Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KASUS

Demam Tifoid

Oleh:
Muhammad Fadli Amir, dr.

Dokter Pendamping:
Setyoko, dr

RSUD DR.SOEROTO
KABUPATEN NGAWI
2017

1
Nama Peserta : Muhammad Fadli Amir, dr

Nama Wahana : RSUD dr. Soeroto Ngawi

Topik : Demam Tifoid

Tgl. Kasus : 28 Juni 2017

Nama Pasien : An.Y

No. RM : 2758xx

Tanggal Presentasi : Nama Pembimbing :

dr. Setyoko

Obeyektif Presentasi :

o Keilmuan o Keterampilan o Penyegaran Tinjauan Pustaka

o Diagnostik o Manajemen o Masalah Istimewa

o Neonatus o Bayi o Anak o Remaja o Dewasa o Lansia o Bumil


Deskripsi :

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan demam sejak 1 minggu yll.

Tujuan :

Penegakan diagnosis demam tifoid dan penatalaksanaannya.

Bahan Bahasan o Tinjauan Pustaka o Riset o Kasus o Audit

Cara Pembahasan o Diskusi o Presentasi dan Diskusi o E-mail o Pos

Data Pasien Nama : An.Y

Bangsal : IGD Telp. : - Terdaftar Sejak : 28-06- 2017

Portofolio Kasus
1. Keterangan Umum
 Nama : An. Y
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 15 tahun

2
 Agama : Islam
 Alamat : Perum taman bougenville, Jatibening, Bekasi
 Pekerjaan : Pelajar
 Pendidikan Terakhir : SMP
 Status marital : Belum Menikah
 Tanggal Pemeriksaan : 28 Juni 2017
2. Anamnesis
 Keluhan Utama :
Demam sejak 1 minggu yll.
 Keluhan Tambahan :
Nafsu makan berkurang, mual, BAB sedikit cair
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien dating dengan keluhan demam sejak 1 minggu yll. Demam dirasakan terus-
menerus sepanjang hari, meningkat terutama pada malam hari dan tidak begitu panas
pada pagi dan siang hari. Selain itu, pasien mengeluhkan nafsu makan berkurang,
mual dan Lidah terasa pahit sejak 3 hari yll. Mual dirasakan tidak sampai muntah.
Keluhan batuk, pilek, sesak disangkal.
Sejak 2 hari yll, Pasien juga mengeluhkan lemas, badan terasa sakit dan buang air
besar dengan konsistensi lembek, frekuensi 3x/hari, darah tidak ada, lendir tidak ada.
Buang air kecil normal.
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Os tidak pernah mengeluhkan keluhan seperti ini sebelumnya.
 Riwayat Pengobatan :
OS sudah berobat ke klinik dan tidak membaik
 Riwayat Pekerjaan :
Pasien seorang pelajar
 Kondisi lingkungan Sosial dan Fisik ;
Pasien tinggal bersama dengan orang tuanya dan adeknya dilingkungan perkotaan.
Pasien tidak mempunyai jaminan kesehatan.
3. Pemeriksaan Fisik
 Pemeriksaan Umum
Keadaan umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS : E4V5M6

3
Tekanan darah : 110/70 mmHg Suhu : 38,2C
Nadi : 108 x/menit, reguler, ekual, isi cukup
Respirasi : 40 x/menit
 Status Generalis
 Kepala : Bentuk dan ukuran normal.
 Wajah : Nyeri tekan sinus -
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
 Telinga : tenang
 Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
 Mulut : Sianosis (-), thypoid tongue (+)
 Leher : JVP 5+2 cmH2O, Pembesaran KGB (-), Retraksi suprasternal (-)
 Thorax : Bentuk dan gerak simetris
 Paru :
o Inspeksi :gerak nafas simetris
o Palpasi : vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri
o Perkusi : sonor kedua lapang paru.
o Auskultasi : Suara Nafas Vesikuler (-/-), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
 Jantung :
o Ictus cordis tidak terlihat, teraba ICS V LMCS. BJ S1,S2 reguler, murmur (-)
 Abdomen: datar, lembut, Nyeri tekan epigastrium (+), Hepatosplenomegali (-),
Timpani (+), Bising usus (+) meningkat
 Ekstremitas: akral hangat, CRT <2 detik , edema -/-
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium :

Pemeriksaan

Hemoglobin 14,5 g/dL

Hematokrit 44%

Trombosit 258.000/mm3

Leukosit 14.200/mm3

Eritrosit 5.0x106/µL

IgM thypoid Positif

4
IgG thypoid Positif

5. Diagnosis Kerja
Demam tifoid
6. Penatalaksanaan
 Non Medikamentosa
o Rawat inap, namun pasien dan keluarga menolak rawat inap
o Tirah baring total dan mobilisasi bertahap
o Diet bubur
o Edukasi keluarga untuk menjaga kebersihan makanan
 Medikamentosa
o Cefixime 2x1 tab sampai 7 hari bebas panas, minimal 10 hari
o Parasetamol 3x1 tab
o Antasida syr 3xC1
o Imunos 1x1 tab
7. Prognosis
 Ad vitam : ad bonam
 Ad functionam : ad bonam
 Ad sanationam : dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

5
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam
tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus halus)
dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1

Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. 2 Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.3

Etiologi
Demam tifoid adalah suatu infeksi yang dapat disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi
atau Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B, dan Salmonella paratyphi C.
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin.1
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi
Salmonella typhi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah
dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1

6
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal
dari laboratorium penelitian.1

Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel Peyer’s Patch, 2) bakteri bertahan hidup
dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer’s Patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan
organ-organ ekstra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam
aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit
dan air ke dalam lumen intestinal.1
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia
terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2), namun sebagian lolos masuk ke dalam
usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman
yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post
gastrektomi, penggunaan obat-obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump
Inhibitor.4
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejenum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus
sel-sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan
port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup
dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum
distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya asimtomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ

7
RES ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau
ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan
bakteremia kedua dengan disertai tanda-tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,4
Dalam Peyer’s patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar Peyer’s patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-
sel mononuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar,
lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat
lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti
nekrosis sel, sistem vaskuler yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.1,4

Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-
14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala

8
ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit
dirumahnya.1,4,5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Banyak
orangtua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam
hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam
tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium, atau
penurunan kesadaran mulai apati sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, dan nyeri perut. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid
sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, onbstipasi, atau obstipasi kemudian disusul
episode diare dan banyak dijumpai meteorismus. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor
dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan juga. Pembesaran hepar lebih
banyak dijumpai dibandingkan pembesar limfa.1

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang dengan
peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang diduga
karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan
leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis,
terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung
jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to
the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan
SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid sistem
normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6

2. Uji serologis

9
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri.6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji Widal
terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang
berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan-2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan
diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada
titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.

10
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.7
Ada 4 interpretasi hasil :
 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.

11
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna
tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.6

d) Metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Uji Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.6

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-

12
faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2)
perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.6

Penatalaksanaan
Non Medikamentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah
yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak
memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, biasanya
diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi,
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan
cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh
akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika
reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor
mengeluarkan sinyal yang memulai berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan
ukuran pembuluh darah diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari
tangkai otak, dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/ kehilangan
energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat), diharapkan akan terjadi
penurunan suhu tubuh sehingga mencapai keadaan normal kembali.7

Medikamentosa
a) Simptomatik

13
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberikan antipiretik. Bila
mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah
Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk
menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran
cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih rentan kemungkinan untuk
diperberat keadaannya sangatlah mungkin.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah:1,4,5
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis, diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah
demam turun. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps
atau kambuh, dan karier.
 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari
dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Efek samping dari
pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi
seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada
beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak-
anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang
diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2
minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi
chloramphenicol.
 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan
pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari
Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella
typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi
dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau dapat diberikan
cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan
Per oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

14
Daftar Pustaka

15
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &
pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Rezeki, Sri. Demam tifoid. 2008. Diunduh dari
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang
Perlu_Diketahui.html.
3. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S,
Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba
Medika, 2002: 1-43.
4. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC; 2000.
5. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003: h. 2-20.
6. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010: h. 1-10.
7. Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam pada
pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei Saboe Kota
Gorontalo. 2012. Diunduh dari
http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSVol05No01
_08_2012.pdf. 22 Januari 2012

Peserta Pendamping

( dr. Muhammad Fadli Amir ) (dr. Setyoko)

16
17

Anda mungkin juga menyukai