Anda di halaman 1dari 4

Kerangka Acuan

“Ketahanan Budaya Bangsa di Era Global”

I. LATAR BELAKANG

Samuel Huntington (1993) dalam tulisannya di Jurnal Foreign Affair ya


ng berjudul “The Clash of Civililizations?”1, meramalkan bahwa masa depan p
olitik dunia akan didominasi oleh konflik peradaban antarbangsa yang berbe
da. Lebih lanjut Huntington menguraikan, sumber konflik dunia di masa data
ng tidak lagi berupa ideologi atau ekonomi, akan tetapi budaya.
Huntington menyatakan bahwa ada enam alasan yang dijadikan sebaga
i premis dasar untuk menjelaskan mengapa politik dunia ke depan akan san
gat dipengaruhi benturan antarperadaban, yaitu :
“Pertama, perbedaan di antara peradaban tidak saja nyata, tetapi juga s
angat mendasar; Kedua, dunia semakin mengecil. Interaksi antara masyaraka
t dan peradaban yang berbeda terus meningkat. Semakin interaksi ini berlan
gsung intensif, semakin menguat kesadaran akan peradaban sendiri dan sem
akin sensitif terhadap perbedaan yang ada antara peradabannya dengan per
adaban lain; Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di sel
uruh dunia telah mengakibatkan tercerabutnya masyarakat dari akar-akar id
entitas-identitas lokal yang berlangsung lama. Ketercerabutan ini menyisaka
n ruang kosong yang kemudian diisi oleh identitas agama, seringkali dalam g
erakan berlabelkan “fundamentalis”; Keempat, semakin berkembang kesadar
an-kesadaran (civilization consciousness) akibat peran ganda dunia Barat. Di
satu sisi dunia Barat sedang berada pada puncak kekuasaannya, di sisi lain, s
ebagai reaksi balik atas hegemoni Barat tersebut, kembalinya masyarakat no
n-Barat pada akar-akar peradabannya; Kelima, karateristik dan perbedaan k

1
Huntington kemudian memperjelas artikelnya tersebut melalui bukunya yang
berjudul “The Clash of Civilizations and The Remarking of World Order”, lihat dalam
Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia
(2003), Penerbit Qalam, Jogjakarta.
ultural yang terjadi antar peradaban Barat dan non-Barat semakin mengeras.
Hal ini menyebabkan semakin sulitnya kompromi dan upaya-upaya perbaik
an hubungan antar peradaban dalam kerangka kultural dibandingkan upaya
mengkompromikan karateristik dan perbedaan politik serta ekonomi; dan K
eenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat.”2

“Peringatan” Huntington tersebut, mungkin tidak semuanya relevan,


namun dapat memberi poin tersendiri dalam konteks memahami kondisi ma
syarakat Indonesia saat ini. Sebagai contoh, antara lain bagaimana memaha
mi kegaduhan politik yang marak belakangan ini, terutama dalam konteks h
ubungan paradoks negara-masyarakat. Kemunculan aksi-aksi ketidakpuasan
yang berujung konflik secara hipotesis dapat dibaca sebagai wujud resistensi
agresif dari kelompok-kelompok masyarakat yang “terpinggirkan”.
Sebagai bangsa yang memiliki kebudayaan yang amat majemuk seharu
snya Indonesia tidak tertarik dalam pusaran arus pertentangan kultural
yang terjadi. Kemampuan setiap kelompok, elite, dan masyarakat dalam
mengejawantahkan nilai-nilai budaya bangsa sangat menentukan apakah
bangsa Indonesia terseret konflik atau justru menawarkan solusi kreatif
dalam mengatasi konflik di tingkat lokal dan global. Pesan konstitusi dalam
konteks ini jelas dan tegas “ Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah peradaban dunia.” 3 Para perumus Perubahan UUD NRI
Tahun 1945 menyadari peran penting kebudayaan dalam pembentukan jati
diri bangsa Indonesia dan kedudukannya sebagai identitas kemajuan bangsa
di kancah peradaban dunia.
Ketentuan konstitusi tersebut juga mengandung pesan bahwa negara
memegang peranan penting dalam promosi budaya bangsa di tengah
peradaban dunia. Oleh karena itu, internalisasi nilai-nilai budaya kepada
setiap elemen bangsa khususnya kepada aktor-aktor pengambil keputusan

2
Ibid.,
3
Pasal 32 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945

2
merupakan langkah pendahuluan agar budaya bangsa Indonesia dikenal
oleh masyarakat dunia. Jika bangsa Indonesia dapat menunjukkan pola
interaksi antar sektor yang harmonis dan pengelolaan kelembagaan didasari
oleh budaya bangsa dipastikan peradaban Indonesia menjadi populer di
tengah pergaulan dunia.
Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah derasnya informasi
telah berkontribusi kepada melemahnya budaya bangsa. Negara-negara
maju adalah mereka yang memiliki, menguasai, dan mampu mengendalikan
komunikasi dan informasi, akibatnya negara-negara sedang berkembang,
seperti Indonesia dikhawatirkan kehilangan akar budaya bangsa.

II. MAKSUD DAN TUJUAN ROUND TABLE DISCUSSION (DISKUSI SATU MEJA)

Maksud dan tujuan diselenggarakan diskusi ini adalah:


1. Menyediakan wadah tukar pikiran antar anggota Lembaga Pengkajian
MPR dan para akademisi, budayawan, serta kelompok masyarakat
Indonesia pada umumnya, agar dapat merumuskan gagasan dan
rekomendasi tentang pengejawantahan budaya bangsa sebagai pedoman di
semua sektor kehidupan.
2. Menganalisis dan mencari solusi terhadap masalah-masalah yang timbul
dalam internalisasi budaya kepada setiap pengambilan putusan kebijakan
publik.
3. Merumuskan strategi implementasi budaya Pancasila ke tengah
pergaulan internasional sehingga dikenal konsep dan praktek “Peradaban
Indonesia”.

III. PESERTA
1. Pimpinan dan Anggota Lembaga Pengkajian MPR RI;

3
2. Kalangan Akademisi (Dosen dan Mahasiswa Universitas di Jabodetabek);
3. Pemerhati Budaya.

V. WAKTU DAN TEMPAT KEGIATAN


 Pukul 09.00 WIB s.d. Selesai
 Tempat: Gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR/DPD RI

VI. PEMBICARA, PEMBANDING, DAN MODERATOR


1. Sri Sultan Hamengkubuwono X;
2. Prof. Dr. Abdul Hadi WM;
3. KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus);
4. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun);
5. Eros Djarot;
6. Muhammad Sobari;
7. Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA;
8. Prof. Darwis A. Sulaiman;
9. Prof. Dr. Franz Magnis Suseno, SJ;
10. Zamawi Imron;
11. Hilmar Farid;
12. Prof. Dr. Nurhayati Rahman;
13. Prof. H. M. Didi Turmudzi, M.Si;
14. Suhartono Wiryopranoto;
15. I Nyoman Nuarta;
16. Ine Febriyanti;
17. Andre Hirata.

Moderator:
Drs. Hajriyanto Y. Thohari, MA.

Anda mungkin juga menyukai