Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tinjauan umum Penyakit cacingan

A. Penyakit cacingan
Cacing merupakan salah satu parasit pada manusia dan hewan yang sifatnya
merugikan dimana manusia merupakan hospes untuk beberapa jenis cacing yang
termasuk Nematoda usus. Sebagian besar dari Nematoda ini masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Diantara Nematoda usus tedapat sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah
(Soil Transmitted Helminths) diantaranya yang tersering adalah Ascaris lumbricoides,
Necator americanus, Ancylostoma duodenale dan Trichuris trichiura (Gandahusada,
2000).

1.1 Ascaris lumbricoides


1.1.1 Morfologi dan Daur Hidup
Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-
30 cm, sedangkan betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus
halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari
telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.
Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi
bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan
manusia akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut menembus
dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa kemudian di alirkan ke
jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus
masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trachea melalui bronchiolus dan broncus.
Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk,
kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh
menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu kurang lebih 2 bulan
sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2000:10).
Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides.
1.1.2 Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat
berupa gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan
konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan
penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing
menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus
obstructive).
Selain itu menurut Effendy yang dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan
(2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh larva yang masuk ke paru-paru
sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut
Sindroma Loeffler.

1.1.3 Gejala Klinis dan Diagnosis


Gejala cacingan sering dikacaukan dengan penyakit-penyakit lain. Pada
permulaan mungkin ada batuk-batuk dan eosinofilia. Anak yang menderita cacingan
biasanya lesu, tidak bergairah dan kurang konsentrasi belajar.
Pada anak-anak yang menderita Ascariasis lumbricoides perutnya tampak buncit,
perut sering sakit, diare, dan nafsu makan kurang. Biasanya anak masih dapat
beraktivitas walau sudah mengalami penuruanan kemampuan belajar dan
produktivitas. Pemeriksaan tinja sangat diperlukan untuk ketepatan diagnosis yaitu
dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga
dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi (Menteri
Kesehatan, 2006).

1.1.4 Epidemiologi
Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan
tidak terkena sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk
infektif. Infeksi A. lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut
bersama makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Menteri
Kesehatan,2006).

1.1.5 Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat.
Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat
piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat
anticacing untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
mudah diterima di masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat
polivalen sehingga dapat berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya
murah (terjangkau) (Menteri Kesehatan, 2006).

1.2 Ancylostoma (cacing tambang) Universitas Sumatera Utara


1.2.1 Morfologi dan Daur Hidup
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing
tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing
betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai
panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk
seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi.
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar
bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva
rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang
dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah.
Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan
mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform
panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang
lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke
paru-paru.
Di paru larvanya menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke
trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus
dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau
ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan , 2006).

1.2.2 Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah,
cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat
isapan.
Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan
sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat
menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat
cacingan sering terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus
(Menteri Kesehatan, 2006)

1.2.3 Gejala Klinik dan Diagnosis


Lesu, tidak bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap
penyakit,, prestasi kerja menurun, dan anemia merupakan manifestasi klinis yang
sering terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006)

1.2.4 Epidemiologi
Insiden ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang
bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah
hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama,
setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat.
Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000).
Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus)
dengan suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan
memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.

1.3. Trichuris trichiura


1.3.1 Morfologi dan Daur Hidup
Trichuris trichiura betina memiliki panjang sekitar 5 cm dan yang jantan
sekitar 4 cm. Hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam
mukosa usus.
Satu ekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-
5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan
dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar
berwarna kekuning-kuningan dan bagian di dalamnya jernih. Telur yang dibuahi
dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6
minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur yang berisi
larva dan merupakan bentuk infektif. Universitas Sumatera Utara
Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes),
kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus
sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon
asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan sampai menjadi cacing
dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2000).

1.3.2 Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga
ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing
ini tersebar diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum
yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi.
Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma
yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya
dapat menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap darah
hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006)

1.3.3 Gejala Klinik dan Diagnosis


Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis
yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun
terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disenteri, anemia, berat
badan menurun dan kadang-kadang terjadi prolapsus rektum. Infeksi Trichuris
trichiura yang berat juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa.
Diagnosa dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja (Gandahusada, 2000).

1.3.4 Epidemiologi
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah dengan
tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum
kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
merupakan sumber infeksi.
Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di
Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di daerah yang sangat endemik
infeksi dapat dicegah dengan pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban
yang baik dan pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama
anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik sayuran yang dimakan
mentah adalah penting apalagi di negera-negera yang memakai tinja sebagai pupuk
(Gandahusada, 2000).
Dahulu infeksi Trichuris trichiura sulit sekali diobati. Antihelminthik seperti
tiabendazol dan ditiazanin tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengobatan
yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris trichiura adalah
Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Gandahusada, 2000).

2.2 Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak


Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun
sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat
akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
anak-anak. Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura
menimbulkan morbiditas yang tinggi (Soedarto, 1999).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi
manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi
ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori
yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat
dimanfaatkan oleh badan. Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kekurangan kalori protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi
vitamin A (Hidayat, 2002).
Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya
berat badan dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah
2,5 juta dan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena
infeksi Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml/hari/cacing
(Gandahusada dkk, 2004).
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing
tambang ini sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang
mampu menghisap darah 0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka
penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia
berat (Gandahusada dkk, 2004).

2.2.1. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia


Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi
telur A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan
kuku yang tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan (Mahfuddin,
1994).
Agustina (2000) mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah
dan kuku yang tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak
balita di Kecamatan Paseh Jawa Barat.
Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan
dan minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup
rapat. Telur cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut,
jika diterbangkan oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap
di tanah/selokan/air limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut
(Helmy, 2000).
Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses
membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut
diberi pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai
pupuk harus diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi (Brown,
1979).

2.2.2. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan


Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan Infeksi
Kecacingan sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan
terbatas pada daerah tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V
dan VI Program pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena
pada periode ini lebih memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas
hidup anak (Dirjen P2M & PL, 1998). Pencegahan dan pemberantasan penyakit
kecacingan pada umumnya adalah dengan pemutusan rantai penularan, yang antara
lain dilakukan dengan pengobatan massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan
hygiene perorangan serta pendidikan kesehatan (Soedarto, 1991).
Penyakit cacingan dapat terjadi sebagai berikut (Nadesul, 1997).
a. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan,
gunakan sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.
b. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
c. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap
jempol.
d. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.
e. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan
buang kotoran di jamban.
f. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban
g. Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang
tangan.
h. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke
puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.
i. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas
j. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya
kebersihan diri dan lingkungan yang tidak baik.
k. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang
mentah atau setengah matang.
l. Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.
m. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap
penyakit kecacingan
n. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang
mengalir.

Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan dengan


masalah lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak
memutuskan mata rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat
dilakukan melalui kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan massal, penyuluhan
kesehatan, peningkatan status gizi, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene
perorangan serta partisipasi masyarakat (Hadidjaja, 1994).
Menurut Sasongko (2007) kunci pemberantasan cacingan adalah
memperbaiki higiene dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan
dengan air got. Sebaiknya, bilas sayur mentah dengan air mengalir atau
mencelupkannya beberapa detik ke dalam air mendidih. Juga tidak jajan di
sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan pula mencuci tangan
sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai penularan
cacingan bisa diputus.Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita cacingan
harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing, tak
berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan kecacingan
adalah kerja gotong royong yang butuh waktu bertahun-tahun. Negara maju sepenti
Jepang pun pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh
Sekutu saat Perang Dunia II, Jepang jatuh menjadi negara miskin. Karena miskin,
masyarakat menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya,
penularan cacing menjadi tak terkendali, sampai menyerang 80% penduduk

2.2.2 Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan.

Secara epidemiologi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan,


salah satunya adalah faktor manusia (Soedarto, 1991) dijelaskan sebagai berikut :

2.2.1. Faktor Manusia


2.1.1. Hygiene Perorangan
Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Hygiene perorangan) adalah upaya dari
seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya meliputi:
a. Memelihara kebersihan
b. Makanan yang sehat
c. Cara hidup yang teratur
d. Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani
e. Menghindari terjadinya penyakit
f. Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah
g. Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat
h. Pemeriksaan kesehatan
Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan
kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat
melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme
diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan yang
kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan Universitas Sumatera
Utara
tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan
memakai sabun sebelum makan.
Hygiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya
apabila melakukan hygiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan
yang baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci tangan sebelum
makan dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.
2.3. Konsep Perilaku.
Notoadmodjo (2005) mendefinisikan perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa
(berpendapat, berpikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan respon terhadap situasi
diluar subjek tersebut. Respons ini dapat bersifat aktif (tindakan) dan dapat juga bersifat
pasif (tanpa tindakan). Bentuk operasional dari perilaku ini dapat dikelompokkan menjadi 3
jenis, yaitu :
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi dan
rangsangan dari luar.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggap bathin terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar diri subjek atau lingkungan. Dengan demikian, berarti
lingkungan akan berperan membentuk perilaku manusia yang hidup
didalamnya. Lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik
yang akan mencetak perilaku manusia dengan sifat dan keadaan alam
tersebut.
3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa
action/perbuatan terhadap situasi atau rangsangan dari luar.

Pada dasarnya perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun demikian
tidak berarti bahwa bentuk dari perilaku itu hanya dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku
dapat juga bersifat konvensional, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi dan motivasi.
Bloom (1956), membedakan bentuk perilaku menjadi 3 macam yakni” cognitive,
effective dan psikomotor. Para ahli lain menyebutnya dengan pengetahuan (knowledge),
sikap (Attitude), dan tindakan (practice). Kihajar dewantoro menyebutkan dengan cipta, rasa
dan karsa atau perirasa dan peritindakan.

2.3.1. Pengetahuan
Menurut notoadmodjo (2003), Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi
setelah seseorang melakukan pengindraan suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Salah satu factor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi cacingan adalah
kurangnya pengetahuan tentang infeksi cacingan. Penelitian Wachidanijah (2002),
menunjukkan bahwa terdpat kecenderungan makin tinggi pengetahuan semakin baik
perilaku dalam hubungannya dengan penyakit kecacingan.
2.3.2. Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2003). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa
Universitas Sumatera Utara
sikap adalah tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya.
Jadi sikap tidak dapat dilihat langsung secara nyata tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai
perilaku yang tertutup. Menurut Allport (1954), seperti yang dikutip dari Notoadmodjo (2003),
menjelaskan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek)
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emocional terhadap statu objek
3. kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (Total
Attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini kemampuan berfikir, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting. Decicion Theory (Janis, 1985, dikutip dari Bart, 1994),
menganggap bahwa pasien sebgai seorang pengambil keputusan. Hal ini juga tercermin
dalam Conflict Theory dari Janin dan Mann (1997) yang dikutip dari Bart (1994), bahwa
pasienlah yang harus memutuskan apakah mereka akan melakukan suatu tindakan medis.

2.3.3. Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi satu perbuatan nyata.
Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau
terbuka (Notoadmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktek (practice) yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang
lain oleh karena itu disebut juga Over behaviour. Dari segi biologis, perilaku adalah suatu
kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari
sudut pandang biologis semua
Universitas Sumatera Utara
mahluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu
berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dan yang dimaksud
dengan perilaku pada hakikatbya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri
yang mempunyai bentangan sangat luas antara lain berbicara, menangis, tertawa, bekerja,
menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati olah pihak luar.(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang
berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta
lingkungan (Notoatmodjo, 2003). Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan
lingkungan misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor yang
menyangkut segi-segi hygiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya. Wachidanijah
(2002) menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi pengetahuan seseorang
semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit kecacingan. Perilaku masyarakat
untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki
mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali, dengan
pola transmisi infeksi cacing tersebut pada umumnya terjadi disekitar rumah (Bakta, 1995).
Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tinggi
infeksi oleh ”Soil-Transmited Helminths” pada masyarakat.

2.4. Perilaku Kesehatan


Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap
stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan
dan minuman serta lingkungan, atau reaksi manusia baik bersifat pasif maupun bersifat
aktif. Dengan demikian perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance) ini terdiri dari 3 aspek
a. Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (Health promotion
Behavior)
b. Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit (Health prevention
behavior)
c. Perilaku terhadap gizi makanan dan minuman (Health nutrion behavior)
2. Perilaku pencarian pengobatan ( Health seeking behavior)
3. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (Enviromental health behavior).

2.5. Landasan Teori


Infeksi kecacingan adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, terutama
disebabkan oleh infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale,
dan Necator americanus. Infeksi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, terutama di
negara berkembang dan beriklim tropis, serta kondisi sanitasi yang buruk dan kepadatan
penduduk. Infeksi terjadi pada saat manusia menelan telur melalui
makanan/minuman/tangan, atau masuk melalui kulit. Intensitas infeksi dapat bersifat ringan,
sedang, maupun berat.
Banyak faktor yang berperan terhadap terjadinya infeksi dan intensitas infeksi, antara
lain faktor geografis suatu wilayah, faktor genetik, dan faktor demografi. Faktor pengetahuan
yang tercermin melalui perilaku, dan faktor ada tidaknya interfensi yang telah dilakukan
dalam bentuk pendidikan kesehatan,
khususnya berkaitan dengan mekanisme penularan dan penyebaran infeksi cacing,
maupun interfensi dalam bentuk pengobatan turut berperan terhadap prevalensi dan
intensitas infeksi. Kurangnya perhatian terhadap infeksi cacing, karena sangat jarang
menimbulkan kematian juga menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan meningkatnya
prevalensi infeksi.
Anak usia sekolah dasar memiliki risiko terbesar untuk terinfeksi. Infeksi cacing
memiliki dampak yang cukup signifikan di dalam mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak. Seorang anak dapat kehilangan kesempatan untuk menjadi
sehat dan bebas dari penyakit. Seorang anak yang merupakan aset masa depan suatu
bangsa akan mengalami pertumbuhan yang terputus akibat mekanisme gangguan yang
ditimbulkan oleh cacing yang tersembunyi di dalam tubuhnya.

2.6. Kerangka Konsep


Berdasarkan pada landasan teori di atas, maka pada penelitian ini dirumuskan
kerangka konsep penelitian sebagai berikut :

Variabel independen Variabel dependen

Perilaku Higienitas Murid SD :


Kejadian Kecacingan
1) Pengetahuan
pada murid SD
2) Sikap
3) Tindakan

2. Tnjauan umum anemia

A. Anemia Pada Anak Usia Sekolah


1. Pengertian Anemia
Anemia adalah istilah yang menunjukan rendahnya hitung sel darah merah dan kadar
hemoglobin dan hematokrit dibawah normal . Anemia bukan merupakan penyakit, melainkan
merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit atau gangguan fungsi tubuh. Secara fisiologis
anemia terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke
jaringan (Smeltzer, 2002).
Serta pengertian tentang anemia gizi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat
besi dalam darah , artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya
pembentukan sel – sel darah merah akibat kurangnya kadar besi dalam darah . Semakin berat
kekurangan zat besi yang terjadi akan semakin berat pula anemia yang diderita (Gibney, 2008 ).
Untuk mengetahui seorang anak mengalami anemia atau tidak, maka dapat dilihat batasan kadar
hemoglobinnya . Batasan yang umum digunakan adalah kriteria WHO pada tahun 2001. Terdapat
kriteria batas normal kadar Hb berdasarkan umur dan jenis kelamin , data tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 2.1

Batasan normal kadar Hb

Hemogloblin
Kelompok Umur
(gr/dl)

Anak usia 5 – 11 tahun 11,5


sekolah

laki – laki dan 12 – 14 tahun 12,0


perempuan

Sumber : (WHO, 2001 dalam Supariasa 2002).

2. Derajat Anemia pada anak

Derajat anemia untuk menentukan seorang anak mengalami anemia atau tidak dapat
ditentukan oleh jumlah kadar Hb yang terdapat dalam tubuh. Klasifikasi derajat anemia yang umum
dipakai dalah sebagai berikut :

a. Ringan sekali Hb 10 gr/dl – 13 gr / dl

b. Ringan Hb 8 gr / dl – 9,9 gr / dl

c. Sedang Hb 6 gr / dl – 7,9 gr / dl

d. Berat Hb < 6 gr / dl

(Sumber : WHO, 2002,. dalam Wiwik , 2008).

3. Etiologi Anemia

Menurut Price (2006) penyebab anemia dapat dikelompokan sebagai berikut :

1. Gangguan produksi eritrosit yang dapat terjadi karena :

a) Perubahan sintesa Hb yang dapat menimbulkan anemi difisiensi Fe, Thalasemia, dan anemi infeksi
kronik.

b) Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien yang dapat menimbulkan anemi pernisiosa dan
anemi asam folat.
c) Fungsi sel induk ( stem sel ) terganggu , sehingga dapat menimbulkan anemi aplastik dan
leukemia.

d) Infiltrasi sumsum tulang, misalnya karena karsinoma.

2. Kehilangan darah :

a) Akut karena perdarahan atau trauma / kecelakaan yang terjadi secara mendadak.

b) Kronis karena perdarahan pada saluran cerna atau menorhagia.

3. Meningkatnya pemecahan eritrosit ( hemolisis). Hemolisis dapat terjadi karena :

a) Faktor bawaan, misalnya, kekurangan enzim G6PD ( untuk mencegah kerusakan eritrosit.

b) Faktor yang didapat, yaitu adanya bahan yang dapat merusak eritrosit misalnya, ureum pada
darah karena gangguan ginjal atau penggunaan obat acetosal.

4. Bahan baku untuk pembentukan eritrosit tidak ada. Bahan baku yang dimaksud adalah protein ,
asam folat, vitamin B12, dan mineral Fe.Sebagian besar anemia anak disebabkan oleh kekurangan
satu atau lebih zat gizi esensial (zat besi, asam folat, B12) yang digunakan dalam pembentukan sel-
sel darah merah. Anemia bisa juga disebabkan oleh kondisi lain seperti penyakit malaria, infeksi
cacing tambang (Masrizal, 2007).

Tanda – tanda dari anemia gizi dimulai dengan menipisnya simpanan zat besi (feritinin) dan
bertambahnya absorsi zat besi yang digambarkan dengan meningkatnya kapasitas pengikat zat besi.
Pada tahap yang lebih lanjut berupa habisnya simpanan zat besi yang digambarkan dengan
meningkatnya kapasitas simpanan zat besi , berkurangnya kejenuhan transferin, berkurangnya
jumlah protoporporin yang diubah menjadi heme dan dikuti dengan menurunya kadar feritinin
serum dan akhirnya terjadi anemia dengan ciri khas rendahnya kadar hemogloblin (Gibney,2008).

4. Tanda Gejala Anemia Anak

Tanda gejala yang sering dijumpai pada anak selain dilihat dari beratnya anemia, berbagai faktor
mempengaruhi berat dan adanya gejala : 1) kecepatan kejadian anemia, 2) durasinya misalnya
kronisitas, 3) kebutuhan metabolisme pasien yang bersangkutan, 4) adanya kelainan lain atau
kecacatan dan 5) komplikasi tertentu atau keadaan penyerta kondisi yang mengakibatkan anemia
(Smeltzer, 2002).

Sedangkan tanda gejala menurut Mansjoer (2006) dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala yaitu :
1. Gejala umum anemia, disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini
muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu ( Hb
<7g/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa lemah , lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus),
mata berkunang –kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dyspepsia. Pada mukosa mulut,
telapak tangan dan jaringan dibawah kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh penyakit diluar anemia dan tidak sensitive karena timbul setelah penurunan
hemoglobin berat ( Hb < 7g/dl ). 2) Gejala masing – masing anemia, gejala ini spesifik untuk masing –
masing jenis anemia, sebagai berikut : a) anemia defisiensi besi gejalanya antara lain disfagia, atrofi
papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok ( koilonychia ). b) anemia megaloblastik antara lain
glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12. c) anemia aplastik antara lain seperti
perdarahan, dan tanda – tanda infeksi. 3) gejala penyaikt dasar yaitu gejala yang sering timbul akibat
penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia
tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi cacing tambang seperti mengalami sakit perut,
pembengkakan parotis, dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala
penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena
arthritis rheumatoid.

Selain tanda dan gejala yang terjadi pada anemia diatas, individu dengan defisiensi besi yang berat
( besi plasma kurang dari 40 mg/ dl, hemoglobin 6 sampai 7 g /dl) memiliki rambut yang rapuh dan
halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan mungkin berbentuk sendok (koilonikia). Selain itu
atrofi paila lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat, bewarna merah daging dan
meradang serta sakit. Dapat juga terjadi stomatitis angularis, pecah – pecah disertai kemerahan dan
nyeri disudut mulut (Price, 2006).

Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus anemia untuk
mngarahkan diagnosa anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis anemia memerlukan pemeriksaan
laboratorium.

5. Patofisiologi Terjadinya Anemia

Menurut Price (2006) patofisiologi anemia defisiensi besi secara morfologis, Keadaan ini
diklasifikasikan sebagai anemia mikrositik hipokromik dengan penurunan kuantitatif sintesis
hemoglobin. Definisi besi merupakan penyebab utama anemia didunia dan terutama sering dijumpai
pada perempuan usai subur disebabkan oleh kehilangan darah sewaktu menstruasi dan peningkatan
kebutuhan besi selama kehamilan . Penyebab- penyebab lain defisiensi besi adalah : (1) asupan besi
yang tidak cukup, misal , pada masa bayi – bayi yang hanya diberi diet susu saja selama 12 – 24 bulan
dan pada individu – individu tertentu yang vegetarian ketat; (2) gangguan absorsi setelah
gastrektomi dan (3) kehilangan darah menetap, seperti pada perdarahan saluran cerna lambat
akibat polip, neoplasma, gastritis, varises esofagus, ingesti aspirin dan hemorroid.

Dalam keadaan normal tubuh seorang dewasa rata - rata mengandung 10 mg besi, dan untuk
seorang anak rata – rata mengadung 11 – 12 mg besi bergantung pada jenis kelamin dan ukuran
tubuhnya(Supariasa, 2002) . Lebih dari dua pertiga besi terdapat didalam hemoglobin. Besi dilepas
dengan semakin tua serta matinya sel dan diangkut melalui transferin plasma ke sumsum tulang
untuk eritropoiesis. Dengan pengecualian mioglobin ( otot ) dan enzim- enzim heme dalam jumlah
yang sangat sedikit, sisa zat besi disimpan di dalam hati, limpa, dan dalam sumsum tulang sebagai
feritinin dan hemosiderin untuk kebutuhan – kebutuhan lebih lanjut.

Walaupun dalam diet rata – rata mengandung 10 sampai 20 mg besi, hanya sekitar 5 % hingga 10 % (
1 sampai 2 mg) yang sebenarnya diabsorsi. Pada saat persediaan besi berkurang, maka lebih banyak
besi diasbsorsi dari diet. Besi yang diingesti diubah menjadi besi ferro di dalam lambung dan
duodeunum serta diabsorpsi dari duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut oleh
transferin plasma ke sumsum tulang untuk sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di
jaringan.

Tiap mililiter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit sekali, dari 0,5
sampai 1mg / hari . Namun , yang mengalami menstruasi kehilangan tambahan sebanyak 15 sampai
28 mg / bulan. Walaupun kehilangan darah karena menstruasi berhenti selama kehamilan,
kebutuhan besi harian meningkat untuk mencukupi permintaan karena meningkatnya volume darah
ibu dan pembentukan plasenta, tali pusat, dan janin , serta mengimbangi darah yang hilang selama
kelahiran.

Selain tanda – tanda dan gejala – gejala yang terjadi pada anemia, individu dengan defisiensi besi
yang berat ( besi plasma kurang dari 40 mg / dl: hemoglobin 6 sampai 7 g/ dl) memiliki rambut yang
rapuh dan halus serta kuku tipis, rata , mudah patah dan mungkin berbentuk sendok (koilonikia).
Selain itu, antrofi papila lidah mengalibatkan lidah tampak pucat , licin, mengkilat, bewarna merah
daging, dan meradang serta sakit. Dapat juga terjadi stomatitis angularis, pecah – pecah disertai
kemerahan dan nyeri di sudut mulut.

Pemeriksaan darah menunjukan jumlah SDM normal atau hampir normal dan kadar hemoglobin
berkurang, Pada asupan darah perifer, SDM mikrositik dan hipokromik ( MCV, MCHC, dan MCH
berkurang ) disertai poikilositosis dan anisositosis. Jumlah retikulosit dapat normal atau berkurang .
Kadar besi berkurang sedangkan kapasitas mengikat – besi serum total meningkat.
Untuk mengobati difesiensi besi, penyebab dasar anemia harus diidentifikasi dan dihilangkan.
Intervensi pembedahan mingkin diperlukan untuk menghambat perdarahan aktif akibat polip, ulkus,
keganasan dan hemoroid: perubahan diet dapat diperlukan untuk bayi – bayi yang hanya diberi susu
atau individu dengan idionsnkrasi makanan atau yang menggunakan aspirin dalam dosis besar.
Walaupun modifikasi diet dapat meningkatkan besi yang tesedia ( misalnya, dengan menambahkan
hati ) , suplementasi besi diperlukan untuk meningkatkan hemoglobin dan mengembalikan cadangan
besi. Besi tersedia dalam bentuk parenteral dan oral . sebagian besar orang berespon baik terhadap
senyawa – senyawa oral seperti ferosulfat , 325 mg tiap tiga kali sehari selama paling sedikit 6 bulan
untuk menggantikan cadangan besi. Sediaan besi perenteral digunakan pada pasien yang tidak dapat
menoleransi sediaan oral atau yang tidak patuh. Besi parenteral memiliki insiden terjadinya reaksi –
reaksi yang merugikan relatif tinggi. Pasien tersebut diberikan dosis uji dan dipantau selama satu
jam. Kila pasien tersebut tidak mengalami efek samping , sisa dosisnya diberikan 2 jam kemudian .

6. Cara Mengukur Anemia

Untuk mengetahui penyebab anemia, harus dilakukan pendekatan diasnotik secara bertahap dengan
mengumpulkan data klinis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Perlu ditekankan bahwa anemia
sebenarnya adalah bukan penyakit tetapi suatu keadaan yang ditandai dengan menurunnya kadar
hemoglobin ( Hb) dibawah normal ( Indriawati, 2002).

Dasar pemikiran kadar Hb adalah frekuensi khusus Hb. Fungsi khusus dari Hb adalah kemampuanya
mengangkut oksigen dengan lemah dan reversible. Oksigen ini tidak berikatan dengan besi fero yang
bervalensi koordinasi dari atom besi. Setiap molekul mengandung 4 hem, sehingga 1 molekul Hb
terdiri dari 4 atom besi dan dapat mengikat 4 molekul oksigen. Jadi dasar penentuan kadar Hb dalam
darah meliputi: (1) menentukan ml O2 yang dapat diikat oleh Hb ( 1.34 ml O2 dapat diikat oleh 1
gram Hb). (2) menentukan banyaknya CO2 yang dapat diikat oleh Hb ( 1,34 ml CO2 dapat diikat oleh
1 gram Hb ). (3) membandingkan intensitas warna Hb atau derivariat dengan suatu standart yang
lebih terperinci secara kalorimetris ( Indriawati, 2002). Pemeriksaaan kadar Hb dilapangan umumnya
menggunakan 3 metode yaitu : kertas saring ( talquist ) sahli dan Hemocue. Tetapi metode umum
yang direkomendasikan untuk digunakan pada survei prevalensi anemia pada populasi adalah
haemogloblinometri dengan metode cyanmetheglobin dilaboratorium dan sistem hemocue
( UNICEF, UNU, WHO, 2001 dalam indriawati 2002).

Pemeriksaan kadar Hb dengan metode talquist dilakukan dengan cara sebagai berikut :

1. Darah dihisap dengan kertas hisap sampai meresap betul dan ditunggu 1-2 menit dengan kertas
hisap sampai Hb menjadi HBO2
2. Kemudian bercak darah yang didapatkan, ditempatkan dibawah lubang dari skala berwarna untuk
disamakan . Pembacaan hanya dapat dilakukan dengan bantuan sinar matahari ( siang hari ).
Perincian pembacaan skala ( dibandingkan dengan metode sahli ) yaitu 100% = 16 gram / 100 ml
secara optimal, yang warnanya lebih tua dibandingkan warna darah diawal penghisapan dikertas
saring.

Pemeriksaan dengan metode talquist ini tidak begitu akurat dan hanya dilakukan untuk mengetahui
kekurangan Hb secara kasar saja ( Indriawati, 2002)

Adapun pemeriksaan Hb dengan menggunakan metode sahli adalah sebagai berikut :

1. Tabung diisi dahulu dengan 0,1 N HCL sampai tanda 2, kemudian darah diserap dihisap dengan
menggunakan pipet sampai tanda 20 dan sebelum menjedal segera dihembuskan kedalam tabung.
Untuk membersihkan sisa – sisa darah didalam pipet maka HCL didalam tabung dihisap dan
dihembuskan lagi dampai 3 kali.

2. Ditunggu dahulu sampai 1 – 2 menit, berturut – turut akan terdjadi hemolisis eritrosit, dan Hb
yang dipecah akan menjadi hem dan globin. Kemudian hem dengan HCL akan membentuk hematicin
– HCL yang merupakan senyawa yang lebih stabil siudara dibandingkan dengan Hb yang berwarna
coklat.

3. Dengan pipet penetes, hematicin – HCL diencerkan sampai warnanya sesuai dengan warna
standart. Kadar Hb dapat ditentukan dengan membaca skala pada tabung.

Jadi pada prinsipnya metode sahli dilakukan dengan mengencerkan darah menggunakan larutan HCL
sehingga HB berubah menjadi hematinin asam. Larutan campuran tersebut dilarutkan dengan
akuades sampai warnanya sama dengan warna batang gelas standart, kadar Hb dapat ditentukan
( Indriawati, 2002). Metode cyanmethemoglobin untuk menentukan kadar Hb adalah metode
laboratorium terbaik untuk pemeriksaan kuantitatif Hb, sehingga dianjurkan oleh WHO ( Indriawati,
2002) metode ini merupakan rujukan untuk perbandingan dan standarisasi metode – metode yang
lainya. Caranya adalah : sejumlah darah dilarutkan dengan reagen ( larutan Drabkin) dan kadar Hb
akan diketahui setelah beberapa waktu secara akurat, dengan bantuan fotometer ( UNICEF, UNU,
WHO,2001, dalam Indriawati 2002).

Sistem hemocue adalah metode kuantitatif yang reliabel untuk menentukan kadar Hb pada survei
dilapangan, yang didasari oleh metode cyanmethemoglobin. Sistem Hemocue terdiri dari perangkat
yang portabel, fotometer yang diaktifkan dengan baterai, dan sejumlah cuvet untuk pengumpulan
darah. Sistem ini unik untuk survei cepat dilapangan karena tidak perlu menambahkan larutan
reagen untuk satu kali pengumpulan darah dan pengukuran Hb. Staf survei lapangan yang bukan
tenaga laboratorium pun bisa dengan mudah dilatih untuk menggunkan sistem ini ( UNICEF, UNU,
WHO, 2001, dalam Indriawati, 2002).

Meskipun penentuan Hb merupakan cara yang paling umum dilakukan untuk menentukan status
anemia ini , tetapi perlu mempertimbangkan baberapa hal yaitu : 1) ketersediaan peralatan,
terutama spectrophotometer jarang ada dilapangan, 2) ketersediaan standart Hb sangat terbatas,
sehingga standarisasi secara periodik jarang dilakukan dan 3) penentuan kadar Hb dengan cara sahli
adalah pilihan yang banyak dilakukan , padahal tidak akurat.

Cara Cyanmethemoglobin pada metode ini hemoglobin dioksidasi oleh kalium ferrosida menjadi
methemoglobin yang kemudian bereaksi dengan ion sianisida (CN2-) membentuk ion sian-
methemodglobin yang berwarna merah. Intensitas warna dibaca dengan fotometer dan
dibandingkan dengan standar. Karena yang membandingkan alat elektronik, maka hasilnya lebih
objektif. Namun, fotometer saat ini masih cukup mahal, sehingga belum semua laboratorium
memilikinya. Mengingat hal diatas, percobaan dengan metode sahli masih digunakan di samping
metode sianmethemoglobin yang lebih canggih(Supariasa, 2002).

7. Pencegahan Anemia

Diet pada semua orang yang harus mencangkup zat besi yang cukup. Daging merah, hati dan kuning
telur merupakan sumber penting zat besi. Tepung, roti dan beberapa sereal yang diperkaya dengan
besi baik untuk pencegahan. Jika tidak mendapatkan cukup besi dalam diet, maka dapat dilakukan
suplementasi zat besi. Selama periode tertentu yang membutuhkan zat besi tambahan (seperti
kehamilan dan menyusui), maka jumlah zat besi dalam diet harus ditinggalkan atau dengan
suplementasi zat besi (Proverawati, 2011).

8. Pengobatan Anemia

Penyebab kekurangan zat besi harus ditemukan terlebih dahulu, terutama pada pasien yang lansia
yang menghadapi resiko terbesar untuk kangker pencernaan. Telah tersedia suplemen besi ( fero
sulfat), untuk penyerapan zat besi terbaik, minum suplemen ini dengan perut kosong. Namun,
banyak orang yang tidak dapat mentoleransi keadaan ini dan mungkin perlu mengkonsumsi
suplemen bersamaan dengan makanan.

Pasien yang tidak bisa mentolelir besi melalui mulut dapat menerimanya melalui injeksi vena
(intravena) atau dengan suntikan ke dalam otot. Susu dan antasida dapat mengganggu penyerapan
zat besi dan tidak harus diambil pada waktu yang sama sebagai suplemen zat besi. Vitamin c dapat
meningkatkan penyerapan dan sangat penting dalam produksi hemoglobin. Kondisi .Makanan yang
banyak mengandung zat besi antara lain telur ( kuning telur), ikan, kacang – kacangan , daging,
unggas, kismis, roti gandum (Proverawati, 2011).

B. Faktor – Faktor Yang Berhubungan dengan Anemia Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah menderita anemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu terdapat faktor -
faktor yang menyebabkan anemia antara lain:

1. Faktor langsung

Menurut Price (2006) faktor langsung disebabkan oleh penghancuran sel darah merah yang
berlebihan, kehilangan darah, penurunan produksi sel darah merah akibat mengidap penyakit infeksi
malaria dan kecacingan . Kemudian menurut Mazrizal (2007) faktor langsung yang sering dijumpai
pada anak usia sekolah yaitu dipengaruhi oleh kebutuhan tubuh yang meningkat, akibat mengidap
penyakit kronis dan kehilangan darah karena menstruasi dan infeksi parasit kecacingan. Di negara
berkembang seperti Indonesia penyakit kecacingan masih merupakan masalah yang besar untuk
kasus anemia gizi besi, karena diperkirakan cacing menghisap darah 2-100 cc setaip harinya .

2. Faktor tidak langsung

Kemudian selain faktor langsung diatas terdapat faktor tidak langsung yang menyebabkan anemia
antara lain seperti faktor pengetahuan yaitu seperti status pendidikan, selanjutnya disebabkan oleh
keadaan lingkungan , kurangnya asupan kebutuhan zat besi yang dikarenakan kebutuhan tubuh akan
zat besi meningkat ( Khumaidi 1989 dalam Mazrizal 2007 ). Adapun faktor tidak langsung yang
mempengaruhi kejadian anemia pada anak usia sekolah antara lain :

1. Tingkat Pendapatan keluarga

Pendapatan keluarga merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan,
sehingga rendahnya pendapatan akan mempengaruhi rendahnya daya beli. Pendapatan keluarga
yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua itu dapat menyediakan
semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder. Pendapatan atau penghasilan yang kecil tidak
dapat memberi cukup makan pada anggota keluarga, sehingga kebutuhan keluarga tidak tercukupi
( Depkes RI, 2010).

2. Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan
lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan ( Notoatmodjo, 2005 ).

3. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya
pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti penyuluhan kesehatan dan gizi serta
sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas dan rumah sakit ( Depkes, 2005).

4. Asupan Zat Protein

Protein memegang peranan esensial dalam mengangkut zat-zat gizi dari saluran cerna melalui
dinding saluran cerna ke dalam darah, dari darah ke jaringan-jaringan, dan melalui membran sel ke
dalam sel-sel. Sebagai alat angkut, protein ini dapat bertindak secara khusus, misalnya protein
pengikat retinol yang hanya mengangkut vitamin A. atau dapat mengangkut beberapa jenis zat gizi
seperti besi sebagai transferin (Almatsier, 2010). Protein sebagai alat angkut dan penyimpanan
terhadap hemoglobin yaitu mengangkut oksigen dalam eritrosit sedangkan mioglobin mengangkut
oksigen dalam otot. Ion besi diangkut dalam plasma darah oleh transferin dan disimpan dalam hati
sebagai kompleks dengan ferritin (Winarno, 2002).

Terutama protein hewani, walaupun tidak semua, juga dapat mendorong penyerapan besi nonhem.
Protein seluler yang berasal dari daging sapi, kambing, domba, hati, dan ayam menunjang
penyerapan besi nonhem. Namun protein yang berasal dari susu sapi, keju dan telur tidak dapat
meningkatkan penyerapan besi nonhem. Faktor yang menyebabkan kenaikan penyerapan besi lebih
dikenal sebagai MFP (meat, fish, poultry) factor (Wirakusumah, 1999 dalam Almatsier 2010).

Tubuh mendapatkan zat besi melalui makanan . Kandungan zat besi dalam makanan berbeda –
beda, dimana makanan yang kaya akan kandungan besi adalah makanan yang berasal dari hewani
( seperti ikan , daging, hati, ayam). Makanan nabati ( seperti sayuran hijau tua) walaupun kaya akan
zat besi, namun hanya sedikit yang bias diserap dengan baik oleh usus ( Gibney, 2008).

Rendahnya asupan zat besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi bahan makananan
yang kurang beragam dengan menu makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan sedikit
daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat besi. Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena
susunan makanan yang salah baik jumlah maupun kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya
penyediaan pangan, distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan makan yang salah, kemiskinan
dan ketidaktahuan (Masrizal, 2007). Asupan zat protein pada anak dapat dilihat dengan memantau
asupan makan selama 3 x 24 jam ( Almatsier, 2010).

5. Penyerapan Zat Protein

Hasil pencernaan protein terutama berupa asam amino dan ini segera diserap dalam waktu lima
menit setelah makan . Absorbsi terutama terjadi dalam usus halus berupa empat sistem absorbs
aktif yang membutuhkan energi, yaitu masing – masing untuk asam amino netral, asam amino asam
dan basa, serta untuk prolin dan hidroksiprolin. Absorpsi ini menggunakan mekanisme transport
natrium seperti halnya pada absorpsi glukosa. Asam amino yang diabsorbsi memasuki sirkulasi darah
melalui vena porta dan dibawa kehati. Sebagian asam amino digunakan oleh hati, dan sebagian lagi
melalui sirkulasi darah dibawa ke sel – sel jaringan. Kadang – kadang protein yang belum dicerna
dapat memasuki mukosa usus halus dan muncul dalam darah. Hal ini sering terjadi pada protein susu
dan protein telur yang dapat menimbulkan gejala alergi ( immunological sensitive protein ) yang
berpengaruh dalam penghambat maupun penyerapan zat gizi terutama zat besi (Almatsier, 2010)

6. Kebutuhan Zat Besi

Kebutuhan zat besi pada anak usia sekolah dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik dan aktifitas fisik.
Kebutuhan akan zat besi akan meningkat pada masa pertumbuhan seperti pada bayi, anak-anak,
remaja, kehamilan dan menyusui. Kebutuhan zat besi juga meningkat pada kasus-kasus pendarahan
kronis yang disebabkan oleh parasit (Masrizal, 2007).

Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh
pengatahuan, sikap, kepercayaan, tradisi dan sebagainya dari orang yang bersangkutan. Disamping
itu, ketersediaan fasilitas dan sikap serta perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga
akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.

Dalam penelitian ini difokuskan pada faktor langsung dan faktor tidak langsung karena yang paling
berperan dalam mempengaruhi kejadian anemia pada anak usia sekolah. Adapun faktor – faktor
yang diteliti meliputi tingkat pendapatan perkapita keluarga, tingkat pengetahuan anak usia sekolah
dan asupan protein serta penyakit infeksi kecacingan.

C. Hubungan pengetahuan tentang anemia dengan anemia anak usia sekolah

Penelitian Anita lusiana dkk, (2011) menunjukan bahwa pendidikan gizi diperlukan oleh anak usia
sekolah sebagai sarana dalam menunjang status kesehatan anak. Hal ini dikarenakan pendidikan gizi
dapat digunakan sebagai salah satu upaya peningkatan kemandirian, sikap kritis dan kehati – hatian
terkait pola makan dan pola hidup besih dan sehat. Saat ini pendidikan gizi belum menjadi fokus
utama dalam kurikulum pembelajaran siswa. Menurut Soekirman (2000 dalam Nurhayati, 2010),
pada umumnya sikap kritis dan hati – hati dalam soal makan belum dimiliki anak indonesia.
Kurikulum pendidikan dasar di indonesi belum mengajarkan ilmu sizi secara profesional. Di negara
maju, sejak kecil anak – anak telah mendapatkan pendidikan gizi secara teratur. Melalui
pembelajaran dikelas dan progam makan siang di sekolah (school lunch), anak – anak didiknya
supaya memahami dan mempraktikan pedoman gizi seimbang. Dengan pedoman tersebut , hampir
setiap hari mereka diingatkan agar menyukai beragam jenis makanan, terutama jenis sayur dan buah
– buahan. Mereka juga diajarkan menjaga kebersihan dan memperhatikan label pembungkus arau
makanan untuk menghindari makanan tercemar ataupun kadarluwarsa (Nurhayati, 2010). Keadaan
status pengetahuan anak yang memenuhi syarat kesehatan dengan terpenuhinya syarat – syarat
kebiasaan konsumsi makanan yang sehat yang telah dijelaskan oleh peneliti diatas.

D. Hubungan pendapatan perkapita keluarga dengan anemia anak usia sekolah

Pendapatan perkapita sangat mempengaruhi perbaikan pendidikan dan perbaikan pelayanan


kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat. Rata - rata keluarga dengan pendapatan yang cukup
baik akan memilih tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang bagus dan bermutu
(Notoatmodjo,2007). Penghasilan perkapita perbulan yang dihitung dari jumlah rata-rata
pendapatan yang diterima keluarga baik tetap maupun tidak tetap setiap bulan dibagi dengan
jumlah anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah. Keluarga dengan pendapatan lebih tinggi
akan mempunyai kesempatan untuk memperoleh atau menyediakan jenis makanan yang lebih
bervariasi baik dari aneka macam makanan maupun kualitasnya. Keadaan status pendapatan sangat
berpengaruh dengan status kesehatan anak dalam pemenuhan keanekaragaman makanan yang
bergizi dan bermutu yang telah dijelaskan oleh peneliti diatas.

3. Tinjauan umum madu


Madu adalah salah satu produk yang dihasilkan oleh lebah disamping produk lainnya, seperti
pollen, royal jelly, lilin llebah, propolis, dan apitoxin (Bee venom). Madu merupakan bahan alam
yang berupa cairan lengket dan manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari nektar berbagai macam
bunga atau sekresi bagian lain dari tanaman, yang dicerna di dalam tubuh lebah, diperkaya dengan
sekresi ludah dan enzimatis, dan disimpan dalam sarang, sehingga matang (Naef et al. 2004; Joseph
et al.., 2007).
1. Proses dan mekanisme pembuatan madu oleh lebah
Pada pembuatan madu oleh lebah, ada tiga enzim spesifik yang diproduksi dalam kelenjar
hypopharyngeal di kepala lebah yang terlibat (Bonney, 1998), yaitu :
a. Invertase, yang berperan mengubah sukriosa dari nektar menjadi glukosa dan fructosa.
b. Diastase, yaitu bagian konstituen madu yang membantu memecah pati. Fungsinya tidak
sepenuhnya dipahami, tetapi mungkin membantu dalam pencernaan tepung sari.
c. Glukosa oksidase, bekerja mengubah glukosa menjadi asam glukonat dan hidrogen
peroksida, yang melindungi madu mentah terhadap kontaminasi bakteri dan membantu
melindungi terhadap fermentasi.
Mekanisme pembuatan madu oleh lebah adalah sebagai berikut (Bonney, 1998 and Connor, 2012):
lebah pekerja keluar dari sarang dan terbang mencari bunga yang kaya akan nektar. Kemudian lebah
mengisap nektar tersebut dengan lidahnya yang mirip tabung panjang. Pada saat nektar melewati
bagian mulut lebah, ketiga enzim ditambahkan ke nektar, lalu dimasukkan keperut madu dan enzim
mulai bekerja. Selanjutnya kadar air nektar diturunkan sampai dibawah 19%. Setelah perut madu
penuh, lebah kembali ke sarangnya dan mencari lebah rumah untuk mentransfer nektar ke beberapa
lebah rumah, dan lebah pekerja terbang kembali ke lapangan. Sementara itu di dalam sarang, lebah
rumah mengurangi jumlah kandungan air dalam nektar dengan cara dibiarkan terkena udara dan
dikipas-kipas dengan sayap sehingga kadar air madu turun sampai sekitar 15%. Proses ini biasanya
berlangsung selama 20 menit. Selanjutnya madu dimasukkan ke dalam sel-sel kosong yang ada di
dalam sarang dan menutupnya dengan lilin.

2.1.2 Kandungan Kimianya


Madu mengandung banyak mineral seperti natrium, kalsium, magnesium, alumunium, besi, fosfor,
dan kalium. Vitamin – vitamin yang terdapat dalam madu adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), asam
askorbat (C), piridoksin (B6), niasin, asam pantotenat, biotin, asam folat, dan vitamin K. Sedangkan
enzim yang penting dalam madu adalah enzmi diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase,
dan lipase. Selain itu unsur kandungan lain madu adalah memiliki zat antibiotik atau antibakteri
(Adji, S, 2004).
Nilai kalori madu sangat besar 3.280 kal/kg. Nilai kalori 1 kg madu setara dengan 50 butir telur ayam,
5,7 liter susu, 1,68 kg daging, 25 buah pisang, 40 buah jeruk, dan 4 kg kentang. Madu memiliki
kandungan karbohidrat yang tinggi dan rendah lemak. Kandungan gula dalam madu mencapai 80 %,
asam utama yang terdapat dalam madu adalah asam glutamat. Sementara itu, asam organik yang
terdapat dalam madu adalah sam asetat, asam butirat, format, suksinat, glikolat, malat,
proglutamat, sitrat, dan piruvat(Adji, S, 2004).
Tabel 2.1. Komposisi kimia madu per 100 gram (Adji, S, 2004).

Komposisi Jumlah
Kalori 328 kal
Kadar air 17,2 g
Protein 0,5 g
Abu 0,2 g
Karbohidrat 82,4 g
Tembaga 4,4 – 9,2 mg
Fosfor 1,9 – 6,3 mg
Besi 0,06 – 1,5 mg
Mangan 0,02 – 0,4 mg
Magnesium 1,2 – 3,5 mg
Thiamin 0,1 mg
Riboflavin 0,02 mg
Niasin 0,20 mg
Lemak 0,1 g
PH 3,4 – 4,5
Asam total 43,1 mg

Anda mungkin juga menyukai