Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi
badan anak yang lebih pendek dari anak dengan usia yang sama.Menurut World
Health Organization (WHO), stunting adalah kondisi dimana nilai Z-score tinggi
badan menurut umur (TB/U) berdasarkan standar pertumbuhan mencapai kurang dari
-2 standar deviasi (SD).
Menurut World Health Organization, stunting dapat menyebabkan perkembangan
kognitif atau kecerdasan, motorik, dan verbal berkembang secara tidak optimal,
peningkatan risiko obesitas dan penyakit degeneratif lainnya, peningkatan biaya
kesehatan, serta peningkatan kejadian kesakitan dan kematian.Anak yang memiliki
tingkat kecerdasan yang tidak maksimal akibat stunting pada akhirnya dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar
ketimpangan di suatu negara.
Perkembangan kognitif merupakan aspek yang berfokus pada keterampilan
berpikir, termasuk belajar, pemecahan masalah, rasional, dan mengingat yang sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan siswa di sekolah.
Stunting (kerdil) adalah suatu kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi
badan yang kurang jika dibandingkan dengan usianya. Menurut Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, balita stunting memiliki nilai Z-score kurang dari
-2SD atau standar deviasi (stunted) dan kurang dari -3SD (severely stunted). Menurut
Bloem, stunting merupakan suatu bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering)
akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama sejak masa
kehamilan sampai anak berusia 24 bulan. Keadaan tersebut diperparah dengan kejar
tumbuh (catch up growth) yang tidak terimbangi secara adekuat.
Menurut WHO, dalam jangka pendek, stunting dapat menyebabkan peningkatan
kejadian kesakitan dan kematian, tidak optimalnya perkembangan kognitif atau
kecerdasan, motorik, dan verbal, serta peningkatan biaya kesehatan. Dampak jangka
panjang dari stunting yaitu postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa, peningkatan
risiko obesitas dan penyakit degeneratif lainnya, menurunnya kesehatan reproduksi,
tidak optimalnya kapasitas belajar dan performa saat masa sekolah, dan tidak
maksimalnya produktivitas dan kapasitas kerja.
Pada kondisi stunting dapat terjadi gangguan pada proses pematangan neuron
otak serta perubahan struktur dan fungsi otak. Stunting di awal kehidupan seorang
anak dapat menyebabkan kerusakan permanen pada perkembangan kognitif yang
diikuti dengan perkembangan motorik dan intelektual yang kurang optimal sehingga
cenderung dapat menimbulkan konsekuensi terhadap pendidikan, pendapatan, dan
produktivitas pada masa dewasa sehingga berpotensi menurunkan pertumbuhan
ekonomi. Stunting sebagai salah satu indikator gizi yang tidak adekuat memiliki
dampak yang sangat signifikan terhadap prestasi belajar anak. Stunting menyebabkan
kemampuan berpikir dan belajar anak terganggu dan pada akhirnya menurunkan
tingkat kehadiran dan prestasi belajar anak.
Terdapat hubungan yang signifikan antara stunting dengan IQ sebagai salah satu
tanda perkembangan otak, dimana skor IQ pada anak stunting .lebih rendah
dibandingkan dengan anak non stunting. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkatan stunting (early, moderate, severe) dengan skor IQ.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Anatomi Otak ?
2. Bagaimana Fisiologi dari Otak ?
3. Bagaimana Cara Pengukuran Stunting?
4. Bagaimana Cara pengukuran Antropometri ?
5. Bagaiman Contoh Kasus Anak stunting sesuai Umurnya ?

C. Tujuan
1. Mengetahui penyebab Gangguan Kognitif pada anak yang mengalami Stunting
2. Mengetahui Anatomi dan Fisiologi dan Struktur Otak Manusia
3. Mengetahui Patofisiologi terjadinya gangguan Kognitif pada anak Stunting
4. Mengetahui cara pengukuran Stunting
5. Mengetahui contoh kasus anak Stunting

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Otak
Otak adalah sebuah organ yang sangat kompleks yang dapat dikatakan memberi
kita masukan sensorik, untuk melayani sebagai pencetor dan koordinator motor tivity,
dan sebagai penyimpanan untuk pengalaman, kecerdasan, dan perilaku moral dan
sosial.

B. Anatomi Otak

Bagian
terbesar otak
adalah
Cerebrum, yang terhitung seperlima dari total berat keseluruhan otak. Cerebelum
adalah bagian terbesar berikutnya , dna batang otak, yang terdiri dari medulla, pons ,
dan otak bagian kecil , adalah yang terkecil. Diencephalon adalah sedikit bagian dari
fungsi yang berbeda yang biasanya dijelaskan dalam cerebrum.

1. The Cerebrum (Otak Besar)

Serebrum terbentuk dari dua bagian (kiri kanan), atau belahan, yang masing-
masing memiliki banyak lipatan, atau lipatannya. Hasilnya disebut giri , dan
downlipatan yang dangkal disebut infolding dalam, disebut celah, dapat ditemukan di
beberapa bagian dan membagi menjadi lobus. Permukaan luar otak ditutupi lapisan
tebal neuron 2,5 sampai 4,0 mm yang mengandung materi abu-abu, disebut korteks
serebral. Sebagian besar terdiri dari saluran myelinated, materi putih atau tubuh
bermedula. Korteks , karena berisi sejumlah besar neuron, berfungsi sebagai daerah
yang memberikan tanggapan terhadap sensasi/ rangsangan, sebagi sumber aktivitas
motorik , dan berisi daerah-daerah yang bertanggung jawab atas nilai-nilai moral dan
sosial.

 The Cortex ( Koteks)


Di dalam korteks, sel-sel tampaknya tersusun dalam kol yang memungkinkan
penyebaran lateral impuls. Rangsangan biasanya berlangsung secara vertikal dan
kemudian menyebar ke sisi untuk mempengaruhi sejumlah sel tambahan.
 The Medullarry Body and Basal Ganglia

Dalam istilah medularia yang dimaksud adalah semua serat miselium ( materi putih )
pada otak . Basal ini terdiri dari basal dalam tubuh abu-abu yang besar dan kaku.
Tigas jenis serat tersusun dalam tubuh yang berserat. Yaitu Commissural fibers ,
Projection fibers , dan Assocition fibers.

 The Diencephalon
Tiga bagian yang menyusun diencephalon : Epithalamus , Thalamus , dan
Hipothalamus.
▪ Epithalamus
Bagian Epithalamus dari diechephalon terdiri dari kelenjar pineal ( tubuh ) dan
habenular nuclei.
▪ Thalamus

Thalamus memiliki sekitar 80% dari diancephalon. Sekitar 70% dai semua otak yang
telah diperiksa, kedua otak thalamusnya terhubung ke gars tengah oleh massa
menengah . Thalamus terdiri dari kelompok-kelompok neuron yang disebut nuklei
dan tampak berfungsi terutama sebagai stasiun pemancar ke otak untuk semua jenis
masukan sensoris kecuali penciuman. Hal ini juga dapat memberikan kesadaran akan
rasa sakit.
▪ The Hypothalamus

Hipotalamus beratnya sekitar 4g dan teridiri dari berbagai nukleat yang


diorganisasi ke dalam tiga bidang utama : daerah supraoptik di atas chiasm, daerah
tuberal di atas kelenjar hipofisis, dan daerah mammillarry diatas tubuh mammillary.
Semua bagain di hipotalamus saling terhubung satu sama lain.Output melalui
saraf atau bahan kimia ke kelenjar pituitary, oleh saraf ke sistem limbik dan otak
tengah, dan dari sana ke organ tubuh.

2. The Brainsistem ( Batang Otak )


 Midbrain

Midbrain adalah batang otak yang tingginya 1,5 cm. Bagian anteriornya terdiri dari
dua bundel besar serat yang disebut cerebral peduncles (basis pedunculi). Peduncle
membawa serat proyeksi motorik dari otak besar ke sumsum tulang belakang ke otak
kecil. Hanya posterior dari peduncles terletak substatia nigra, yang telah disebutkan
sebelumnya sehubungan dengan ganglia basal. Bagian posterior otak tengah
mengandung nukleus merah, sekelompok badan sel neuron yang menimbulkan jalur
motorik (saluran rubrospinal) yang menyampaikan impuls yang berkaitan dengan
tonus otot ke otot rangka, dan colliculi. Colliculi superior menerima impuls dari
korteks oksipital (visual) . Colliculi inferior adalah bagian dari jalur pendengaran itak
besar. Beberapa serat melewati colliculus superior, menghasilkan gerakan mata sebagi
respons terhadap bunyi, Badan sel yang menimbulkan saraf kranial ketiga
(okulomotor) dan keempat ( trochelar) terletak di otak tengah. Lesi pada otak tengah
biasanya mempengaruhi refleks pendengaran dan visual, jika peducles terlibat makan
menghasilkan defisit dalam gerakan sukarela.

 Pons
Pons memiliki panjang sekitar 2,5 cm dan mudah di kenali oleh massa besar serat
yang membentuk tonjolan yang mencolok pada aspek anteriornya. Tonjolan disebut
pons basal dan teridiri dari serat turun ke sumsum tulang belakang ( serat
kortikospinal ) dan serat yang lewat dari spinapsis di pons otak kecil (serabut
pontocerebellar). jalur yang terakhir memberitahu otak kecil apa yang dimaksudkan
otak selama aktivitas sukarela dan merupakan bagian dari sistem yang digunakan otak
kecil untuk menggordinasikan dan memperbaiki aktivitas otot. Bagian posterior pons,
yang disebut tegmentum, berisi bundel serat sensorik besar yang naik ke thalamus dan
inti saraf kranial 5 (trigeminal), 6 (abducent),7 (wajah), dan 8 (vestibulocohlear).
sebuah pusat peranapasan yang dikenal sebagai pusat pnemotoksik terletak di dalam
pons. Ini adalah bagan dari mekanisme kontrol yang memungkinan keluarnya udara
(ekspirasi) dari paru-paru.

 Medulla (Sumsum Belakang)

Medulla ( medulla oblongata) adalah inferior sekitar 3cm dari batang otak. Ini
terus menerus memalui foramen magnum tengkorak dengan sumsum tulang belakang.
Yang menonjol di bagian anterior pons adalah serat kortikodpinalis terlibat dalam
gerakan spontan. Beberapa nukleus yang jelas (gracile,cuneate) ada dibagian posterior
medula.
Itu adalah area untuk sinapsis jalur naik yang membawa informasi sensorik. Inti
saraf kranial 9 (glossopharynngeal), 10 (vagus), 11 (aksesori), dan 12 (hypoglossal)
terletak di medula. Beberapa bagian dari inti saraf kranial membentuk apa yang
disebut sebagai pusat vital medula. Pusat-pusat ini meliputi :
▪ Cardiac Centers ( Pusat Jantung )
▪ Respiratory Centers (Pusat pernafasan)
▪ Vasomotor Centers ( Pusat Vasilatator dan Vasoconstrictor )
3. The Cerebellum ( Otak Kecil )

terletak pada aspek posterior batang otak , melekat padanya oleh tiga pasang
pendela otak yang mengandung serabut saraf aferen dan eferen. Vermis yang
ditempatkan secara terpusat mendukung dua belahan otak kecil yang ditempatkan
secara lateral. Lipatan kecil berlimpah di semua bagian otak kecil dan dikenal sebagai
folia. Folia ini memungkinkan konvolusi otak kecil memberikan area permukaan yang
sangat luas untuk penempatan neuron. Penutup luar materi abu-abu, korteks
serebelar , menutupi tubuh meduler materi putih. Nukleus terletak kurang lebih secara
terpusat di dalam organ.
Untuk pertimbangan dalam hal pengembangan filogenetik dan koneksi yang
dibuat , otak kecil dapat di bagi menjadi tiga bagian yang terdiri dari :
 Vestibulocerebellum
 Spinocerebellum
 Pontocerebellum
C. Fisiologi Otak
1. Cerebrum (Telecephalon)
Dibagi oleh beberapa celah menjadi hemisfer dan lobus (frontal,parietal hunian,
temporal)
 Sebuah materi abu-abu dari luar otak besar adalah korteks, dan itu dibagi
menjadi daerah bernomor (Brodmann) sesuai dengan perbedaan
fungsional dan struktural.
 Are fungsional kortikal digambarkan sebagai berikut :
▪ Frontal Lobes : Area 4 , area motor primer untuk pergerakan spontan
; area 24 dan 31, area motor tambahan untuk pergerakan spontan ;
area 6, area premotor untuk kontaksi kelompok otot ; area 8, area
untuk pergerakan mata : area 9 hingga 12 , area prefrontal untuk
kecerdasan , moral dan indra sosial juga emosi.
▪ Parietal Lobes : Area 3,1 dan 2 , area sensorik umum untuk aktivitas
motorik umum dan penerimaan indera somestik ; area 5 dan 7 a dan
b , area asosiasi parietal untuk interpretasi sensorik.
▪ Occipital Lobes : Area 17, area visual dimana jalur retina akhirnya
berakhir; area 18 dan 19 , area asosiasi visual untuk interpretasi
pengalaman visual.
▪ Temporal Lobes : Area 41, area pendengaran dimana serat koklea
berakhir; are 42, area asosiasi pendengaran untuk interpretasi
pengalaman pendengaran, fungsi bahasa dan memori.
▪ Broca’s speech area : menempati area 44 dan 45 dan sangat penting
untuk pembentukan kata-kata.
2. The white matter of the cerebrum ( tubuh medula )
Mengandung serat dan ganglia basal.
▪ Serat asosiasi menghubungkan berbagai bagian belahan otak
▪ Serabut komisura menghubungkan hemisfer
▪ Serat proyeksi masuk atau keluar dari otak besar
▪ Ganglia basal, mengontrol fungsi motorik,tonus otot, dan gerakan
ritmis
3. The diencephalon includes the thalamus and the hypothalamus
▪ Thalamus merupakan pusat sensorik menuju otak besar
▪ Hipotalamus adalah pusat homeostasis suhu, keseimbangan air ,
fungsi hipofisis, dan asupan makanan juga untuk sekresi lambung
dan ekpresi emosional.
4. The Midbrain
▪ Berisi peduncle serebral yang mentransmisikan sert dari cerebrum
ke serebelum dan sumsum tulang belakang
▪ Membawa Colliculi mengintegrasikan visual,pendengaran, dan
meluruskan releks
5. Pons
Pons berfungsi sebagai alat untuk mentransmisikan serat motorik dari serebrum
ke serebelum dan berisi pusat pernapasan yang menyebabkan ekspirasi norma.
6. The Medula (oblongata)
Mengandung pusat vital untuk pernapasan, detak jantung,dan pembagi pembuluh
darah; pusat paru-paru untuk bersin,batuk,muntah dan tertidur juga melintasi saluran
serat.
7. The Reticular
Retikular adalah materi abu-abu di medula, pulpen dan otak tengah dan
berhubungan dengan autosal organisme.
8. The Immature Brain
Otak yang belum matang ditandai sebagai berikut :
▪ Ada peningkatan kemampuan memetabolisme bahan, konten lipid,
protein,asam amino ,konten amina, dan enzim juga penurunan kadar
asam nukleat saat otak matang.
▪ Neuron tidak menyadari rangsangan penuh ,fasilitasi, dan aktivitas
listrik untuk periode variabel setelah pembentukan. Aktivitas refleks
dan intoleratif minimal saat lahir dan menjadi lebih maju setelah
lahir.
9. Cerebellum (Otak Kecil)
Fungsi secara umum cerebellum adalah membandingkan niat dan kinerja
berkaitan dengan aktivitas dan gerakan otot dan memastikan bahwa gerakan tersebut
akurat dan terkoordinasi serta bergerak debgan kekuatan dan arah yang tepat. Ini
beroprasi sepenuhnya pada tingkat alam bawah sadar.

D. Patofisiologi Otak ( STUNTING )


 Pengertian Stunting
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita (bayi dibawah lima tahun)
akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi
lahir akan tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita
pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang
badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan
standarbaku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006.
Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah
anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan
kurang dari – 3SD (severely Stunted).
 Kondisi Otak Anak Stunting

 Proses Terjadinya Stunting


Stunting mulai terjadi dari pra-
konsepsi. Ketika seorang remaja menjadi
ibu yang kurang gizi dan anemia →
menjadi parah ketika hamil dengan
asupan gizi tidak mencukupi kebutuhan → ibu hidup dilingkungan dengan sanitasi
kurang memadai.
46,6% remaja putri di Indonesia usia 15-19 tahun beresiko KEK ( Kurang
Energi Kronik) (Riskedas 2013) . Dan 24,2% wanita usia subur usia 15-49 tahun di
Indonesia hamil dengan resiko kurang energi kronik (KEK) dan anemia sebesar
37,1%.

 Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Stunting


Terdapat beberapa penyebab perawakan pendek diantaranya dapat berupa varian
yang diturunkan (familial), penyakit endokrin, kromosomal,penyakit kronis,
malnutrisi, riwayat pemberian ASI sebelumnya, dan status sosial ekonomi keluarga.
Secara garis besar perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu familialdan keadaan
patologis
1. Stunting familial
Perawakan pendek dapat disebabkan karena faktor genetik dari orang tua dan
keluarga. Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai familial
short stature (perawakan pendek familial).
Tinggi badan orang tua maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci
untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir
namun akan bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan
midparental high (MPH)0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia
remaja.19Perawakan pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang selalu berada di
bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi badan
orang tua atau salah satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 3.
2. Kelainan Patologis
Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak
proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, penyakit
infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon pertumbuhan,
hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon pertumbuhan dan defisiensi IGF-1.
Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh kelainan tulang seperti
kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down,
sindrom Kallman, sindromMarfan dan sindrom Klinefelter.

3. Infeksi Kronis
Penyakit infeksi akut akibat infeksi sistemik seperti penumonia, diare persisten,
disentri dan penyakit kronis seperti kecacingan mempengaruhi pertumbuhan linear.
Infeksi akan menyebabkan asupan makanan menurun, gangguan absorpsi nutrien,
kehilangan mikronutrien secara langsung, metabolisme meningkat, kehilangan nutrien
akibat katabolisme yang meningkat, gangguan transportasi nutrien ke jaringan. Pada
kondisi akut, produksi proinflamatori seperti cytokin berdampak langsung pada
remodeling tulang yang akan menghambat pertumbuhan tulang.20Sebuah penelitian
di Peru menunjukkan infeksi parasit merupakan faktor risiko sebagai penyebab
perawakan pendek.
4. Defisiensi Hormon
Growth hormon (GH) atau hormon pertumbuhan merupakan hormon esensial
untuk pertumbuhan anak dan remaja. Hormon tersebut dihasilkan oleh kelenjar
hipofisis akibat perangsangan dari hormon GH-releasing faktor yang dihasilkan oleh
hipotalamus. GH dikeluarkan secara episodik dan mencapai puncaknya pada malam
hari selama tidur.
GH berefek pada pertumbuhan dengan cara stimulasi produksi insulin-like
growth faktor 1 (IGF-1) dan IGF-3 yang terutama dihasilkan oleh hepar dan kemudian
akan menstimulasi produksi IGF-1 lokal dari kondrosit. Growth hormon memiliki
efek metabolik seperti merangsang remodeling tulang dengan merangsang aktivitas
osteoklas dan osteoblas, merangsang lipolisis dan pemakaian lemak untuk
menghasilkan energi, berperan dalam pertumbuhan dan membentuk jaringan serta
fungsi otot serta memfasilitasi metabolisme lemak.Somatomedin atau IGF-1 sebagai
perantara hormon pertumbuhan untuk pertumbuhan tulang.
Hormon tiroid juga bermanfaat pada pertumbuhan linier setelah lahir.
Menstimulasi metabolisme yang penting dalam pertumbuhan tulang, gigi dan otak.
Kekurangan hormon ini menyebabkan keterlambatan mental dan perawakan pendek.
Hormon paratiroid dan kalsitonin juga berhubungan dengan proses penulangan
danpertumbuhan tulang. Hormon tiroid mempunyai efek sekresi hormon
pertumbuhan, mempengaruhi kondrosit secara langsung dengan meningkatkan sekresi
IGF-1 serta memacu maturasi kondrosit.
Hormon glukokortikod diperlukan dalam meningkatkan glukoneogenesis,
meningkatkan sintesisglikogen, meningkatkan konsentrasi gula darah dan balance
nitrogen negatif. Pada gastrointestinal memiliki efek meningkatkan produksi pepsin
dilambung, meningkatkan produksi asam lambung, menghambat vitamin D sebagai
mediator untuk mengabsorpsi kalsium. Glukokortikoid pada jaringan berdampak
menurunkan kandungan kolagen pada kulit dan tulang, menurunkan kolagen pada
dinding pembuluh darah serta menghambat formasi granuloma. Efek glukokortikoid
lainnya diperlukan dalam pertumbuhan normal, kelemahan otot, menghambat
pertumbuhan skeletal dan menghambat pengeluaran hormon tiroid.
Sex steroid (estrogen dan testoteron) merupakan mediasi percepatan pertumbuhan
pada masa pubertas. Jika terjadi keterlambatan pubertas maka terjadi keterlambatan
pertumbuhan linier.19Hormon ini tidak banyak berperan pada masa prapubertas, hal
ini dapat dilihat dengan tidak terdapatnya gangguan pertumbuhan pada pasien dengan
hipogonad, sebelum timbulnya pubertas
5. Kelainan Kromosom
Penyakit genetik dan sindrom merupakan etiologi yang belum jelas diketahui
penyebabnya berhubungan dengan perawakan pendek. Beberapa gangguan
kromosom, displasia tulang dan suatu sindrom tertentu ditandai dengan perawakan
pendek. Sindrom tersebut diantaranya sindrom Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom
Down dan displasia tulang seperti osteochondrodystrophies, achondroplasia,
hipochondroplasia.
6. Malnutrisi
Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah
malnutrisi. Protein sangat essensial dalam pertumbuhan dan tidak adanya salah satu
asam amino menyebabkan retardasi pertumbuhan, kematangan skeletal dan
menghambat pubertas.
Klasifikasi malnutrisi berdasarkan respon jaringan atau terhambatnya
pertumbuhan dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 yang terdiri dari salah satu
defisiensi zat besi, yodium, selenium, tembaga, kalsium, mangan, tiamin, riboplavin,
piridoksin, niasin, asam askorbat, retinol, tokoferol, kalsiterol, asam folat, kobalamin
dan vitamin K. Tipe 2 diakibatkan oleh kekurangan nitrogen, sulfur, asam amino
esensiil, potasium, sodium, magnesium, seng, phospor, klorin dan air.
Malnutrisi tipe 1 dikenal dengan functional nutrisi sedangkan tipe 2, membentuk
jaringan dan energi untuk menjalankan fungsi tubuh.Malnutrisi tipe 1 disebabkan
asupan yang kurang sehingga konsentrasi di jaringan berkurang, menimbulkan gejala
dan tanda klinis yang khas, konsentrasi dalam jaringan bervariasi, mekanisme
metabolik yang spesifik sehingga mudah dilakukan pemeriksaan laboratorium, tidak
menyebabkan kehilangan berat badan atau gagal tumbuh, disimpan di dalam tubuh,
menunjukkan efek sebagai pengganti nutrisi in vitro maupun in vivo dan konsentrasi
bervariasi pada air susu ibu (ASI).
Malnutrisi tipe 2 sulit untuk didiagnosis karena tanda dan gejala tidak khas
seperti tipe 1. Nutrisi tipe 2 berfungsi membangun jaringan sehingga jaringan tidak
akan terbentuk bila terjadi defisiensi nutrisi tersebut bahkan akan terjadi katabolisme
jaringan dan seluruh komponen jaringan akan diekskresikan. Apabila jaringan akan
dibangun kembali maka seluruh komponen harus diberikan dengan seimbang dan
saling ketergantungan. Tidak disimpan di dalam tubuh sehingga tergantung dari
asupan setiap hari. Beberapa nutrisi seperti phospor, seng dan magnesium sangat kecil
jumlahnya di dalam makanan sehingga konsentrasi yang tinggi diperlukan dengan
cara fortifikasi pada beberapa makanan untuk proses penyembuhan.
Pertumbuhan tinggi badan merupakan interaksi antara faktor genetik,
makronutrien maupun mikronutrien selama periode pertumbuhan. Nutrisi memegang
peranan penting terhadap kontrol mekanisme pertumbuhan linier. Penelitian pada
binatang menunjukkan restriksi pemberian energi dan protein menyebabkan
penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan kembali normal setelah diberikan
energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi dan IGF-1 pada manusia tampak
penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan malnutrisi seperti kwarsiorkor atau
marasmus.
7. Riwayat Pemberian ASI
Pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi memerlukan masukan zat-zat
gizi yang seimbang dan relatif besar. Namun, kemampuan bayi untuk makan dibatasi
oleh keadaan saluran pencernaannya yang masih dalam tahap pendewasaan. Satu-
satunya makanan yang sesuai dengan keadaan saluran pencernaaan bayi dan
memenuhi kebutuhan selama berbulan-bulan pertama adalah ASI.
Pemberian ASI yang kurang sesuai dapat menyebabkan bayi menderita gizi
kurang dan gizi buruk. Padahal kekurangan gizi pada bayi akan berdampak pada
gangguan psikomotor, kognitif dan sosial serta secara klinis terjadi gangguan
pertumbuhan. Dampak lainnya adalah derajat kesehatan dan gizi anak Indonesia
masih memprihatinkan.
Anak yang tidak mendapatkan ASI berisiko lebih tinggi untuk kekurangan zat
gizi yang diperlukan untuk proses pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan selanjutnya
akan mengakibatkan terjadinya stunting pada anak.
8. Status Sosial Ekonomi Keluarga
Faktor sosial ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk,
keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air,
kakus. Sementara data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan,
pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim.
Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini.
Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik
karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan
pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat. Kekurangan gizi mikro
seperti vitamin A, zat besi dan yodium menambah besar permasalahan gizi di
Indonesia. Dengan demikian masalah pangan dan gizi merupakan permasalahan
berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat.
Salah satu akibat kemiskinan adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk
memenuhi kebutuhan pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik. Hal ini berakibat
pada kekurangan gizi, baik zat gizi makro maupun mikro, yang dapat diindikasikan
dari status gizi anak balita salah satunya adalah stunting
 Dampak Stunting
Dampak Stunting menurut WHO :
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan
jangka panjang.
1. Dampak Jangka Pendek.
▪ Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian
▪ Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal
▪ Peningkatan biaya kesehatan.
2. Dampak Jangka Panjang.
▪ Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan
pada umumnya)
▪ Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya
▪ Menurunnya kesehatan reproduksi
▪ Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah
dan
▪ Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.
 Upaya Pencegahan Stunting
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs)
yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan
kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan
pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada
tahun 2025.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah
satu program prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun
2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya
sebagai berikut:
1. Ibu Hamil dan Bersalin
▪ Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
▪ Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
▪ Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan;
▪ Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein,
dan mikronutrien (TKPM);
▪ Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
▪ Pemberantasan kecacingan;
▪ Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku
KIA;
▪ Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
eksklusif; dan
▪ Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
▪ Pemantauan pertumbuhan balita;
▪ Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita;
▪ Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
▪ Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
3. Anak Usia Sekolah
▪ Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
▪ Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
▪ Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan
▪ Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba

4. Remaja
▪ Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), pola gizi seimbang,tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba;
dan
▪ Pendidikan kesehatan reproduksi.
5. Dewasa Muda
▪ Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
▪ Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan
▪ Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/mengonsumsi narkoba.

E. Penilaian Stunting secara Antropometri


 Standar Antropometri Anak ( Peraturan Menteri Kesehatan No.2 Tahun
2002 )
Standar Antropometri Anak didasarkan pada parameter berat badan dan
panjang/tinggi badan yang terdiri atas 4 (empat) indeks, meliputi:
1. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Indeks BB/U ini menggambarkan berat badan relatif dibandingkan dengan umur
anak. Indeks ini digunakan untuk menilai anak dengan berat badan kurang
(underweight) atau sangat kurang (severely underweight), tetapi tidak dapat
digunakan untuk mengklasifikasikan anak gemuk atau sangat gemuk. Penting
diketahui bahwa seorang anak dengan BB/U rendah, kemungkinan mengalami
masalah pertumbuhan, sehingga perlu dikonfirmasi dengan indeks BB/PB atau
BB/TB atau IMT/U sebelum diintervensi.
2. Indeks Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut
Umur (PB/U atau TB/U)
Indeks PB/U atau TB/U menggambarkan pertumbuhan panjang atau tinggi badan
anak berdasarkan umurnya. Indeks ini dapat mengidentifikasi anak-anak yang pendek
(stunted) atau sangat - 13 - pendek (severely stunted), yang disebabkan oleh gizi
kurang dalam waktu lama atau sering sakit. Anak-anak yang tergolong tinggi menurut
umurnya juga dapat diidentifikasi. Anak-anak dengan tinggi badan di atas normal
(tinggi sekali) biasanya disebabkan oleh gangguan endokrin, namun hal ini jarang
terjadi di Indonesia.
3. ndeks Berat Badan menurut Panjang Badan/Tinggi Badan (BB/PB
atau BB/TB)
Indeks BB/PB atau BB/TB ini menggambarkan apakah berat badan anak sesuai
terhadap pertumbuhan panjang/tinggi badannya. Indeks ini dapat digunakan untuk
mengidentifikasi anak gizi kurang (wasted), gizi buruk (severely wasted) serta anak
yang memiliki risiko gizi lebih (possible risk of overweight). Kondisi gizi buruk
biasanya disebabkan oleh penyakit dan kekurangan asupan gizi yang baru saja terjadi
(akut) maupun yang telah lama terjadi (kronis).
4. Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U)
Indeks IMT/U digunakan untuk menentukan kategori gizi buruk, gizi kurang, gizi
baik, berisiko gizi lebih, gizi lebih dan obesitas. Grafik IMT/U dan grafik BB/PB atau
BB/TB cenderung menunjukkan hasil yang sama. Namun indeks IMT/U lebih sensitif
untuk penapisan anak gizi lebih dan obesitas. Anak dengan ambang batas IMT/U
>+1SD berisiko gizi lebih sehingga perlu ditangani lebih lanjut untuk mencegah
terjadinya gizi lebih dan obesitas.
 Pengukuran Antropometri

 Jenis Parameter Antropometri


1. Umur
2. Berat Badan
3. Tinggi Badan
4. Lingkar Lengan Atas
5. Lingkar Kepala
6. Lingkar Dada
7. Jarimgan Lunak

F. Pengukuran STUNTING
 Nilai skor-Z atau SD
▪ Ukuran antropometrik (BB-U, TB-U dan BB-TB) disajikan sebagai
nilai SD atau skor-Z di bawah atau di atas nilai mean atau median
rujukan
▪ Normal bila antara -2SD sampai +2SD
▪ Kurang bila <-2SD
▪ Lebih bila >+2SD

BAB III
TINJAUAN KASUS

 Kasus Stunting pada Umur 12-24 Bulan


Populasi dalam penelitian ini adalah semuabalita usia 12- 24 bulan yang tercatat pada
buku registrasi di Puskesmas Puuwatu selama bulan Januari hingga Desember pada
tahun 2015sebanyak 582 balita.
Teknik pengambilan sampelmenggunakan teknik purposive sampling dengan
pendekatan fixed disease pada sampel kasus maupun kontrol, pendekatan ini
digunakan karenadalam penelitian ini sampel dipilih berdasarkan status penyakit dan
status paparannya.
Sampel untuk setiap kasus dan kontrol sebanyak 41 orang,sampel ini diperoleh
dari perhitungan berdasarkanrumus Lameshow.Variabel terikat yaitu kejadian
stunting padabalita usia 12- 24 bulan di layah kerja puskesmaspuuwatu tahun 2016
sedangkan Variabel bebasyaitu BBLR, riwayat awal pemberian MP-ASI,riwayat
pemberan asi eksklusif, dan tinggi badan orang tua dan riwayat anemia ibu saat
hamil.Analisis data dilakukan menggunakan komputer dengan program Microsoft
Excel dan SPSS.
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi masing-
masing variabel penelitian.Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan
variabel penelitian dengan kejadian stunting. Analisis yang digunakan adalah uji
statistik MC Nemar.
→Hasil Penelitian :
1. Berat Badan Lahir Rendah merupakan faktorrisiko kejadianStuntingpada Balita
Usia 12-24Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kecamatan Puuwatu Kota
Kendari Tahun 2016,dengan nilai OR sebesar 5 dan p=0,007 < 0,05.Dengan
demikian, responden dengan berat badan lahir rendah mempunyai risiko mengalami
stunting 5 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki berat badan
lahir normal.
2. Riwayat Pemberian ASI Ekslusif merupakanfaktor risiko kejadian Stunting pada
Balita Usia12-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kecamatan Puuwatu
Kota KendariTahun 2016 dengan OR sebesar 4 dan p=0,04<0,05. Dengan demikian,
responden yang tidak mendapatkan ASI ekslusif mempunyai risiko mengalami
stunting 4 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang mendapatkan ASI
ekslusif.
3. Riwayat Usia Pemberian MP ASI merupakanfaktor risiko kejadian Stunting pada
Balita Usia12-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kecamatan Puuwatu
Kota Kendari Tahun 2016 dengan OR sebesar 4 dan p=0,04<0,05. Dengan demikian,
responden yang diberi MPASI pada usia < 6 Bulan mempunyai risiko mengalami
stunting 4 kal ilebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak diberi MPASI
pada Usia < 6 Bulan.
4. Tinggi badan Ibu merupakan faktor risiko kejadian Stunting pada Balita Usia 12-24
Bulandi Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kecamatan Puuwatu Kota Kendari
Tahun 2016 dengan OR sebesar 3,2 dan p=0,027< 0,05.Dengan demikian, responden
yang memiliki ibu dengan tinggi badan yang pendek mempunya irisiko mengalami
stunting 3,2 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki ibu
dengan tinggi badan yang tinggi.
5. Riwayat Anemia Ibu saat Hamil bukan merupakan faktor risiko kejadian Stunting
pada Balita Usia 12-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Puuwatu Kecamatan
Puuwatu Kota Kendari Tahun 2016 dengan OR sebesar 5 danp=0,219 > 0,05.

 Kasus Stunting pada Umur 25-60 bulan


Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif. Populasi penelitian
adalah anak stunting usia 25–60 bulan di Kecamatan Sukorejo Kota Blitar sejumlah
155 anak, besar sampel sebanyak 31 anak dengan teknik quota sampling yaitu 20%
dari populasi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara berdasarkan
kuesioner yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan buku sumber yang diambil
dari (Supariasa, 2001), Unicef dalam Bapenas 2011 terdiri dari data umum pertanyaan
tentang riwayat kondisi ibu saat hamil serta persepsi keluarga tentang stunting dan
pertanyaan khusus terdiri dari karakteristik anak, asupan nutrisi anak, penyakit infeksi
yang pernah di derita anak, pemanfaatan Asi eklusif, penggunakan fasilitas kesehatan,
dan karakteristik keluarga: pendidikan ayah ibu, status ekonomi serta menggunakan
lembar food recall 24 jam. Pengumpulan data dilakukan di masing-masing rumah
responden kecamatan Sukorejo Kota Blitar pada 17–22 April 2017. Analisa data
secara deskriptif dengan tampilan prosentase.
→Kesimpulan Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada anak stunting usia 25–60
bulan di kecamatan Sukorejo kota Blitar, dapat disimpulkan faktor penyebab stunting
yaitu asupan energi rendah sebanyak 93,5%, penyakit infeksi sebanyak 80,6%, asupan
protein rendah sebanyak 45,2% dan
tidak ASI Ekslusif sebanyak 32,3% dan ibu yang bekerja sebanyak 29,0%. Faktor
tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan keluarga tentang pemenuhan gizi.
Faktor penyebab stunting pendidikan ibu
rendah sebanyak 48,4%, pendidikan ayah rendah sebanyak 32,3% mengakibatkan
kurangnya pengetahuan tentang konsumsi gizi, diperlukan lintas sektor dalam
penanganannya sedangkan faktor penyebab stunting jenis kelamin laki-laki sebanyak
64,5% Faktor BBLR, imunisasi tidak lengkap, ayah yang tidak bekerja dan status
ekonomi tidak menjadi faktor penyebab terjadinya stunting anak usia 25– 60 bulan di
Kecamatan Sukorejo.

 Kasus Stunting pada Umur di atas 5 tahun


Penelitian dilakukan tahun 2015, merupakan penelitian observasional dengan
pendekatan cross sectional. Variabel yang diukur dalam penelitian ini antara lain
karakteristik subjek, keterlibatan dalam kegiatan pertanian, kematangan usia tulang,
metabolit pestisida dalam urin dan kejadian stunting. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara, pemeriksaan tinggi badan subjek, pemeriksaan rontgen tulang
tangan kiri, dan pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi adanya metabolit
pestisida dalam urin. Kejadian stunting ditentukan berdasarkan nilai skor Z indeks
Tinggi badan menurut umur (TB/U). Tinggi badan diukur dengan menggunakan
stadiometer merek SECA 213. Subjek termasuk kategori stunting bila nilai skor Z
indeks TB/U kurang dari -2 Standard Deviasi (<-2 SD).
Kematangan usia tulang diukur dengan pemeriksaan foto rontgen tangan sebelah
kiri (tangan yang tidak aktif) yang dilakukan oleh laboratorium klinik CITO.
Pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin dilakukan di PT. Angler Biochemlab
Surabaya. Sampel penelitian sebanyak 66 siswa SD usia 8-12 tahun di SD Negeri
Dukuhlo 01 dan 02 Kecamatan Bulakamba,
Kabupaten Brebes. Pengolahan dan analisis
data dilakukan dengan menggunakan
komputer. Perangkat lunak yang dipakai
adalah SPSS PC. Setelah data disunting,
ditabulasi, dan dibersihkan (cleaning),
dilakukan analisis data univariat dan bivariat.
Analisis univariat disajikan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi dan untuk
menganalisis hubungan antara dua variabel dilakukan dengan uji chi-square.
Penelitian ini telah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
(KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan RSUP dr. Kariadi
Semarang.
Hasil dan Pembahasan Sebanyak 66 subyek terpilih sebagai sampel penelitian
dari SD Dukuhlo 01 dan 02 Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Subyek laki-
laki lebih banyak (51,5%) dibanding perempuan. Pekerjaan kepala keluarga di bidang
pertanian sebesar 37,9%. Distribusi frekuensi karakteristik subyek tersaji dalam Tabel
1.

Berdasarkan hasil pengukuran terdapat 21,2%


siswa termasuk kategori stunting (pendek) dan
sebanyak 42,4% siswa mengalami keterlambatan
usia tulangnya. Siswa yang terlibat dalam kegiatan
pertanian sebanyak 72,7% dan yang positif
metabolit pestisida dalam urinnya sebanyak 22,7%
(Tabel 2).
Siswa yang hasil metabolit pestisida dalam urinnya positif lebih banyak pada
yang terlibat dalam kegiatan pertanian (29,2%) dibanding siswa yang tidak terlibat
dalam kegiatan pertanian (5,6%). Kejadian stunting lebih banyak proporsinya pada
siswa dengan metabolit pestisida uirn positif (26,7%) dibanding yang negatif (19,6%).
Siswa kategori terlambat usia 99 tulangnya lebih banyak proporsinya pada yang
metabolit pestisida urinnya positif (46,7%) dibanding yang negatif (41,2%).Kejadian
stunting lebih banyak pada siswa dengan keterlambatan usia tulang (42,9%)
dibanding siswa yang usia tulangnya termasuk
kategori normal (5,3%).
Hasil uji Chi-square menunjukkan terdapat
hubungan bermakna (p=0,001). Hasil penelitian
pada siswa usia SD di daerah pertanian Kabupaten
Brebes menunjukkan bahwa sebanyak 72,7% siswa
terlibat dalam kegiatan pertanian, 21,2% termasuk
kategori stunting (pendek), 42,4% mengalami keterlambatan usia tulang dan 22,7%
terdeteksi positif metabolit pestisida dalam urin. Proporsi siswa yang stunting dan
terlambat kematangan usia tulangnya lebih banyak pada siswa yang positif metabolit
pestisida urinnya. Terdapat hubungan keterlambatan usia tulang dengan kejadian
stunting.
Stunting atau ‘perawakan pendek’ (‘shortness’) adalah suatu keadaan kurangnya
panjang badan atau tinggi badan seseorang terhadap umurnya, yang penentuannya
dilakukan dengan menghitung skor Z indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)
(Gibson, 2005). Seseorang dikatakan stunting bila nilai skor Z tinggi badan menurut
umur (HAZ atau indeks TB/U) adalah kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD)
(WHO, 2006).
Stunting menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan linier pada seseorang.
Masalah stunting pada anak perlu menjadi perhatian, karena merupakan refleksi
kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang. Stunting merupakan indikator
kesehatan anak yang memberikan gambaran dari sejarah gizi pada masa lalu, keadaan
lingkungan dan sosial ekonomi (Gibson, 2005).
Stunting meningkatkan risiko dan angka kesakitan pada masa anak, khususnya di
negaranegara sedang berkembang (The Lancet’s Series 2008). Berkaitan dengan
meningkatnya risiko dan angka kesakitan tersebut, stunting juga menyebabkan
gangguan fisik maupun fungsional pada anak (The Lancet’s Series, 2008). Stunting
berkontribusi 14,5% terhadap kematian dan 12,6% terhadap gangguan kemampuan
fungsional (disability adjusted life years) pada anak balita (The lancet’s series, Apoina
Kartini, dkk / Kejadian Stunting dan kematangan usia tulang 100 2008). Kondisi
stunting diduga berhubungan dengan sistem imunitas. Penelitian di Afrika
membuktikan adanya peningkatan insidens, derajat keparahan dan durasi (lama sakit)
malaria pada kelompok anak dengan stunting (Verhoef, 2002).
Stunting merupakan hasil dari kekurangan gizi kronis yang menghambat
pertumbuhan linier (Caulfield, 2006). Suatu kondisi yang mengganggu kemampuan
individu untuk menyerap makanan dapat menyebabkan terjadinya gangguan
pertumbuhan. Kegagalan pertumbuhan dapat disebabkan oleh tidak memadainya
asupan dari satu atau lebih zat gizi termasuk energi, protein, atau mikronutrien seperti
besi, seng, fosfor, vitamin D, vitamin A dan vitamin C.
Masyarakat di negara berkembang biasanya mengalami kekurangan zat gizi
mikro dalam asupan makan sehari-harinya. Seseorang yang mengalami kekurangan
zat gizi besi dalam makanannya, biasanya juga berrisiko kekurangan zat gizi seng dan
mungkin juga kalsium (Branca, 2002) Konsumsi zat gizi makro, seperti energi,
protein, dan zat gizi mikro, seperti Zn, zat besi yang kurang, terutama pada masa
pertumbuhan, akan mengganggu proses pertumbuhan seorang anak yang berdampak
pada stunting (Mikhail et al. 2013). Selain faktor konsumsi makanan, stunting juga
dipengaruhi oleh faktor genetik, yaitu tinggi badan orangtua (Ferreira, 2009; Candra,
2011).
Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa riwayat Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) merupakan faktor risiko stunting (Vitolo 2008; El-Taguri, 2008; Candra,
2011; Mardani, 2015).
Penelitian di Iran membuktikan bahwa determinan utama stunting pada anak usia
sekolah adalah berat badan lahir, usia ibu, dan tinggi badan ayah (Esfarjani, 2013).
Infeksi berulang (kronis), seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare,
juga merupakan penyebab utama terjadinya gangguan tumbuhkembang pada anak.
Penelitian pada anak balita di Nepal menyimpulkan bahwa ISPA dan diare merupakan
faktor risiko stunting (Paudel, 2012). Status sosial-ekonomi yang buruk menyebabkan
keluarga tidak mampu menyediakan asupan gizi yang cukup dan lingkungan rumah
yang memenuhi syarat kesehatan. Kondisi ini merupakan faktor predisposisi yang
membuat anak menjadi lebih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi, sehingga
memperberat atau bahkan penyebab utama terjadinya gangguan tumbuh-kembang
anak (Nandy, 2004).
Gangguan pertumbuhan dapat juga disebabkan oleh faktor lingkungan, salah
satunya adalah adanya peran dari bahan kimia berbahaya di lingkungan yang dapat
menganggu fungsi hormon (Endocrine disrupting chemicals/ EDCs). Pestisida
merupakan salah satu bahan kimia yang sering digunakan dalam kegiatan pertanian
dan tergolong sebagai EDCs (Diamanti-Kandarakis, 2009).
Pestisida adalah substansi yang digunakan untuk mencegah atau membunuh
hama (pest), yakni organisme yang bersaing untuk mendapatkan makanan,
mengganggu kenyamanan, atau berbahaya bagi kesehatan manusia. Penggunaan
pestisida sudah sangat meluas, berkaitan dengan dampak positifnya, yaitu
meningkatnya produksi pertanian dan menurunnya penyakit-penyakit yang
penularannya melalui perantaraan makanan (food-borne diseases) atau pun vektor
(vectorborne diseases) (Weiss, 2004).
Idealnya, pestisida mempunyai efek toksik hanya pada organisme targetnya, yaitu
hama. Namun, pada kenyataannya, sebagian besar bahan aktif yang digunakan
sebagai pestisida tidak cukup spesifik toksisitasnya, sehingga berdampak negatif
terhadap kesehatan (manusia) (Costa 2008). Sampai saat ini, terdapat sekitar 20.000
jenis produk pestisida dengan sekitar 900 jenis bahan aktif yang telah terdaftar,
dengan tujuan pemakaian sebagai insektisida, mitisida, herbisida, rodentisida,
nematosida, fungisida, fumigan, pengawet kayu, dan pengatur pertumbuhan tanaman
(plant growth regulator) (Weiss, 2004).
Anak yang lahir dan dibesarkan di daerah pertanian berisiko mengalami paparan
pestisida sejak kecil, bahkan sejak di dalam kandungan, karena sebagian besar WUS,
termasuk ibu hamil, ikut terlibat dalam kegiatan pertanian. Penelitian di Cina
membuktikan bahwa riwayat paparan pestisida golongan organofosfat pada ibu hamil
merupakan faktor risiko kejadian gangguan tumbuh-kembang pada neonatus (Zhang,
2014). Pada anak usia SD, paparanpestisida dapat terjadi secara langsung yakni
karena keterlibatan mereka dalam kegiatan pertanian, atau secara tidak langsung
yakni melalui kontak dengan lingkungan, baik air, tanah, maupun makanan yang
terkontaminasi oleh residu pestisida.
Kematangan usia tulang merupakan komponen kunci dalam evaluasi
pertumbuhan anak. Penilaian kematangan tulang ditentukan melalui pengukuran
“Bone Age” (BA), yaitu pemeriksaan foto rontgen tulang pergelangan tangan sebelah
kiri. Pengerasan tulang trabekular terjadi dalam pola yang dapat diprediksi, sehingga
penilaian kematangan tulang dapat dilakukan pada beberapa pusat osifikasi kemudian
dibandingkan gambaran radiografi standar untuk laki-laki dan perempuan. BA
kemudian dapat dibandingkan dengan usia kronologis individu sebagai indikator
kecepatan pertumbuhan, potensi pertumbuhan selanjutnya, dan dengan menggunakan
± SD reference dapat disimpulkan termasuk kategori terlambat (delay) atau normal.
Pemeriksaan foto rontgen tunggal pada tangan kiri dianggap representatif untuk
menilai pusat osifikasi pada umumnya dan dengan demikian menghindari paparan
radiasi untuk pemeriksaan radiografi seluruh tulang (Nilsson, 2005).
Pemeriksaan metabolit pestisida dalam urin merupakan metode pemeriksaan yang
cukup sensitif dan reliabel untuk menentukan adanya paparan pestisida pada
seseorang (Egeghy, 2011). Metode pemeriksaan tersebut tidak invasif, sehingga
sangat memungkinkan dilakukan pada anak, meskipun ada keterbatasan yakni hanya
menggambarkan paparan saat ini, karena pestisida golongan organofosfat cepat
dimetabolisme dan diekskresi dari dalam tubuh, dengan waktu paruh 2 jam sampai
beberapa hari (Wessels, 2003).
Beberapa hormon yang berperan dalam proses pertumbuhan antara lain hormon
tiroid, Growth Hormone (GH) dan Insulinelike Growth Factor (IGF-1). Hormon tiroid
adalah pengatur metabolisme tubuh dan sangat penting untuk fungsi sebagian besar
sistem organ tubuh. Status tiroid normal pada masa anak diperlukan untuk
pertumbuhan normal dan perkembangan saraf. Gangguan fungsi tiroid yang dapat
dideteksi pada tahap awal akan membantu hasil pengobatan yang baik (Huang, 2010).
Paparan oleh bahan kimia yang tergolong EDCs dapat mengganggu fungsi tiroid
sehingga disebut juga sebagai thyroid disrupting chemicals (TDCs) (Crofton, 2009).
Adanya gangguan fungsi tiroid dapat berdampak terhadap tumbuh-kembang
seseorang.
Penelitian pada binatang (Jeong, 2006) dan pada manusia (Zaidi, 2000; Crofton,
2008; Suhartono, 2012) membuktikan bahwa paparan pestisida dapat mengganggu
fungsi tiroid, yaitu suatu kondisi kelenjar tiroid tidak dapat memproduksi hormon T4
dan T3 yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Kadar hormon tiroid yang
rendah dalam masa pertumbuhan dapat menyebabkan terjadinya stunting (Australian
Paediatric Endocrinology Group, 2011). Pada anak dengan hipotiroidisme akan terjadi
keterlambatan pertumbuhan (Rose, 2005).
Growth Hormone (GH) dan Insulinelike Growth Factor (IGF-1), merupakan
hormon yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan dan metabolisme selama
kehidupan. GH sangat diperlukan dalam pertumbuhan pada masa bayi, dan juga
berperan penting di jaringan perifer terhadap proses metabolisme energi, komposisi
tubuh, metabolisme tulang, sistem imun, dan fungsi otot. Di Sistem Saraf Pusat (SSP)
GH berpengaruh terhadap fungsi appetite (nafsu makan), kognisi dan tidur (Skottner,
2012).
Sementara itu, IGF-1 merupakan hormon polipeptida yang berfungsi sebagai
mitogen dan stimulator proliferasi sel dan berperan penting dalam proses perbaikan
dan regenerasi jaringan. IGF-1 juga memediasi proses anabolik protein dan
meningkatkan aktivitas GH untuk pertumbuhan linier (Skottner, 2012; Laron, 2001).
Paparan bahan toksik dari lingkungan juga dapat mengganggu sintesis dan/atau
sekresi hormon pertumbuhan (Insulin-like Growth Hormone/IGF-1) (Boada LD,
2007). Penelitian di Spanyol menunjukkan bahwa kadar IGF- 1 serum anak laki-laki
usia 6-15 tahun yang terpapar pestisida golongan organoklorin lebih rendah secara
signifikan dibanding yang tidak terpapar (Zumbado, 2010). Kadar IGF-1 dalam serum
berhubungan dengan gangguan pertumbuhan. Hasil penelitian pada anak Apoina
Kartini, dkk / Kejadian Stunting dan kematangan usia tulang prasekolah di Senegal
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kadar IGF-1 dengan stunting.

→ Kesimpulan Penelitian
Kejadian stunting sebanyak 21,2% dan siswa yang mengalami keterlambatan usia
tulang sebanyak 42,4%. Proporsi siswa yang hasil metabolit pestisida dalam urinnya
positif lebih banyak pada yang terlibat dalam kegiatan pertanian (29,2%) dibanding
siswa yang tidak terlibat dalam kegiatan pertanian (5,6%). Proporsi stunting lebih
banyak pada siswa dengan metabolit pestisida urin positif (26,7%) dibanding yang
negatif (19,6%). Siswa dengan usia tulang termasuk kategori terlambat lebih banyak
proporsinya pada yang metabolit pestisida urin positif (46,7%) dibanding yang negatif
(41,2%).
Kejadian stunting lebih banyak pada siswa yang mengalami keterlambatan usia
tulang (42,9%) dibanding siswa dengan usia tulang normal (5,3%). Terdapat
hubungan bermakna usia tulang dengan kejadian stunting (p=0,001).

Anda mungkin juga menyukai