Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Konsep Dasar Lansia


1.1.1 Definisi Lansia
Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari
proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan di alami oleh setiap
individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik
maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan
yang pernah dimilikinya.
Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan normal, seperti
rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah, berkurangnya
ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh, merupakan acaman
bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka harus berhadapan dengan
kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan dengan
orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi
yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono, 2000).
1.1.2 Batasan Lansia
Ada beberapa pendapat mengenai batasan umur lanjut usia yaitu:
(1) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
Lanjut usia meliputi : usia pertengahan yakni kelompok usia 46 sampai 59
tahun. Lanjut usia (Elderly) yakni antara usia 60-74 tahun. Usia lanjut tua
(Old) yaitu antara 75 sampai 90 tahun dan usia sangat tua (Very Old) yaitu
usia diatas 90 tahun.
(2) Menurut Undang-undang nomor 13 tahun 1998
Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas.
(3) Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro pengelompokkan lanjut usia
sebagai berikut :
Usia dewasa muda (Elderly adulthood) : 18 atau 20-25 tahun. Usia dewasa
penuh (Middle year) atau maturitas : 25-60 atau 65 tahun. Lanjut usia
(Geriatric Age) lebih dari 65 atau 70 tahun. Terbagi untuk umur 75-80 tahun
(Old) dan lebih dari 80 tahun (Very Old).
2.1.3 Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia
Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia menurut Nugroho (2000)
yaitu :
1) Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada lansia diakibatkan oleh
terjadinya proses degeneratif yang meliputi :
(1) Sel terjadi perubahan menjadi lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar
ukurannya, serta berkurangnya jumlah cairan tubuh dan berkurangnya
intraseluler.
(2) Sistem persyarafan terjadi perubahan berat otak 10-20, lambat dalam
respon dan waktu untuk bereaksi dan mengecilnya syaraf panca indera
yang menyebabkan berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran,
menurunnya sensasi perasa dan penciuman sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya masalah kesehatan misalnya glukoma dan sebagainya.
(3) Sistem pendengaran terjadi perubahan hilangnya daya pendengaran pada
telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi,
suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia di
atas umur 65 tahun dan pendengaran bertambah menurun pada lanjut usia
yang mengalami ketegangan jiwa atau stress. Hilangnya kemampuan
pendengaran meningkat sesuai dengan proses penuaan dan hal yang
seringkali merupakan keadaan potensial yang dapat disembuhkan dan
berkaitan dengan efek-efek kolateral seperti komunikasi yang buruk
dengan pemberi perawatan, isolasi, paranoia dan penyimpangan
fungsional.
(4) Sistem penglihatan terjadi perubahan hilangnya respon terhadap sinar,
kornea lebih terbentuk spesies, lensa lebih suram sehingga menjadi katarak
yang menyebabkan gangguan penglihatan, hilangnya daya akomodasi,
meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap,
menurunnya lapang pandang sehingga luas pandangnya berkurang luas.
(5) Sistem kardiovaskuler terjadi perubahan elastisitas dinding aorta menurun,
katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa
darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volume kehilangan elastisitas
pembuluh darah karena kurangnya efektivitas pembuluh darah feriver
untuk oksigenasi, perubahan posisi dari tidur ke duduk, duduk keberdiri
bisa mengakibatkan tekanan darah menurun menjadi mmHg yang
mengakibatkan pusing mendadak, tekanan darah meninggi diakibatkan
oleh meningkatnya resitensi dari pembuluh darah perifer.
2) Perubahan mental
Meliputi perubahan dalam memori secara umum. Gejala-gejala memori
cocok dengan keadaan yang disebut pikun tua, akhir-akhir ini lebih cenderung
disebut kerusakan memori berkenaan dengan usia atau penurunan kognitif
berkenaan dengan proses menua. Pelupa merupakan keluhan yang sering
dikemukakan oleh manula, keluhan ini di anggap lumrah dan biasa oleh
lansia, keluhan ini didasari oleh fakta dari peneliti cross sectional dan
logitudional didapat bahwa kebanyakan, namun tidak semua lansia
mengalami gangguan memori, terutama setelah usia 70 tahun, serta
perubahan IQ (intelegentia quotient) tidak berubah dengan informasi
matematika dan perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan
ketrampilan psikomotor terjadi perubahan daya membayangkan karena
tekanan-tekanan dari factor waktu.
3) Perubahan-perubahan psikososial
Meliputi pensiun, nilai seseoarang sering di ukur oleh produktivitasnya
dan identitas di kaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seorang
pension (purna tugas) ia akan mengalami kehilangan financial, status, teman
dan pekerjaan. Merasakan sadar akan kematian, semakin lanjut usia biasanya
mereka menjadi semakin kurang tertarik terhadap kehidupan akhirat dan lebih
mementingkan kematian itu sendiri serta kematian dirinya, kondisi seperti ini
benar khususnya bagi orang yang kondisi fisik dan mentalnya semakin
memburuk, pada waktu kesehatannya memburuk mereka cenderung untuk
berkonsentrasi pada masalah kematian dan mulai dipengaruhi oleh perasaan
seperti itu, hal ini secara langsung bertentangan dengan pendapat orang lebih
muda, dimana kematian mereka tampaknya masih jauh dank arena itu mereka
kurang memikirkan kematian.
4) Perubahan psikologis
Masalah psikologis yang dialami oleh lansia ini pertama kali mengenai
sikap mereka sendiri terhadap proses menua yang mereka hadapi, antara lain
penurunan badaniah atau dalam kebingungan untuk memikirkannya. Dalam
hal ini di kenal apa yang di sebut disengagement theory, yang berarti ada
penarikan diri dari masyarakat dan diri pribadinya satu sama lain. Pemisahan
diri hanya dilakukan baru dilaksanakan hanya pada masa-masa akhir
kehidupan lansia saja. Pada lansia yang realistik dapat menyesuaikan diri
terhadap lingkungan baru. Karena telah lanjut usia mereka sering dianggap
terlalu lamban, dengan gaya reaksi yang lamban dan kesiapan dan kecepatan
bertindak dan berfikir yang menurun. Daya ingat mereka memang banyak
yang menurun dari lupa sampai pikun dan demensia, biasanya mereka masih
ingat betul peristiwa-peristiwa yang telah lama terjadi, malahan lupa
mengenal hal-hal yang baru terjadi.

1.2 Konsep Dasar Penyakit Hipertensi


1.2.2 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah
diastoliknya ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Arif
Mansjoer, 2001).
Hipertensi adalah tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya
diatas 140 mmHg dan tekanan diastoliknya diatas 90 mmHg. (Brunner dan
Suddarth, 896 ; 2002).
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang abnormal dan diukur paling
tidak pada tiga kesempatan yang berbeda (Elizabeth J. Corwin, 484; 2009).
Hipertensi adalah kondisi abnormal dari hemodinamik, dimana menurut
WHO tekanan saitolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan diastoliknya > 90 mmHg
(untuk usia < 60 tahun) dan sistolik ≥ 90 dan atau tekanan diastoliknya > 95
mmHg (untuk usia > 60 tahun) (Taufan Nugroho, 2011).
Adapun Klasifikasi tekanan darah orang dewasa berusia 18 tahun keatas
menurut Joint National Committee on Prevenion, Detectoion, Evaluation, and
Treatment of High Blood pressure, dalam buku Brunner dan suddarth (896, 2002),
yaitu :
Tabel Klasifikasi Tekanan Darah
KATEGORI SISTOLIK DIASTOLIK
Normal < 130 < 85
Tinggi Normal Hipertensi 130 – 139 85 – 89
Stadium 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Stadium 2 (Sedang) 160 – 179 100 – 109
Stadium 3 (berat) 180 – 209 110 – 119
Stadium 4 (sangat berat) > 210 > 120

1.2.3 Etiologi
Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik.
Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan
tekanan perifer. Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan
yaitu:
1.2.3.1 Hipertensi Esensial (Primer).
Penyebab tidak diketahui namun banyak faktor yang mempengaruhi
seperti genetika, lingkungan, hiperaktivitas, susunan saraf simpatik, system rennin
angiotensin, efek dari eksresi Na, obesitas, merokok dan stress.
1.2.3.2 Hipertensi Sekunder.
Dapat diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vakuler renal,
penggunaan kontrasepsi oral yaitu pil, gangguan endokrin dan lain-lain.
Namun ada beberapa faktor yang mempengeruhi terjadinya hipertensi
menurut Jan Tambayong (2000) etiologi dari hipertensi adalah sebagai berikut :
1) Genetik
Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau transport Na.
2) Obesitas
Terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkan tekanan darah
meningkat.
3) Hilangnya Elastisitas jaringan dan arterisklerosis pada orang tua serta
pelabaran pembuluh darah.
4) Usia
Insidens hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Hipertensi
pada yang kurang dari 35 tahun dengan jelas menaikkan insiden penyakit arteri
koroner dan kematian prematur.
5) Kelamin
Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi daripada wanita, namun pada
uia pertengahan dan lebih tua, insidens pada waktu mulai meningkat, sehingga
pada usia diatas 65 tahun, insidens pada wanita lebih tinggi.
6) Ras
Hipertensi pada yang berkulit hitampaling sedikit dua kalinya pada yang
berkulit putih. Akibat penyakit ini umumnya lebih berat pada ras kulit hitam.
Misalnya mmortalitas pasien pria hitam dengan diastole 115 atau lebih, 3,3 kali
lebih tinggi daripada pria berkulit putih, dan 5,6 kali bagi wanita putih.
7) Pola hidup
Faktor seperti pendidikan, penghasilan, dan faktor pola hidup lain telah
diteliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan rendah, dan kehidupan atau pekerjaan
yang penus stes agaknya berhubungan dengan insidens hipertensi yang lebih
tinggi.
1.2.4 Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat pasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jarak saraf simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis dan keluar
dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilapaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan
ketakutan dapat mempengaruhi respons penbuluh darah terhadap rangsang
vasokonstriktor.
Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun
tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah seebagai
rangsang respons emosi, kelenjar adrenal juga terangsang, mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi epinefrin, yang
menyebabkan vasokonstriksi. Korteks adrenal mensekresi kkortisol dan steroid
lainnya, yang dapat mempekuat respon vasokonsriktor pembiluh darah.
Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal,
menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I
yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriksi striktor kuat,
yang pada gilirannya merangsang sekresi aldesteron oleh korteks adenal. Hormon
ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi (Brunner & Suddarth, 898; 2001).
PATHWAY
1.2.5 Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis yang dapat ditemukan pada pederita hipertensi
menurut Elizabeth J. Corwin (2009 ; 487), antara lain :
1.2.5.1 Sakit kepala saat terjaga kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranium.
1.2.5.2 Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada retina.
1.2.5.3 Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susuna saraf pusat.
1.2.5.4 Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi
glomerulus.
1.2.5.5 Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
Sedangkan menurut Marllyn Doengoes (2000). Tanda dari hipertensi
adalah kelemahan, napas pendek, frekuensi jantung meningkat, ansietes, depresi,
obesitas, pusing, sakit kepala, tekanan darah meningkat.

1.2.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada hipertensi menurut Elizabeth J.
Corwin (2009), antara lain :
1.2.6.1 Stroke
1.2.6.2 Infark miokard
1.2.6.3 Gagal ginjal
1.2.6.4 Ensefalopati (kerusakan otak)
1.2.6.5 Kejang
Sedangkan menurut Sjaifoellah (2002) komplikasi pada hipertensi adalah
angina pectoris, infark miokard, hipertropi ventrikel kiri menyebabkan kegagalan
jantung kongestif dan kerusakan ginjal permanen menyebabkan kegagalan ginjal.

1.2.7 Pemeriksaan Dignostik


Jenis pemeriksaan diagnostik pada penyakit hipertensi menurut Elizabeth
J. Corwin (2009 ; 487), antara lain :
1.2.7.1 Pengukuran diagnostik pada tekanan darah menggunakan
sfigmomanometer akan memperlihatkan peningkatan tekanan sistolik dan
diastolik jauh sebelum adanya gejala penyakit.
1.2.7.2 Dijumpai proteinuria pada wanita preklamsia.
1.2.7.3 Tes lebih spesifik bila terdapat kecurigaan yang lebih besar, aortogram
untuk koarktasio aorta atau kelainan vaskuler ginjal.
1.2.7.4 Aktivitas renin plasma dan ekskresi aldosteron untuk aldosteronisme.
1.2.7.5 Rapid-sequnce intravenous pyelogram”, arteriogram arteri renalis,
aktivitas renin vena renalis dan biopsi ginjal untuk penyakit ginjal.
1.2.7.6 Pemeriksaan terhadap asam vanillymandelic dan katekolamin pada urin
untuk mencari adanya feokromosotioma.
1.2.7.7 17-hidroksikortikosteroid dalam urin untuk sindrom Cushing.
1.2.7.8 Tes fungsi tiroid untuk penyakit
1.2.7.9 Hb/Ht: untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti : hipokoagulabilitas,
anemia.
1.2.7.10 BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal.
1.2.7.11 Glukosa: Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
1.2.7.12 Urinalisa: darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan
ada DM.
1.2.7.13 CT Scan: Mengkaji adanya tumor cerebral, enselopati.
1.2.7.14 EKG: Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian
gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
1.2.7.15 IUP: mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal,
perbaikan ginjal.
1.2.7.16 Foto Thoraks: Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,
pembesaran jantung.

1.2.8 Penatalaksanaan Medis


Tujuan tiap program penanganan bagi setiap pasien adalah mencegah
terjadinya morbiditas dan mortalitas penyerta dengan mencapai dan
mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg. Efektifitas setiap
program ditentukan oleh derajat hipertensi, komplikasi biaya perawatan, dan
kualitas hidup sehubungan dengan terapi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendekatan nonfarmakologis,
termasuk penurunan berat badan, pembatasan alkohol, natrium dan tembakau;
latihan relaksasi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap
terapi antihipertensi. Apabila pada penderita hipertensi ringan berada dalam
risiko tinggi (pria perokok) atau bila tekanan darah diastoliknya menetap, diatas
85 atau 95 mmHg dan siastoliknya diatas 130 sampai diatas 139 mmHg, maka
perlu dimulai terapi obat-obatan. (Brunner and Suddarth, 2002).
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis
penatalaksanaan:
1) Penatalaksanaan Non Farmakologis.
(1) Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat
menurunkan tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin
dalam plasma dan kadar adosteron dalam plasma.
(2) Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan
dengan batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan,
jogging, bersepeda atau berenang.
2) Penatalaksanaan Farmakologis.
(1) Mempunyai efektivitas yang tinggi.
(2)   Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
(3) Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
(4) Tidak menimbulkan intoleransi.
(5) Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
(6)   Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
(7) Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi
seperti golongan diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis
kalsium, golongan penghambat konversi rennin angiotensin.

Anda mungkin juga menyukai