Limphadenophaty TBC
A. DEFINISI
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
Gejala sistemik/umum:
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada
suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya,
pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut
sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi,
adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
C. Etiologi
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan asam
mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mikobakterium. Penghilangan
lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan asam
bakteri ini (Brooks, 2004).
D. Patogenesis
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang
disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ
ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar getah
bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap basil
tuberkulosis (Raviglione, 2010).
Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru,
basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan.
Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat
bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat
menyebar secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe
regional dihilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi
inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah
infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-
sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks Ghon.
Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama, fokus Ghon
berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang spesifik
terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi penyembuhan yang
didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam
beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas
seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer
disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB
primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe
menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004). Kelenjar limfe hilus,
mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi
TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009). Basil TB juga dapat menginfeksi
kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di
mukosa orofaring setelah basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa
orofaring basil TB akan difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya
akan dibawa ke kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).
E. Manifestasi Klinis
F. Diagnosis
b. Tes Tuberkulin
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan untuk membantu
diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang
konsistendengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering
terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit,
2004).
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan proses pengumpulan data,
verifikasi serta komunikasi data yang mengenai pasien secara sistematis. Pada
fase ini meliputi pengumpulan data dari sumber primer (pasien), sekunder
(keluarga pasien, tenaga kesehtana), dan analisis data sebagai dasar perumusan
diagnose keperawatan (Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, 2010). Fokus
pengkajian keperawatan pada kasus Tuberkulosis paru (Abdul, 2013) :
a. Data Pasien
Penyakit tuberculosis (TB) dapat menyerang manusia mulai dari usia
anak sampai dewasa dengan perbandingan hampir sama anatar laki-laki dengan
perempuan. Penyakit ini biasanya banyak ditemukan pada pasien yang tinggal di
daerah dengan tingkat kepadatan tinggi sehingga masuknya cahaya matahari ke
dalam rumah sangat minim. Tuberculosis pada anak dapat terjadi di usia
berapapun, namun usia yang paling umum apada usia dalah antara 1-4 tahun.
Anak-anak lebih sering mengalami TB luar paru-paru (extrapulmonary)
disbanding TB paru-paru yaitu dengan perbandingan 3:1. Tuberculosis luar paru-
paru adalah tuberculosis berat yang terutama ditemukan pada usia < 3 tahun.
Angka kejadian atau prevalensi TB paru-paru pada usia 5-12 tahun ckup rendah,
kemudian meningkat setelah usia remaja dimana TB paru-paru menyerupai
kasus pada pasien dewasa.
b. Riwayat kesehatan Keluhan yang sering muncul antara lain :
1. Demam : subfebris, febris (40-41º) biasanya hilang timbul.
2. Batuk : biasanya terjadi karena adanya iritasi pada bronkus, batuk ini
terjadi untuk membuang atau mengeluarkan produksi radang yang dimulai
dari batuk kering sampai dengan batuk purulent (menghasilkan sputum).
3. Sesak nafas : terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru-paru.
4. Nyeri dada : jarang ditemukan, nyeri akan timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritic.
5. Malaise : ditemukan berupa anoreksia, nafsu makan menurun, sakit
kepala, nyeri otot, dan keringat malam.
6. Sianosis, sesak nafas, kolaps : merupakan gejala atelectasis. Bagian dada
pasien tidak bergerak pada saat bernafas dan jantung terdorong ke sisi
yang sakit. Pada foto thoraks, pada sisi yang sakit tampak bayangan hitam
dan diafragma menunjol ke atas.
7. Perlu ditanya dengan siapa pasien tinggal, karena biasanya penyakit ini
muncul bukan karena sebagai penyakit keturunan namun merupakan
penyakit infeksi menular.
1. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja dan jumlah
penghasilan.
2. Aspek psikososial.
f. Factor pendukung
1. Riwayat lingkungan.
2. Pola hidup : nutrisi, kebiasaan merokok, minum alcohol, pola istirahat dan
tidur, kebersihan diri.
3. Tingkat pengetahuan atau pendidikan pasien dan keluarga tentang
penyakit TBC, pencegahan, pengobatan dan perawatannya.
g. Pemeriksaan Diagnostik
h. Pemeriksaan fisik
Subjektif : rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. Sesak nafas (nafas
pendek), sulit tidur, demam, menggigil, berkeringat pada malam
hari.
2) Pola nutrisi
Subjektif : anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan
lemak sub kutan.
3) Respirasi
Subjektif : batuk produktif/non produktif, sesak nafas, sakit dada.
Objektif : mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent,
mucoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar
limfe, terdengar bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru,
takipnea (penyakit luas atau fibrosis parenkim paru pleural),
sesak nafas, pengembangan pernafasan tidak simetris (effusi
pleura), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan pleural),
deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
4) Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
Objektif : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah, nyeri
bisa timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga
timbul pleuritis.
5) Integritas ego
Subjektif : faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak
ada harapan.
Objektif : menyangkal (selama tahan dini), ansietas, ketakutan, mudah
tersinggung.
2. Diagnose Keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah tahap kedua dalam proses keperawatan
dimana merupakan penialain klinis terhadap kondisi individu, keluarga, atau
komunitas baik yang bersifat actual, resiko, atau masih merupakan gejala. Diagnose
32 keperawatan merupakan suatu penillaian klinis mengenai respons klien terhadap
masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik berlangsung actual
maupun potensial (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016). Penilaian ini berdasarkan pada
hasil analisis data pengkajian dengan cara berpikir kritis. Diagnosa yang ditegakkan
dalam masalah ini ialah ketidakpatuhan pengobatan (Debora, 2017). Berikut
diagnosa yang terkait dengan penyakit tuberculosis adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kongesti paru
c. Hipertermi berhubungan dengan reaksi inflamasi
d. Deficit pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan,
berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan
e. Deficit nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan factor psikologis
f. Risiko infeksi berhubungan dengan daya tahan tubuh menurun, fungsi silia
menurun, secret yang menetap
g. Keidakpatuhan Program Pengobatan berhubungan dengan program terapi
kompleks dan atau lama
3. Intervensi Keperawatan
3. Implementasi
Implementasi adalah tahap keempat dari proses keperawatan. Tahap ini
muncul jika perencanaan yang dibuat di aplikasikan pada klien. Implementasi terdiri
atas melakukan dan mendokumentasikan yang merupakan tindakan keperawatan
khusus yang digunakan untuk melaksanakan intervensi. Tindakan yang dilakukan
mungkin sama, mungkin juga berbeda dengan urutan yang telah dibuat pada
perencanaan. Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan kreativitas
dimana aplikasi yang akan dilakukan pada klien akan berbeda, disesuaikan dengan
kondisi klien saat itu dan kebutuhan yang paling dirasakan oleh klien (Debora, 2017).
4. Evaluasi
Evaluasi adalah tahap kelima dari proses keperawatan. Pada tahap ini
perawat membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil
yang sudah ditetapkan serta menilai apakah masalah yang terjadi sudah
teratasiseluruhnya, hanya sebagian, atau bahkan belum teratasi semuanya. Evaluasi
adalah proses berkelanjutan yaitu proses yang digunakan untuk mengukur dan
memonitor kondisi klien untuk mengetahui
1. kesesuaian tindakan keperawatan,
2. perbaikan tindakan keperawatan,
3. kebutuhan klien saat ini,
4. perlunya dirujuk pada tempat kesehatan lain, dan
5. apakah perlu menyusun ulang priorotas diagnose supaya kebutuhan klien bisa
terpenuhi. Selain digunakan untuk mengevaluasi tindakan keperawatan yang
sudah dilakukan, evaluasi juga digunakan untuk memeriksa sumua proses
keperawatan (Debora, 2017).
Evaluasi keperawatan terhadap pasien tuberculosis dengan masalah
ketidakpatuhan program pengobatan diantaranya :
a. Pasien melakukan pengobatan sesuai dengan yang sudah diresepkan
b. Pasien mengonsumsi obat sesuai interval yang ditentukan
c. Pasien mematuhi pengobatan dengan berpartisipasi dalam terapi yang diberikan
d. Pasien dan keluarga mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pemberi pelayanan
kesehatan