Anda di halaman 1dari 43

LAPORAN KASUS

HIRSCHPRUNG DISEASE SUSPECT DOWN SYNDROME

Pembimbing :
dr. Ni Made Rika Trismayanti, Sp.BA

Disusun Oleh :
Farida Nurhayati
1820221093

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
PERIODE 13 JANUARI – 20 MARET 2020
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS
HIRSCHPRUNG DISEASE SUSPECT DOWN SYNDROME

Diajukan untuk memenuhi persyaratan ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan

Oleh :

Farida Nurhayati
1820221093

Jakarta, Februari 2020

Telah dibimbing dan disahkan oleh :

Pembimbing

dr. Ni Made Rika Trismayanti, Sp.BA

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang
berjudul ―Hirschprung Disease Suspect Down Syndrome‖. Laporan kasus ini
dibuat untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Bedah.
Penyusunan tugas ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu selesainya laporan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang kepada dr. Ni Made Rika Trismayanti,
Sp.BA selaku pembimbing dan seluruh teman di kepaniteraan klinik bagian Ilmu
bedah atas kerjasamanya selama penyusunan tugas ini.
Pemulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
guna perbaikan yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis sendiri, pembaca maupun pihak-pihak yang berkepentingan.

Jakarta, Februari 2019

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................................1


LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................2
KATA PENGANTAR .............................................................................................3
DAFTAR ISI ..........................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................5


BAB II STATUS PASIEN .....................................................................................6
II.1 Identitas Pasien ..............................................................................................6
II.2 Anamnesis ....................................................................................................6
II.3 Pemeriksaan Fisik ...........................................................................................9
II.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................11
II.5 Diagnosis .....................................................................................................13
II.6 Tatalaksana ..................................................................................................13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................14
III.1 Anatomi dan Fisiologi .................................................................................14
III.2 Penyakit Hirschprung ...................................................................................20
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................40
BAB V KESIMPULAN .........................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................43

4
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung merupakan suatu penyakit yang menyerang sistem


pencernaan manusia, terutama menyerang usus besar (colon). Pada penyakit ini,
dijumpai pembesaran usus besar (megacolon), akibat absennya sel ganglion pada
bagian distal usus. Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya
sel ganglion di pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s)
Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas kontraksi ritmik yang diperlukan untuk
mencerna makanan yang masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini
menyebabkan dilatasi hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga
terjadi kesulitan defekasi dan feses terakumulasi sehingga menyebabkan
megakolon.
Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko
tertinggi terjadinya penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai
riwayat keluarga penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down
Syndrome. Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis
atau colon transversum pada 17% kasus. Anak kembar dan adanya riwayat
keturunan meningkatkan resiko terjadinya penyakit hirschsprung. Laporan
insidensi tersebut bervariasi sebesar 1.5 sampai 17,6% dengan 130 kali lebih
tinggi pada anak laki-laki.
Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai dengan
gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi distensi
abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam sampai 72 jam.
Pada banyak kasus, segmen aganglionik terdapat pada rectum dan kolon sigmoid.
Metode diagnosis yang dapat dilakukan untuk mengonfirmasi penyakit
Hirschsprung adalah dengan melakukan biopsy, barium enema atau contrast
enema, dan anorectal manometry.
Penatalaksanaan penyakit Hirschsprung terdiri dari tindakan non bedah
dan tindakan bedah. Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan. Tindakan
bedah bertujuan untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi.

5
BAB II
STATUS PASIEN

II.1. Identitas Pasien


Nama : By. Ny. R
Usia : 2 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sumberjaya RT 04/RW 03, Tambun, Bekasi
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 7 Februari 2020
Pembayaran : JKN-BPJS
No. Rekam Medis : 2-52-65-xx

II.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada
tanggal 7 Februari 2020 pukul 12.00 di Poli Bedah Anak RS Persahabatan.
II.2.1. Keluhan Utama
Tidak dapat buang air besar sejak lahir.
II.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit dibawa keluarganya dengan keluhan tidak
dapat buang air besar (BAB) sejak lahir. Ibu pasien mengatakan saat lahir pasien
tidak mengeluarkan BAB. Ibu pasien juga mengatakan perut pasien tampak
membesar dan kembung. Pasien juga jarang kentut. Keluhan muntah disangkal,
batuk pilek, sesak nafas dan demam disangkal. Kejang disangkal dan BAK tidak
ada keluhan. Selama di rumah, BAB pasien harus dibantu dikeluarkan dengan
cara disedot dengan selang dan suntikan yang berisi air. Pernah dicoba untuk
tidak dibantu, namun pasien masih belum bisa BAB. Selama di rumah, BAB
pasien cair, berwarna kuning, terdapat ampas seperti biji. Pengueluaran BAB
dilakukan 2 kali sehari. Jika sudah BAB perut pasien yang semula membesar
maka tampak mengecil.
Pasien lahir di RS Kartika Husada secara operasi caesar. Saat lahir pasien
langsung menangis namun tidak mengeluarkan BAB hingga lebih dari 1 hari.
Pasien dirawat di RS tersebut selama 3 hari. Selama di rawat di RS Kartika

6
Husada pasien hanya diberi susu ASI dari selang makan dan masih belum bisa
BAB. Saat dirawat di RS tersebut pasien pernah muntah berwana hijau sebanyak
satu kali. BAK tidak ada keluhan. Setelah 3 hari di RS tersebut, pasien harus
dirujuk ke RS yang memiliki fasilitas lengkap, maka dari itu pasien kemudian
dirujuk ke RS Persahabatan untuk pemeriksaan lebih lengkap.
Pasien dirawat di RSUP selama kurang lebih 1 bulan. Selama dirawat di
RSUP pasien belum juga dapat mengeluarkan BAB sendiri. Pengeluaran BAB
pasien dibantu dengan cara disedot dengan menggunakan selang dan suntikan
yang berisi air. Pertama kali BAB, BAB pasien berwarna hijau kehitaman,
konsistensi cair, dan berbau. Selanjutnya BAB berwarna kuning. Pengeluaran
BAB selalu masih dibantu dengan selang dan suntikan. Keluhan muntah
disangkal dan demam disangkal. Kemudian pasien pulang ke rumah, keluarga
pasien diajarkan untuk mengeluarkan BAB pasien dan diminta untuk kontrol di
poli bedah anak. Saat kontrol ke poli bedah anak, pasien tampak aktif.
II.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang : disangkal
Riwayat kuning : diakui dan diberi terapi sinar selama 2 hari
Riwayat alergi : diangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat trauma : disangkal
II.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Kedua
kakaknya memiliki tumbuh kembang yang normal sesuai usia.
Riwayat kelainan bawaan : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
II.2.5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan dua kakak kandungnya. Pasien
dirawat oleh keluarganya. Kakak kandung pasien berusia 17 tahun dan 8 tahun.
Pasien tinggal di perumahan yang cukup padat. Ayah pasien bekerja sebagai
wiraswasta dan ibu pasien sebagai ibu rumah tangga.

7
II.2.6. Riwayat Kehidupan Pribadi
a. Riwayat Prenatal
Saat hamil pasien usia ibu 38tahun. Ibu pasien pernah terkena
demam berdarah saat hamil pasien usia 2 bulan. Ibu rutin periksa
kandungan di bidan dan dokter. Saat hamil usia kehamilan 37 minggu, ibu
pasien mengalami darah tinggi dan cairan ketuban tersisa sedikit sehingga
persalinan harus dioperasi.
b. Riwayat Natal
Pasien lahir dari ibu G3P2A0. Lahir di dokter secara operasi
caesar. Pasien lahir di usia kehamilan 37 minggu. Saat lahir pasien
langsung menangis, tidak tampak sesak dan tidak kebiruan. Berat badan
lahir 2800gr, panjang badan 42 cm.
c. Riwayat Postnatal
Pasien tidak bisa BAB sejak lahir. Riwayat di rawat di RS selama
kurang lebih 1 bulan. Mendapat terapi sinar selama 2 hari. Riwayat kejang
disangkal, riwayat trauma disangkal, riwayat kebiruan disangkal.
d. Riwayat Makanan
Sejak lahir hingga usia saat ini pasien diberi ASI dan susu soya.
e. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan
Perkembangan dan pertumbuhan pasien sesuai usia. Saat ini pasien
dapat menatap ibu, mengangkat kepala, menggerakan kepala,
mengeluarkan suara dan tersenyum. Pasien juga kuat menyusu.
f. Riwayat Imunisasi
Pasien sudah imunisasi Hepatitis 0 saat usia 0 bulan dan BCG saat
usia 1 bulan.
II.2.7. Genogram

45th 39th 49th 43th 38th

17th 8th 2 bln


8
Keterangan
Meninggal
Laki-laki
Cerai
Perempuan
Arsir Putih : Sehat
Tinggal serumah
Arsir Hitam : Sakit

II.3. Pemeriksaan Fisik


II.3.1. Status Generalis
a. Keadaan umum : tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Compos mentis (E4M6V5)
c. Tanda Vital
 Nadi : 120x/menit
 Frekuensi nafas : 30 x/menit
 Suhu : 36,7 oC
d. Antropometri
 Berat badan : 3700 gram
 Panjang badan : 57 cm
 Lingkar kepala : 36 cm
 Lingkar perut : 38 cm
e. Kepala
 Bentuk kepala : asimetris, brachycephaly
 Rambut : Distribusi merata, warna hitam
 Wajah : tampak dismorfik
 Mata : anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
(3mm/3mm), lipatan epikantus (+/+)
 Hidung : normosepti, sekret (-)
 Telinga : lipatan heliks (+/+)
 Mulut : mukosa basah
 Leher : Pembesaran KGB (-), excess skin leher belakang

9
f. Thorax
 Pulmo
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
Palpasi : Vokal fremitus simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung normal
Auskultasi : S1>S2, murmur (-), gallop (-)
g. Abdomen
Inspeksi : Cembung, distensi (+)
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Perkusi : Timpani
Palpasi : Nyeri tekan (-), massa (-)
Hepar / Lien : tidak teraba besar
h. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral hangat (+/+ sianosis (-/-), CRT <2dtk
Inferior : Edema (-/-), akral hanngat (+/+), sianosis (-/-)
i. Pemeriksaan Motorik
Atas Bawah
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Bebas Bebas Bebas Bebas
Tonus Normo Normo Normo Normo
Refleks
 Moro +
 Snout +
 Grasping +

 Rooting +

 Babinsky +

10
II.3.2 Pemeriksaan Urogenital
a. Genitalia eksterna
 Jenis kelamin laki-laki
 Penis : preputium (+), ostium uretra eksterna normal, discharge (-)
fimosis (-)
 Skrotum : testis (+/+) kenyal, edema (-)
b. Regio anal
 Anus (+) normal, benjolan (-), hiperemis (-), tidak ada cairan yang
keluar dari anus
c. Rectal touche
 Tonus sfingter ani (+), sempit
 Mukosa recti licin, massa (-)
 Explosive stool (+)
 Handscoen: feses (+), lendir (-), darah (-)

II.4. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorim tanggal 30/1/2020
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11,2 g/dl 10,5-14.0
Hematokrit 32,3 % 32 - 42
Eritrosit 3,68 (L) 106/ul 3,7 – 5,3
Leukosit 6.070 /ul 6.000 – 14.000
Trombosit 323.000 /ul 150.000 – 400.000
MCV 87,8 fL (L) 72 – 88
MCH 30,4 Pg/cell 24 – 30
MCHC 34,7 % 32 – 36
RDW 15 % <16,5
PT 11,2 detik 9,8 – 11,2
APTT 48,6 (H) detik 31 – 47
Glukosa Sewaktu 89 mg/dL 70 - 200
SGOT 44 (H) u/L 5 – 34
SGPT 33 u/L 0 – 55
Glukosa Sewaktu 152 mg/dL ≤ 200
Ureum 14 (H) mg/dL 11 – 36
Kreatinin 0,3 mg/dL 0,3 – 0,6

11
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Abdomen 2 posisi 11/12/2019

 Distribusi udara usus merata hingga pelvis minor


 Tampak distensi ringan colon
 Tak tampak air fluid level
 Tak tampak udara bebas intra abdomen
 Kesan : Meteorismus

b. Pemeriksaan Colon in Loop 23/1/2020

12
 Tampak dilatasi usus terutama usus besar
 Pada aplikasi kontras melalui anus, terlihat aliran kontras mengisi
rectum hingga colon transversum
 Terlihat zona transisi relatif panjang (kurang lebih 4cm di regio
rectosigmoid), disertai dilatasi colon proksimal
 Tampak irregularitas dinding colon transversum
 Pada radiografi 24 jam terlihat retensi kontras
 Kesan : Sugestif M Hirschprung type long segment, disertai tanda
inflamasi kronis
c. Pemeriksaan Foto Thorak 29/1/2020

 Tulang-tulang intak
 Diafragma dan sudut kostofrenikus normal
 Corakan bronkovaskuler normal, tak tampak infiltrat
 Hilus tak menebal, jantung ukuran normal
 Tampak pelebaran mediastinum superior
 Trakhea di tengah
 Kesan : radiografi thoraks dalam batas normal

II.5 Diagnosis
 Hirschprung disease long segment
 Suspect Down syndrome

II.6 Tatalaksana
a. Nutrisi ASI dan susu
b. Spooling dilanjutkan
c. Pro operasi transanal endorectal pull-through

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1. Anatomi dan Fisiologi Usus Besar


III.1.1. Anatomi
Usus besar (kolon) manusia dengan panjang 1,5 meter, membentuk
lengkungan di perut mulai di daerah iliaka kanan dan berjalan sefalad ke
permukaan kaudal hati, melewati garis tengah ke hipokondrium kiri, turun ke
daerah iliaka kiri, dan kemudian melengkung ke garis tengah untuk melewati
dinding panggul posterior ke anus. Kolon terdiri dari lima bagian: usus buntu,
sekum, kolon, rektum, dan kanalis anal. Kolon memiliki empat bagian: kolon
asendens di sisi kanan perut, kolon transversa, kolon desendens di sisi kiri
abdomen, dan kolon sigmoid.
Landmark kunci yang terkait dengan kolon adalah persimpangan
ileocecal, fleksura hepatik, fleksura lien, dan persimpangan rectosigmoid
(Gambar 1). Persimpangan ileocecal, juga dikenal sebagai katup ileocecal,
memisahkan terminal ileum dari usus besar. Sekum adalah kantong buta usus
besar yang memanjang ke hulu dari persimpangan ileocecal. Sekum meluas ke
panggul berhubungan dengan rektum, memanjang melintasi garis tengah ke fossa
iliaka kiri, atau bahkan memanjang cephalad ke fossa iliaka.
Apendiks vermiformis berbentuk seperti tabung cacing yang panjangnya
10-20 cm dan berdiameter 10 mm yang memanjang dari puncak sekum. Posisinya
di dalam perut mungkin sangat bervariasi karena sifatnya yang mesentery.
Kolon asendens, memanjang dari persimpangan ileocecal ke fleksura
hepatik (angulasi yang dibentuk oleh kolon pada permukaan kaudal hati), tidak
memiliki mesenterium. Peritoneum yang berinvestasi menambatkan usus besar ke
otot iliopsoas, otot quadratus lumborum, origo aponeurotik dari otot-otot perut
transversal, dan permukaan ventrolateral dari ginjal kanan.
Kolon transversus memanjang dari impresi kolik pada permukaan kaudal
hati ke limpa, melintasi garis tengah dalam arah kaudal, dan memanjang di bawah
garis interiliac. Mesenterium yang melimpah di wilayah ini, yang dikenal sebagai
mesocolon, memungkinkan mobilitas kolon transversal dalam jumlah besar, dan
posisinya di dalam perut dapat bervariasi. Angulasi akut yang dibentuk oleh kolon

14
tepat di bawah limpa, fleksura lien, membatasi awal kolon desendens. Fleksura
splenica kolon biasanya menyentuh limpa dan kauda pankreas. Fleksura splenica
relatif tetap karena ditahan di tempat oleh ligamentum frenikokolik, lipatan
peritoneum yang menempel pada fleksura splenica dan limpa pada diafragma di
seberang iga ke-10 dan ke-11. Kolon desendens, berjalan caudad dari limpa ke
panggul, tidak memiliki mesenterium, peritoneum yang berinvestasi
memegangnya dekat dengan otot iliopsoas dan quadratus lumborum, ginjal kiri,
dan origo aponeurotik dari otot-otot perut transversal. Kurva kolon desendens
medial di ventral fossa iliaka kiri ke otot iliopsoas membentuk lingkaran, kolon
sigmoid. Lingkaran ini, dimulai pada sekitar tingkat celah atas panggul yang lebih
rendah, ditangguhkan dari mesenterium, sokoloid mesocolon, yang juga
menganugerahkan sejumlah besar mobilitas. Usus sigmoid berakhir di garis
tengah pada permukaan ventral sakrum pada tingkat vertebra sakral ketiga di
mana ia menjadi persimpangan rectosigmoid (Puri, 2019).

Gambar 1. Usus besar (Puri, 2019)

Rektum terletak di dalam rongga peritoneum di ujung rostralnya, tidak


memiliki mesenterium tetapi diinvestasi oleh peritoneum. Penutup peritoneum ini
tercermin sekitar 7,5 cm di atas saluran anal pada pria dan 5,5 cm di atas saluran
anal pada wanita. Di bawah titik tersebut terletak rektum yang dibatasi oleh dorsal
oleh tulang ekor dan sakrum dan perut oleh kandung kemih dan vagina pada
wanita atau kandung kemih, prostat, dan vesikula seminalis pada pria.
Kanalis anal memanjang dari ujung ampula dubur (sekitar puncak prostat
pada pria) ke lubang anal eksternal. Rektum bergabung dengan saluran anus pada
sudut tumpul yang mengarah ke anterior. Sumbu kanalis anal mengarah ke ventral
menuju umbilikus, sedangkan sumbu dubur menunjuk ke arah dorsal menuju
sendi sakroiliaka. Kanalis anal memiliki panjang 2,5-4 cm dan terletak

15
sepenuhnya di dasar panggul, dikelilingi oleh otot levator ani dan sfingter anal
eksternal. Irisan fibromuskuler, perineum, memisahkan saluran anus dari struktur
urogenital bagian perut. Struktur yang serupa, pelat postanal, memisahkannya dari
tulang ekor secara dorsal.
Mukosa saluran anal terletak pada lipatan longitudinal yang disebut kolom
Morgagni dan dipisahkan oleh lembah yang disebut sinus rektum (Gambar 2).
Setiap kolom berakhir di lubang anal eksternal sebagai puting segitiga. Puting-
puting ini disebut papilla anal, ditutupi dengan epitel skuamosa, membentuk
barisan yang menandai batas epitel skuamokolumnar (garis pektinata). Lipatan
epitel tipis, katup anal, menghubungkan papilla anal yang berdekatan dan
membentuk deretan kantong kecil yang dikenal sebagai anal crypts atau sinus
antara papillae.
Kolon terdiri dari empat lapisan: mukosa, submukosa, muscularis propria,
dan serosa. Mukosa terdiri dari tiga lapisan: epitel, lamina propria, dan mukosa
muskularis. Propria muskularis juga mengandung tiga lapisan: lapisan otot
melingkar, ruang intermuskular, dan lapisan otot longitudinal (Puri, 2019).
Usus besar secara kasar memiliki penampilan yang sangat berbeda dari
penampilan usus halus yang relatif halus. Cincin tipis dari lapisan otot melingkar
menginterupsi dinding yang menggembung pada interval tertentu untuk
membentuk lumen menjadi rantai kantung yang disebut haustra. Penampilan
sakral ini mencirikan sekum dan usus besar sampai persimpangan rektosigmoid.
Rektum adalah silinder yang lebih seragam, dengan lekukan yang dihasilkan oleh
katup-katup Houston (Puri, 2019).

Gambar 2. Rektum dan Kanalis anal (Puri, 2019).

16
III.1.2 Fisiologi
Saluran pencernaan bertanggung jawab atas fungsi-fungsi kompleks yang
penting untuk kelangsungan hidup inang termasuk (1) transportasi makanan; (2)
pencernaan dan penyerapan nutrisi; (3) sekresi air, elektrolit, lendir, molekul
pensinyalan, dan zat antimikroba; (4) pelestarian fungsi penghalang usus ; (5)
pemeliharaan mikrobiota sehat; dan (6) perlindungan dari patogen yang tertelan,
alergen, dan racun. Regulasi proses kritis ini berada di bawah kendali sistem saraf
enterik (ENS). ENS yang matang benar-benar unik dan berbeda dari sistem saraf
perifer (PNS). Pertama, ENS bersifat independen dan dapat berfungsi jika tidak
ada input dari otak atau sumsum tulang belakang. Kedua, berbeda dengan PNS,
ENS dapat memediasi refleks bahkan ketika diisolasi dari sistem saraf pusat
(SSP). Kemampuan ENS ini sering diabaikan, meskipun telah lama diketahui.
Refleks peristaltik yang ditimbulkan oleh peningkatan tekanan
intraluminal, yang terdiri dari gelombang eksitasi oral dan relaksasi anal yang
turun di usus dan bersifat mendorong. Fakta bahwa aktivitas refleks dapat
dimanifestasikan oleh segmen usus in vitro, yang jelas telah kehilangan semua
koneksi ke akar dorsal atau ganglia saraf kranial, otak, dan sumsum tulang
belakang, menunjukkan bahwa setiap elemen saraf dari busur refleks peristaltik
(reseptor sensorik) , interneuron primer, neuron motorik, dan efektor) harus
merupakan komponen intrinsik dari dinding usus (Puri, 2019).
ENS dari sebagian besar mamalia dewasa terdiri dari dua pleksus ganglion
utama yang saling berhubungan, mienterika dan submukosa. Pleksus mienterika
terletak di antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal usus. Pleksus ini
memanifestasikan aktivitas saraf terintegrasi dan menyediakan persarafan motorik
ke lapisan otot melingkar dan longitudinal dari muskularis eksterna.
Pleksus submukosa adalah pleksus yang lebih kecil dari dua pleksus saraf
utama. Pleksus submukosa terletak di antara mukosa dan otot melingkar usus di
dalam jaringan ikat submukosa yang padat dan tidak teratur, sel sekretori
persarafan, sel endokrin, dan pembuluh darah di mukosa dan submukosa. Dua
pleksus enterik juga saling memproyeksikan. Pada hewan yang lebih besar,
termasuk manusia, pleksus submukosa dapat dibagi menjadi pleksus yang terpisah
dari Schabadasch (eksternal) dan Meissner (internal). Namun, pleksus ini saling
berhubungan secara luas dan perbedaan fungsional yang jelas belum diketahui.
Neuron submukosa memproyeksikan satu sama lain, ke mukosa dan ke pleksus
17
mienterika. Neuron yang diproyeksikan ke mukosa termasuk sensorik intrinsik
dan neuron sekretomotor. Beberapa neuron submukosa berbentuk bipolar atau
pseudounipolar dan juga menonjol ke pleksus mienterika, memiliki fungsi sebagai
aferen primer. Subset neuron submukosa, yang membangkitkan respons
vasomotor ketika diaktifkan oleh rangsangan mukosa, memproyeksikan baik ke
mukosa dan pembuluh darah.
Pleksus submukosa dan mienterika mengandung banyak interneuron yang
terlibat dalam proyeksi interganglionik dan pembentukan sirkuit mikro kompleks
yang baru saja mulai dipetakan. Neuron motorik yang mengeksitasi atau
merelaksasi muskularis eksterna terletak secara eksklusif di pleksus mienterik.
Mienterika seperti pleksus submukosa juga mengandung neuron sensorik intrinsik
yang memproyeksikan ke mukosa. Beberapa neuron mienterik terproyeksi keluar
dari usus. Proyeksi yang meninggalkan usus disebut "enterofugal" untuk
membedakannya dari persarafan ekstrinsik "sentrifugal", yang pada akhirnya
diturunkan dari SSP, yang memasuki usus. Tergantung pada tingkat usus, target
neuron "enterofugal" termasuk ganglia simpatis prevertebral (usus kecil dan usus
besar), trakea (dari kerongkongan) pankreas (dari duodenum dan perut), kandung
empedu (dari perut), batang otak (dari perut), batang otak (dari perut), dan cord
sakral (dari usus besar). Karena ENS sangat berbeda dari komponen lain dari
PNS, maka dapat dipastikan bahwa faktor dan / atau proses yang menentukan
pengembangan ENS cenderung berbeda dari ganglia perifer lainnya (Puri, 2019).
Fungsi motorik dari usus besar merupakan hasil dari interaksi antara sinyal
saraf intrinsik dan ekstrinsik. Dengan kata lain, pergerakan dan fungsi usus besar
tergantung pada aktivitas miogenik di dalam lapisan otot usus besar dan sinyal ke,
dari, dan di antara pleksus saraf yang luas.
Usus besar menerima suplai saraf ekstrinsiknya melalui saraf vagus, dari
saraf panggul, dan dari saraf mesenterika. Cabang saraf vagus memberikan
persarafan parasimpatis, bagian kranial dari aliran kraniosakral, ke seluruh saluran
pencernaan dan ke ujung rostral usus besar.
Saraf panggul, yang timbul dari cord sakral, juga mendistribusikan serat
parasimpatis, komponen sakral dari aliran kraniosakral, ke seluruh usus besar.
Saraf mesenterika muncul dari ganglia prevertebralis. Tiga ganglia prevertebralis
mengirim cabang bersama tiga arteri yang sesuai ke usus. Saraf ini adalah saraf
simpatik, elemen aliran torakolumbalis dari sistem saraf pusat.
18
Pleksus mienterika, persarafan intrinsik utama dari usus besar, menempati
ruang intermuskular antara dua lapisan otot propria muskularis. Ganglia, kelenjar
getah bening sel tubuh dan sel enteroglial, terletak pada bidang ini dengan
distribusi yang teratur dan seragam, bergabung dengan fasikel interganglionik.
Jaring yang dibentuk oleh ganglia dan fasikulus interganglionik, pleksus
primer, menggambarkan ruang poligon tidak beraturan yang dengan sendirinya
mengandung pleksus sekunder yang terdiri dari fasikulus kecil yang bercabang
dari pleksus primer. Bundel serabut saraf yang lebih kecil membentuk pleksus
tersier di dalam ruang pleksus sekunder. Ukuran dan kepadatan distribusi ganglia
dan sel-sel sel saraf di pleksus mienterik berkurang di sepanjang usus besar.
Dengan demikian, kepadatan tubuh sel saraf di pleksus mienterik rektal
lebih rendah daripada di bagian lain dari sistem pencernaan dengan pengecualian
sfingter esofagus bagian bawah (Puri, 2019).
Motilitas dan fungsi motorik adalah istilah yang banyak digunakan untuk
menggambarkan aktivitas otot visceral usus, dapat berarti beberapa hal yang
berbeda sesuai dengan konteksnya. Istilah ini dapat merujuk pada salah satu atau
semua dari tiga proses: (a) aliran konten luminal dalam usus; (b) kontraksi dan
relaksasi dinding otot usus yang membuat aliran ini; dan (c) fungsi fisiologis yang
mengendalikan kekuatan kontraksi dan distribusinya dalam ruang dan waktu.
Ketiga proses — arus, kontraksi, dan fungsi kontrol — merupakan
kategori peristiwa yang kompleks. Misalnya gas, lendir, kimus, dan feses tentu
semuanya mengalir, tetapi harus mengalir secara berbeda karena semuanya adalah
cairan non-Newtonian dengan karakteristik fisik yang berbeda.
Bahan-bahan yang berbeda ini akan menyebabkan pola yang sedikit
berbeda dari distensi dinding kolon dan dengan demikian kemungkinan memiliki
sinyal unik untuk jalur neuromuskuler intrinsik dalam dinding usus besar serta
proses hilir berikutnya. Kontraksi dapat melibatkan salah satu atau semua dari tiga
lapisan otot usus besar dengan rentang kekuatan yang sangat besar dan distribusi
spasial temporal. Fungsi dari lapisan otot dipengaruhi dalam berbagai tingkatan
oleh kekuatan otot hormonal, neuronal, dan intrinsik (Puri, 2019).

19
III.2. Penyakit Hirschprung
III.2.1 Definisi
Penyakit Hirschsprung (Hirschprung Disease (HD)/HSCR) adalah salah
satu penyakit bedah anak yang paling umum dan representatif dengan kejadian 1
dari 5.000 kelahiran hidup. Penyakit ini ditandai oleh megakolon kongenital dan
konstipasi parah, yang kadang-kadang menyebabkan patofisiologi septik yang
fatal bila tidak diobati (Taguchi, et al., 2019).
Pada tahun 1886 pada Kongres Pediatrik di Berlin, Harald Hirschsprung,
seorang dokter anak dari Kopenhagen, mempresentasikan laporan dua pasien
dengan usus besar yang membesar yang meninggal pada usia 8 dan 11 bulan,
masing-masing, karena sembelit yang tak henti-hentinya, kekurangan gizi, dan
enterokolitis yang terkait dengan sepsis fatal. Hirschsprung adalah orang pertama
yang menggambarkan kondisi patologis ini disertai dengan pembesaran usus
secara drastis sebagai entitas klinis yang berbeda. Sejak itu, kondisi khusus ini
akhirnya melahirkan nama Hirschsprung untuk menghormati kontribusi
historisnya pada penyakit ini (Taguchi, et al., 2019).
Penyakit Hirschsprung adalah gangguan perkembangan sistem saraf
enterik (ENS) dan ditandai oleh tidak adanya sel ganglion di pleksus mienterika
dan submukosa dari usus bagian distal. Hal ini menyebabkan tidak adanya
peristaltik pada usus yang terkena dan perkembangan obstruksi usus fungsional
(Taguchi, et al., 2019).

III.2.2. Epidemiologi
HSCR dianggap lebih umum pada laki-laki, dengan kejadian sekitar satu
dalam 500 kelahiran hidup (Singer, et al., 2015). Insiden HSCR diperkirakan
1/5000 kelahiran hidup. Namun, kejadiannya bervariasi secara signifikan di antara
kelompok etnis (1,0, 1,5, 2,1 dan 2,8 per 10.000 kelahiran hidup di Hispanik,
Kaukasia-Amerika, Afrika-Amerika dan Asia, masing-masing) (Taguchi, et al.,
2019).
Beberapa penelitian tentang kejadian HSCR telah dilaporkan. Insiden
HSCR diperkirakan 1 dari 5000 kelahiran hidup dan berkisar dari 1 dalam 2000
hingga 1 dalam 12.000 kelahiran hidup (Puri, 2019). Baru-baru ini, survei besar
kasus HSCR dari database populasi di California menemukan 2464 kasus HSCR

20
di antara 9,3 juta kelahiran selama 1995-2013, dengan kejadian 2,2 kasus per
10.000 kelahiran hidup. Insidensi bervariasi berdasarkan ras, dengan angka
tertinggi terlihat di antara orang Amerika keturunan Afrika pada 4,1 per 10.000
kelahiran hidup, anak-anak Asia / Pasifik pada 2,5 per 10.000 kelahiran hidup
dibandingkan dengan 1,9 kasus per 10.000 kelahiran hidup di antara anak-anak
kulit putih / Kaukasia (Puri, 2019).

III.2.3. Etiologi
a. Migrasi Sel Neural Crest
Neural crest adalah salah satu organ paling awal yang terbentuk di
dalam embrio yang sedang berkembang. Sel-sel krista neural (NCC) bersifat
pluripotensial dan mengikuti jalur migrasi yang bergantung pada tingkat
asalnya. Begitu sampai di tujuan akhir, neuroblas berdiferensiasi menjadi
banyak tipe sel. NCC termasuk sel-sel medula adrenal, neuron dan glia dari
sistem saraf simpatis dan parasimpatis, melanosit, dan sel neuroendokrin.
Sel-sel ganglion dan sel-sel pendukungnya berasal dari puncak saraf
vagal dan bermigrasi dari sana ke usus embrionik. Puncak saraf vagal juga
merupakan sumber sel stroma timus, kelenjar paratiroid, dan sel ganglion
jantung. Sel-sel ganglion pertama-tama bermigrasi ke pleksus mienterika
Auerbach dan kemudian melintasi lapisan otot melingkar ke pleksus
submukosa Meissner. NCC pertama-tama membentuk pleksus mienterika
tepat di luar lapisan otot melingkar.
Lapisan otot longitudinal yang diturunkan secara mesenkimal
terbentuk, mengapit pleksus mienterika setelah terbentuk pada minggu ke-12
kehamilan. Selain itu, setelah migrasi kranio-kaudal telah berakhir, pleksus
submukosa dibentuk oleh neuroblas, yang bermigrasi dari pleksus mienterika
melintasi lapisan otot melingkar dan ke dalam submukosa; ini berkembang
dalam arah kranio-kaudal selama 12 sampai 16 minggu kehamilan. Studi pada
tikus yang mengembangkan aganglionosis kongenital memperlihatkan bahwa
ada penundaan atau penahanan dalam migrasi ini, yang menyebabkan NCC
gagal mencapai usus bagian distal. Menurut teori ini, panjang usus
aganglionik tergantung pada waktu penahanan dalam migrasi kranio-kaudal
dari sel-sel ganglion. Semakin awal penahanan migrasi, semakin panjang
segmen aganglionik (Taguchi, et al., 2019).
21
b. Lingkungan Mikro
HD mungkin disebabkan oleh kegagalan pengembangan NCC setelah
migrasi daripada kegagalan migrasi saja. NCC tiba di tujuan, tetapi kemudian
mungkin gagal untuk bertahan hidup, berproliferasi, atau berdiferensiasi
karena kelainan dalam lingkungan mikro. Protein matriks ekstraseluler (ECM)
telah diakui sebagai faktor lingkungan mikro yang penting dari jalur
pemrosesan neuron pada tahap embrional awal.
Perubahan ECM pada tahap embrional awal dapat menyebabkan
penahanan migrasi NCC ke tujuan akhirnya, sehingga menghasilkan HD, atau
dapat menyebabkan perkembangan ganglia enterik yang abnormal, sehingga
menghasilkan gangguan terkait HD (misalnya, displasia neuron usus).
Baru-baru ini, Zheng et al. telah menyelidiki ekspresi fibronektin dan
kelimpahan neuroligin yang berkorelasi dalam ENS. Mereka menemukan
bahwa neuroligin-1 dan neuroligin-2 diekspresikan pada level rendah pada
segmen aganglionik dan pada level intermediate pada segmen transisi
dibandingkan dengan level ekspresi tinggi pada jaringan normal. Sebaliknya,
ekspresi fibronektin berkorelasi negatif dengan ekspresi dalam ketiga sampel
yang beralih dari tertinggi ke terendah. Mereka menyimpulkan bahwa
fibronektin mempengaruhi ekspresi neuroligin-1 dan neuroligin-2 dalam HD,
yang dapat menyebabkan hipoplasia sel ganglion di ENS. Namun, belum
diklarifikasi apakah perubahan ECM mewakili penyebab aganglionosis atau
apakah perubahan tersebut adalah perubahan sekunder (Taguchi, et al., 2019).
c. Cell Adhesion Molecules
Molekul adhesi sel memainkan peran penting dalam interaksi sel-sel,
yang mengatur pengembangan dan pemeliharaan organisme multiseluler.
Dalam sistem saraf, ada molekul adhesi sel unik yang penting untuk
pembentukan jaringan saraf yang rumit. Salah satu yang paling dikarakterisasi
adalah molekul adhesi sel saraf (NCAM). NCAM adalah glikoprotein
permukaan sel yang terlibat dalam adhesi antara beberapa jenis sel saraf dan
prosesnya dan dalam pembentukan kontak awal antara sel-sel saraf dan otot.
Diindikasikan bahwa kurangnya ekspresi NCAM pada serabut saraf dalam
otot pasien dengan HD menunjukkan kelainan perkembangan persarafan otot,
dan tidak adanya selektif NADPH-saraf diaphorasepositive di otot
kemungkinan besar bertanggung jawab atas kelenturan segmen aganglionik.
22
LICAM adalah protein multidomain dan memainkan peran penting
dalam adhesi sel, migrasi, pertumbuhan neurit, fasikulasi akson, dan
mielinisasi. Peneliti menemukan bahwa ikatan saraf hipertrofi yang diamati di
ruang intermuskular, di submukosa, dan di lapisan otot melingkar adalah
imunopositif dengan antibodi anti-Thy-l dan anti-integrin α5, tetapi tidak
diimunisasi dengan anti-L1. Hal tersebut berdasarkan temuan bahwa
kurangnya ekspresi L1CAM dalam serabut saraf ekstrinsik dapat mengganggu
migrasi NCC dan pertumbuhan neurit yang memadai dengan hasil segmen
aganglionik dan bundel saraf abnormal dari serat ekstrinsik pada kolon pasien
dengan HD (Taguchi, et al., 2019).
d. Faktor Neurotrofik
Nerve growth factor (NGF) adalah molekul neurotrofik yang
berkarakteristik terbaik dan dikenal sebagai faktor penting untuk
pengembangan dan pemeliharaan fungsional neuron terpilih seperti sensor
perifer dan neuron simpatis. Molekul ini diturunkan dari target dan
dibutuhkan secara khusus oleh sel ganglion akar simpatis dan dorsal untuk
kelangsungan hidup dan pematangannya selama perkembangan embrionik dan
awal pascakelahiran. Peran fisiologis NGF dalam sistem saraf pusat dikenal
sebagai faktor neurotropik untuk neuron kolinergik di otak depan basal,
sedangkan tetap tidak diklarifikasi apakah NGF memainkan peran penting
dalam perkembangan normal ENS. Kuroda et al. mempelajari ekspresi NGF
baik pada tingkat protein dan mRNA pada usus normal dan aganglionik tikus
strain piebald dan juga pada spesimen manusia. Mereka menemukan bahwa
produksi NGF diubah di usus aganglionik dan juga di "zona transisi" dalam
HD, menunjukkan bahwa fungsi NGF yang abnormal mungkin menjadi faktor
etiologi potensial dari aganglionosis (Taguchi, et al., 2019).
e. Respon Imun
Kobayashi et al. mempelajari ekspresi intercellular adhesion molecule-
1 (ICAM-1) dan major histocompatibility complex (MHC) kelas II pada
pasien dengan HD menggunakan imunohistokimia tidak langsung. Ada
ekspresi kuat antigen ICAM-1 dan MHC kelas II pada batang saraf
hipertrofik, baik pada pleksus submenterus dan mienterik kolon aganglionik.
Zona transisi menunjukkan ekspresi kuat antigen ICAM-1 dan MHC kelas II
pada ganglia kecil di pleksus mienterika dan submukosa. Namun, tidak ada
23
pewarnaan ganglia atau serabut saraf yang ditemukan di pleksus submenterus
dan myenteric dari kolon dari kontrol atau di kolon ganglionik dari pasien
dengan HD. Ekspresi kedua antigen pada batang saraf hipertrofik
menunjukkan adanya respons imunologis dalam patogenesis HD.
Moore et al. melaporkan bahwa IgG dan IgM secara signifikan
meningkat di segmen usus yang secara histologis diidentifikasi sebagai zona
aganglionik atau transisi. Mereka menyarankan bahwa peningkatan IgM pada
periode neonatal menunjukkan respon kekebalan awal dalam HD dan
memperkuat hipotesis bahwa sistem kekebalan mungkin terlibat dalam
patogenesisnya (Taguchi, et al., 2019).
f. Epithelial-Derived Signal
Sonic hedgehog (Shh) yang dikeluarkan dari epitel penting dalam
sejumlah peristiwa morfogenetik selama perkembangan usus. Ekspresi Shh
pertama kali terdeteksi pada epitel endodermal setelah pembentukan saluran
pencernaan dan berlanjut sepanjang perkembangan. Selama pengembangan
awal tikus, Shh diperlukan baik untuk pemeliharaan epitel dan untuk
ekspresinya sendiri di endoderm. Kemudian dalam pengembangan, Shh
terlibat dalam diferensiasi spesifik wilayah baik epitel dan mesenkim.
Nagy et al. menemukan bahwa overekspresi Shh, dicapai dalam ovo
menggunakan Shh-encoding retrovirus dan dalam kultur organ menggunakan
protein rekombinan, menyebabkan aganglionosis usus, dan Shh menghambat
proliferasi enterik NCC, mempromosikan diferensiasi neuron, dan
mengurangi ekspresi GDNF, regulator utama pembentukan ENS (Taguchi, et
al., 2019).
g. Autopaghy
Salah satu hipotesis HD adalah bahwa tidak adanya sel ganglion di
bagian distal usus disebabkan oleh kematian NCC enterik setelah migrasi.
Huang et al. menunjukkan struktur autophagosome khas yang ditemukan di
pleksus Auerbach dari kedua segmen yang sempit dan transisi. Temuan
mereka menunjukkan bahwa autophagy ada di usus pasien dengan HD. Atas
dasar deteksi ekspresi tertinggi gen autophagy di segmen sempit, autophagy
juga dapat menyebabkan berkurangnya neuron (Taguchi, et al., 2019).

24
III.2.4. Faktor Risiko
HD sangat terkait dengan sindrom Down, karena sekitar 5 hingga 15%
dari semua pasien HD juga memiliki trisomi 21. Etiologi penyakit masih belum
diketahui; Namun, beberapa faktor genetik telah diidentifikasi, serta riwayat
keluarga pada sekitar 10% kasus. Anomali lain termasuk dari sistem
kardiovaskular, pencernaan atau urogenital (Singer, et al., 2015).
Ada hubungan terdokumentasi yang kuat antara HD dan berbagai penyakit
genetik lainnya; sekitar 15% dari semua pasien dengan megakolon juga memiliki
trisomi 21, penanda genetik sindrom Down; kondisi terkait lainnya adalah tuli
bawaan, atresia usus atau divertikulum lambung (Singer, et al., 2015).
HD adalah salah satu penyakit genetik kompleks manusia yang paling
dipahami. Beberapa pengamatan yang menunjukkan asal genetik HD adalah
sebagai berikut.
1. Risiko kekambuhan rata-rata pada saudara kandung 3-4%, sekitar 200 kali lipat
lebih tinggi daripada populasi normal.
2. Peningkatan prevalensi pada pria.
3. Asosiasi dengan penyakit genetik lain dan kelainan kromosom.
4. Kehadiran model genetik aganglionosis dengan mode pewarisan spesifik.
(Taguchi, et al., 2019)
Sebuah studi berbasis register Eropa telah mengungkapkan bahwa tidak
ada bukti peningkatan risiko HSCR yang signifikan dalam kasus-kasus yang lahir
dari wanita berusia ≥35 tahun dibandingkan dengan wanita yang berusia 25-29
tahun. Sebuah studi kasus-kontrol berbasis populasi baru-baru ini menemukan
peningkatan risiko wanita gemuk untuk memiliki anak dengan HSCR (Puri,
2019).

III.3.5 Klasifikasi
Penyakit Hirschsprung biasanya diklasifikasikan berdasarkan luasnya
segmen aganglionik. Namun, belum ada kriteria klasifikasi terpadu di dunia.
Secara umum, diklasifikasikan sebagai "aganglionosis segmen pendek" ketika
segmen aganglionik meluas ke kolon sigmoid; khususnya, segmen aganglionik
hanya meluas ke rektum di bawah refleksi peritoneal, yang disebut sebagai
"aganglionosis rektal" (Gambar 3a), dan meluas ke kolon sigmoid, yang disebut
sebagai "aganglionosis rectosigmoid" (Gambar 3b); ―Aganglionosis segmen
25
panjang‖ ketika segmen aganglionik melampaui kolon sigmoid hingga ke fleksura
lien atau kolon transversum atau kolon asendens (Gbr. 3c); dan "aganglionosis
kolon total" ketika segmen aganglionik melampaui sekum ke ileum distal
(Gambar 3d), dan "aganglionosis luas" ketika segmen aganglionik meluas ke
jejunum (Gambar 3e).
Hampir 80% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung yang khas
memiliki segmen aganglionik terbatas pada rektum dan kolon sigmoid. Studi
sebelumnya menunjukkan bahwa aganglionosis rektal menyumbang 5,7-14,6%,
aganglionosis rektosigmoid menyumbang 64,9-67,0%, aganglionosis segmen
panjang mencapai 12,0–26,0%, dan total aganglionosis kolon sebesar 2,8-12,0%.
Jumlah total pasien telah berkurang secara bertahap diikuti oleh penurunan
kelahiran. Studi terbaru menunjukkan bahwa persentase aganglionosis rektal,
aganglionosis rectosigmoid, aganglionosis segmen panjang, aganglionosis kolon
total, dan aganglionosis luas disajikan masing-masing 11,1%, 63,1%, 14,9%,
7,9%, 7,9%, dan 3,1%.
Dari aganglionosis rektal, "ultrashort aganglionosis" pertama kali
dijelaskan pada tahun 1958 sebagai kriteria spesifik oleh Davidson dan Bauer,
yang biasanya disebut sebagai akalasia rektal. Neilson et al. melaporkan bahwa
pasien dengan ―ultrashort aganglionosis‖ mengalami konstipasi kronis, adanya
sel-sel ganglion pada biopsi rektum hisap pada 3 dan 5 cm, dan tidak ada
perubahan kaliber khas menggunakan kontras enema. Manometri anorektal
menunjukkan kegagalan refleks anorektal. Dengan demikian, manometri
anorektal adalah pemeriksaan yang paling berguna untuk mendiagnosis
aganglionosis ultrashort (Taguchi, et al., 2019).

Gambar 3. Klasifikasi HD. Keterangan: bagian berwarna adalah segmen aganglionik


(Taguchi, et al., 2019).

26
III.2.6. Manifestasi Klinis
Neonatus dengan HSCR biasanya adalah bayi yang lahir cukup bulan dan
mengalami perut cembung, dengan intoleransi makan dengan aspirasi yang lemah
atau muntah yang berat, dan secara klasik, dengan keterlambatan dalam
pengeluaran mekonium. Dalam banyak kasus, pemeriksaan rektum atau irigasi
rektum menyebabkan keluarnya mekonium dan meredakan obstruksi usus akut
(Puri, 2019).
1. Perngeluaran Mekonium yang Tertunda
Telah diketahui bahwa penundaan perjalanan mekonium setelah
kelahiran mungkin merupakan tanda awal dari masalah klinis yang berhubungan
dengan saluran pencernaan, seperti HD, meconium ileus, sindrom plug
meconium, atresia usus, dan konstipasi fungsional.
Dalam HD, perjalanan mekonium sangat tertunda. Rasio pasien HD
yang mengeluarkan mekonium dalam waktu 24 jam setelah kelahiran berkisar
antara 6% hingga 43%. Rasio neonatus HD yang mengeluarkan mekonium
dalam waktu 48 jam setelah kelahiran berkisar antara 38% hingga 72%
(Taguchi, et al., 2019).
Perjalanan tertunda mekonium adalah gejala kardinal pada neonatus
dengan HD. Lebih dari 90% pasien yang terkena gagal mengeluarkan
mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan (Puri, 2019).
2. Gejala Perut

Distensi abdomen adalah gejala yang paling sering terjadi pada neonatus
HD, dengan prevalensi berkisar dari 65% hingga 93%, diikuti oleh muntah yang
berat, muntah yang tidak berat, kurang nafsu makan, dan konstipasi (Gambar
9.1 dan Tabel 9.3). Namun, "trias klasik" muntah-muntah, distensi abdomen,
dan tertundanya mekonium hanya ditemukan pada 26,2% bayi. Mengenai
temuan pada pemeriksaan fisik, dilatasi ampula pada pemeriksaan anal adalah
tanda sembelit kronis, sementara anorektum sempit curiga HD (Taguchi, et al.,
2019).
Telah dilaporkan bahwa sepertiga dari pasien HD datang dengan diare
tanpa distensi perut yang jelas atau muntah, yang menunjukkan adanya
enterocolitis. Pada bayi prematur, gejala obstruksi usus lebih sering ditemukan
karena prematur itu sendiri dan lebih mungkin disebabkan oleh asosiasi yang

27
sering dari enterokolitis nekrotikans, sindrom plug meconium, dan konstipasi
fungsional (Taguchi, et al., 2019)
Sekitar sepertiga bayi dengan HSCR menderita diare. Diare pada HSCR
selalu merupakan gejala enterocolitis, yang merupakan penyebab paling umum
morbiditas dan mortalitas. Gejala klasik enterokolitis terkait-Hirschsprung
(HAEC) termasuk perut kembung, demam, dan diare. Namun, ada spektrum
klinis luas yang dapat menyebabkan bayi dengan HAEC muncul, dan tanda-
tanda atau gejala lain termasuk muntah, perdarahan dubur, lesu, dan obstipasi
(Puri, 2019).

Gambar 4. Bayi dengan Hirschprung’ disease (Puri, 2019).

III.2.7 Diagnosis
Tes diagnostik yang pasti adalah pemeriksaan patologis potongan
biopsi dari daerah dubur dan yang terkena dampak; fitur umum termasuk tidak
adanya (atrofi) sel-sel ganglion, jumlah terbatas serat adrenergik dan
perubahan selanjutnya dalam perkembangan otot-otot serta lapisan lain dari
mukosa kolon (Singer, et al., 2015).
Beberapa makalah dalam literatur terbaru menggarisbawahi
pentingnya imunohistokimia dalam diagnosis dan karakterisasi kasus HD
yang tepat; kurangnya ekspresi CD117 dan CD34 adalah perubahan utama
sel-sel saraf dalam kasus ini (Singer, et al., 2015).
Penyakit Hirschsprung dapat dengan mudah dicurigai berdasarkan
beberapa gejala klinis yang khas dan temuan fisik, seperti sembelit yang
dimulai sejak dini, tertundanya mekonium, distensi abdomen yang parah, dll.
Namun, pemeriksaan diperlukan untuk diagnosis, termasuk radiografi, studi

28
motilitas, dan pemeriksaan patologis (Taguchi, et al., 2019). Alat diagnostik
yang digunakan untuk mendiagnosis HSCR meliputi:
• Barium enema untuk menemukan zona transisi
• Biopsi hisap dubur untuk memastikan tidak adanya sel ganglion di
pleksus mienterika dan subkutan
• Histokimia Asetilkolinesterase (AChE) untuk menunjukkan peningkatan
aktivitas AChE

1. Radiologi
Konstipasi dimulai sejak awal kehidupan, tertundanya mekonium
pertama, dan distensi abdomen yang parah adalah temuan karakteristik pada
pasien dengan penyakit Hirschsprung. Jika gejala-gejala ini hadir, rontgen
perut biasanya dilakukan sebagai pemeriksaan pertama yang diperlukan untuk
mendiagnosis penyakit Hirschsprung. Distensi usus besar dan usus kecil
karena gas adalah temuan khas pada X-ray, dengan usus besar distal
menunjukkan pelebaran secara bertahap di sisi mulut. Tidak adanya gas di
panggul adalah petunjuk lain akan adanya penyakit Hirschsprung karena
kolon distal yang kolaps biasanya tidak mengandung gas (ada beberapa
pengecualian). Film X-ray dengan kontras enema direkomendasikan untuk
neonatus karena membedakan antara gas usus kecil dan gas usus besar pada
X-ray mungkin sulit (Taguchi, et al., 2019).

Gambar 5. (a, b) Penyakit Hirschsprung tipe pendek pada anak laki-laki berusia 11 bulan. (a)
Rontgen perut menunjukkan gas usus difus. Tidak ada gas di panggul. (b) Kontras
enema menunjukkan rektum bawah yang sempit (*) dan secara bertahap melebarkan
rektum atas (△). Perubahan kaliber dapat dilihat dengan jelas (panah) (Taguchi, et al.,
2019).

29
Gambar 6. (a, b) Penyakit Hirschsprung tipe rectosigmoid pada anak laki-laki berusia 2 hari. (a)
Rontgen perut menunjukkan peningkatan jelas gas kolon dan gas usus kecil yang
berdilatasi. (b) Kontras enema menunjukkan rektum sempit (*) dan megakolon di
kolon sigmoid (△). Perubahan kaliber terlihat jelas. Perhatikan impaksi tinja di usus
turun (+) (Taguchi, et al., 2019).

Gambar 7. (a, b) Penyakit Hirschsprung tipe panjang pada anak laki-laki berusia 2 hari.
(a) X-ray perut difus menunjukkan loop usus kecil buncit (*). (b) Kontras enema gagal
menunjukkan segmen sempit di colorectum distal. Usus melintang menunjukkan dilatasi, tetapi
perubahan kaliber tidak jelas (Taguchi, et al., 2019).

Gambar 8. (a, b) Pasien yang sama seperti pada Gambar 5 pada 25 hari kehidupan. (a) Pelebaran
usus kecil menghilang. (b) Kontras enema menunjukkan perubahan kaliber di usus
melintang (panah) dengan dilatasi usus proksimal (△) (Taguchi, et al., 2019)

30
Gambar 9. (a, b) Aganglionosis kolon total pada anak perempuan berusia 3 bulan. (a) Rontgen
perut menunjukkan usus melebar (*) seperti yang terlihat pada penyakit
Hirschsprung tipe-pendek dan tipe-rectosigmoid. (b) Kontras enema tidak
menunjukkan dilatasi usus besar tetapi menunjukkan dilatasi usus kecil (△).
Perubahan kaliber terlihat di distal ileum (panah), menunjukkan aganglionosis kolon
total (Taguchi, et al., 2019)

2. Anorectal Manometry
Kontinensia juga dipertahankan oleh 'refleks penghambatan rectoanal'
(RAIR), yang mengacu pada relaksasi anus kaudal sebagai respons terhadap
distensi rektum. Gowers adalah orang pertama yang menggambarkan RAIR
pada tahun 1877, dan kemudian dikonfirmasi oleh Denny-Brown dan
Robertson (1935). Dalam pernyataan konsensus tentang fisiologi anorektal
(ARP), RAIR telah dideskripsikan sebagai 'penurunan sementara tekanan anal
istirahat oleh ≥25% dari tekanan basal dalam menanggapi inflasi cepat dari
balon dubur dengan selanjutnya kembali ke garis dasar'. RAIR dikendalikan
oleh cord sakral dan neuron myenteric. RAIR bertindak sebagai 'refleks
pengambilan sampel' — memungkinkan kanalis anal bagian atas untuk
membedakan antara flatus dan feses. Ketika RAIR tidak ada, maka HSCR
dapat dicurigai (Puri, 2019)
Studi pertama ARP dilakukan oleh Gowers pada tahun 1877. Gower
mendemonstrasikan bagaimana mengukur tonus saluran anal dan RAIR. ARP
memberikan pengukuran objektif fungsi motorik dan sensorik — khususnya
tekanan saluran anal — untuk evaluasi mekanisme sphincter dalam hal
kontraksi, relaksasi, dan fungsi dubur sensorik. (Puri, 2019)

31
3. Biopsi rectum
Untuk memenuhi kriteria diagnostik penyakit Hirschsprung (HSCR),
dibutuhkan evaluasi histologis biopsi dinding rektal yang memadai yang
menunjukkan kombinasi aganglionosis dan batang saraf hipertrofik. Oleh
karena itu, diagnosis HSCR bisa sulit, karena bergantung pada konfirmasi
histologis dari tidak adanya sel ganglion enterik di pleksus mienterika dan
submukosa rektum distal, yang meluas secara proksimal untuk berbagai jarak.
(Puri, 2019)

Gambar 10. Biopsi rektal menunjukkan adanya sel-sel ganglionik pada pleksus mienterika dan
submukosa usus normal (a) dan tidak ada dengan penggantian oleh batang saraf
hipertrofi pada pasien dengan HSCR (b). Biopsi rektal normal menunjukkan
pewarnaan AChE minimal pada mukosa, lamina propria, dan muscularis mukosa (c),
sedangkan peningkatan yang nyata pada serabut saraf positif AChE ditemukan pada
lamina propria dan muscularis mukosa pasien dengan HSCR (d) (Puri, 2019)

III.2.8 Tatalaksana
Prioritas pertama adalah resusitasi, terutama pada neonatus dengan
obstruksi usus atau enterokolitis. Cairan intravena dan antibiotik harus diberikan
dan tabung nasogastrik harus dimasukkan. Anak-anak dengan enterocolitis harus
menjalani dekompresi kolon aktif menggunakan stimulasi rektal digital dan irigasi
salin rektal (10-20 mL / kg setiap 6-8 jam), dan, jika sangat sakit dilakukan
ostomi pengalihan mendesak. Anak-anak dengan kelainan terkait seperti penyakit
jantung atau sindrom hipoventilasi sentral bawaan harus ditangani sebelum
perbaikan bedah definitif. (Langer, 2011)
Setelah anak distabilkan dan didekompresi, pembedahan biasanya dapat
dilakukan secara semi-elektif. Sambil menunggu operasi, sebagian besar anak-

32
anak dapat diberi ASI atau formula, dalam kombinasi dengan stimulasi dubur dan
irigasi. Orang yang tidak mentolerir pemberian oral atau nasogastrik dapat
dirawat dengan nutrisi parenteral. Pada anak yang lebih besar dengan usus yang
sangat membesar, irigasi mingguan atau bulanan dapat memungkinkan usus turun
ke ukuran yang lebih normal sebelum operasi definitif, meskipun beberapa
mungkin mendapat manfaat dari kolostomi untuk cukup mendekompresi usus
yang membesar.
Tujuan dari manajemen bedah untuk penyakit Hirschsprung adalah untuk
mengangkat usus aganglionik dan merekonstruksi saluran usus dengan membawa
usus yang persarafannya normal ke anus sambil mempertahankan fungsi sfingter
normal. Operasi yang paling umum dilakukan adalah prosedur Swenson,
Duhamel, dan Soave. Tidak ada bukti kuat bahwa prosedur mana yang terbaik dan
ketiganya adalah pilihan yang dapat diterima di tangan ahli bedah yang terlatih
dan berpengalaman. Di luar Amerika Utara operasi Rehbein masih dilakukan dan
beberapa ahli bedah juga menganjurkan miektomi anal sederhana untuk pasien
dengan penyakit segmen pendek. (Langer, 2011)
1. Prosedur Swenson
Deskripsi awal dari pendekatan bedah untuk penyakit Hirschsprung
adalah oleh Swenson pada akhir 1940-an. Deskripsi awal Swenson adalah
prosedur satu tahap, tetapi dengan insiden striktur, kebocoran, dan hasil buruk
lainnya yang relatif tinggi membuatnya dan orang lain secara rutin melakukan
kolostomi awal dan setelah periode pertumbuhan, dilakukan operasi
rekonstruksi berikutnya. Pendekatan ini bertahan hingga 1980-an, ketika
sejumlah ahli bedah melaporkan serangkaian prosedur pull-through satu tahap
bahkan pada bayi kecil. Sejak itu, operasi satu tahap menjadi semakin populer
dan banyak yang telah mendokumentasikan keamanan pendekatan tersebut.
Prosedur satu tahap menghindari morbiditas stoma yang diketahui pada bayi
dan mungkin lebih hemat biaya. Penting untuk diingat, bagaimanapun, bahwa
stoma mungkin masih diindikasikan untuk anak-anak dengan enterocolitis
parah, perforasi, kekurangan gizi, atau usus proksimal yang membesar.
Pendekatan bertahap juga harus digunakan dalam situasi di mana ada
dukungan patologi yang tidak memadai untuk secara andal mengidentifikasi
zona transisi pada bagian beku dari ruang operasi. (Langer, 2011)

33
2. Prosedur Duhamel
Prosedur Duhamel pertama kali dilakukan pada tahun 1956. Kolon
ganglionik proksimal dibawa melalui ruang retrorectal dan dilakukan end-to-
side anastomosis antara usus yang ditarik melalui dan rektum. Septum di
antara dua dinding dibagi menggunakan stapler endo-GIA dan lubang di
rektum yang terbagi ditutup. (Al-Salem, 2014)
3. Pendekatan Laparoskopik
Pada awal 1990-an, Georgeson menggambarkan pendekatan
laparoskopi untuk pembedahan penyakit Hirschsprung. Operasi ini melibatkan
biopsi laparoskopi untuk mengidentifikasi zona transisi dan mobilisasi rektum
di bawah refleksi peritoneum, diikuti oleh diseksi mukosa pendek yang
dilakukan secara transanal. Rektum kemudian dikeluarkan melalui anus dan
anastomosis selesai dari bawah. Pendekatan ini telah dikaitkan dengan waktu
yang lebih singkat di rumah sakit dan hasil awal tampaknya setara dengan
yang dilaporkan untuk prosedur terbuka. Hasil jangka pendek yang sangat
baik juga telah dilaporkan untuk versi laparoskopi dari operasi Duhamel dan
Swenson (Langer, 2011).
4. Prosedur Soave
Prosedur Soave transanalis menggunakan diseksi mukosa yang sama
dari bawah sebagai operasi Georgeson, tetapi tanpa mobilisasi intra-
abdominal rektum. Sayatan mukosa dibuat 0,5-1,0 cm di atas garis dentata dan
mukosa dilepaskan dari otot di bawahnya untuk jarak beberapa sentimeter.
Otot rektal kemudian diinsisi melingkar, dan diseksi dilanjutkan pada dinding
rektum, membagi pembuluh di bagian yang memasuki rektum. Seluruh
rektum dan bagian dari kolon sigmoid dapat dipindahkan melalui anus. Zona
transisi diidentifikasi secara visual dan dikonfirmasi oleh biopsi penampang
beku dan anastomosis diselesaikan secara transanal. Pendekatan ini juga dapat
digunakan pada pasien dengan kolostomi, dengan menggunakan stoma
sebagai ujung pull-through dan melakukan diseksi lainnya menggunakan
teknik transanal. Pendekatan transanal memiliki tingkat komplikasi yang
rendah, membutuhkan analgesia minimal, dan dikaitkan dengan pemberian
makan dini dan keluarnya cairan. Meskipun belum ada penelitian yang
dipublikasikan yang membandingkan pendekatan transanal dan laparoskopi,
transanal pull-through dapat dilakukan oleh setiap ahli bedah anak, termasuk
34
ahli bedah anak yang tidak memiliki keterampilan laparoskopi, dan oleh ahli
bedah anak di bagian dunia di mana akses ke laparoskopi miniatur yang tepat
terbatas. (Langer, 2011)

Gambar 11. Penarikan transanal Soave. (a) Sayatan pusar digunakan untuk biopsi
pendahuluan. Dilator Heger digunakan untuk mendorong sigmoid ke sayatan
pusar. (b) Jahitan eversi ditempatkan, dan spekulum hidung digunakan untuk
memberikan eksposur ke saluran anus. Sayatan melingkar dibuat 5 mm dari
garis dentata. (c) Diseksi submukosa dilakukan 2-3 cm. (d) Setelah otot
dibelah secara melingkar, diseksi dilakukan secara proksimal, tetap berada
tepat di dinding kolon. (e) Usus terbagi setidaknya 2 cm di atas biopsi yang
menunjukkan sel-sel ganglion, dan dilakukan anastomosis. Perawatan harus
diambil untuk melakukan anastomosis ke mukosa dubur, bukan ke epitel
transisi, atau sensasi normal akan hilang dan risiko inkontinensia akan
meningkat (Langer, 2011)
5. Anorectal Myomectomy
Untuk anak-anak dengan penyakit Hirschsprung ultrashort segment,
strip dengan lebar 1 cm dari dinding rektal garis tengah posterior dibuang.
Prosedur menghilangkan strip dinding rektum ekstra segera dimulai proksimal
ke garis dentata dan meluas ke rektum ganglionik normal secara proksimal.
Mukosa dan submukosa dipertahankan dan ditutup. (Al-Salem, 2014)

35
III.3.9 Komplikasi
Secara umum, komplikasi yang terjadi setelah prosedur bedah adalah:
a. Kebocoran anastomosis dan pembentukan striktur (5–15%).
b. Obstruksi usus (5%).
c. Abses panggul (5%).
d. Infeksi luka dan dehiscence luka (10%).
e. Reseksi tidak lengkap yang membutuhkan operasi ulang (5%).
f. Pasien dengan operasi dua tahap juga dapat mengalami komplikasi
kolostomi seperti eksoriasi kulit, prolaps, atau stenosis (Al-Salem,
2014).

1. Komplikasi Awal Pasca Operasi


a. Infeksi
Secara umum, operasi kolorektal telah dikaitkan dengan risiko
tertinggi infeksi situs bedah (SSI) dan komplikasi infeksi lainnya. Dalam
tinjauan historis HD, insidensi infeksi luka dilaporkan berkisar antara
1,7% hingga 19,2%. Analisis yang lebih baru dari infeksi tempat operasi
(SSI) dalam operasi kolorektal pediatrik telah mengungkapkan bahwa
kejadian total SSI, yang meliputi infeksi insisional superfisial / dalam (SSI
insisional) plus infeksi organ / ruang (OSI), adalah 5,3% pada pasien
dengan HD (SSI insisional 3.1%, OSI 2.2%). Dengan prosedur
pembedahan, angka SSI total sekitar 2% untuk kolektomi parsial dengan
atau tanpa ostomi dan 5% untuk pull-through dengan atau tanpa ostomi
(Taguchi, et al., 2019).
b. Kebocoran anastomosis
Kebocoran anastomosis adalah komplikasi yang jarang tetapi dapat
menghancurkan yang menyebabkan striktur anastomosis, abses panggul,
abses kancing manset, dan sepsis, yang mungkin memerlukan pengalihan
stoma dan operasi ulang. Faktor risiko kebocoran termasuk gangguan
suplai darah pada usus pull-through, tekanan tinggi di anastomosis,
kegagalan dalam mengelola perbedaan kaliber, diseksi dubur pada bidang
yang salah, kontaminasi panggul, masalah penyembuhan luka seperti
malnutrisi pra-operasi atau pengobatan steroid, dan manipulasi rektum
pasca operasi awal (Taguchi, et al., 2019).
36
2. Komplikasi Jangka Panjang
a. Enterocolitis
Hirschsprung-related enterocolitis (HAEC) adalah gangguan
inflamasi yang berpotensi menyebabkan morbiditas dan mortalitas serius
pada pasien HD dan terjadi tidak hanya sebelum tetapi juga setelah
perbaikan definitif. Kejadian HAEC yang dilaporkan berkisar antara 6
hingga 50% sebelum operasi, sementara kejadian setelah operasi juga
bervariasi dari 2 hingga 35%.
HAEC pasca operasi dapat terjadi kapan saja setelah operasi
definitif, sebagian besar dalam beberapa tahun setelah operasi. Meskipun
penyebab HAEC pasca operasi tidak diketahui, penelitian dasar dan klinis
telah mengusulkan berbagai teori patogenesisnya termasuk stasis tinja
akibat obstruksi mekanis (kolon aganglionik yang tertahan, zona transisi
pull-through, striktur, sphincter achalasia, manset otot yang kencang, dll.),
perubahan komponen musin atau aktivitas prostaglandin dalam mukosa,
infeksi Clostridium difficile atau rotavirus, gangguan sistem kekebalan
mukosa, dan faktor genetik (Taguchi, et al., 2019).
Manifestasi klinis HAEC termasuk distensi abdomen, diare
eksplosif, muntah, demam, lesu, dan perdarahan dubur, yang tidak spesifik
untuk HAEC, menghambat diagnosis awal definitif. Namun, mengingat
angka kematian yang tinggi sekitar 30% terkait dengan HAEC bahkan
setelah operasi, diagnosis dini dan pengobatan segera wajib untuk
menghindari keterlambatan dalam diagnosis dan perkembangan penyakit
(Taguchi, et al., 2019).
b. Konstipasi
Konstipasi adalah salah satu komplikasi jangka panjang utama
setelah operasi perbaikan HD dengan insidensi mulai dari 6 hingga 34%,
yang diminimalkan ketika pasien berada di usia remaja. Secara historis,
angka konstipasi yang lebih tinggi dilaporkan dalam prosedur Swenson
atau prosedur Duhamel, sementara penelitian berikutnya menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam fungsi usus
antara prosedur tersebut. Sebuah studi yang lebih baru tentang fungsi usus
setelah transanal pull-through menunjukkan kejadian sembelit (5%)

37
mirip dengan yang ada pada kelompok kontrol usia dan jenis kelamin
(4%) dan jauh lebih rendah daripada setelah Prosedur Duhamel, Soave,
dan Swenson. Hubungannya dengan prosedur bedah telah menjadi
kontroversi karena perbandingan antar fungsi usus dan komplikasi sangat
sulit karena kurangnya standar umum definisi fungsi usus dan komplikasi
(Taguchi, et al., 2019).
c. Inkontinensia
Kontrol tinja yang buruk, terutama inkontinensia, adalah
komplikasi pasca operasi yang penting yang memiliki dampak negatif
besar pada kualitas hidup, menghambat kehidupan sosial pada anak yang
lebih besar. Insiden inkontinensia setelah perbaikan HD berkisar antara
7% dan 75%, sangat bervariasi tergantung pada definisi dan penilaiannya
(Taguchi, et al., 2019).
d. IBD-like lesions
Inflammatory bowel diseases (IBD) adalah penyakit
gastrointestinal inflamasi kronis dengan etiologi yang tidak diketahui, dan
meskipun jarang, hubungan IBD dengan HD telah secara bertahap
terakumulasi dalam literatur. Karena IBD memiliki gejala klinis yang
serupa dengan HAEC seperti diare, hematochezia, dan sakit perut,
penyelidikan lebih lanjut termasuk biopsi mungkin diperlukan untuk
secara pasti mendiagnosis pasien HD pasca operasi dengan IBD. Menurut
tinjauan literatur terbaru, usia rata-rata saat diagnosis IBD adalah 7,7
tahun, mayoritas (73%) pasien adalah laki-laki, 86% pasien memiliki
aganglionosis kolon total atau aganglionosis segmen panjang, dan 84%
pasien. pasien telah menjalani prosedur penarikan Duhamel. Sebagian
besar pasien dengan HD dan IBD memiliki penyakit Crohn (72,3%).
Meskipun jarang, IBD yang terkait dengan HD harus dipertimbangkan
selama follow-up jangka panjang ketika pasien dengan HD mengalami
enterokolitis setelah operasi (Taguchi, et al., 2019).
e. Disfungsi Berkemih
Karena manipulasi panggul selama prosedur pull-through, ada
risiko kerusakan intraoperatif pada saluran kemih atau saraf otonom
intrapelvik (pleksus hipogastrik dan saraf splanknikus panggul), yang
dapat menyebabkan disfungsi urin (Taguchi, et al., 2019).
38
III.2.10 Prognosis

Meskipun insidensi kematian bervariasi tergantung pada era pengobatan


dan lama masa tindak lanjut, data terbaru menunjukkan bahwa angka tersebut
berkisar 3% dengan kisaran dari 2% hingga 13,4%. Sindrom Down, HAEC, lama
aganglionosis, dan anomali terkait (terutama penyakit jantung bawaan) telah
dilaporkan sebagai faktor risiko yang mungkin untuk mortalitas. Meskipun terjadi
lebih jarang pada hari-hari ini daripada di masa lalu, HAEC tetap menjadi
komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa yang unik untuk HD sebelum serta
setelah operasi definitif. Seperti yang dijelaskan dalam pedoman, pencegahan
terjadinya HAEC, pengenalan dini, diagnosis, dan pengobatan yang tepat pada
waktu yang tepat sangat penting untuk mengurangi angka kematian karena HAEC
(Taguchi, et al., 2019).

39
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat


disimpulkan bahwa diagnosis pada pasien adalah Hirschsprung Disease dan suspect
Down Syndrome. Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital dimana tidak
dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisnner pada kolon. Tidak adanya
ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik sehingga
terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang
berlebihan pada kolon yang lebih proksimal. Sehingga hal tersebut menyebabkan
hambatan pengeluaran feses. Hal tesebut sesuai pada pasien yang mengeluh tidak
dapat BAB sejak lahir.
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam
pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious
emesis. Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama kehidupan merupakan
tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini. Teori ini sesuai dengan
pasien yang tidak BAB sejak lebih dari usia 1 hari, perut tampak cembung dan
pasien muntah berwarna kehijauan.
Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschprung biasanya pada pasien
yang mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit Hirschprung dan pada pasien
penderita Down Syndrome. Hal tersebut kemungkinan sesuai dengan keadaan
pasien yang mengarah ke ciri-ciri sindrom down yang didapat dari pemeriksaan
fisik seperti bentuk kepala yang abnormal, wajah dismorfik, adanya lipatan
epikantus pada mata, lipatan pada helix telinga dan lipatan berlebihan pada leher
bagian belakang. Pada pemeriksaan rectal touche didapatkan tonus sfingter ani
kuat namun terasa sempit serta diapatkan explosive stool saat pemeriksa
mengeluarkan jari dari anus pasien, Hal tersebut dapat ditemukan pada penyakit
Hirschprung.
Pada pemeriksaan penunjang berupa colon in loop dengan barium enema
biasanya didapatkan distensi usus bagian proksimal usus yang mempunyai
ganglion dan pada gambaran radiologis terlihat zona transisi serta adanya retensi
dari barium pada 24 jam dan disertai distensi dari kolon. Hal-hal tersebut sesuai
dengan hasil pemeriksaan colon in loop pada pasien yang didapatkan dilatasi

40
usus terutama usus besar, terlihat zona transisi relatif panjang (kurang lebih 4cm
di regio rectosigmoid), disertai dilatasi colon proksimal, tampak irregularitas
dinding colon transversum, dan pada radiografi 24 jam terlihat retensi kontras.
Hal tersebut dapat ditarik diagnosis penyakit Hirschprung long segment karena
segmen aganglionik melampaui kolon sigmoid hingga ke fleksura lien atau kolon
transversum atau kolon asendens.
Tatalaksana pada pasien ini berupa tindakan operatif yaitu transanal
endorectal pull-through untuk membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam
lumen rektum yang telah dikupas tersebut. Pendekatan transanal memiliki tingkat
komplikasi yang rendah dan membutuhkan analgesia minimal.

41
BAB V
KESIMPULAN

Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak


dijumpai pleksus auerbach dan pleksus meisneri pada kolon. (90%) terletak pada
rectosigmoid. Dasar patofisiologi karena tidak adanya gelombang propulsive
dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus
besar. Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang
terkena meliputi ultra short segment, short segment, lsegment, dan very long
segment.
Terdapat 90% lebih kasus bayi dengan penyakit Hirchsprung tidak dapat
mengeluarkan mekonium pada 24 jam pertama, kebanyakan bayi akan
mengeluarkan mekonium setelah 24 jam pertama (24-48 jam). Muntah bilious
(hijau) dan distensi abdomen. Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di
seluruh lapang pandang. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising
usus melemah atau jarang.
Pemeriksaan penunjang diantaranya Barium enema, Anorectal
manometry dan Biopsy rectal sebagai gold standard. Tatalaksana operatif
dengan cara tindakan bedah sementara dan bedah definitive (Prosedur
Swenson, Duhamel, Soave dan Rehbein). Komplikasi utama adalah
enterokolitis post operatif, konstipasi dan striktur anastomosis.
Prognosis baik. Umumnya, dalam 10 tahun follow up lebih dari 90%
pasien yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan.

42
DAFTAR PUSTAKA

Al-Salem, AH. 2014. Hirschprung Disease. In : An Illustrated Guide to Pediatric


Surgery. Springer International Publishing. Switzerland.

Langer, JC. 2011. Hirschprung Disease. In : Fundamentals of Pediatric Surgery.


Springer.

Puri, P. 2019. Hirschprung’s Disease and Allied Disorders. 4th edition. Springer.

Singer, CE., Cosoveanu, CS., Ciobanu, MO., et al. 2015. ―Hirschprung’s disease
n different settings – a series of three cases from a tertiary referral center‖.
Rom J Morphol Embryol. Vol56(3):1195–1200.

Taguchi, T., Matsufuji,H., Ieiri, S. 2019. Hirschprung’s Disease and The Allied
Disorders. Springer.

43

Anda mungkin juga menyukai