Anda di halaman 1dari 5

Ki Mangunsarkoro atau Sarmidi Mangunsarkoro

Ki Mangunsarkoro atau Sarmidi Mangunsarkoro (lahir 23 Mei 1904 – meninggal


8 Juni 1957 pada umur 53 tahun) adalah pejuang di bidang pendidikan nasional, ia
dipercaya menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia pada tahun
1949 hingga tahun 1950. Ki Sarmidi Mangunsarkoro lahir 23 Mei 1904 di
Surakarta. Ia dibesarkan di lingkungan keluarga pegawai Keraton Surakarta.
Pengabdian Ki Sarmidi Mangunsarkoro kepada masyarakat, diawali setelah ia
lulus dari Sekolah Guru "Arjuna" Jakarta langsung diangkat menjadi guru HIS
Tamansiswa Yogyakarta. Kemudian pada Th 1929 Ki Sarmidi Mangunsarkoro
diangkat menjadi Kepala Sekolah HIS Budi Utomo Jakarta. Satu tahun kemudian,
atas permintaan penduduk Kemayoran dan restu Ki Hadjar Dewantara, ia
mendirikan Perguruan Tamansiswa di Jakarta. Perguruan Tamansiswa di Jakarta
itu sebenarnya merupakan penggabungan antara HIS Budi Utomo dan HIS
Marsudi Rukun yang dua-duanya dipimpin oleh Ki Sarmidi Mangunsarkoro, dan
dalam perkembangannya Perguruan Tamansiswa Cabang Jakarta mengalami
kemajuan yang pesat hingga sekarang.
Pada waktu Kabinet Hatta II berkuasa pada Agustus 1949 sampai dengan
Januari 1950, Ki Sarmidi Mangunsarkoro mendapat kepercayaan menjadi Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) RI. Sewaktu menjabat
Menteri PP dan K, ia mendirikan dan meresmikan berdirinya Akademi Seni Rupa
Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, mendirikan Konservatori Karawitan di
Surakarta, dan ikut membidani lahirnya Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta. Kepercayaan Pemerintah terhadap reputasi dan dedikasinya kepada
Negara, membawa Ki Sarmidi Mangunsarkoro kembali dipercaya menjadi
Menteri PP dan K RI pada masa Kabinet Halim sejak Januari 1950 sampai
September 1950, dan ia berhasil menyusun dan memperjuangkan di parlemen
Undang Undang No 4/1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di
Sekolah untuk seluruh Indonesia. UU No 4/1950 itu disahkan dan sekaligus
menjadi Undang Undang Pendidikan Nasional pertama.

1
Dr. Johannes Leimena

Dr. Johannes Leimena adalah salah satu pahlawan Indonesia yang berasal
dari Ambon, Maluku. Ia merupakan tokoh politik yang paling sering menjabat
sebagai menteri kabinet Indonesia dan satu-satunya Menteri Indonesia yang
menjabat sebagai Menteri selama 21 tahun berturut-turut tanpa terputus. Leimena
masuk ke dalam 18 kabinet yang berbeda, sejak Kabinet Sjahrir II (1946) sampai
Kabinet Dwikora II (1966), baik sebagai Menteri Kesehatan, Wakil Perdana
Menteri, Wakil Menteri Pertama maupun Menteri Sosial. Selain itu Leimena juga
menyandang pangkat Laksamana Madya (Tituler) di TNI-AL ketika ia menjadi
anggota dari KOTI (Komando Operasi Tertinggi) dalam rangka Trikora.

Riwayat hidup
Johannes Leimena dilahirkan di Ambon, Maluku pada 6 Maret 1905. Ia
adalah anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Dominggus Leimena
yang merupakan seorang guru dan Elizabeth Sulilatu. Ia keturunan keluarga besar
Leimena dari Desa Ema di Pulau Ambon dan dikenal dengan nama panggilan
"Oom Jo". Pada usia lima tahun Johannes telah menjadi yatim. Kemudian ibunya
menikah lagi, dan ia diasuh oleh pamannya.
Johannes kecil awalnya bersekolah di "Ambonsche Burgerschool" di
Ambon karena paman yang mengasuhnya menjadi kepala sekolah di sana.
Kemudian pamannya dipindahkan ke Cimahi. Keberangkatannya ke Cimahi
merupakan titik balik dan kisah tersendiri bagi Johannes. Sebenarnya ibunya
bersikeras tidak mengizinkan Johannes pergi, namun ia nekat menyelinap ke kapal
dan baru menampakan diri saat kapal hendak bertolak. Tindakan nekatnya itu
membuat ibunya pasrah dan berpesan agar pamannya mau menjadi pelindung
baginya. Didikan pamannya yang penuh disiplin berhasil menempa Johannes dan
menjadikannya murid yang berprestasi.
Pada tahun 1914, Johannes hijrah ke Batavia bersama pamannya. Di
Batavia, Johannes melanjutkan studinya di "Europeesch Lagere School" (ELS),
namun studinya hanya beberapa bulan saja, lalu ia pindah ke sekolah menengah

2
Paul Krugerschool (sekolah untuk anak asli orang Belanda, kini PSKD Kwitang),
dan tamat tahun 1919. Setelah menyelesaikan sekolah dasarnya, Johannes
memilih sekolah campuran dari berbagai golongan, yaitu MULO (Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs) dan tamat tahun 1922.
Setelah menyelesaikan studinya, Johannes yang mencoba mencari
pekerjaan menemui kesulitan karena kursus-kursus yang dia masuki hanya
dikhususkan untuk anak Indo-Belanda. Oleh sebab itu, Johannes menempuh
pendidikan tinggi di sekolah kedokteran "STOVIA" (School Tot Opleiding Van
Indische Artsen- cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia) pada
tahun 1930. Johannes mulai bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930.

Karir dan Organisasi


Keprihatinan Leimena atas kurangnya kepedulian sosial umat Kristen
terhadap nasib bangsa, merupakan hal utama yang mendorong niatnya untuk aktif
pada "Gerakan Oikumene". Pada tahun 1926, Leimena ditugaskan untuk
mempersiapkan Konferensi Pemuda Kristen di Bandung. Konferensi ini adalah
perwujudan pertama Organisasi Oikumene di kalangan pemuda Kristen. Setelah
lulus studi kedokteran STOVIA, Leimena terus mengikuti perkembangan CSV
yang didirikannya saat ia duduk pada tahun ke 4 di bangku kuliah. CSV
merupakan cikal bakal berdirinya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia)
tahun 1950.
Dengan keaktifannya di Jong Ambon, ia ikut mempersiapkan Kongres
Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang menghasilkan Sumpah Pemuda.
Perhatian Leimena pada pergerakan nasional kebangsaan semakin berkembang
sejak saat itu. Setelah menempuh pendidikan kedokterannya di STOVIA Surabaya
(1930), ia melanjutkan pendidikan di Geneeskunde Hogeschool (GHS - Sekolah
Tinggi Kedokteran) di Jakarta yang diselesaikannya pada tahun 1939. Ia juga
dikenal sebagai salah satu pendiri Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
Leimena mulai bekerja sebagai dokter sejak tahun 1930. Pertama kali diangkat
sebagai dokter pemerintah di "CBZ Batavia" (kini RS Cipto Mangunkusumo).
Tak lama ia dipindahtugaskan di Karesidenan Kedu saat Gunung Merapi meletus.

3
Setelah itu dipindahkan ke Rumah Sakit Zending Immanuel Bandung. Di rumah
sakit inilah, saat bertugas dari tahun 1931 sampai 1941, ia bertemu dengan gadis
pujaan hatinya yang kemudian menjadi istrinya (Wijarsih Prawiradilaga). Ia
adalah putri seorang widana yang kala itu menjadi kepala asrama putri. Mereka
menikah di Gereja Pasundan pada tanggal 19 Agustus 1933 dan dikaruniai 8 putri.
Setelah bekerja selama 11 tahun sebagai dokter swasta, ia melanjutkan
studi dan mendalami ilmu penyakit dalam. Tanggal 17 November 1939 dengan
dipandu oleh dekan sekolahnya, Prof. J.A.M. Verbunt, dan panitia pembimbing
yang diketuai Prof. Siegenbeek van Heukelom, Dr. Leimena mempertahankan
disertasi Ph.D-nya dengan judul "Leverfunctie—proeven bij Inheemschen" dan
meraih gelar Doktor di Geneeskunde Hogeschool/GHS (Sekolah Tinggi
Kedokteran), Batavia.
Pada tahun 1945, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) terbentuk dan pada
tahun 1950, ia terpilih sebagai ketua umum dan memegang jabatan ini hingga
tahun 1957. Selain di Parkindo, Leimena juga berperan dalam pembentukan DGI
(Dewan Gereja-gereja di Indonesia, kini PGI), juga pada tahun 1950. Di lembaga
ini Leimena terpilih sebagai wakil ketua yang membidangi komisi gereja dan
negara. Ketika Orde Baru berkuasa, Leimena mengundurkan diri dari tugasnya
sebagai menteri, namun ia masih dipercaya Presiden Soeharto sebagai anggota
DPA (Dewan Pertimbangan Agung) hingga tahun 1973. Usai aktif di DPA, ia
kembali melibatkan diri di lembaga-lembaga Kristen yang pernah ikut
dibesarkannya seperti Parkindo, DGI, UKI, STT, dan lain-lain. Ketika Parkindo
berfusi dalam PDI (Partai Demokrasi Indonesia, kini PDI-P), Leimena diangkat
menjadi anggota DEPERPU (Dewan Pertimbangan Pusat) PDI, dan pernah pula
menjabat Direktur Rumah Sakit DGI Cikini. Dr. Johannes Leimena meninggal di
Jakarta pada 29 Maret 1977 saat berusia 72 tahun. Ia diangkat menjadi Pahlawan
Nasional oleh pemerintah Indonesia Sebagai penghargaan kepada jasa-jasanya,
gelar tersebut diberikan pada 11 November 2010 melalui Keputusan Presiden RI
No 52 TK/2010.

4
Sie Kong Liong
Sie Kong Liong adalah Pemilik sebuah rumah/Bangunan di Jalan Kramat
Raya 106 yang menjadi tempat diadakannya acara Sumpah Pemuda. Rumah
tersebut kini menjadi museum.
Atas prakarsa Soenario, rumah Sie Kong Liong dipugar oleh Gubernur
DKI kala itu, Ali Sadikin, dan ditetapkan menjadi Gedung Sumpah Pemuda
sebelum akhirnya berubah nama menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Anda mungkin juga menyukai