Anda di halaman 1dari 14

HARMONISASI PERAN PENEGAK HUKUM DALAM

PEMBERANTASAN KORUPSI

I. LATAR BELAKANG
Korupsi dalam beberapa tahun ini telah memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia
akan kesistematikan dan tingkat keparahan yang sangat tinggi, sehingga diperlukan
upaya-upaya yang serius dan signifikan terhadap pemberantasannya. Hal inipun
tercermin dalam konsideran UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara jelas
menyebutkan bahwa ” tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas,
tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak-hal sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana
korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus
dilakukan secara luar biasa”1
Bangsa-bangsa di duniapun akhirnya menyadari tingkat parahnya korupsi dinegara-
negara yang ada didunia sehingga pada akhirnya lahirlah United Nations Convention
against Corruption yang menandai babak baru dalam perlawanan masyarakat dunia
terhadap korupsi. Dalam pembukaan UNCAC dapat kita lihat pernyataan masayrakat
dunia tentang keprihatinan yang mendalam terhadap korupsi ”concerned about
seriousness of problems and threats posed by corruption to the stability and security
of societies, undermining the institutions and values of democracy, ethical values and
justice and jeopardizing sustainable development and the rule of law”2

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disebutkan harus dilakukan secara luar
biasa harus diakui merupakan pengakuan bahwa kejahatan korupsi yang selama ini
ada dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara telah mencapai pada
taraf tersistematisir dengan berbagai pola, menyeluruh (hampir disemua bidang ada),
dan sulit ditanggulangi. Sehingga yang menjadi korban pada akhirnya adalah
masyarakat. Masyarakat yang tidak tahu menahu dibebankan biaya ekonomi yang
cukup tinggi akibat korupsi yang menyeluruh disegala bidang.
Peran masyarakat yang menjadi korban utama dari perbuatan ini sangat penting dalam
meningkatkan akselerasi dalam memberantas korupsi. Akan tetapi peran masyarakat
1
UU No.21 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No.31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
2
United Nations Convention against Corruption
yang tinggi tetap akan membentur tembok yang sangat kuat jika aparat penegak
hukum tidak bekerja secara serius dan sistematik dalam melawan korupsi.
Keseriusan Aparat Penegak Hukum dalam pemberantasan korupsi harus diperlihatkan
dengan pembenahan yang sistemik, yang didasari atas fakta dan kondisi nyata
dilapangan. Tidak serta merta apa yang ada dalam peraturan perundang-undangan
tercermin dalam praktek dilapangan, ataupun apa yang ada dilapangan merupakan
buah yang baik dari sistem peraturan perudang-undangan kita. Harus ada sinergi
dalam praktek kerja penegak hukum dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

II. PERMASALAHAN

Pada tahun 1983, Komisaris ICAC Peter Williams menyampaikan pidato pada sebuah
konferensi internasional. Dalam keadaan seperti apakah masuk akal bagi suatu negara
untuk mendirikan sebuah badan anti korupsi independen? Jawabannya adalah”
” Pertama: Keadaan korupsi di masyarakat sudah mencapai tingkat yang
kritis atau traumatis sehingga dirasa cukup untuk menuntut pihak-pihak
berwenang bahwa diperlukan suatu badan penegakan hukum yang sama
sekali baru untuk melawannya. Kedua: Untuk menjamin kepercayaan rakyat
terhadap organisasi baru tadi, organisasi itu harus terpisah dari
administrasi politik maupun eksekutif dan langsung bertangggungjawab
pada kekuasaan tertinggi di negeri tersebut. Ketiga: Staf dan organisasi
tersebut harus secara jelas mempunyai kejujuran dan integritas setinggi
mungkin dan sanggup mempertahankannya. Keempat: Korupsi sebagai
tindak kejahatan mat sulit diberantas, maka kewenanangan yang diberikan
kepada badan baru tersebut harus luas sekali, kalau tidak mau dibilang
kejam. Kelima: Harus diciptakan lagi suatu sistem independen yang
terpercaya untuk menangani keluhan-keluhan terhadap badan baru itu.
Keenam: Semua pertimbangan ini melibatkan sumber-sumber dana yang
besar dan negara mau menyisihkan dana guna mendorong
pelaksanaannya.”3
Pernyataan diatas merupakan sebuah evaluasi yang sangat menohok bagi aparat penegak
hukum, terutama jika kita melihat kondisi korupsi yang semakin kritis, sehingga muncul
banyak sekali ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-
kasus ataupun permasalahan korupsi. Aparat penegak hukum seharusnya lebih jeli dalam
3
Williams, Concept of an Independent Organisation, dikutip dalam Klitgard, Membasmi Korupsi, hlm.
160.
membaca situasi dan kondisi masyarakat pada saat ini. Adapun beberapa komponen
Masyarakat Indonesia pada akhirnya menganggap penanganan kasus korupsi yang adil dan
dilakukan oleh aparat penegak hukum yang ada hanyalah sebuah proses bargaining belaka,
yang terungkap dan terhenti menjadi semacam sebuah sandiwara yang terus dimainkan oleh
aparat penegak hukum. Hal inilah yang membuat banyaknya muncul lembaga-lembaga baru
yang berfungsi untuk membantu aparat penegak hukum dalam menangani kasus korupsi
ataupun dalam mengawasi aparat penegak hukum itu sendiri.
Seharusnya dengan munculnya lembaga-lembaga baru bukan hanya untuk membantu aparat
penegak hukum akan tetapi merupakan sebuah evaluasi yang dimunculkan oleh negara
terhadap lembaga dan peran aparat penegak hukum yang ada. Diharapkan muncul kesadaran
penegak hukum atas kesalahan ataupun kealpaan yang dilakukan oleh dirinya sendiri,
sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk memperbaikinya.
Perbaikan-perbaikan yang dilakukan oleh institusi penegak hukum dapat mengambil
konsep Good Governance Principle, seperti prinsip transparansi, kewajaran,
keterbukaan dan akuntabilitas sehingga terciptanya proses penegakan hukum terhadap
tindak pidana korupsi yang kondusif,efektif dan efisien.

A. Penegak Hukum

Dari latar belakang diatas dapat kita tarik berbagai prinsip untuk memberantas
korupsi, antara lain:
• Access to justice ( Akses kepada keadilan)
• Timeliness of justice delivery ( Standar waktu untuk mencapai keadilan)
• Quality of Justice delivery (Kualitas dari Keadilan baik itu penegak keadilan
maupun putusan hakim)
• Independence, impartiality and fairness of the judiciary (independensi,
imparsialitas juga keterbukaan dari kekuasaan peradilan)
• Public trust in the judiciary (Kepercayan Masyarakat pada kekuasaan
kehakiman/peradilan)
• Corruption in the justice sector4 (Korupsi pada Sektor peradilan/aparat
penegak hukum dan kita kenal sebagai mafia peradilan)

4
Presentation of Anti-Corruption Unit of United Nations Office on Drugs and Crime dengan judul
Strengthening Judicial Integrity And Capacity
Dalam dunia penegakan hukum kita mengenal adanya Sistem Peradilan yang terbagi
atas berbagai komponen penegak hukum. Sistem Peradilan kita memperkenalkan
beberapa komponen penting dalam proses penegakan hukum, seperti:
1. Polisi
2. Jaksa
3. Hakim
4. Pengacara
Komponen-komponen penegakan hukum ini seharusnya membangun sinergisitas
dalam menegakkan peraturan dan rasa keadilan masyarakat. Karena tuntutan
masyarakat yang semakin berlimpah mengenai perwujudan keadilan, persamaan yang
sama didepan hukum, Hak Azasi Manusia, dan juga akses yang terbuka untuk
mencapai keadilan (acces to justice). Hal inilah yang memunculkan pembaharuan
sistem hukum di Indonesia.
Pembaharuan hukum yang disertai dengan pembentukan sejumlah institusi baru telah
dilakukan oleh negara dan pemerintahan kita semenjak Reformasi bergulir. Hal
tersebut dapat kita lihat dengan berbagai adanya lembaga-lembaga baru yang
didirikan melalui Undang-Undang Dasar, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah
maupun Keputusan Presiden. Pada awalnya ada beberapa lembaga yang dibentuk
untuk mengatasi berbagai permasalahan seperti Komisi Nasional Hak Azasi Manusia
yang diberikan kewenangan untuk memberikan jalan penyelesaian bagi pelanggaran
Hak Azasi Manusia. Komisi Hukum Nasional yang memberikan masukan mengenai
permasalahan hukum bagi pemerintah. Ada pula Komisi Pemilihan Umum yang
dibuat untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum. Komisi-komisi diatas merupakan
wujud dari keinginan pemerintah juga negara untuk menyelesaikan kasus-kasus dan
permasalahan yang tidak terselesaikan pada masa yang lalu dan akan yang akan
datang.
Ada hal menarik yang ada pada saat ini yaitu dengan adanya keinginan pemerintah
untuk memerangi korupsi maka dibentuklah suatu badan yang bernama Komisi
Pemberantasan Korupsi yang bertugas untuk.
Peran lembaga-lembaga baru setelah reformasi bergulir mau tidak mau membuat
lembaga-lembaga yang ada harus berfikir dan menata ulang organisasinya kembali.
Hal ini membutuhkan kerjasama dan koordinasi lembaga yang lebih baik terutama
dalam bidang penegakan hukum tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Korupsi yang
kita kenal sebagai sebuah penyakit endemik diseluruh lapisan masyarakat seharusnya
mendapatkan perhatian dan kerjasama yang lebih dari penegak hukum, karena mau
tidak mau korupsi merupakan sebuah perbuatan yang terencana, sistematis dan dibalut
dalam kekuasaan atau kewenangan.

B. Kepolisian

Sejak diberlakukannya KUHAP sesungguhnya telah terjadi perubahan yang


fundamental dalam sistem peradilan pidana yang juga pasti akan mempengaruhi
sistem penyidikan, hal ini disebabkan karena jiwa dan materi KUHAP yang berbeda
dengan HIR (Herziene Inlands Reglement)5.
Perubahan dari HIR menuju KUHAP sesungguhnya merupakan perubahan yang
ditunggu-tunggu oleh masyarakat Indonesia. Perubahan ini akhirnya terwujud dalam
KUHAP yang disebut-sebut sebagai produk hukum terbaik pada zamannya.
Perubahan ini akhirnya dipertegas dengan Pedoman Pelaksanaan KUHAP/Kep
Menkeh RI: Nomor: M01.PW.07.03 tahun 1982 yang menyebutkan antara lain:
a. Pembidangan tugas, wewenang dan tanggung jawab para petugas penegak
hukum sesuai dengan wewenang dan tugas fungsi masing-masing
pembidangan tersebut tidak berarti mengkotak-kotakkan tugas, wewenang dan
tanggung jawab, tapi mengandung koordinasi dan sinkronisasi.
b. Kedudukan Polri sebagai penyidik mandiri tidak dapat terlepas dari fungsi
penuntutan dan Pengadilan, dimana terjalin adanya hubungan koordinasi
fungsional dan instansional serta adanya sinkronisasi pelaksanaan.

Menurut fungsinya kepolisian adalah salah unsur pemerintahan negara di bidang


pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat6. Dan secara garis besar tugas pokok
dari Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum; dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.7
Penegakan hukum di bidang korupsi selama ini yang dilakukan oleh kepolisian
nampaknya masih kurang sehingga akhirnya dibuat sebuah lembaga baru yang
5
Meliala, Tuijl, Polri dan Pemilu 2004, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2003
6
Pasal 2 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
7
Pasal 3 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
dikenal sebagai KPK. Bahkan disinyalir polisi terlibat dengan korupsi itu sendiri, hal
ini terlihat dari kasus yang menimpa Bareskrim Mabes POLRI yang menyeret
petinggi POLRI kedalam penjara. Kerjasama antara kepolisian dan kejaksaan dalam
hal penyidikan perkara korupsi yang selama ini terjalin belum memperlihatkan hasil
yang serius. Bahkan didapat ada kasus yang terjadi bolak balik berkas perkara antara
kepolisian dan kejaksaan

C. Kejaksaan

Visi Kejaksaan : ”Mewujudkan Kejaksaan sebagai penegak hukum yang


melaksanakan tugasnya secara independen dengan menjunjung tinggi HAM dalam
negara hukum berdasarkan Pancasila”8
Dan kejaksaan mempunyai misi yaitu:9
1. Menyatukan tata pikir,tata laku dan tata kerja dalam penegakan hukum.
2. Optimalisasi pemberantasan KKN dan penuntasan pelanggaran HAM
3. Menyesuaikan sistem dan tata laksana pelayanan dan penegakan hukum
dengan mengingat norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan dengan
memperhatikan ras keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat.
Dalam perannya sebagai penegak hukum, jaksa merupakan salah satu unsur penting
dari komponen untuk mewujudkan keadilan. Jaksa sebagai unsur pemerintah dalam
menegakkan peraturan seharusnya menjadi pionir dalam penegakan hukum. Dalam
penjelasan umum UU No.16 tahun 2004 juga disebutkan Kejaksaan sebagai salah satu
lembaga penegak hukum untuk lebih berperan dalam pemberantasan korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN), tapi amat disayangkan meskipun visi dan misi kejaksaan sudah
mendukung pemberantasan KKN belum ada realisasi program pemberantasan KKN
di lingkungan Kejaksaan sendiri.10
Sama seperti kepolisan peran Jaksa yang penting dalam membuktikan kasus korupsi
dipersidangan akhirnyapun terasuki oleh bibit-bibit korupsi, kita dapat melihat
kisruhnya kasus Jamsostek, yang melibatkan Jaksa Penuntut Umum pada kasus ini.
Sehingga pola-pola korupsi seperti dakwaan yang diperingan atau membuat kabur
dakwaan yang semula masih dikatakan hanya ”perasaan masyarakat” akhirnya
terbongkar juga bahwa praktek ini disinyalir menjalar diseluruh kejaksaan.
8
Perencanaan Strategik Kejaksaan RI tahun 2005.
9
ibid
10
KHN, Kejaksaan Agung RI, Mappi FHUI, Pembaruan Sistem Pengawasan Jaksa, 2005, h. 66
D. Hakim

Unsur yang paling menentukan apakah koordinasi dan kerjasama antara Kepolisian
dan Kejaksaan adalah Hakim. Hakimlah yang seharusnya mendapatkan pengetahuan
dan kebijaksanaan yang lebih diantara aparat penegak hukum yang lain, karena hakim
secara prinsip merupakan proses terakhir ataupun pintu terakhir yang menentukan
apakah suatu perbuatan termasuk dalam perbuatan korupsi atau tidak. UU no 4 tahun
2004 menyebutkan: ”Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini
mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur
tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”11.
Praktek yang ada bahwa Pengadilan kita sebagai pemegang kekuasaan yudisial sangat
tertutup dengan berdalih kekuasaan yudisial bebas dan independen. Banyak kasus
yang memperlihatkan ketertutupan amat potensial memicu beragam penyimpangan,
misalnya interaksi antara jaksa-pengacara-panitera-hakim dalam praktek suap
dipengadilan. Hal inilah yang memicu praktek mafia peradilan yang selama ini ada.
Seharusnya ada pertanggungjawaban publik yang jelas yang harus dilakukan oleh
Mahkamah Agung. Adanya Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas dan
menjalankan fungsinya kemudian ditentang oleh para hakim agung karena berbagai
hal. Hal inilah yang seharusnya membuat Mahkamah Agung harus berbenah diri
karena jika tidak maka benarlah pendapat bahwa Pengadilan/kekusaan yudisial kita
lebih tertutup daripada kekuasaan lainnya.

E. Advokat

Dengan adanya UU No 18 tahun 2003 tentang Advokat, mau tidak mau advokat
dimasukkan secara resmi kedalam unsur penegak hukum. Sistem Hukum Indonesia
dan UUD 1945 menjamin adanya persamaan di depan hukum (equality before the
law). Sehingga hak untuk didampingi advokat bagi seluruh masyarakat dijamin dalam
system hukum Indonesia. Pendampingan oleh Advokat memiliki hubungan erat

11
Penjelasan UU No.4 tahun 2004
dengan prinsip-prinsip hukum yaitu equality before the law dan acces to legal counsel
yang menjamin keadilan bagi semua orang (justice for all)12.
Bagi para advokat, hal pertama yang harus dipegang adalah kesadaran diri bahwa
profesi ini bersumber dari perasaan kemanusiaan yang mendambakan keadilan.
Dikarenakan oleh itu landasan kemanusiaan harus menjadi intisari atau acuan bagi
seorang advokat dalam menjalankan tugasnya. Dari sisi historis, konsep bantuan
hukum lahir dari panggilan hati nurani manusia sejak zaman Romawi kuno. Pada saat
itu, para dermawan terpanggil untuk membantu si miskin tidak berdaya.
Diperjuangkannya nasib kaum buta hukum tersebut sehingga mereka dapat menuntut
haknya dalam peradilan. Sejak itu pula, konsep bantuan hukum tersebut berkembang
hingga saat ini.13
Peran Advokat memiliki arti penting dalam menjamin dan mempertahankan hak-hak
saksi, tersangka maupun terdakwa. Advokat memberikan sebuah jalan keluar bagi
terdakwa dalam menghadapi tekanan penegak hukum yang lain terhadap terdakwa.
Posisi terdakwa yang berhadapan langsung dengan unsur negara (dalam hal ini
diwakili oleh polisi dan kejaksaan) sangat rentan terhadap pemaksaan dan tekanan
baik dalam pemeriksaan maupun dalam persidangan. Posisi yang tidak seimbang
antara terdakwa dan negara (dapat diibaratkan seperti David dan Goliath)
menyebabkan muncul pemikiran untuk memberikan kepada terdakwa hak-hak antara
lain: hak untuk tidak menjawab, hak untuk didampingi advokat dll.
Dalam korupsi dimungkinkan sekali terjadi abuse of power yang dilakukan oleh
penegak hukum yang memegang kuasa jika abuse of power dibarengi dengan
judicial corruption maka dapat dibayangkan beratnya beban orang yang menjadi
terdakwa ataupun saksi di dalam kasus korupsi. Hal yang lebih berat adalah jika yang
dituduh bersalah dalam kasus korupsi adalah orang-orang yang tidak tahu menahu
tentang kasus korupsi ataupun bawahan dari rantai korupsi yang ada ataupun adapula
kejadian orang yang melaporkan kejahatan dituduh sebaliknya oleh orang yang
dilaporkan. Oleh sebab itu adanya pendampingan hukum yang dilakukan oleh advokat
kepada para saksi, terdakwa atau terpidana merupakan suatu hal yang mutlak dalam
proses penegakan hukum. Walaupun pemberantasan korupsi telah dilakukan secara
luar biasa akan tetapi tidak boleh melanggar prinsip-prinsip due process of law dan

12
Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Azasi Manusia bukan Belas Kasihan, PT Elex
Media Komputindo, Jakarta 2000, h. 89
13
Adnan Buyung Nasution, Jurnal Profesi dan Hukum Kontemporer LAWYER, No. 01 Vol.1/2006,
IKADIN Jakarta Pusat, h. 8
presumption of innocent. Namun pada saat ini, sangat disayangkan terdapat beberapa
kasus yang bermunculan adanya advokat yang turut serta dalam perbuatan korupsi
seharusnya PERADI sebagai organisasi yang menaungi para advokat dapat membuat
aturan yang jelas dan sanksi yang tegas terhadap para advokat yang turut serta dalam
perbuatan korupsi.

F. Koordinasi antara Aparat Penegak Hukum

Unsur yang penting dalam menyelesaikan kasus korupsi adalah koordinasi antar
aparat penegak hukum terutama Kepolisian dan Kejaksaan. Kepolisian dan Kejaksaan
pada saat ini masih belum kerjasama yang baik dalam memberantas kasus korupsi
bahkan terkadang berebut peran dalam mengungkap kasus korupsi.
Peran Penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum harus betul-betul
dipersiapkan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat membawa pada akhir perkara
yaitu dibuktikannya unsur-unsur pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana.
Tentu saja penuntutan yang dilakukan oleh Jaksa sangat berkaitan erat dengan bahan-
bahan yang diajukan oleh Penyidik Polri sebagai ”bahan dasarnya” walaupun tidak
sempurna akan tetapi menunjang Jaksa untuk memformulasikan surat dakwaan yang
baik.14 Sehingga jika proses penuntutan yang dilakukan oleh jaksa gagal maka
kegagalan ini dapat ditelusuri dari proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian
memang tidak benar atau juga dari bahan dasar yang diberikan penyidik tidak lengkap
ataupun tidak mempunyai kekuatan hukum.
Seringkali terdengar oleh masyarakat mengenai bolak baliknya berkas perkara, dari
jaksa ke kepolisian, bahkan ada yang lebih dari 3 kali, perjalanan berkas pekara yang
lama ini terkadang dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memancing di air keruh
dengan berbagai cara permohonan izin berobat keluar negeri dengan maksud
melarikan diri, melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mentransfer kekayaan
yang didapat dari hasil korupsi ataupun menyembunyikannya. Hal inilah yang
seharusnya dipahami dan diperbaiki oleh kejaksaan maupun kepolisian untuk
mereformasi dirinya kembali dalam lingkup koordinasi yang sehat. Karena jika
koordinasi yang tidak baik seperti ini berlanjut terus akan membuat kepercayaan
publik semakin menurun, citra kepolisian dan kejaksaan semakin turun,

14
Topo Santoso, Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan?, Pusat Studi Peradilan Pidana
Indonesia, Depok, 2000, h.71
menguntungkan pelaku kejahatan dan merugikan masyarakat yang menghendaki
keadilan.
Meskipun sudah ada proses Pra Penuntutan dalam perkara pidana ataupun korupsi
yang diharapkan dapat menutup celah kelemahan dalam kekurangpaduan ini, pada
kenyataannya baik pihak kepolisian maupun kejaksaan masih saling menyalahkan jika
timbul persoalan. Pihak kepolisian akan dengan mudah menyatakan bahwa ia telah
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, namun berkasnya tetap dikembalikan
oleh kejaksaan. Sementara pihak kejaksaan juga mengeluhkan mengapa banyak
berkas pemeriksaan dari kepolisian yang dikembalikan jaksa (melalui proses pra-
penuntutan) tidak dikembalikan oleh polisi. Pihak polisi sering merasa bahwa
petunjuk–petunjuk jaksa sulit untuk dipenuhi terutama dalam melengkapi alat bukti.
Sementara menurut kejaksaan petunjuk yang diberikan oleh kejaksaan dalam proses
pra penuntutan sudah sangat jelas dan tidak memerlukan penafsiran-penafsiran yang
tidak perlu.15
Proses-proses antara kejaksaan dan kepolisian diatas maka akan diperparah pada
kondisi peradilan yang ada, terutama kaitannya dengan perkara korupsi. Perkara
korupsi yang diungkap dan diselesaikan oleh jaksa yang selama ini dilakukan pada
Peradilan Umum, banyak yang menemui jalan buntu, misalnya terdakwa dibebaskan
oleh hakim dengan berbagai pertimbangan hukum, ada dakwaan yang tidak terbukti,
dan pada saat memasuki persidangan terdakwa yang tidak ditahan melarikan diri.
Ketidaksamaan cara pandang dalam melihat kasus korupsi merupakan suatu hal yang
terjadi terus menerus dari aparat penegak hukum, terutama antara jaksa dan hakim.
Ketidaksamaan cara pandang ini akan mengakibatkan lepas atau bebasnya terdakwa
dari kasus korupsi yang dituduhkan kepadanya. Misalnya dalam akhir-akhir ini jaksa
dan hakim sangat berbeda dalam menangggapi masalah keuangan BUMN, apakah
keuangan negara ataukah keuangan privat sehingga tidak diperlukan
pertanggungjawaban layakanya keuangan negara. Seharusnya dikaji secara mendalam
terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan keuangan negara yang dipisahkan
atapun keuangan BUMN oleh pihak kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif,
sehingga dapat dicari jalan keluar yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama.
Akan tetapi Kemudian muncullah fatwa MK mengenai masalah ini yang secara sadar
berpihak kepada pendapat yang bertentangan dengan Undang-undang Keuangan
Negara. Hal inilah yang membuat jaksa dan polisi kebingungan dalam memeriksa,
15
Ibid.
menyidik dan menuntut kasus ini didepan pengadilan. Banyak dakwaan yang
dimentahkan oleh fatwa MA ini.
Hal ini jika dibandingkan dengan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tentu akan
sangat jauh berbeda, adanya kesamaan frame pemikiran mengenai apa itu korupsi,
keuangan negara dan abuse of power dari Pejabat negara atau PNS antara hakim dan
KPK membuat kasus-kasus yang ada dan dibawa dalam Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi menjadi lebih jelas.
Koordinasi yang baik dan dilakukan antara penegak hukum dapat kita lihat dalam
TIMTASTIPIKOR yang dibentuk oleh Presiden untuk menangani kasus korupsi
dibeberapa departemen. Koordinasi yang dilakukan TIMTASTIPIKOR tersebut tidak
memerlukan waktu yang lama, proses yang panjang dan prestise antara institusi
penegak hukum. TIMTASTIPIKOR ini mampu memangkas perjalanan berkas perkara
yang terkadang bolak-balik antara kepolisian dan kejaksaan. Sangat mungkin untuk
membentuk kelompok-kelompok kecil dalam kejaksaaan dan kepolisian di daerah
yang khusus menangani kasus korupsi. Kelompok kecil ini, harus diisi oleh person
yang memiliki kualifikasi keilmuan yang cukup dalam menangani kasus korupsi juga
mempunyai tingkat kejujuran dan integritas yang tinggi.
Peran advokat sebagai pendamping saksi maupun terdakwa dalam kasus korupsi
diharapkan tidak ikut membantu penyelesaian-penyelesaian yang bersifat melawan
hukum. Advokat harus mengetahui untuk menempatkan dirinya dalam kasus-kasus
korupsi.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

Terdapat 4 hal penting yang seharusnya diingat oleh Aparat Penegak Hukum dalam
melakukan strategi pemberantasan korupsi. Keempat strategi tersebut adalah :
1. Tindakan pencegahan
2. Penindakan,
3. Pengembalian asset hasil korupsi(asset recovery),
4. Kerjasama internasional
Keempat strategi tersebut harus dilakukan secara koordinatif antara aparat penegak
hukum dengan instansi pemerintah yang lain karena perbuatan korupsi pada saat ini
telah berkembang menjadi tindak pidana yang sistematis, terencana dan selalu
menggunakan kekuasaan (abuse of power). Jika aparat penegak hukum tidak
menggunakan seluruh potensi dan data yang ada diseluruh instansi pemerintah maka
pemberantasan korupsi dilakukan cenderung parsial dan akhirnya menemukan jalan
buntu.
Tindakan Pencegahan Korupsi yang selama ini ada belum mampu untuk meredam
laju oknum-oknum koruptor. Seharusnya tindakan pencegahan harus menyeluruh
terhadap pemberantasan korupsi. Pendekatan-pendekatan melalui Good Governance
Principle harus dilakukan.
Tindakan penindakan dalam pemberantasan korupsi membutuhkan koordinasi yang
harmonis antara para aparat penegak hukum. Kepolisian dan kejaksaan harus dapat
melakukan koordinasi untuk membuktikan perbuatan korupsi yang dilakukan oleh
tersangka atau terdakwa. Koordinasi yang selama ini dilakukan nampaknya masih
menunjukkan kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut harus dihilangkan dengan
koordinasi yang intens seperti yang terlihat dalam TIMTASTIPIKOR. Pengetahuan
polisi dan jaksa pun harus ditingkatkan mengenai karakteristik perbuatan korupsi dan
bahayanya, selain itu juga biaya penyidikan dan penuntutan harus ditingkatkan.
Terdapat satu hal yang penting juga untuk dilakukan oleh para penegak hukum yaitu
meningkatkan penggunaan teknologi informasi dan elektronik dalam pembuktian
kasus korupsi seperti teknik penyadapan.
Hakim sebagai gerbang terakhir keadilan harus meningkatkan dirinya dalam
memahami perbuatan korupsi dan menyamakan pemahaman terhadap perbuatan
korupsi. Kesamaan pemahaman tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan tentang
tindak pidana korupsi yang berkesinambungan bila perlu melibatkan para ahli yang
memahami tindak pidana korupsi.

Bambang Widjojanto, Advisor pada Partnership for Governance Reform


Rahmat Bagja, Koordinator Divisi Konstitusi, Konsorsium Reformasi Hukum
Nasional (KRHN)
DAFTAR PUSTAKA

Meliala, Adrianus, Mungkinkah Mewujudkan Polisi yang Bersih?, Jakarta,


Partnership for Governance Reform, 2005

Santoso, Topo, Polisi dan Jaksa: Keterpaduan atau Pergulatan? , Jakarta, Pusat Studi
Peradilan Pidana Indonesia, 2000
Alatas, S.H, Korupsi: Sifat, Sebab dan Fungsi, Jakarta, LP3ES, 1987

Meliala, Adrianus, Van Tujil, Peter, Polri dan Pemilu 2004, Jakarta, Partnership for
Governance Reform, Jakarta, 2003

Winarta, Frans Hendra, Bantuan Hukum: Suatu Hak Azasi Manusia bukan Belas
Kasihan, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2000

Mc Walters, Ian, Memerangi Korupsi: Sebuah Peta Jalan untuk Indonesia, Surabaya,
JPBooks, 2006

Santosa, Mas Ahmad, Pembaharuan Hukum Indonesia Agenda yang Terabaikan,


Jakarta, Melibas, 2004

KHN, MaPPI FHUI, Kejaksaan Agung RI, The Asia Foundation, Pembaruan Sistem
Pengawasan Jaksa, Jakarta, KHN, 2005

Klitgaard, Robert, Membasmi Korupsi, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2001

Anda mungkin juga menyukai