri, kendali diri

26
dan kecenderungan untuk bereksplorasi. Setiap pola asuh yang

diterapkan orang tua memiliki dampak positif dan negatif terhadap

perilaku dan kondisi emosi seorang anak. Agar anak berkembang dengan

baik, maka setiap orang tua perlu memilih jenis pola asuh yang sesuai

dengan karakteristik anak (Ike, 2014).

5. Pola Asuh yang Ideal Bagi Perkembangan Anak

Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari penerapan setiap pola

asuh, maka pola asuh yang ideal bagi perkembangan anak adalah pola

asuh otoritatif. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli, diantaranya

adalah Baumrind dan Hert et all. Baumrind (Casmini, 2007: 51)

menyatakan bahwa pola asuh yang ideal untuk perkembangan anak yaitu

pola asuh otoritatif. Hal ini dikarenakan:

a. Orang tua otoritatif memberi keseimbangan antara pembatasan dan

kebebasan, di satu sisi memberi kesempatan pengembangan percaya

diri, sedangkan di sisi lain mengatur standar, batasan serta petunjuk

bagi anak. Keluarga otoritatif lebih dapat menyesuaikan dengan

tahapan baru dari siklus keluarga (Arum, 2015).

b. Orang tua otoritatif luwes dalam mengasuh anak, mereka membentuk

dan menyesuaikan tuntutan dan harapan yang sesuai dengan

perubahan kebutuhan dan kompetensi anaknya (Arum, 2015).

c. Orang tua otoritatif lebih suka memberi anak kebebasan yang

bertahap (Arum, 2015)

27
d. Orang tua otoritatif lebih suka mendorong anak dalam perbincangan,

hal ini dapat mendukung perkembangan intelektual yang merupakan

dasar penting bagi perkembangan kompetensi sosial (Arum, 2015).

e. Diskusi dalam keluarga tentang pengambilan keputusan, aturan dan

harapan yang diterangkan dapat membantu anak memahami sistem

sosial dan hubungan sosial (Arum, 2015).

f. Keluarga otoritatif dapat memberi stimulasi pemikiran pada anak

(Arum, 2015).

g. Orang tua otoritatif mengkombinasikan kontrol seimbang dengan

kehangatan. Sehingga anak mengidentifikasi orang tuanya. Pada

umumnya yang memperlakukan kita penuh kehangatan dan kasih

sayang (Arum, 2015).

h. Anak yang tumbuh dengan kehangatan orang tua akan mengarahkan

diri dengan meniru orang tuanya kemudian memperlihatkan

kecenderungan yang serupa (Arum, 2015).

i. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga otoritatif akan meneruskan

praktek pengasuhan yang otoritatif pula. Anak bertanggung jawab,

dapat mengarahkan diri, memiliki rasa ingin tahu dan memiliki

ketenangan diri mencerminkan adanya kehangatan dalam keluarga,

pemberian petunjuk yang luwes (Arum, 2015).

j. Orang tua merasa nyaman berada di sekitar anak yang

bertanggungjawab dan bebas, sehingga mereka memperlakukan anak

remaja lebih hangat, sebaliknya anak remaja yang berulah akan

28
membuat orang tuanya tidak berpikir panjang, tidak sabar, dan

berjarak (Arum, 2015).

29
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pikir Penelitian

kecerdasan emosi untuk menggambarkan sejumlah keterampilan yang

berhubungan dengan keakuratan penilaian tentang emosi diri sendiri dan orang

lain, serta kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosi dirinya sendiri

dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya, dan menggunakan

informasi tersebut untuk menuntun proses berpikir serta perilaku

seseorang.Semakin cerdas emosi seseorang dapat dikatakan peluang untuk

meraih kesuksesannya semakin besar. Hal ini dikarenakan seseorang akan lebih

cerdas dalam mengenali perasaannya sehingga dapat meningkatkan kualitas

hidup yang lebih baik.

Pola asuh orang tua yaitu pola pengasuhan orang tua terhadap anak, yaitu

bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing dan

mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan

sampai dengan membentuk perilaku anak sesuai dengan norma dan nilai yang

baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat. Setiap macam pola asuh yang

diterapkan orang tua menjadi faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi

anak. Orang tua yang menerapkan pola asuh yang tepat dapat mengembangkan

kecerdasan emosi seorang anak dengan optimal sehingga dapat memperoleh

kesuksesan hidup yang lebih baik.

30
B. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Depennden

Kecerdasan Emosi
Siswa SD Madrasah
Pola Asuh Orang Tua Raha

Keterangan :

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Garis hubungan variabel yang diteliti

Gambar 1. Bagan Konsep Penelitian

3. Variabel Penelitian

1. Variabel dependen yaitu kecerdasan emosional siswa Madrasah Raha

2. Variabel independen yaitu pola asuh orang tua

4. Defenisi Operasional & Objektif

1. Kecerdasan emosi siswa adalah suatu jenis kecerdasan yang dimiliki siswa

untuk memusatkan perhatiannya dalam mengenali, memahami, merasakan,

mengelola, memotivasi diri sendiri dan orang lain serta dapat

mengaplikasikan kemampuannya tersebut dalam kehidupan pribadi dan

sosialnya. Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan skala yang terdiri

31
dari 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban selalu (4), sering (3), kadang-

kadang (2), dan tidak pernah (1) (Achmad, 2010).

Sehingga diperoleh skor:

Skor tertinggi = jumlah pertanyaan x skor tertinggi

= 10 x 4 = 40 (100%)

Skor terendah = jumlah pertanyaan x skor terendah

= 10 x 1 = 10 (25%)

Skor antara = Skor tertinggi – skor terendah

= 100% - 25% = 75%

Kriteria objektif sebanyak 2 kategori : cukup dan kurang

Interval = skor antara/kategori

= 75%/2

= 37,5%

Skor standar = 100% - 37,5% = 62,5%

Kriteria Obyektif :

Cukup : bila jawaban responden > 62,5% dari total skor pertanyaan

Kurang : bila jawaban responden < 62,5% dari total skor pertanyaan

2. Pola asuh orang tua

Pola asuh orang tua yaitu pola pengasuhan orang tua terhadap anak.

Maksudnya adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik,

membimbing dan mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai

proses kedewasaan sampai dengan membentuk perilaku anak sesuai dengan

norma dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat.

32
Skala pengukuran dalam penelitian ini menggunakaan skala likert

yang terdiri dari 15 pertanyaan dengan pilihan jawaban, sering (4), selalu

(3), kadang-kadang (2), tidak pernah (1) (Achmad, 2010).

Skor tertinggi = jumlah pertanyaan x skor tertinggi

= 15 x 4 = 60 (100%)

Skor terendah = jumlah pertanyaan x skor terendah

= 15 x 1 = 15 (25%)

Skor antara = Skor tertinggi – skor terendah

= 60 – 15 = 45 (75% )

Kriteria Obyektif :

Otoriter : apabila skor jawaban responden 15 - 30

Demokratis : apabila skor jawaban responden 31 - 45

Permisif : apabila skor jawaban responden 46 – 60.

5. Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada hubungan antara pola asuh orang dengan kecerdasan

emosional siswa SD Madrasah Raha.


Ha : Ada hubungan antara pola asuh orang tuadengan kecerdasan

emosional siswa SD Madrasah Raha.

BAB IV

33
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan

pendekatan cross sectional yakni variabel sebab dan variabel akibat diukur

dalam waktu yang bersamaan dan sesaat dengan tujuan untuk mengetahui

Hubungan pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional pada anak siswa

SD Madrasah Raha.

rancangan desain penelitian crosssectional:

Populasi/Sampel

Faktor Risiko (+) Faktor Risiko (-)

Efek (+) Efek (-) Efek (+) Efek (-)

Gambar 2. Bagan Desain Cross Sectional.

B. Lokasi dan Waktu

1. Lokasi

Penelitian akan dilaksanakan di SD Madrasah Raha

2. Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan September 2019.

C. Populasi dan Sampel

34
1. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan dari obyek penelitian yang akan diteliti.

Populasi pada penelitian ini adalah siswa SD Madrasah Raha dari kelas 4

sampai kelas 6 pada tahun 2019 berjumlah 73 orang.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah sebagian subyek penelitian. Sedangkan sampel dalam

penelitian ini adalah siswa dan orang tua SD Madarasah Raha. Penentuan

jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus:

N.Z2.P(1-P)
n = -------------------------------
N.d2 + Z2. P (1-P)
73. (1,96)2. 0,5 (1-0,5)
n = ------------------------------------
73. (0,1)2+ (1,96)2. 0,5 (1-0,5)

121,0104
n = -----------
2,2204

n = 41 responden

Keterangan:

n = Besarnya sampel

N = Besar populasi

Z = Tingkat Kepercayaan (CI = 95% = 1,96)

d = Derajat ketetapan = 0,10 atau 10%

P = Perkiraan proporsi populasi 0,5 (Sugiyono, 2011).

Teknik penarikan sampel penelitian yaitu dengan menggunakan

tehnik clusster sampling yakni cara pengambilan sampel berdasarkan

perwakilan gugus (Notoadmojo, 2012).

35
Siswa Kelas 4 20 orang / 73 x 41 = 11 siswa

Siswa Kelas 5 27 orang / 73 x 41 = 16 siswa

Siswa kelas 6 26 orang / 73 x 41 = 14 siswa

Kriteria inklusi:

a. Siswa kelas 4 sampai kelas 6 SD Madrasah Raha

b. Siswa dan orang tua siswa yang bersedia menjadi responden

c. Siswa SD Madrasah yang sudah pandai membaca dan menulis

Kriteria eksklusi:

a. Siswa dan orang tua siswa yang tidak mau menjadi responden

b. Siswa yang berada di kelas 1 sampai kelas 3

D. Instrumen Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner (angket)

terhadap responden yang berisi pertanyaan tentang Pola asuh orang tua

terhadap kecerdasan emosional anak.

2. Data Sekunder

Sedangkan data sekunder yang berhubungan dengan penelitian ini

diperoleh dari instansi terkait meliputi orang tua siswa SD Madrasah Raha.

E. Pengolahan data

1. Editing (Pengeditan)

36
Adalah untuk meneliti apakah kuisioner sudah lengkap atau belum

sehingga ada kekurangan dapat segera dilengkapi. Editing dapat dilakukan

ditempat pengumpulan dan sehingga jika terjadi kesalahan, maka upaya

perbaikan dapat dilaksanakan.

2. Coding (pengkodean)

Adalah suatu usaha memberikan kode atau menandai jawaban

responden atas pertanyaan yang ada pada kuisioner.

3. Entry/ processing (pemasukan data)

Adalah pemasukan data-data penelitian tabel sesuai dengan kriteria.

4. Cleaning (pembersihan data)

Adalah suatu kegiatan yang melihat apakah suatu data sudah benar-

benar bebas dari kesalahan (Notoadmojo, 2012).

F. Tehnik Analisa Data

1. Analisis Univariat

Analisa univariat yaitu distribusi frekuensi, mean, dan median dari

masing-masing variable yaitu nyeri, kecemasan, dan lingkungan serta

kualitas tidur pasien post op apendisitis.

Sedangkan dalam pengolahan data maka digunakan rumus :

f
P = ---------- x 100 %
N

Keterangan:

f =Frekuensi yang sedang dicari presentasenya

37
N=Number Of Cases ( jumlah frekuensi /banyaknyaindividu )

P=angka presentase

2. Analisis bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel

dependen dan variabel independen menggunakan uji Chi Square dengan

derajat kemaknaan 0,05. Bila nilai p value ≤ α (0,05) berarti hasil

perhitungan statistik bermakna (signifikan), dan apabila nilai p value < α

(0,05) berarti hasil perhitungan statistik tidak bermakna (tidak signifikan).

( 0 – E )2
2
X =∑
E

Keterangan:

χ2 : Chi-Square

∑ : Jumlah data

0 : Nilai observasi

E : Nilai yang diharapkan (Dewi, 2013).

Pengambilan kesimpulan dari pengujian hipotesis adalah sebagai

berikut:

a. Apabila X2hitung> X2tabel, Ho ditolak atau Ha diterima artinya ada

hubungan antara variabel independen dengan variabel dependent.

b. Apabila X2hitung < dari X2tabel, Ho diterima atau Ha ditolak, artinya tidak

ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependent.

Jika uji chi-square (χ2)bermakna untuk kasus k x k, maka untuk

mengetahui kuatnya hubungan digunakan Uji Phi.

38
φ = √χ2
n
Keterangan:

X = Nilai Chi

n = Besar sampel

Pedoman untuk memberikan interpretasi koefisien korelasi:

Interval Koefisien Tingkat Hubungan

0,00-0,199 = Sangat lemah

0,20-0,399 = Lemah

0,40-0,599 = Sedang

0,60-0,799 = Kuat

0,80-1,000 = Sangat kuat (Notoadmojo, 2012).

G. Etika Penulisan

Dalam melakukan penelitian, peneliti memandang perlu adanya

rekomendasi pihak institusi atas pihak lain dengan mengajukan permohonan

izin kepada instansi tempat penelitian dalam hal ini pihak Rumah Sakit

Umum Daerah Kabupaten Muna. Setelah mendapat persetujuan, barulah

dilakukan penelitian dengan menekan masalah etika penelitian yang meliputi:

1. Informed Concent

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti

yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat

penelitian, bila subyek menolak maka peneliti tidak akan memaksakan

kehendak dan tetap menghormati hak-hak subyek.

2. Anonimity

39
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan

nama responden pada kuesioner tetapi pada kuesioner tersebut diberikan

kode responden.

3. Confidentiality

Kerahasiaan informasi reponden dijamin oleh peneliti dan hanya

kelompok data tertentu saja yang dilaporkan sebagai hasil penelitian

(Sugiyono, 2015).

40

Anda mungkin juga menyukai