Anda di halaman 1dari 6

13 Prasasti Blanjong

Prasasti Blanjong (atau Belanjong) adalah sebuah prasasti yang memuat


sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali. Pada prasasti ini disebutkan
kata Walidwipa, yang merupakan sebutan untuk Pulau Bali. Prasasti ini
bertarikh 835 çaka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang raja Bali yang
bernama Sri Kesari Warmadewa.
Prasasti Blanjong ditemukan di dekat banjar Blanjong, desa Sanur Kauh, di
daerah Sanur, Denpasar, Bali. Bentuknya berupa pilar batu setinggi 177 cm,
dan bergaris tengah 62 cm. Prasasti ini unik karena bertuliskan dua macam
huruf; yaitu huruf Pra-Nagari dengan menggunakan bahasa Bali Kuno, dan
huruf Kawi dengan menggunakan bahasa Sanskerta.
Situs prasasti ini termasuk dalam lingkungan pura kecil, yang melingkupi
pula tempat pemujaan dan beberapa arca kuno.

14 Pura Puncak
Pura Puncak Penulisan adalah pura yang bercorak asli Bali age
atau Bali mula. Hal tersebut karena bentuknya tidak seperti pura
Bali umumnya sebagai hasil akulturasi dengan kebudayaan Jawa
yang memiliki sanggaran, meru dan gedong. Oleh karena itulah,
Pura Puncak Penulisan dinyatakan sebagai “asli” Bali. Usia pura ini
bahkan belum dapat ditelusuri secara pasti sehingga memang
sangat bernilai bagi budaya, agama, dan sejarah Bali. Pada zaman
dahulu pura ini digunakan untuk bersemedi para raja di sekitarnya
sekaligus sebagai representasi sebuah kehidupan yang teguh (tegeh kauripan).

15 Prasasti Panglapuan

Di antara raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan


keterangan tertulis yang juga menyinggung gambaran
tentang susunan pemerintahan pada masa itu
adalah Udayana, Jayapangus , Jayasakti, dan Anak
Wungsu. Dalam mengendalikan pemerintahan, raja
dibantu oleh suatu Badan Penasihat Pusat. Dalam
prasasti tertua 882-914, badan ini disebut dengan
istilah "panglapuan". Sejak zaman Udayana, Badan
Penasihat Pusat disebut dengan istilah "pakiran-kiran
i jro makabaihan". Badan ini beranggotakan beberapa
orang senapati dan pendeta Siwa dan Budha.
16 Candi Gunung Kawi 
Candi Gunung Kawi atau Candi Tebing Kawi adalah
situs purbakala yang dilindungi di Bali. Terletak di
Sungai Pakerisan, Dusun Penaka, Desa
Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring,
Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, Indonesia.
[1]:180
 Candi ini sangat unik karena biasanya candi
berupa batuan utuh yang terbuat dari bata
merah atau batu gunung, namun candi ini tidak
seperti itu melainkan pahatan di dinding tebing batu
padas ditepi sungai. Nama Gunung Kawi itu sendiri
konon berasal dari kata Gunung dan Kawi. Gunung
berarti Gunung atau Pegunungan dan Kawi Berarti Pahatan Jadi Candi Gunung Kawi berarti Candi yang
dipahat di atas gunung. Candi ini terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Denpasar dengan perjalanan
sekitar 1 jam menggunakan mobil atau motor.

17 Pura Besakih
Pura Besakih adalah sebuah
komplek pura yang terletak di Desa
Besakih, Kecamatan Rendang Kabupaten
Karangasem, Bali, Indonesia. Komplek
Pura Besakih terdiri dari 1 Pura Pusat
(Pura Penataran Agung Besakih) dan 18
Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17
Pura Lainnya). Di Pura Basukian, di areal
inilah pertama kalinya tempat diterimanya
wahyu Tuhan oleh Hyang Rsi Markendya,
cikal bakal Agama Hindu Dharma sekarang di Bali, sebagai pusatnya. Pura Besakih merupakan pusat
kegiatan dari seluruh Pura yang ada di Bali. Di antara semua pura-pura yang termasuk dalam kompleks
Pura Besakih, Pura Penataran Agung adalah pura yang terbesar, terbanyak bangunan-bangunan
pelinggihnya, terbanyak jenis upakaranya dan merupakan pusat dan semua pura yang ada di komplek
Pura Besakih. Di Pura Penataran Agung terdapat 3 arca atau candi utama simbol stana dari sifat Tuhan  Tri
Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang merupakan perlambang Dewa Pencipta,
Dewa Pemelihara dan Dewa Pelebur/Reinkarnasi. Pura Besakih masuk dalam daftar pengusulan Situs
Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1995.
18 Candi Gunung Kawi peninggalan Anak Wungsu
Anak Wungsu adalah raja Bali yang memerintah sekitar
tahun 1049-1077 M dengan pusat pemerintahan di Tampak
Siring. Ia merupakan adik termuda Airlangga, yang
kemudian menggantikannya sebagai
penguasa Bali dan Jawa. Daerah kekuasaan Anak Wungsu
terbentang dari utara ke selatan. Kerajaan berada dalam
keadaan aman dan tentram.

Anak Wungsu tidak memiliki keturunan. Permaisurinya


dikenal dengan nama Batari Mandul. Pemerintahan Anak
Wungsu meninggalkan 28 prasasti singkat, antara lain
ditemukan di Goa Gajah, Gunung Kawi (Tampak Siring),
Gunung Panulisan dan Sangit.

19 Candi Wasan
Candi Wasan tidak terlepas dari peranan seorang tokoh peneliti Belanda
J.C. Krishman yang pertama mengunjungi situs Wasan pada tahun
1950. Ketika itu hanya ditemukan gundukan tanah dan sejumlah arca
kuno yang berserakan. Namun oleh masyarakat pengemong pura, lokasi
itu masih dimanfaatkannya untuk pemujaan dengan mendirikan
bangunan sederhana di atasnya. Baru setelah beberapa tahun
kemudian Balai Arkeologi Denpasar mengadakan observasi ke lokasi
tersebut dan menemukan sejumlah peninggalan arca yang diperkirakan
berasal dari abad XIV.

20 Gapura Wringin Lawang

Gapura Wringin Lawang adalah


sebuah gapura peninggalan kerajaan Majapahit abad
ke-14 yang berada di Jatipasar, Kecamatan
Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur, Indonesia. Bangunan ini terletak tak jauh
ke selatan dari jalan utama di Jatipasar.
Dalam bahasa Jawa, Wringin Lawang berarti 'Pintu
Beringin'.
13 Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah sebuah kompleks candi
agama Hindu yang secara administrasi terletak di wilayah
Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten
Karanganyar,Jawa Tengah. Candi ini dianggap kontroversial
karena bentuknya yang kurang lazim dan karena
penggambaran alat-alat kelamin manusia secara eksplisit pada
beberapa figurnya.
Candi Sukuh telah diusulkan ke UNESCO untuk menjadi salah
satu Situs Warisan Dunia sejak tahun 1995.

14 Candi Ceto
Candi Ceto (hanacaraka: ꦕꦼꦛ, ejaan bahasa
Jawa latin: cethå) merupakan candi bercorak agama
Hindu yang diduga kuat dibangun pada masa-masa akhir
era Majapahit (abad ke-15 Masehi). Lokasi candi berada di
lereng Gunung Lawu pada ketinggian 1496 m di atas
permukaan laut[1], dan secara administratif berada di Dusun
Ceto, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten
Karanganyar.
Kompleks candi digunakan oleh penduduk setempat dan juga
peziarah yang beragama Hindu sebagai tempat pemujaan.
Candi ini juga merupakan tempat pertapaan bagi kalangan penganut kepercayaan asli
Jawa/Kejawen.

15 Candi Pari
Candi Pari adalah sebuah peninggalan Masa Klasik
Indonesia di Desa Candi
Pari, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa
Timur. Lokasi tersebut berada sekitar 2 km ke arah barat laut
pusat semburan lumpur PT Lapindo Brantas saat ini. Candi
ini berada Candi ini merupakan suatu bangunan persegi
empat dari batu bata, menghadap ke barat dengan ambang
serta tutup gerbang dari batu andesit.
Dahulu, di atas gerbang ada batu dengan angka tahun
1293 Saka = 1371 Masehi. Merupakan peninggalan
zaman Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam
Wuruk 1350-1389 M.

16 Candi Jabung
Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan
kerajaan Majapahit. Candi hindu ini terletak di Desa Jabung,
Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur.
Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini
mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan,
Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung
di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam
kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh
Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur
pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut
Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah
seorang keluarga raja.[1]
Arsitektur bangunan candi ini hampir serupa dengan Candi
Bahal yang ada di Bahal, Sumatera Utara.
17 Gapura Bajang Ratu 
Gapura Bajang Ratu atau juga dikenal dengan
nama Candi Bajang Ratu adalah
sebuah gapura / candi peninggalan Majapahit yang
berada di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten
Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Bangunan ini
diperkirakan dibangun pada abad ke-14 dan adalah salah
satu gapura besar pada zaman keemasan Majapahit.
Menurut catatan Badan Pelestarian Peninggalan
PurbakalaMojokerto, candi / gapura ini berfungsi sebagai
pintu masuk bagi bangunan suci untuk
memperingati wafatnya Raja Jayanegara yang
dalam Negarakertagama disebut "kembali ke
dunia Wisnu" tahun 1250 Saka (sekitar tahun 1328 M).
Namun sebenarnya sebelum wafatnya Jayanegara candi ini dipergunakan sebagai
pintu belakang kerajaan. Dugaan ini didukung adanya relief "Sri Tanjung" dan sayap
gapura yang melambangkan penglepasan dan sampai sekarang di daerah Trowulan
sudah menjadi suatu kebudayaan jika melayat orang meninggal diharuskan lewat pintu
belakang.

18 Candi Tikus

Candi ini terletak di kompleks Trowulan, sekitar 13


km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Dari jalan
raya Mojokerto-Jombang, di perempatan Trowulan,
membelok ke timur, melewati Kolam
Segaran dan Candi Bajangratuyang terletak di
sebelah kiri jalan. Candi Tikus juga terletak di sisi kiri
jalan, sekitar 600 m dari Candi Bajangratu.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam
tanah ditemukan kembali pada tahun 1914.
Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo
Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat.
Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985.
Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon,
pada saat ditemukan, tempat candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang
kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun. Akan tetapi dengan adanya
miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 sampai ke-14 M,
karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu.

19 Candi Brahu 

Candi Brahu merupakan salah satu candi yang


terletak di dalam kawasan situs arkeologi Trowulan,
bekas ibu kota Majapahit. Tepatnya, candi ini
berada di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong,
Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa
Timur, atau sekitar dua kilometer ke arah utara dari
jalan raya Mojokerto—Jombang.
20 Candi Surawana

Candi Surawana (Surowono) adalah candi Hindu yang terletak di Desa


Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota
Kediri. Candi yang nama sesungguhnya adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan
dibangun pada abad 14 untuk memuliakan Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan
Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini
mangkat pada tahun 1388 M. Dalam Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun
1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah berkunjung bahkan menginap di Candi
Surawana.[1]Candi Surawana saat ini keadaannya sudah tidak utuh. Hanya bagian
dasar yang telah direkonstruksi.

Anda mungkin juga menyukai