14 Pura Puncak
Pura Puncak Penulisan adalah pura yang bercorak asli Bali age
atau Bali mula. Hal tersebut karena bentuknya tidak seperti pura
Bali umumnya sebagai hasil akulturasi dengan kebudayaan Jawa
yang memiliki sanggaran, meru dan gedong. Oleh karena itulah,
Pura Puncak Penulisan dinyatakan sebagai “asli” Bali. Usia pura ini
bahkan belum dapat ditelusuri secara pasti sehingga memang
sangat bernilai bagi budaya, agama, dan sejarah Bali. Pada zaman
dahulu pura ini digunakan untuk bersemedi para raja di sekitarnya
sekaligus sebagai representasi sebuah kehidupan yang teguh (tegeh kauripan).
15 Prasasti Panglapuan
17 Pura Besakih
Pura Besakih adalah sebuah
komplek pura yang terletak di Desa
Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten
Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek
Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat
(Pura Penataran Agung Besakih) dan 18
Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17
Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal
inilah pertama kalinya tempat diterimanya
wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya,
cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat
kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks
Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan
pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek
Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan Tri
Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta,
Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs
Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.
18 Candi Gunung Kawi peninggalan Anak Wungsu
Anak Wungsu adalah raja Bali yang memerintah sekitar
tahun 1049-1077 M dengan pusat pemerintahan di Tampak
Siring. Ia merupakan adik termuda Airlangga, yang
kemudian menggantikannya sebagai
penguasa Bali dan Jawa. Daerah kekuasaan Anak Wungsu
terbentang dari utara ke selatan. Kerajaan berada dalam
keadaan aman dan tentram.
19 Candi Wasan
Candi Wasan tidak terlepas dari peranan seorang tokoh peneliti Belanda
J.C. Krishman yang pertama mengunjungi situs Wasan pada tahun
1950. Ketika itu hanya ditemukan gundukan tanah dan sejumlah arca
kuno yang berserakan. Namun oleh masyarakat pengemong pura, lokasi
itu masih dimanfaatkannya untuk pemujaan dengan mendirikan
bangunan sederhana di atasnya. Baru setelah beberapa tahun
kemudian Balai Arkeologi Denpasar mengadakan observasi ke lokasi
tersebut dan menemukan sejumlah peninggalan arca yang diperkirakan
berasal dari abad XIV.
14 Candi Ceto
Candi Ceto (hanacaraka: ꦕꦼꦛ, ejaan bahasa
Jawa latin: cethå) merupakan candi bercorak agama
Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir
era Majapahit (abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di
lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas
permukaan laut[1], dan secara administratif berada di Dusun
Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar.
Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga
peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan.
Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli
Jawa/Kejawen.
15 Candi Pari
Candi Pari adalah sebuah peninggalan Masa Klasik
Indonesia di Desa Candi
Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa
Timur. Lokasi tersebut berada sekitar 2 km ke arah barat laut
pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas saat ini. Candi
ini berada Candi ini merupakan suatu bangunan persegi
empat dari batu bata, menghadap ke barat dengan ambang
serta tutup gerbang dari batu andesit.
Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun
1293 Saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan
zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam
Wuruk 1350-1389 M.
16 Candi Jabung
Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan
kerajaan Majapahit. Candi hindu ini terletak di Desa Jabung,
Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini
mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan,
Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung
di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam
kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh
Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur
pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut
Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah
seorang keluarga raja.[1]
Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi
Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.
17 Gapura Bajang Ratu
Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan
nama Candi Bajang Ratu adalah
sebuah gapura / candi peninggalan Majapahit yang
berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini
diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah
satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit.
Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan
PurbakalaMojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai
pintu masuk bagi bangunan suci untuk
memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang
dalam Negarakertagama disebut "kembali ke
dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M).
Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai
pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap
gapura yang melambangkan penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan
sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu
belakang.
18 Candi Tikus
19 Candi Brahu