Makalah Asuhan Neonatus
Makalah Asuhan Neonatus
DAN BALITA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan atas kehadiran Allah SWT , atas segala limpahan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul KEBUTUHAN
IMUNISASI.
Sholawat beriring salam juga tak lupa kami sampaikan kepada nabi Muhammad SAW yang telah
mengantarkan kehidupan ini menjadi lebih beradab. Dalam penyusunan makalah ini banyak
mengalami hambatan, namun berkat arahan dan bimbingan dari berbagai pihak maka kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Oleh sebab itu pada kesempatan ini kami
mengucapakan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan semua masukan dan
arahan sehingga makalah ini dapat diselesikan.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruan
dan masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu saran dan kritik kami harapkan demi
kesempurnaan dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat terutama kami sebagai
penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………….2
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………………..3
BAB I:PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang…………………………………………………………………4
1.2 Rumusan masalah…………………………………………………………….5
1.3 Tujuan ………………………………………………………………………….5
BAB II :PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Imunisasi……………………………………………………6
2.2 Jenis jenis imunisasi……………………………………………………..7
2.3 Mengejar Keterlambatan Imunisasi……………………………………25
2.4 Jadwal Imunisasi…………………………………………………………31
2.5 Rantai Dingin…………………………………………………………….34
2.6 KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi)………………………………40
2.7 Mitos – Mitos Imunisasi………………………………………….44
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN TEORI
b. Deskripsi
Vaksin oral polio hidup adalah vaksin polio trivalent yang terdiri dari suspense virus
poliomyelitis tipe 1, 2 dan 3 (strain sabin) yang sudah dilemahkan, dibuat dalam biakan jaringan
ginjal karena akan distabilkan dengan sukrosa.
Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio,bentuk monovalen (MOPV) efektif
melawan 1 jenis polio. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)
c. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap poliomielitis.
f. Efek Samping
• Pada umumnya tidak terdapat efek samping.
• Efek samping berupa paralisis yang disebabkan oleh vaksin sangat jarang terjadi (kurang dari
0,17 : 1.000.000 ; Bull WHO 66 : 1998)
• Kalau pun ada hanya bercak – bercak ringan (diare) karena kemungkinan vaksin tidak bekerja
dengan baik karena ada gangguan penyerapan vaksin oleh usus.
• Vaksin akan tetap diberikannya, kemudian dicoba lagi mengulanginya 4 minggu setelah
pemberian polio.
• mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.
2. Vaksin Campak
a. Pendahuluan
Bibit penyakit yang menyebabkan camapk adalah virus.
Kemasannya dalam flakon berbentuk gumpalan – gumpalan yang beku dan kering untuk
dilarutkan dalam 5 cc pelarut.
Sebelumnya vaksin dilaruitkan dengan aqua bidest.
Vaksin kering tidak akan rusak pada pembekuan.
Umur 9 – 11 bulan (pada umumnya vaksin pada bayi yang berumur kurang dari 9 bulan tidak
dapat menghasilkan kekebalan yang baik karena gangguan dari anty body / kekebalan yang
dibawa sejak lahir / diperoleh dari ibunya sewaktu bayi dalam kandungan sehingga harus
diulangi pada umur 25 bulan).
Pada usia 6 – 7 tahun (Kelas 1 SD) setelah catchup compaign campak pada anak Sekolah Dasar
Kelas 1 – 6 dilakukan imunisasi ulang (booster).
Dosis 0,5 ml
Cara Suntikan secara subkutan pada lengan kiri atas.
Jumlah Suntikan 1 X
Dapat diberikan bersamaan dengan pemberian vaksin yang lain, tetapi tidak dicampur dalam 1
semprit dengan vaksin lain.
b. De
c. Deskrips
b. Definis
vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml)
mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70 dan tidak lebih dari 100
mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)
d. Indiaksi
Untuk pemberian kekebalan aktif tehadap penyakit campak.
g. Kontra Indikasi
• Anak yang sakit parah
Menderita TBC tanpa pengobatan
• Defisiensi gizi dalam derajat berat
• Anak yang mengidap immune deficiency atau anak yang diduga menderita gangguan respon
imun karena leukemia, limfoma.
• infeksi akut yang disertai demam lebih dari 38°Celsius
• pemakaian obat imunosupresan
• alergi terhadap protein telur
• hipersensitivitas terhadap kanamisin dan eritromisin
• wanita hamil.
h. Efek samping
a) Demam ringan
Demam ini terjadi selama 1 – 3 hari setelah 1 minggu penyuntikan, kadang disertai kemerahan
seperti penderita campak lainnya.
b) Bercak merah pada pipi, dibawah telingga pada hari ke 7 – 8 setelah penyuntikan
c) Mungkin terjadi pembekakan pada tempat penyuntikan
d) Kejang ringan dan tidak berbahaya pada hari ke-10 sampai dengan hari ke-12 setelah
penyuntikan (sangat jarang terjadi)
e) Radang otak (Ensefalitis / Ensepolapati) dalam 30 hari setelah penyuntikan TTP, kejadian ini
jarang terjadi (1 : 1.000.000 orang)
Efek samping diatas harus diberitahukan kepada ibu agar setelah 1 minggu setelah penyuntikan
panasnya tinggi supaya diberikan ¼ tablet antiperetik dan beri keyakinan bahwa bila anak kena
penyakit campak akibatnya jauh lebih berat bila dibandingkan efek samping vaksinasi campak.
Umur 0 – 11 bulan
Dosis 0,05 cc
Cara Suntikan intrakutan
Tepatnya di insertion M.Deltoideus kanan
Jumlah Suntikan 1X
b. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap tuberculosis
c. Cara Pemberian
1) Persiapan Alat Untuk Pemberian Imunisasi
• Ampul BCG
• Pelarut (NaCl 0,9 %)
• Gergaji Ampul
• Semprit untuk BCG + jarum
• Kapas lembab dan plastik
2) Cara Mempersiapkan Vaksin BCG
• Membuka ampul
Sebelum vaksin dibuka, ampul diketuk – ketuk dahulu supaya semua vaksin turun ke dasar
ampul, kemudian ampul digergaji
• Cara melarutkan vaksin
Zat pelarut dihisap dengan spuit 10 cc sebanyka 4 cc dan kemudian dimasukkan ampul vaksin
BCG tunggu sebentar sampai semua serbuk larut kemudian digoyang – goyang sampai vaksin ini
larut secara merata
• Mengatur posisi bayi
a) Bayi dipangku ibunya, pakaian bayi yang menutupi lengan kanan atas dibuka
b) Tempat penyuntikan 1/3 bagian kanan atas (inertion M.Deltoideus)
c) Isilah semprit dengan vaksin BCG sebanyak 0,05 cc
• Cara mengisi semprit
a) Sediakan semprit dengan jarum 0,05 cc untuk vaksin BCG
b) Masukkan jarum kedalam ampul yang sudah dibuka
c) Pada waktu mengisap vaksin dilebihkan sedikit (satu dosis) agar pada waktu buang
gelembung udara jumlah vaksin tetap satu dosis
d. Kontra Indikasi
• Adanya penyakit kulit yang berat / menahun
Seperti : eksim, furunkolosis dan sebagianya.
• Anak yang telah dan yang sedang menderita TBC
• Penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita leukemia, penderita yang menjalani
pengobatan steroid jangka panjang, penderita infeksi HIV).
e. Efek Samping
1. Reaksi Normal
• Bakteri BCG di dalam tubuh bekerja dengan sangat lambat
• Setelah 2 minggu akan terjadi pembekakan kecil merah di tempat penyuntikan dengan garis
tengah 10 mm
• Setelah 2 – 3 minggu kemudian pembengkakan menjadi abses kecil yang kemudian menjadi
luka dengan garis tengah 10 mm
• Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu anak tersebut, agar tidak memberikan obat apaun pada
luka dan membiarkan terbuka atau bila akan ditutup, gunakan kain kasa kering
• Luka tersebut akan sembuh dengan sendirinya dan meninggalkan jaringan parut (scar) bergaris
tengah 3 mm – 7 mm
• Scar ini sangat berguna karena dapat menunjukkan bahwa anak tersebut telah mendapatkan
vaksin BCG
2. Reaksi Berat
• Kadang – kadang terjadi peradangan setempat yang agak berat atau abses yang lebih dalam
• Kadang – kadang juga terjadi pembengkakan di kelenjer limpe pada leher atau ketiak
• Ini mungkin disebabkan kesalahn penyuntikan yang terlalu dalam dibawah kulit, mungkin juga
disebabkan dosis yang diberikan terlalu banyak
Hal – hal yang perlu diberitahukan kepada ibu anak adalah :
a) Bila reaksi hanya bersifat local maka tak perlu di obati, cukup dibalut dengan pembalut kering
b) Bila luka besar atau pembengkakan pada kelenjer limpe dianjurkan supaya anak tersebut
dibawa ke Puskesmas untuk berobat
3. Reaksi Sedang
• Jika anak sudah mempunyai kekebalan terhadap tuberculosis, proses pembengkakan mungkin
terjadi lebih cepat dari 2 minggu
• Ini berarti anak tersebut telah mendapatkan BCG atau kemungkinan anak tersebut telah
mendapat infeksi TBC
b. Deskripsi
Vaksin mengandung DPT berupa toxoid difteri dan toxoid tetanus yang dimurnikan dan pertusis
yang inaktifasi serta vaksin Hepatitis B yang merupakan sub unti vaksin virus yang
menagandung HBsAg murni dan bersifat non infections. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)
c. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, tetanus, pertusis dan hepatitis B.
d. Cara Pemberian
1. Menyiapkan Vaksin
• Sebelum membuka vaksin lihatlah dahulu labelnya.
• Kocok terlebih dahulu flakonnya sehingga endapan tercampur.
2. Cara Mengisi Spuit DPT
• Buka tutup metal dengan menggunakan gergaji ampul
• Usaplah karet penutup flakon dengan kapas basah
• Ambil spuit 2 cc
• Pasanglah jarum DPT ke semprit
• Isaplah udara ke dalam spuit sebanyak 0,6 cc
• Tusuklah jarum ke dalam flakon melalui tutup karet
• Masukkan udara ke dalam flakon dan isaplah vaksin sebanyak 0,6 cc ke dalam semprit
• Cabut jarum dari flakon, semprit ditegak luruskan ke atas untuk melihat gelembung udara,
apabila ada gelembung ketuklah pelan – pelan supaya gelembung naik ke atas, lalu dorong piston
sampai ukuran 0,5 cc
• Gunakan 1 semprit steril dan 1 jarum untuk setiap satu suntikan
3. Mengatur Posisi Bayi
• Bayi dipangku oleh ibu
• Tangan kiri ibu merangkul bayi, menyangga kepala, bahu dan memegang sisi luar tangan kiri
bayi
• Tangan kanan bayi melingkar ke badan ibu
• Tangan kanan ibu memegang kaki bayi dengan kuat
4. Cara Penyuntikan
• Tempat yang paling baik untuk suntikan adalah paha sebelah luar
• Letakkan ibu jari dan telunjuk pada posisi yang akan disuntik
• Peganglah otot paha antara jari – jari telunjuk dan ibu jari
• Bersihkan lokasi suntikan dengan kapas basah
• Tusukkan jarum tegak lurus kebawah melalui kulit antara jari anda sampai ke dalam otot
• Tarik piston sedikit untuk meyakinkan behwa jarum tidak mengenai pembuluh darah
• Dorong pangkal piston dengan ibu jari untuk memasukkan vaksin
• Cabut jarumnya
e. Kontra Indikasi
• Gejala – gejala keabnormalan otak pada periode bayi baru lahir atau gejala serius keabnormalan
pada saraf merupakan kontraindikasi pertusis.
• Anak yang mengalami gejala – gejala parah pada dosis pertama, komponen pertusis harus
dihindarkan pada dosis kedua, dan untuk meneruskan imunisasinya dapat diberikan DT.
• Hipersensitif terhadap komponen vaksin
• Tidak boleh diberikan kepada anak dengan infeksi berat yang disertai kejang.
• Panas tinggi (> 380C)
• Penyakit gangguan kekebalan (distiscensi immunologik)
f. Efek samping
1. Panas
Kebanyakan anak menderita panas pada sore hari setelah mendapatkan vaksinasi DPT, tetapi
panas ini akan sembuh dalam 1 – 2 hari. Bila panas timbul setelah dari 1 hari sesudah pemberian
DPT, bukanlah disebabkan oleh vaksin DPT, mungkin ada infeksi lain yang perlu diteliti lebih
lanjut.
2. Rasa sakit didaerah suntikan
Sebagian anak merasa nyeri, sakit, kemerahan, bengkak, ditempat suntikan. Yakinkan ibu bahwa
keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu pengobatan.
3. Peradangan
Bila pembengkakan sakit terjadi 1 mingu / lebih sesudah vaksinasi, mungkin disebabkan
peradangan.
Hal ini mungkin sebagai akibat :
• Jarum suntik tidak steril
• Penyuntikan kurang dalam
4. Kejang – kejang
Reaksi ini disebabkan oleh komponen P dan DPT.
g. Jadwal Pemberian
1. Bayi umur 2 – 11 bulan
2. Setelah umur 1 ½ – 2 tahun
3. Vaksin DT pada usia 5 – 6 tahun
4. Umur 10 tahun
• Anak sudah mendapatkan DPT pada waktu bayi diberi DT 1X saja 0,5 cc. IM
• Anak tidak mendapat DPT pada waktu bayi diberi DT 2 X, interval 4 minggu, 0,5 cc. IM
• Apabila meragukan tetap diberi suntikan.
• Bila bayi mempunyai riwayat kejang, maka DPT diganti dengan DT (pemberian sama dengan
DPT)
5. Vaksin Hepatitis B
a. Pendahuluan
Pada tahun 1991 WHO merekomendasikan imunisasi terhadap Hepatitis B secara universal.
Dosis pertama harus diberikan segera mungkin setelah kelahiran (dalam waktu 72 jam). Vaksin
Hepatitis B umumnya lebih stabil panasnya dari pada vaksinasi lain dan dilakukan dirumah
dengan menggunakan alat suntuk tunggal (unifet).
PATH (The Program For Appropiate Technology In Health) dalam proyek “Health Start” di
Indonesia memasukkan vaksinasi Hepatitis B saat kelahiran sebagai bagian dari intervensi yang
dilakukan dibidang setempat selama kunjungan dirumah itu.
Bibit penyakit yang menyebabkan Hepatitis B adalah virus yang merupakan penyebab hingga
80 % dari semua penyakit hati (arsinomas yang primer di seluruh dunia)
Vaksin berbentuk cairan
Dosis 0,5 cc interval 4 minggu, IM
Digunakan pada bayi yang berumur 2 – 11 bulan dengan 3 x pemberian 1 – 2 = 4 minggu, 2 – 3
= 5 bulan interval
Kemasannya menggunkan auto disamble syringe.
b. Deskripsi
Vaksin Hepatitis B adalah vaksin virus recombinan yang telah diinaktivasikan dan bersifat non –
infectious berasal dari HBsAg yang dihasilkan dalam sel ragi (Hansenula Polymorpha)
menggunakan teknologi DNA rekombinan. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)
c. Indikasi
Untuk pemberian kekebalan aktif terhadap infeksi yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B.
e. Kontra Indikasi
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Sama halnya seperti vaksin – vaksin lain, vaksin ini
tidak boleh diberikan kepada penderita infeksi berat yang disertai kejang.
f. Efek Samping
Reaksi local seperti rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan.
Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang setelah 2 hari.
6. Vaksin Tetanus
a. Deskripsi Vaksin Tetanus
Vaksin TT (Tatanus Toksoid) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus yang telah
didimurnikan dan terabsorbsi kedalam 3,g/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml
digunakan sebagai pengawet. (Vademecum Bio Farma, Jan 2002)
Tetanus disebabkan oleh bakteri yang memproduksi toksan (racun)
Vaksin tersebut dari toxoid (toksin tetanus yang telah dilemahkan)
Tetanus toxoid akan rusak bila dibekukan dan kena panas.
Anak Perempuan Kelas VI SDUmur
Wanita Calon Pengantin
Ibu Selama Kehamilan
Dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40 IU.
Tempat Penyuntikan Suntikan IM / Subkutan Dalam, bisa dari :
Muskulus deltoideus
Paha
Bokong
Jumlah Suntikan 2 x (jika ada waktu untuk dosis ke-3, ibupun harus diberikan dosis ke-3 juga).
Selang Waktu Pemberian 2 dosis dengan jarak minimal 4 minggu sebelum atau selama
kehamilan.
Dosis I pada pemeriksaan kehamilan pertama kali.
Dosis II paling lambat diberikan 2 minggu sebelum melahirkan
Nyeri atau kekakuan sendi yang ringan selama beberapa hari, timbul dalam waktu 1-3 minggu
setelah menerima suntikan MMR. Hal ini hanya ditemukan pada 1% anak-anak yang menerima
suntikan MMR, tetapi terjadi pada 25% orang dewasa yang menerima suntikan MMR. Kadang
nyeri/kekakuan sendi ini terus berlangsung selama beberapa bulan (hilang-timbul).
Artritis (pembengkakan sendi disertai nyeri) berlangsung selama 1 minggu dan terjadi pada
kurang dari 1% anak-anak tetapi ditemukan pada 10% orang dewasa yang menerima suntikan
MMR. Jarang terjadi kerusakan sendi akibat artritis ini.
Nyeri atau mati rasa pada tangan atau kaki selama beberapa hari lebih sering ditemukan pada
orang dewasa.
Meskipun jarang, setelah menerima suntikan MMR, anak-anak yang berumur dibawah 6 tahun
bisa mengalami aktivitas kejang (misalnya kedutan). Hal ini biasanya terjadi dalam waktu 1-2
minggu setelah suntikan diberikan dan biasanya berhubungan dengan demam tinggi.
Keuntungan dari vaksin MMR lebih besar jika dibandingkan dengan efek samping yang
ditimbulkannya. Campak, gondongan dan campak Jerman merupakan penyakit yang bisa
menimbulkan komplikasi yang sangat serius.
Jika anak sakit, imunisasi sebaiknya ditunda sampai anak pulih.
Imunisasi MMR sebaiknya tidak diberikan kepada:
• anak yang alergi terhadap telur, gelatin atau antibiotik neomisin
• anak yang 3 bulan yang lalu menerima gamma globulin
• anak yang mengalami gangguan kekebalan tubuh akibat kanker, leukemia, limfoma maupun
akibat obat prednison, steroid, kemoterapi, terapi penyinaran atau obati imunosupresan.
• wanita hamil atau wanita yang 3 bulan kemudian hamil.
(http://nursepuspa.blogspot.com/2013/05/penyimpanan-vaccine-yang-benar.html)
B. Imunisasi Hepatitis A
Hepatitis A adalah masuknya virus Hepatitis A ke dalam tubuh, terutama menyerang hati,
sehingga bisa menimbulkan gejala-gejala hepatitis. Virus Hepatitis A sangat mudah menular dan
menyebabkan 20% – 40% dari semua infeksi hepatitis. Waktu pemberian dimulai umur 2 tahun.
Satu kali suntikan pertama, dan 6 bulan berikutnya suntikan penguat (booster) dapat memberikan
perlindungan sekurang-kurangnya 10 tahun.
(http://fitrivai.wordpress.com/2007/10/23/imunisasi-lengkap-bentengi-anak-dari-penyakit-
berbahaya/)
E. HIB (Meningitis)
Imunisasi ini dapat melindungi tubuh dari virus haemophilus influenza tipe B. virus tersebut
dapat menyebabkan meningitis (peradangan selaput otak), pneumonia dan juga epiglotitis. Dalm
pemberian imunisasi dapat dilakukan pada usia 2,4,6 dan 15 bulan. Pada pemberian imunisasi ini
dapat diberikan secara terpisah atau secara kombinasi.
F. PCV (Pneomokokus)
Vaksin ini dapt melindungi tubuh dari bakteri, bakteri yang sering menyerang adalah jenis
bakteri pneomokokus yang dapat menyebabkan meningitis, infeksi telinga dan pneumonia.
Dalam pemberian vaksin ini sama halnya dengan HIB akan tetapi pada pemberian terakhir dapat
dilakukan pada usia antara 12-15 bulan. Sedangkan apabila anda baru memberikannya pada usia
anak diatas 1 tahun maka vaksin ini akan diberika 2 kali dan interval 2 bulan sedangakan apabila
diberikan pada antara usia 2-5 tahun maka akan diberikan vaksin 1 kali.
G. Influenza
Pemberian vaksin influenza dapat melindungi tubuh dari virus influenza yang sering menyerang.
Dalam pemberian vaksin ini dapat diberika 1 tahun sekali sejak usia anak anda 6 bula bahakan
bisa diteruskan hingga usia dewasa. Dan pemberian imunisasi ini diatas 2 tahun maka vaksin
diberikan dalam bentuk semprotan pada saluran pernafasan anak anda.
2. Hepatitis B
Idealnya dosis pertama imunisasi hepatitis B diberikan sedini mungkin setelah lahir (jika
memungkinkan < 12 jam), kemudian dilanjutkan dengan interval 4 minggu dari dosis pertama
dan interval imunisasi kedua dan ketiga yang dianjurkan adalah minimal 2 bulan dan terbaik
setelah 5 bulan. Apabila sang anak belum mendapatkan imunisasi hepatitis B semasa bayi, maka
imunisasi hepatitis B tersebut dapat diberikan kapan saja, sesegera mungkin, tanpa harus
memeriksakan kadar AntiHBs-nya. Kecuali jika sang ibu memiliki hepatitis B ataupun sang anak
pernah menderita penyakit kuning, maka ia dianjurkan untuk memeriksakan kadar HBsAg dan
antiHBs terlebih dahulu.
4. Polio
Ada dua macam imunisasi polio yang tersedia:
Imunisasi polio oral (OPV) dengan jadwal pemberian: saat lahir, usia 2, 4, 6, dan 18 bulan
Imunisasi polio suntik (IPV) dengan jadwal pemberian: usia 2, 4, 6, 18-24 bulan dan 6 – 8
tahun
Bila imunisasi polio terlambat diberikan, Anda tidak perlu mengulang pemberiannya dari awal
lagi. Cukup melanjutkan dan melengkapinya sesuai jadwal tidak peduli berapa pun interval
keterlambatan dari pemberian sebelumnya.
5. Campak
Imunisasi Campak sebaiknya diberikan pada usia 9 bulan dan dosis penguatan(second
opportunity pada crash program campak) pada usia 24 bulan serta saat SD kelas 1-6. Terkadang
terdapat program PIN (Pekan Imunisasi Nasional) campak yang bertujuan sebagai penguatan
(strengthening). Program ini bertujuan untuk mencakup sekitar 5% individu yang diperkirakan
tidak memberikan respons imunitas yang baik saat diimunisasi dulu.
Untuk anak yang terlambat/belum mendapat imunisasi campak, bila saat itu anak berusia 9-12
bulan, berikan kapan pun saat bertemu. Bila anak berusia > 1 tahun, berikan MMR. Jika sudah
diberi MMR usia 15 bulan, tidak perlu campak di usia 24 bulan.
6. Measles, Mumps, dan Rubella (MMR)
Imunisasi MMR diberikan pada saat anak berusia 15-18 bulan dengan jarak minimal dengan
imunisasi campak 6 bulan. Imunisasi MMR merupakan imunisasi dengan virus hidup yang
dilemahkan, sehingga harus diberikan dalam kondisi anak yang sehat dan dengan jarak minimal
1 bulan sebelum atau sesudah penyuntikan imunisasi lain.
Booster perlu diberikan saat anak berusia 6 tahun. Bila lewat 6 tahun dan belum juga
mendapatkannya, berikan imunisasi campak/MMR kapan saja saat bertemu. Pada prinsipnya,
pemberian imunisasi campak 2 kali atau MMR 2 kali.
7. Haemophillus influenzae B (HiB)
Mirip dengan DPT , Imunisasi HiB diberikan diberikan pada usia 2,4, dan 6 bulan, dan diulang
pada usia 18 bulan. Vaksin HiB juga dapat diberikan dalam bentuk vaksin kombinasi. Apabila
anak datang pada usia 1-5 tahun, HiB hanya diberikan 1 kali. Untuk anak di atas usia 5 tahun,
tidak perlu diberikan, karena penyakit ini hanya menyerang anak di bawah usia 5 tahun
8. PCV
Tidak seperti imunisasi yang lain, jadwal kejar imunisasi terhadap pneumokokus ini diberikan
tergantung usia bayi/anak Anda. Bila bayi/anak Anda terlambat mendapatkannya, maka jadwal
imunisasi pneumokokusnya adalah sebagai berikut:
9. Rotavirus
Ada dua imunisasi Rotavirus yang terdapat di Indonesia:
Rotateq diberikan 3 dosis. Pertama pada usia 6-14 minggu, pemberian ke dua 4-8 minggu
kemudian, dan dosis ke-3 maksimal pada usia 8 bulan.
Rotarix diberikan 2 dosis: dosis pertama pada usia 10 minggu, dan dosis kedua pada usia 14
minggu (maksimal pada usia 6 bulan).
Apabila bayi belum diimunisasi pada usia lebih dari 6-8 bulan, maka tidak perlu diberikan
karena belum ada studi keamanannya.
10. Influenza
Vaksin influenza diberikan dosis tergantung usia anak. Pada usia 6-35 bulan ( atau <3tahun )
dosis yang diberikan cukup separuh dosis dewasa yaitu 0,25 ml. Pada Anak > 3 tahun diberikan
0,5 ml. Pada anak berusia < 8 tahun, untuk pemberian pertama diperlukan 2 dosis dengan
interval minimal 4-6 minggu, sedangkan bila anak berusia > 8 tahun, maka dosis pertama cukup
1 dosis saja satu kali setahun dan diulang setiap tahun.
11. Varisela
Vaksin varisela diberikan pada anak > 1 tahun sebanyak 1 kali. Untuk anak berusia > 13 tahun
atau pada dewasa, diberikan 2 kali dengan interval 4-8 minggu. Apabila terlambat, berikan kapan
pun saat pasien datang, karena imunisasi ini bisa diberikan sampai dewasa.
12. Hepatitis A dan Tifoid
Imunisasi hepatitis A dan tifoid diberikan pada usia lebih dari 2 tahun. Imunisasi hepatitis A
diberikan sebanyak 2 dosis dengan interval 6-12 bulan. Imunisasi tifoid diberikan pada usia lebih
dari 2 tahun, dengan ulangan setiap 3 tahun. Vaksin tifoid merupakan polisakarida sehingga
hanya diberikan di atas 2 tahun. Kalau anak Anda terlambat mendapatkannya, maka keduanya
dapat diberikan kapan saja hingga usia dewasa.
13. Human Papilloma Virus (HPV)
Vaksin HPV diberikan sejak anak berusia 10 tahun sebelum menikah/berhubungan seksual, dan
dapat diberikan hingga anak berusia 26 tahun. Vaksin ini bertujuan untuk mencegah kanker
cervix, mengingat prevalensinya lebih tinggi daripada kanker payudara. Suntikan vaksin HPV
dilakukan sebanyak 3 kali, dengan interval pemberian 0-1-6 bulan atau 0-2-6 bulan.
Imunisasi sebaiknya telah dilengkapi pemberiannya pada masa remaja, sehingga pada saat anak
beranjak remaja akhir dan dewasa, tubuhnya telah memiliki semua perlindungan yang
diperlukannya terhadap berbagai penyakit-penyakit menular yang berisiko tinggi. Imunisasi pada
masa remaja pertengahan, misalnya imunisasi hepatitis B, polio, MMR, varisela, hepatitis A,
pneumokokus polisakarida, serta vaksin untuk remaja tertentu yang berisiko tinggi harus
diberikan jika sebelumnya belum diberikan. Demikian juga, pada masa remaja akhir, semua jenis
vaksin sudah harus dilengkapi pemberiannya. Apabila Anda tidak ingat akan status imunisasi
anak Anda dan tidak memiliki catatan imunisasinya, maka anak Anda harus dianggap belum
pernah diimunisasi dan harus memulainya kembali sesuai jadwal.
(http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/mengejar-keterlambatan-imunisasi-anak.html)
2.4 Jadwal Imunisasi
Vaksin
Umur pemberian imunisasi
Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 2 3 5 6 10 12
Program Pengembangan Imunisasi (PPI, diwajibkan)
BCG
Hepatitis B
123
Polio
012345
DTP
1 2 3 4 5 6 dT atau TT
Campak
12
Program Pengembangan Imunisasi Non PPI (non PPI, dianjurkan)
Hib
1234
MMR
12
Tifoid
Ulangan, tiap 3 tahun
Hepatitis A
diberikan 2x, interval 6-12 bulan
Varisela
Kete rangan jadwal imunisasi rekomendasi IDAI, periode 2004:
1 bulan Hepatitis B-2 • Hb-2 diberikan pada umur 1 bulan, interval HB-1 dan HB-2 adalah 1
bulan.
0-2 bulan BCG
• BCG dapat diberikan sejak lahir. Apabila BCG akan diberikan pada umur > 3 bulan sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif.
2 bulan DTP-1 • DTP-1 diberikan pada umur lebih dari 6 minggu, dapat dipergunakan DTwp
atau DTap. DTP-1 diberikan secara kombinasi dengan Hib-1 (PRP-T)
Hib-1 • Hib-1 diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan. Hib-1 dapat diberikan
secara terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-1.
Polio-1 • Polio-1 dapat diberikan bersamaan dengan DTP-1
4 bulan DTP-2 • DTP-2 (DTwp atau DTap) dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan
dengan Hib-2 (PRP-T).
Hib-2 • Hib-2 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan DTP-2
Polio-2 • Polio-2 diberikan bersamaan dengan DTP-2
6 bulan DTP-3 • DTP-3 dapat diberikan terpisah atau dikombinasikan dengan Hib-3 (PRP-T).
Hib-3 • Apabila mempergunakan Hib-OMP, Hib-3 pada umur 6 bulan tidak perlu diberikan.
Polio-3 • Polio-3 diberikan bersamaan dengan DTP-3
Hepatitis B-3 • HB-3 diberikan umur 6 bulan. Untuk mendapatkan respons imun optimal,
interval HB-2 dan HB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
9 bulan Campak-1 • Campak-1 diberikan pada umur 9 bulan, campak-2 merupakan program
BIAS pada SD kelas 1, umur 6 tahun. Apabila telah mendapatkan MMR pada umur 15 bulan,
campak-2 tidak perlu diberikan.
15-18 bulan MMR
• Apabila sampai umur 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, MMR dapat diberikan
pada umur 12 bulan.
Hib-4 • Hib-4 diberikan pada 15 bulan (PRP-T atau PRP-OMP).
18 bulan DTP-4 • DTP-4 (DTwp atau DTap) diberikan 1 tahun setelah DTP-3.
Polio-4 • Polio-4 diberikan bersamaan dengan DTP-4.
2 tahun Hepatitis A • Vaksin HepA direkomendasikan pada umur > 2 tahun, diberikan dua kali
dengan interval 6-12 bulan.
2-3 tahun Tifoid • Vaksin tifoid polisakarida injeksi direkomendasikan untuk umur > 2 tahun.
Imunisasi tifoid polisakarida injeksi perlu diulang setiap 3 tahun.
5 tahun DTP-5 • DTP-5 diberikan pada umur 5 tahun (DTwp/DT ap)
Polio-5 • Polio-5 diberikan bersamaan dengan DTP-5.
6 tahun. MMR
• Diberikan untuk catch-up immunization pada a nak yang belum mendapatkan MMR-1.
10 tahun dT/TT • Menjelang pubertas, vaksin tetanus ke-5 (dT a tau TT) diberikan untuk
mendapatkan imunitas selama 25 tahun.
Varisela • Vaksin varisela diberikan pada umur 10 tahun.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Jadwal_imunisasi)
2. Pengelolaan Vaksin
a. Penerimaan /pengambilan vaksin (transportasi)
1) Pengambilan vaksin dari Puskesmas ke kabupaten/kota dengan menggunakan peralatan rantai
vaksin yang sudah ditentukan. Misalnya: cold box atau vaccine carrier.
2) Jenis peralatan pembawa vaksin disesuaikan dengan jumlah vaksin yang akan diambil.
3) Sebelum memasukkan vaksin ke dalam alat pembawa, periksa indikator vaksin (VVM).
Vaksin yang boleh digunakan hanya bila indikator VVM tingkat A atau B. Sedangkan bila VVM
pada tingkat C atau D tidak usah diterima karena tidak dapat digunakan lagi.
4) Masukkan kotak cair dingin (cool pack) ke dalam alat pembawa dan di bagian tengah
diletakkan thermometer Muller, untuk jarak jauh bila freeze tag/watch tersedia dapat dimasukkan
ke dalam alat pembawa.
5) Alat pembawa vaksin yang sudah berisi vaksin, selama perjalanan dari kabupaten/kota ke
puskesmas tidak boleh kena sinar matahari langsung.
6) Catat dalam buku stok vaksin : tanggal menerima vaksin, jumlah, nomor batch dan tanggal
kadaluarsa.
b. Penyimpanan Vaksin
1) Vaksin disimpan pada suhu +2ºC − +8ºC.
2) Bagian bawah lemari es diletakkan kotak dingin cair (cool pack) sebagai penahan dingin dan
kestabilan suhu
3) Vaksin TT diletakkan lebih jauh dari evaporator.
4) Beri jarak antara kotak vaksin minimal 1-2 cm atau satu jari tangan agar terjadi sirkulasi udara
yang baik.
5) Letakkan 1 buah thermometer Muller di bagian tengah lemari es. Penyimpanan vaksin harus
dicatat 2 kali sehari pada grafik suhu yaitu saat datang pagi hari dan menjelang pulang siang/sore
hari.
c. Pemantauan Suhu
Tujuan pemantauan adalah untuk mengetahui suhu vaksin selama pendistribusian dan
penyimpanan, apakah vaksin pernah terpapar/terkena panas yang berlebih atau suhu yang terlalu
dingin (beku). Sehingga petugas mengetahui kondisi vaksin yang digunakan dalam keadaan baik
atau tidak. Adapun alat pemantau suhu vaksin antara lain :
1) VVM (Vaccine Vial Monitor )
2) Setiap lemari es dipantau dengan 1 buah thermometer Dial/Muller
3) Sebuah freeze tag atau freeze watch
4) Sebuah buku grafik pencatatan suhu.
Secara umum vaksin terdiri dari vaksin hidup dan vaksin mati (inaktif) yang mempunyai
ketahanan dan stabilitas yang berbeda terhadap perbedaan suhu. Untuk menghindari hal hal yang
tidak diinginkan , dibutuhkan pemahaman mengenai ketahanan vaksin terhadap perbedaan suhu
dan pemahaman rantai vaksin (cold-chain). Selain itu perlu pula mengenali kondisi vaksin yang
sudah tidak dapat dipergunakan lagi antara lain dari tanggal kadaluarsa, warna cairan,
kejernihan, endapan, warna vaccine vial monitor (VVM), kerusakan label, dan sisa vaksin yang
sudah dilarutkan.
Rantai vaksin adalah rangkaian proses penyimpanan dan transportasi vaksin dengan
menggunakan berbagai peralatan sesuai prosedur untuk menjamin kualitas vaksin sejak dari
pabrik sampai diberikan pada pasien. Rantai vaksin terdiri dari proses penyimpanan vaksin di
kamar dingin atau kamar beku, di lemari pendingin, di dalam alat pembawa vaksin, pentingnya
alat alat untuk mengukur dan mempertahankan vaksin.
Pemilihan Vaksin
Vaksin yang harus segera digunakan adalah vaksin yang belum dibuka tetapi telah dibawa ke
lapangan, sisa vaksin yang telah dibuka(digunakan), vaksin dengan VVM B, vaksin dengan
tanggal kadaluarsa sudah dekat, vaksin yang sudah lama tersimpan dikeluarkan segera.
Perubahan Fisik: Pada beberapa vaksin apabila rusak akan terlihat perubahan fisik. Pada
vaksin DPT misalnya akan terlihat gumpalan antigen yang tidak bisa larut lagi walaupun dikocok
sekuat-kuatnya. Vaksin lain tidak akan berubah penampilan fisik walaupun potensinya sudah
hilang / berkurang. Vaksin yang sudah dilarutkan lebih cepat rusak. Dengan demikian kita harus
yakin betul bahwa cara penyimpanan yang kita lakukan sudah benar dan menjamin potensi
vaksin tidak akan berubah.
Sinar matahari dan sinar ultraviolet : Semua vaksin akan rusak jika terkena sinar matahari
langsung serta sinar ultra violet. Vaksin yang tidak habis pada pelayanan statis, seperti di
Puskesmas, rumah sakit, atau pada praktek swasta, dapat dipergunakan lagi pada pelayanan hari
berikutnya, dengan beberapa syarat, antara lain vaksin belum kadaluarsa, vaksin disimpan dalam
suhu 2 o C – 8o C, tidak pernah terendam air, sterilitasnya terjaga, serta VVM masih dalam
kondisi A atau B.
(http://aldosugiharto.blogspot.com/2012/04/penyimpanan-dan-transportasi-vaksin.html)
2. Etiologi
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada
hubungannya dengan imunisasi. KN PP KIPI membagi penyebab KIPI menjadi 5 kelompok
faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pasicif (1999), yaitu :
a. Kesalahan program atau tehnik pelaksanaan (programic errors)
Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya :
• Dosis antigen (terlalu banyak)
• Lokasi dan cara menyuntik
• Sterilisasi semprit dan jarum suntik
• Jarum bekas pakai
• Tindakan aseptik dan antiseptik
• Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik
• Penyimpana vaksin
• Pemakaian sisa vaksin
• Jenis dan jumlah pelarut vaksin
• Tidak memperhatikan petunjuk prosedur
b. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntuk baik langsung maupun tidak
langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit,
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
Tidak tercatat
Polio hidup
(OPV) Polio paralisis
Polio paralisis pada resipien
Imunokompromais
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 30 hari
6 bulan
Hepatitis B Syok anafilaksis
Komplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian 4 jam
Tidak tercatat
BCG BCG-itis 4-6 minggu
Reaksi KIPI berat terjadi bila ditemukan gangguan fungsi system syaraf pusat seperti ensefalitis
dan ensefalopati pasca imunisasi. Landringan dan wittle memperkirakan resiko terjadinya kedua
efek samping tersebut selama 30 hari sesudah iuinisasi sebanyak 1 diantara 1 miliar dosis vaksin.
1. Rekomendasi untuk imunisasi BCG:
a. Imunisasi BCG diberikan pada saat bayi berusia kurang dari 2 bulan
b. Pada bayi yang kontak erat dengan penderita, dan melalui pemeriksaan sputum didapati BTA
(+3) maka sebaiknya diberikan INH Profilaksi terlebih dahulu, dan jika kontak sudah tenang
dapat diberi BCG.
c. Jangan melakukan imunisasi BCG pada bayi atau anak dengan imunodeffisiensi misalnya
HIV, gizi buruk,dll
2. Rekomendasi Untuk imunisasi Hepatitis :
Tanggap kebal yang rendah pasca imunisasi dapt disebabkan hal-hal seperti berikut :
a. Usia tua
b. Pemberian vaksinasi didaerah bokong
c. Pada anak yang gemuk
d. Pasien hemodialis / transplantasi
e. Pasien yang mendapat obat-obatan Imunosuperesif.
f. Pasien leukemia dan penyakit keganasan lain
g. Pasien DM dengan insulin dependent
h. Infeksi HIV
i. Pecandu Alkohol
Pada keadaan diatas, imunisasi perlu diulangi dengan meningkatkan dosis 2 kali setelah
melakukan koreksi seperlunya terhadap penyakit dasar.
3. Rekomendasi untuk imunisasi polio
a. Berikan imunisasi primer untuk bayi dan anak
b. Vaksin polio oral diberkan pada BBL sebagai dosis awal, sesuia dengan PPJ dan program
erabikasi polio (ERAPO) tahun 2000. Kemudian diteruskan denga imunisasi dasar mulai umur 1-
3 bulan yang diberikan 3 dosis terpisah berturut-turut dengan interval waktu 6-8 minggu. 1 dosis
sebanyak 2 tetes (0,1 ml) diberkan per oral pada umur 2-3 bulan, yang pemberiannya dapat
diberikan bersamman dengan suntikan vaksin DPT dan Hepatitis B. bila OPV yang diberikan
dimuntahkan dalam wkt 10 menit maka dosis tersebut perlu di ulan.
c. Pemberian ASI tidak berpengaruh pada respon antibody terhadap OPV dan imunisasi tidak
boleh ditunda karena hal ini. Anak-anak denangan imunosuperesi dan mereka yang kontak
ddengan penderita harus di imunisasi.
d. Anak yang mendapat imunisasi OPV dapat memberikan eskresi virus vaksin selama 6 minggu
dan akan melakukan infeksi pada kontak yang di imunisasi. Untuk mereka yang berhubungan
(kontak) dengan bayi yang baru saja di beri OPV, dihimbau untuk menjaga kebersihan dengan
mencuci tangan setelah mengganti popok.
4. Vaksinasi terhadap orangtua yang anaknya di imunisasi
Anggota keluarga yang belum pernah divaksin atau belum lengkap vaksinnya dan mendapat
kontak dengan anak yang mendapat vaksin OPV, harus ditawarkan vaksin dasar OPV pada
waktu yang bersamaan dengan anak tersebut. Dalam hal ini tidak boleh diberikan IPV,
mengingat resiko infeksi yang didapat dari anak terjadi sebelum imunisasi terbentuk sebagai
respon imun terhadap IPV. Kepada orang dewasa yang telah mendapat imunisasi sebelumnya
tidak diperlikan iminisasi penguat (booster). Interval minimal antara 2 dosis vaksinasi dapat
diperpanjang dan diselesaikan tanpa mengulang kembali.
6. Rekomendasi umum
Dibawah ini adalah pedoman umum untuk dan harus disesuaikan dengan kebijakan nasional
yang ada.
a. Beri vaksinasi bayi terhadap TBC (jika prefalensi tinggi), poliomyelitis dan hepatitis B
b. Berikann imunisasi sesuai pedoman sesuai berikut, tanpa memandang apakah bayi:
• Kecil (berat lahir <2500 gr atau umur kehamilan < 37 minggu) berikan imunisasi pada usia
seperti biasa (guna usia kronologi dan bukan usia koreksi) dan jangan mengurangi dosis
vakasinasi
• Telah dirawat dalam jangka waktu yang lama. Jika bayi masih dirumah sakit pad usia 60 hari,
lengakapi 1 rangkaian imunisasi ( dijelakan dibawah) dan juga diberikan DPT 0,5 ml IM pada
paha diatas bagian atas, pada saat bayi dipulangkan dari rumah sakit
• Mempunyai kondisi neurologi yang stbil secara klinik (missal trauma otak)
• Di lahirakan dari HIV positif
• Mendapat terapi antibiotik mengalami ikterus
c. Pastikan memakai spuit dan jarum yang baru dan steril untuk imunisasi bagi setiap bayi.
(Rulihari Sri.2014.imunisasi pada bayi.hal: 96-100)
Berikut ini, kondisi yang membuat bayi tidak boleh menerima imunisasi:
Bayi yang sedang menjalani perawatan penyakit kanker dalam 6 bulan terakhir.
Bayi yang baru menjalani operasi transplantasi organ tubuh.
Bayi yang baru menjalani transplantasi sumsum tulang.
d. Vaksin membuat anak sehat menjadi sakit
Anggapan ini muncul karena bayi mengalami berbagai reaksi pascaimunisasi. Demam, merah-
merah, bengkak, dan gatal di area sekitar suntikan merupakan reaksi wajar setelah injeksi vaksin.
Demam merupakan reaksi paling umum yang muncul pascaimunisasi. Kondisi ini bisa diatasi
dengan memberikan obat penurun panas dan kompres. Tenang, gejala ini akan hilang dalam satu
dua hari.
h.
Dalam hal ini, vaksin tetap harus diberikan pada semua anak dengan dasar manfaat yang
diberikannya lebih banyak ketimbang kerugian yang masih bersifat rumor. Kontroversi seputar
penggunaan thimerosal dan pemberian vaksin MMR mendorong para ahli melakukan penelitian
lebih dalam agar didapatkan informasi yang benar tentang masalah ini.
(http://lifestyle.okezone.com/read/2014/06/21/483/1002139/mitos-fakta-seputar-imunisasi-1)
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Imunisasi merupakan cara atau transfer antibodi secara pasif. Imunisasi berfungsi untuk
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen.
Tujuan imunisasi adalah mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi).
Jenis-Jenis Imunisasi adalah Imunisasi Dasar (meliputi : BCG, DPT, Polio, Campak dan
Hepatitis B) ; Imunisasi Booster (Revaksinasi) ; Imunisasi yang tidak diwajibkan tapi dianjurkan
(MMR, Typhoid, Hib [meningitis], Hepatitis A dan Varicella [cacar air])
3.2 Saran
Bidan sebagai salah seorang anggota profesi kesehatan memiliki tugas penting dalam konseling
dan pendidikan kesehatan, salah satunya adalah mengenai imunisasi pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
Maryunani, Anik. 2010. Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan. Jakarta. Trans Info Media
Wahyuni, Sari. 2011.Asuhan Neonatus, Bayi & Balita. Jakarta. Penerbit buku kedokteran EGC
Sulistyawati, Ari, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta : Salemba Medika
Nanny, Lia Dewi Vivian, dkk. 2010. Asuhan Neonatus Bayi Dan Anak Balita. Jakarta : Salemba
Medika
Marmi, dkk. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar
Maryunani, Auiu, dkk. 2008. Asuhan Bayi Baru Lahir Normal (Asuahan Neonatal). Jakarta :
Trans Info Medika
Kristiyanasari, Weni.2010. Asuhan Keperawatan Neonatus dan Anak. Yogyakarta : Nusa
Medika
Muslihatun, Wafi Nur.2010.Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta: Fitramaya
Rulihari, Sri.2014.Imunisasi Pada Bayi.Surabaya : LP2i Press
http://lifestyle.okezone.com/read/2014/06/21/483/1002139/mitos-fakta-seputar-imunisasi-1
http://www.indonesian-publichealth.com/2012/09/penyebab-kerusakan-vaksin.html
http://nursepuspa.blogspot.com/2013/05/penyimpanan-vaccine-yang-benar.html