Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ricky Triandika Pratama

Nim : 1703048

COOPERATIVE LEARNING DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ASING

Pendidikan merupakan alat yang digunakan untuk membentuk sumber daya manusia
yang berkualitas. Guru memiliki peran penting dalam pendidikan dan dalam
pembelajaran di kelas. Guru adalah juru kunci dalam pembelajaran. Mengapa demikian?
Guru sebagai fasilitator yang menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa.

Kurikulum 2013 dirancang dengan merekomendasikan model pembelajaran yang tidak


terlalu menitikberatkan pada aspek kognitif tetapi juga bermuatan pendidikan karakter
(Yani dan Ruhimat 2018). Dengan dibuatnya tujuan seperti yang telah disebutkan,
Kurikulum 2013 tidak lagi menjadikan guru sebagai pusat pembelajaran (Teacher
Center Learning), melainkan murid dijadikan sebagai pusat pembelajaran (Student
Center Learning). Karena perubahan sistem tersebut, siswa dituntut agar berperan aktif
mencari terlebih dahulu materi yang akan dipelajari. Walaupun kurikulum ini terdengar
seperti siswa belajar sendiri tanpa didampingi pengajar, tetapi sebenarnya pengajar tetap
ada di balik siswa dan berperan sebagai fasilitator juga pembimbing perjalanan.
Penerapan proses pembelajaran Kurikulum 2013 ini sudah diaplikasikan pada setiap
mata pelajaran, salah satunya pelajaran bahasa asing baik dalam tingkat Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA).

Pembelajaran bahasa asing dapat disebut juga sebagai pemerolehan bahasa kedua
(Second Language Acquisition). Pada dasarnya, Bahasa sendiri menurut KBBI tahun
2016 adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh anggota suatu
masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri. Oleh karena itu,
manusia dibekali LAD (Language Acquistion Devicion) atau pemerolehan bahasa yang
sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat. Bahasa asing atau yang juga dikenal
sebagai istilah B2, merupakan bahasa yang diperoleh melalui pembelajaran dan
cenderung dipelajari dengan sengaja.

Bahasa kedua bukan berarti sebatas bahasa kedua, tetapi bahasa lain yang dipelajari atau
dikuasai oleh seseorang entah itu satu bahasa, dua, atau lebih. Banyak faktor yang dapat
memengaruhi pembelajaran bahasa asing, diantaranya adalah lingkungan kelas. Sebuah
hasil penelitian menunjukkan bahwa keadaan lingkungan bahasa teramat penting bagi
seorang siswa yang belajar bahasa untuk bisa berhasil dalam belajar bahasa baru.
Biasanya pengajaran dalam kelas bersifat artifisal dan eksplisit, sehingga pengenalan
yang dilakukan oleh pengajar di dalam kelas akan menentukan proses belajar bahasa
yang dialami oleh peserta didik.

Dengan demikian, segala hal yang dapat memengaruhi pembelajaran bahasa asing
menjadi tugas tersendiri bagi seorang pengajar. Seperti peningkatan kualifikasi pengajar
yang diusung pemerintah, diharapkan dapat menghasilkan seorang pengajar yang
memahami karakter siswa dan penerapan kurikulum 2013 dalam pembelajaran bahasa
asing. Sehingga pengajar memiliki teknik mengajar yang selain mampu membuat siswa
lebih fokus dan aktif, siswa juga dapat memahami materi dengan baik.

Salah satu contoh model pembelajaran adalah Model Pembelajaran Kooperatif atau
Cooperative Learning. Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif menurut
Departemen Pendidikan Nasional (2003) merupakan strategi pembelajaran melalui
kelompok kecil siswa yang saling bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar
untuk mencapai tujuan belajar. Sementara menurut Suprijono (2010) cooperative
learning adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk
bentuk-bentuk yang dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Jadi dapat
disimpulkan bahwa cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu
model pembelajaran yang mengedepankan cara belajar berkelompok (satu kelompok
terdiri atas 4-6 siswa) dengan bantuan guru sebagai pemimpin atau pengarah. Pada
dasarnya, tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana
keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya
(Slavin,1994). Selain itu, hasil belajar akademik, toleransi dan penerimaan terhadap
keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial mejadi poin utama dalam tujuan
dibentuknya model pembelajaran kooperatif (Slavin, 2009). Dari tujuan-tujuan tersebut,
muncul sifat khas atau karakteristik dari pembelajaran kooperatif, yakni pembelajaran
dilakukan secara tim, kemauan untuk bekerja sama dan ketampilan bekerja sama.
Dalam kunjungan tersebut, guru mengungkapkan bahwa metode yang digunakan untuk
mengajar Bahasa Inggris adalah cooperative learning. Langkah utama untuk
melaksanakan pembelajaran kooperatif menurut Arends (dalam Amri & Ahmadi, 2010)
terbagi menjadi 6, dimulai dari aktivitas guru menyampaikan tujuan dan memotivasi
siswa untuk belajar, menyajikan informasi dalam bentuk demonstrasi atau melalui
bahan bacaan, mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belahar,
membimbing kelompok bekerja dan belajar, evaluasi tentang apa yang sudah dipelajari
(kelompok mempresentasikan hasil kerjanya), dan yang terakhir adalah memberikan
penghargaan baik secara kelompok maupun individu.

Ketika memerhatikan bagaimana pengajar memberi materi, masih ada bahkan cukup
banyak gaya atau proses metode belajar yang diperuntukan kurikulum sebelumnya.
Pada hari itu, materi yang akan dibahas adalah kosakata benda dalam kelas dan tata.
Pada langkah pertama, pengajar memberi motivasi dan tujuan pembelajaran dengan
menanyakan kosakata apa saja yang sudah diketahui oleh murid. Selanjutnya memberi
rangsangan pada siswa mengenai materi apa yang akan dibahas dengan menanyakan
kosa kata dalam Bahasa Inggris. Kedua memperlihatkan sebuah video singkat berbahasa
Inggris yang berisikan benda di kelas lalu melakukan pengulangan (repeating). Ketiga,
siswa mencatat kosa kata yang ada dalam video tersebut. Keempat, video lain yang
masih berkaitan dengan materi ditayangkan, dan terakhir adalah pemberian soal di
papantulis. Setelah pembahasan materi kosakata dilakukan, pengajar langsung
memasuki materi tatabahasa. Langkah pemberian materi tatabahasa pun hampir sama
dengan materi kosakata, yang berbeda adalah pengajar meminta siswa yang telah
mengisi soal di papan tulis untuk kembali membacakan soal dan menjelaskan alasan
pemilihan jawaban tersebut.

Ada pandangan menurut Iskandarwarssid dan Sunendar (2011) yang menyatakan bahwa
bahasa adalah hasil perilaku stimulus-respons. Setiap perilaku di dalam bahasa adalah
akibat adanya stimulus. Dengan demikian, apabila peserta didik ingin memproduksi
ujaran, ia harus memperbanyak penerimaan stimulus. Rangsang yang berupa perilaku
berbahasa orang lain adalah sumber penerima aktivitas berbahasa seorang peserta didik.
Oleh karena itu, peran lingkungan sebagai sumber munculnya stimulus menjadi
dominan dan sangat penting artinya di dalam membantu proses pemerolehan bahasa
pertama maupun bahasa kedua.

Kurikulum 2013 mengedepankan penggunaan teknologi. Sehingga pada era modernisasi


ini, pengajar dapat mengizinkan siswa untuk membawa kamus elektronik atau
menggunakan aplikasi kamus yang dapat diunduh di gawai masing-masing. Tetapi
dengan syarat ketika proses pembelajaran berlangsung, pengajar wajib mengawasi
penggunaan gawai. Jangan sampai penggunaan gawai tersebut disalahgunakan oleh
siswa.

Jika dilihat dari keseluruhan, cooperative learning memiliki kelebihan membuat siswa
tidak bergantung kepada pengajar, mengembangkan kemampuan memberi ide atau
gagasan, menghargai pendapat orang lain dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar.
Walaupun begitu jika model pembelajaran ini tidak dikelola dengan benar, kegiatan ini
dapat mengakibatkan tersembunyinya potensi baik atau sifat buruknya seorang siswa.
Oleh karena itu, dibutuhkan ketelitian seorang pengajar dalam membimbing dan
mengamati kegiatan siswa.

Terlepas dari penggunaan model pembelajaran, keberhasilan dari proses pembelajaran


adalah bagaimana seorang pengajar mampu mengelola kelas. Tidak peduli sebagus dan
secanggih apa pun model yang digunakan, tetapi apabila pengajar memiliki sifat tidak
peduli atau tidak menguasai teknik mengajar yang benar, hasil dari pembelajaran adalah
nol besar. Fakta ini tidak hanya meliputi bidang bahasa saja, mata pelajaran sosial
hingga ilmu pengetahuan pun akan menjadi sia-sia.

Seperti yang kita rasakan sekarang ini, Indonesia mulai memperbaiki sistem
pendidikannya. Sebelum kompetensi abad 21 mulai ramai, Indonesia masih berkutat
pada kurikulum sebelumnya yang mengurung siswa di dalam lingkaran mengingat
pelajaran. Padahal tujuan sebenarnya dari pembelajaran bukanlah seperti itu. Pendidikan
yang bermoral, membentuk karakter siswa menjadi manusia yang dapat berpikir kritis,
berpotensi memecahkan masalah sendiri dan mampu bertanggung jawab merupakan
tujuan pendidikan yang seharusnya. Melalui mata pelajaran khususnya bahasa asing,
siswa diharapkan mampu mencapai tujuan dari pendidikan saat ini. Pembelajaran
bahasa asing bukanlah sesuatu yang menakutkan. Memang tidak semudah membalikan
telapak tangan dan tentunya banyak hambatan yang perlu dilalui oleh pembelajar bahasa
asing. Mulai dari kosakata, tata bahasa, dan budaya negara lain yang perlu kita pahami
bahkan bahasa ibu pun menjadi ‘gerbang’ tinggi yang perlu kita lompati.

Walaupun saat ini Kurikulum 2013 belum sempurna terserap dalam kegiatan
pembelajaran, ada poin penting yang dapat meningkatkan hal tersebut, terutama bahasa
asing. Diharapkan adanya sosialisasi kembali mengenai model pembelajaran berdasar
Kurikulum 2013 terhadap guru pamong dan pengasahan teknik mengajar pada calon
guru. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tidak jarang kasus ‘menyuapi’ dalam
mengajar terjadi baik oleh guru pamong atau seseorang yang baru memasuki ranah
mengajar. Jika terus seperti ini, Kurikulum 2013 akan terus mengalami evaluasi hingga
akhirnya dianggap mengalami kegagalan.

Mungkin ada sedikit kekeliruan dari tujuan pendidikan sekarang, yang seharusnya
sasaran utama dari kurikulum tersebut adalah proses dan hasil akhir pembelajaran siswa
menjadi hanya hasil akhir. Kekeliruan ini mengakibatkan pengajar menjadi salah arah
dalam mengajar siswa sehingga terjadi kesalahan seperti kasus di atas dan siswa hanya
memperdulikan hasil tanpa menoleh pada proses. Oleh karena itu, tidak henti penulis
sampaikan bahwa pengertian terhadap Kurikulum 2013 dan implementasi model
pembelajaran yang digunakan haruslah sinergis. Jangan lagi kasus merevisi kurikulum
terjadi. Mengganti kurikulum sebenarnya sah saja, apalagi dengan berkembangnya
zaman saat ini. Tetapi apabila revisi kurikulum terjadi karena kecacatan dari dalam
(teknik mengajar), itu bukanlah suatu hal yang harus terus patut dimaklumi.

Anda mungkin juga menyukai