Anda di halaman 1dari 13

Konsep teory

Limphadenophaty TBC

A. DEFINISI

Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah


bening. Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar
limfe atau getah bening yang disebabka oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009).
Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula
(Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya
paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang
berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.) menyebutkan istilah
tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra, 2009). Penyakit ini juga sudah
dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada zaman pertengahan dengan nama “King’s
evil”, dimana dipercaya bahwa sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya
(McClay, 2008). Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan
langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak
dengan tuberkulosis disebut dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).

B. GEJALA PENYAKIT TBC

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.

Gejala sistemik/umum:

• Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)


• Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti
influenza dan bersifat hilang timbul
• Penurunan nafsu makan dan berat badan
• Perasaan tidak enak (malaise), lemah

Gejala khusus:

 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya,
pada muara ini akan keluar cairan nanah.
 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

C. Etiologi

Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium kompleks,
yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting adalah
Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium tuberculosae
complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M. bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5.
M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan
perbedaan epidemiologi (Raviglione, 2010).

Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus


berukuran sekitar 0,4 x 3 µm dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk
kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain.
Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan
Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus serta sangat kuat
mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun
menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahanasam (Raviglione, 2010;
Jawetz, 2004). M.tuberculosis mudah mengikat pewarna ZiehlNeelsen atau karbol
fuksin (Kumar, 2004).

Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam
mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mikobakterium. Penghilangan
lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam
bakteri ini (Brooks, 2004).

Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon


sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia tidak
khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan bakteri. Waktu
replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih
cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-23°C, dan tidak terlalu
bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk patogennya (Brooks, 2004).

D. Patogenesis

Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB


pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering terjadi
pada anakanak sehingga sering disebut child-type tuberculosis, sedangkan TB post-
primer (sekunder) disebut juga adult-type tuberculosis karena sering terjadi pada
orang dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat juga terjadi pada orang dewasa
(Raviglione, 2010).

Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang
disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ
ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah
bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010).

Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru,
basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan.
Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat
bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat
menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe
regional dihilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah
infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-
sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon.
Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon
berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik
terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam
beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).

Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas
seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer
disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB
primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe
menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus,
mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi
TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil TB juga dapat menginfeksi
kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di
mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa
orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya
akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).

E. Manifestasi Klinis

Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB ekstrapulmoner.


Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik.
Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar getah bening yang
lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif, limfadenopati leher
terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai yaitu sekitar dua pertiga
pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis
banding dari pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang
endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan (Mohapatra, 2004).

Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening servikalis,


kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar mediastinal, aksilaris,
mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar inguinalis (Mohapatra,
2004). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002) didapatkan kelenjar limfe
yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal,
dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan didapatkan pula pada 35% pasien
pembengkakan terjadi pada lebih dari satu tempat. Menurut Sharma (2004), pada
pasien dengan HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang
paling sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.

Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau bilateral,


tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri dan
berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan paling sering
berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di regio supraklavikular
(Mohapatra, 2004). Keterlibatan multifokal ditemukan pada 39% pasien HIV-negatif
dan pada 90% pasien HIV-positif. Pada pasien HIV-positif, keterlibatan multifokal,
limfadenopati intratorakalis dan intraabdominal serta TB paru adalah sering
ditemukan (Sharma, 2004). Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat
menunjukkan gejala sistemik yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue
dan keringat malam. Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik
(Mohapatra, 2004). Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB pada 21,8%
pasien, dan terdapat TB paru pada 16,1% pasien (Mohapatra, 2004).

Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004)


limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium
yaitu:

1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.


2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.


Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi sekunder
bakteri, (ii)
pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi dengan infeksi HIV.
Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-kadang dapat terjadi sinus
yang tidak menyembuh secara kronis dan pembentukan ulkus. Pembentukan fistula
terjadi pada 10% dari limfadenitis TB servikalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan
penelitian oleh Jniene (2010) dari 69 pasien limfadenitis TB didapat 11 orang
dengan pembengkakan kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan adanya
pembentukan fistula. Terdapat juga 10 orang dengan pembengkakan kelenjar yang
disertai adanya tanda-tanda inflamasi tetapi tidak disertai oleh adanya fistula.
Secara klasik, sinus tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-biruan, dan
rapuh dengan pus cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial
pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur
dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap basil TB (Mohapatra, 2004).

Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada


dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang
jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal termasuk
disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-oesophageal.
Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga dapat
menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous ascites ataupun
chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat pembesaran kelenjar limfe
dapat menyebabkan obstructive jaundice. Tamponade jantung juga pernah
dilaporkan terjadi akibat limfadenitis mediastinal (Mohapatra, 2004).

Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya


disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm biasanya
disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup kemungkinan
pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis (Narang, 2005).

F. Diagnosis

Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan yang


tinggi, dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik untuk banyak
klinisi meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA, pemeriksaan radiologis, dan
biopsi aspirasi jarum halus dapat membantu dalam membuat diagnosis awal yang
dapat digunakan sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum
diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur (Bayazit, 2004). Juga
penting untuk membedakan infeksi mikobakterium tuberkulosis dengan non-
tuberkulosis.

Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa


limfadenitis TB : a. Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis dan


kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.
Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada
spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif
(Mohapatra, 2009; Bayazit, 2004)

Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis


limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur
positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai
media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB.
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil kultur. Pada adenitis
tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab tersering, diikuti oleh M.bovis
(Bayazit, 2004).

b. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan


adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium pada
seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative (PPD).
Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif
apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-9 mm,
negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra, 2009).

c. Pemeriksaan Sitologi Spesimen

untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan biopsi aspirasi


kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi
aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99% (Kocjan,
2001). CT scan dapat digunakan untuk membantu pelaksanaan biopsi aspirasi
kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal (Sharma, 2004). Pada pemeriksaan
sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa.

Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran konvensional


seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak ditemukan pada aspirat. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap
dengan materi eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik
tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell. Didapati bahwa
aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat
memberikan hasil positif tuberkulosis apabila dikultur.

d. Pemeriksaan Radiologis

Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang
konsistendengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering
terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit,
2004).

USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular


atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal (Bayazit, 2004).
Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab
pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia).
Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai
dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal echoes (Khanna, 2011).

Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral,


adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya,
derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan
dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit, 2004).

Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan


konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak
membedakannya dengan kelenjar metastatik (Bayazit, 2004).
Asuhan Keperawatan pada Pasien Tuberkulosis dengan Ketidakpatuhan pengobatan

1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan proses pengumpulan data,
verifikasi serta komunikasi data yang mengenai pasien secara sistematis. Pada
fase ini meliputi pengumpulan data dari sumber primer (pasien), sekunder
(keluarga pasien, tenaga kesehtana), dan analisis data sebagai dasar perumusan
diagnose keperawatan (Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, 2010). Fokus
pengkajian keperawatan pada kasus Tuberkulosis paru (Abdul, 2013) :
a. Data Pasien
Penyakit tuberculosis (TB) dapat menyerang manusia mulai dari usia
anak sampai dewasa dengan perbandingan hampir sama anatar laki-laki dengan
perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada pasien yang tinggal di
daerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya matahari ke
dalam rumah sangat minim. Tuberculosis pada anak dapat terjadi di usia
berapapun, namun usia yang paling umum apada usia dalah antara 1-4 tahun.
Anak-anak lebih sering mengalami TB luar paru-paru (extrapulmonary)
disbanding TB paru-paru yaitu dengan perbandingan 3:1. Tuberculosis luar paru-
paru adalah tuberculosis berat yang terutama ditemukan pada usia < 3 tahun.
Angka kejadian atau prevalensi TB paru-paru pada usia 5-12 tahun ckup rendah,
kemudian meningkat setelah usia remaja dimana TB paru-paru menyerupai
kasus pada pasien dewasa.
b. Riwayat kesehatan Keluhan yang sering muncul antara lain :
1. Demam : subfebris, febris (40-41º) biasanya hilang timbul.
2. Batuk : biasanya terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, batuk ini
terjadi untuk membuang atau mengeluarkan produksi radang yang dimulai
dari batuk kering sampai dengan batuk purulent (menghasilkan sputum).
3. Sesak nafas : terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru-paru.
4. Nyeri dada : jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritic.
5. Malaise : ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, sakit
kepala, nyeri otot, dan keringat malam.
6. Sianosis, sesak nafas, kolaps : merupakan gejala atelectasis. Bagian dada
pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung terdorong ke sisi
yang sakit. Pada foto thoraks, pada sisi yang sakit tampak bayangan hitam
dan diafragma menunjol ke atas.
7. Perlu ditanya dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya penyakit ini
muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan namun merupakan
penyakit infeksi menular.

c. Riwayat penyakit sebelumnya :

1) Pernah menderita batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.


2) Pernah berobat tetapi tidak sembuh.
3) Pernah berobat namun tidak teratur.
4) Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru.
5) Daya tahan tubuh yang menurun.
6) Riwayat vaksinasi yang tidak tertaur

d. Riwayat pengobatan sebelumnya :

1) Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.


2) Jenis, warna, dosis obat yang diminum
3) Berapa lama pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan penyakit.
4) Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.

e. Riwayat Sosial Ekonomi :

1. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja dan jumlah
penghasilan.
2. Aspek psikososial.

Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikasi dengan bebas,


menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang mampu, masalah
berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama
dan biaya yang banyak, masalah tentang masa depan atau pekerjaan pasien,
tidak bersemangat dan putus harapan.

f. Factor pendukung

1. Riwayat lingkungan.
2. Pola hidup : nutrisi, kebiasaan merokok, minum alcohol, pola istirahat dan
tidur, kebersihan diri.
3. Tingkat pengetahuan atau pendidikan pasien dan keluarga tentang
penyakit TBC, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.

g. Pemeriksaan Diagnostik

1. Kultur sputum : mikobakterium tuberculosis positif pada tahap akhir


penyakit
2. Tes tuberculin : Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm
terjadi dalam 48-72 jam).
3. Foto thorax : infiltrasi lesi awal pada area paru atas. Pada tahap ini
tampak gambaran bercak-bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak
jelas. Dapat kavitasi bayangan, berupa cincin. Pada klasifikasi tampak
bayangan bercakbercak padat dengan densitas tinggi.
4. Bronchografi : untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru
karena TB paru.
5. Darah : peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).
6. Spirometry : penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital menurun.

h. Pemeriksaan fisik

1. Pada tahap dini sulit diketahui.


2. Ronchi basah, kasar, nyaring.
3. Hipersonor/tympani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada auskultasi
memberikan suara umforik.
4. Pada keadaan lanjut terjadi atropi, retraksi intercostal, dan fibrosis.
5. Bila mengenai pleura terjadi efusi pleura (perkusi memverikan suara
pekak).

i. Pola kebiasaan sehari-hari

1) Pola aktivitas dan istirahat

Subjektif : rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. Sesak nafas (nafas
pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam
hari.

Objektif : takikardi, takipnea/dyspnea saat kerja, irritable, sesak (tahap


lanjut ; infiltrasi radang sampai setengah paru), demam
subfebris (40-41 ºC) yang terjadi hilang timbul.

2) Pola nutrisi
Subjektif : anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan
lemak sub kutan.
3) Respirasi
Subjektif : batuk produktif/non produktif, sesak nafas, sakit dada.
Objektif : mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent,
mucoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar
limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru,
takipnea (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru pleural),
sesak nafas, pengembangan pernafasan tidak simetris (effusi
pleura), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural),
deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
4) Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Objektif : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah, nyeri
bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga
timbul pleuritis.
5) Integritas ego
Subjektif : faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak
ada harapan.
Objektif : menyangkal (selama tahan dini), ansietas, ketakutan, mudah
tersinggung.
2. Diagnose Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah tahap kedua dalam proses keperawatan
dimana merupakan penialain klinis terhadap kondisi individu, keluarga, atau
komunitas baik yang bersifat actual, resiko, atau masih merupakan gejala. Diagnose
32 keperawatan merupakan suatu penillaian klinis mengenai respons klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik berlangsung actual
maupun potensial (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Penilaian ini berdasarkan pada
hasil analisis data pengkajian dengan cara berpikir kritis. Diagnosa yang ditegakkan
dalam masalah ini ialah ketidakpatuhan pengobatan (Debora, 2017). Berikut
diagnosa yang terkait dengan penyakit tuberculosis adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru
c. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi
d. Deficit pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan,
berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan
e. Deficit nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan factor psikologis
f. Risiko infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh menurun, fungsi silia
menurun, secret yang menetap
g. Keidakpatuhan Program Pengobatan berhubungan dengan program terapi
kompleks dan atau lama

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi atau perencanaan adalah tahap ketiga dari proses keperawatan.


Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI) adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penentuan
luaran keperawatan dalam rangka memberikan asuhan keperawatan yang aman,
efektif, dan etis (Tim Pokja SLKI DPP PPNI, 2018). Ada empat elemenpenting yang
harus diperhatikan pada saat membuat perencanaan keperawatan yaitu membuat
prioritas, menetapkan tujuan dan membuat kriteria hasil (Moorhead, 2015).
Merencanakan intervensi keperawatan yang akan diberikan (termasuk tindakan
mandiri dan kolabirasi dengan tenaga kesehatan lainnya), dan melakukan
pendokumentasian (Bulechek, 2015).

Tabel 1 Intervensi Gambaran Asuhan Keperawatan


pada Pasien Tubercolusis dengan Ketidakpatuhan Pengobatan di Wilayah Kerja UPT
Kesmas Sukawati 1 Tahun 2019

Ketidakpatuhan Program Setelah diberikan asuhan 1. Dukungan kepatuhan


Pengobatan merupakan keperawatan selama 5 kali program pengobatan
perilaku individu tidak kunjungan dalam 45 menit a. Observasi
mengikuti sesuai dengan diharapkan tingkat 1) Identifikasi kepatuhan
rencana perawatan atau kepatuhan pasien menjalani program
pengobatan yang disepakati meningkat dengan kriteria pengobatan
dengan tenaga kesehatan, hasil : Perilaku patuh : b. Terapeutik
sehingga menyebabkan hasil pengobatan yang disarankan 1) Buatkan jadwal
perawatan atau pengobatan a. Partisipasi dalam pendamping keluarga untuk
tidak efektif. keputusan perawatan menemani klien dalam
kesehatan menjalani program
b. Klien mengonsumsi obat pengobatan
sesuai interval yang sudah 2) Libatkan keluarga untuk
ditentukan mendukung program
c. Klien patuh dalam pengobatan yang di jalani
pengobatan sesuai dengan 3) Awasi jumlah dan
yang diresepkan penggunaan obat
d. Menggunakan layanan c. Edukasi
kesehatan sesuai dengan 1) Informasikan program
kebutuhan pengobatan yang harus
dijalani
2) Informasikan manfaat
yang akan diperoleh jika
teratur menjalani program
pengobatan
3) Ajarkan klien dan
keluarga melakukan
konsultasi ke pelayanan
kesehatan terdekat
2. Edukasi penyakit
a. Berikan pendidikan
kesehatan mengenai
penyakit tuberculosis
Ajarkan pencegahan
penularan penyakit
tuberculosis dengan
menggunakan masker untuk
menutupi mulut dan hidung
dan ingatkan klien untuk
berludah pada tempatnya
3. Edukasi efek samping
obat
a. Jelaskan tujuan obat yang
diberikan pemberian obat
yang sudah diresepkan
b. Jelaskan dosis, cara
pemakaian, waktu dan
lamanya pemberian obat
c. Jelaskan indokasi dan
kontraindikasi obat yang
dikonsumsi

3. Implementasi
Implementasi adalah tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini
muncul jika perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien. Implementasi terdiri
atas melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan keperawatan
khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi. Tindakan yang dilakukan
mungkin sama, mungkin juga berbeda dengan urutan yang telah dibuat pada
perencanaan. Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas
dimana aplikasi yang akan dilakukan pada klien akan berbeda, disesuaikan dengan
kondisi klien saat itu dan kebutuhan yang paling dirasakan oleh klien (Debora, 2017).
4. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini
perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil
yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah
teratasiseluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya. Evaluasi
adalah proses berkelanjutan yaitu proses yang digunakan untuk mengukur dan
memonitor kondisi klien untuk mengetahui
1. kesesuaian tindakan keperawatan,
2. perbaikan tindakan keperawatan,
3. kebutuhan klien saat ini,
4. perlunya dirujuk pada tempat kesehatan lain, dan
5. apakah perlu menyusun ulang priorotas diagnose supaya kebutuhan klien bisa
terpenuhi. Selain digunakan untuk mengevaluasi tindakan keperawatan yang
sudah dilakukan, evaluasi juga digunakan untuk memeriksa sumua proses
keperawatan (Debora, 2017).
Evaluasi keperawatan terhadap pasien tuberculosis dengan masalah
ketidakpatuhan program pengobatan diantaranya :
a. Pasien melakukan pengobatan sesuai dengan yang sudah diresepkan
b. Pasien mengonsumsi obat sesuai interval yang ditentukan
c. Pasien mematuhi pengobatan dengan berpartisipasi dalam terapi yang diberikan
d. Pasien dan keluarga mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pemberi pelayanan
kesehatan

Anda mungkin juga menyukai