Anda di halaman 1dari 30

ANALISIS KEWENANGAN HAK ATAS TANAH

PEMERINTAH KOTA BATAM DAN OTORITA


PENGEMBANGAN DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM
(OTORITAS BATAM)

Oleh :
Imran Bungaran I G
27.0143
S1 – EBC MP

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI


MANAJEMEN PEMERINTAHAN
TAHUN AKADEMIK 2017/2018

1
DAFTAR ISI

Daftar Isi …………………………………………………………………………………………………………………2


BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………3
1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………………………………… ……………..3

1.2 Identifikasi Masalah ……………………………………………………………… …………………….6


1.3 Tujuan Penilitian ………………………………………………………………………………… ………..6
1.4 Mafaat Penilitan…………………………………………………………… ……………………………...7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………………………………………………..8
2.1 Penjelasan ……………………………………… …………………………………………………………..8
2.2 Pencabutan Atas Tanah………………………………………………………………………………11
BAB III ANALISIS ………………………………………………………………………………………………………12
BAB IV PEMBAHASAN …………………………………………………………………………………………….18
4.1 Kewenangan Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam……………..………… 18
4.2. Status Hukum Dalam Pengaturan Pertanahan Di Pulau Batam………………..23
4.3 Status Hukum Terhadap Peraturan Bidang Pertanahan……………………………24
BAB V KESIMPULAN…………………………………………………………………………………................27
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………..28

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar.
Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat
manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan
hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan
tanah.
Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh
masyarakat adat disebut sebagai tanah komunal (milik bersama). Khususnya
diwilayah pedesaan, tanah ini diakui oleh hukum adat tak tertulis baik berdasarkan
hubungan keturunan maupun wilayah. Seiring dengan perubahan pola sosial
ekonomi dalam setiap masyarakat tanah milik bersama masyarakat adat ini secara
bertahap dikuasai oleh anggota masyarakat melalui penggarapan yang bergiliran.
Sistem pemilikan individual kemudian mulai dikenal didalam sistem pemilikan
komunal. Situasi ini terus berlangsung didalam wilayah kerajaan dan kesultanan
sejak abad ke lima dan berkembang seiring kedatangan colonial Belanda pada
abad ke tujuh belas yang membawa konsep hukum pertanahan mereka.
Dalam rangka mengatur dan menertibkan masalah pertanahan telah dikeluarkan
berbagai peraturan hukum pertanahan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA)
sebagai Hukum Tanah Nasional. Secara umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) membedakan tanah
menjadi:
1. Tanah Hak Tanah hak adalah tanah yang telah dibebani sesuatu hak diatasnya,
tanah hak juga dikuasai oleh negara tetapi penggunaannya tidak langsung sebab
ada hak pihak tertentu diatasnya.
2. Tanah Negara Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai negara.
Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain diatas tanah itu

3
Landasan dasar bagi pemerintah dan rakyat Indonesia untuk menyusun
politik hukum serta kebijaksanaan dibidang pertanahan telah tertuang dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang berbunyi “Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) makna dikuasai
oleh negara bukan berarti bahwa tanah tersebut harus dimiliki secara keseluruhan
oleh negara, tetapi pengertian dikuasai itu memberi wewenang kepada negara
sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk tingkatan yang tertinggi
untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Bermacam-macam hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1)
UUPA dan Pasal 53 UUPA. Hak atas tanah yang dapat dikuasai oleh Pemerintah
Daerah adalah Hak Pakai. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal
43 UUPA. Lebih lanjut tentang Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 sampai dengan
Pasal 58 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Pengertian Hak Pakai disebutkan
dalam Pasal 41 ayat (1) UUPA, yaitu: “Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan
dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau
tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau dengan perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa
menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini”.

4
Di tengah sulitnya akses dalam memperoleh hunian yang layak, sementara
kebutuhan akan tempat tinggal tidak bisa di hindari lagi, jalan singkat mendirikan
tempat tinggal di atas tanah negara yang bukan diperuntukkan bagi hunian
menjadi pilihan yang amat menyenangkan. Hal ini dilihat dari lemahnya
pengawasan yang dilakukan pemerintah yang berakibat hunian-hunian liarpun
bermunculan, tanpa usaha untuk mencegahnya.
Disamping itu kepemilikan rumah tempat tinggal bagi WNA (Warga
Negara Asing) yang tinggal di Batam juga menambah rumitnya persolan.
Menghadapi fenomena ini, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang
Asing yang Berkedudukan Di Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun
1996 tersebut merupakan pengecualian UUPA yang pada dasarnya berkaitan
dengan status pemilikan hak pakai atas tanah negara.7
Keadaan ini juga selanjutnya di perjelas dengan pemberian otonomi daerah
melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang sudah diganti dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Dalam hal
ini memberi kekuasaan yang amat besar kepada masing-masing daerah untuk
mengatur urusan rumah tangga sendiri. Pemberian otonomi daerah dalam bidang
pertanahan dasar dalam pelaksanaan hukum tanah nasional.
Dengan berbekal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka
Pemerintah Kota Batam menginginkan kebijakan yang berhungan dengan
pertanahan menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam. Terhadap hal ini,
Otorita Batam mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang
Daerah Industri Pulau Batam yang memberi kewenangan kepada Otoritas Batam
termasuk kewenangan bidang pertanahan, sementara pemerintah Kota Batam
dengan semangat otonomi daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah menyimpulkan sudah saatnya kewenangan
bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota Batam.

5
Status hukum hak pengolahan atas seluruh areal yang terletak di Pulau
Batam termasuk dalam gugusan Pulau Janda Berhias, Pulau Tanjung Sauh, Pulau
Ngenang, Pulau kasem, dan Pulau Mo-moi yang diperoleh Otorita Batam
berdasarkan Keputusan Menteri Dalama Negeri Nomor 77 Tahun 1977 tanggal 18
Febuari 1977 menjadi dipertanyakan, termasuk kewenangan bidang pertanahan di
Pulau Rempang dan Galang.
Mengingat pentingnya pemahaman yang konprehensif dalam menyikapi
problematika pertanahan tersebut yang amat bertautan dengan masalah yuridis,
maka pemulis mencoba mengupas sedikit tentang dan masalah pertanahan yang
melibati dua istitusi yaitu Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Pengembang
Daerah Perindustrian Pulau Batam ( Otorita Batam ).

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah?


2. Apa saja yang termasuk Hak Atas Tanah?
3. Bagaimana kewenangan pertanahan antara pemerintah Kota Batam dan Otorita
Batam
4. Bagaimana status hukum dalam pengaturan pertanahan di Pulau Batam

1.3 Tujuan Penilitian

1. Agar kita dapat mengetahui apakah yang dimaksud dengan Hak Atas Tanah
2. Agar kita dapat mengetahui apa saja yang termasuk dalam Hak AtasTanah
3. Agar kita mengetahui kewenangan yang dimiliki pemerintah Kota Batam dan
Otorita Batam
4. agar kita mengetahui status hukum pengaturan pertanhan di Batam

6
1.4 Manfaat Penilitian

1. Penyusun mendapat lebih banyak pengetahuan mengenai Hak AtasTanah


2. Penyusun mendapatkan pengetahuan mengenai apa saja yang termasuk ke
dalam Hak Atas Tanah
3. Penyusun mengetahui fungsi dan wewenang hukum pertanahan pada
Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1PENJELASAN

HAK ATAS TANAH hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil
manfaat atas tanah tersebut.
Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari
hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak-
hak atas tanah yang dimaksud ditentukandalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara
lain:

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
6. Hak Membuka Tanah
7. Hak Memungut Hasil Hutan
8.Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang
ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya
sementarasebagaimana disebutkan dalam pasal 53.

Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya


bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut
hasil hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan
atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan
dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanah hanya untuk menyelaraskan
sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan
pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak-hak atas tanah yang

8
disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang
keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat “sementara”. Hak-hak
yang dimaksud antara lain :

1. Hak gadai,
2. Hak usaha bagi hasil,
3. Hak menumpang,
4. Hak sewa untuk usaha pertanian.

Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya
akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak-hak tersebut menimbulkan
pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali
hak menumpang).
Hal ini tentu saja tidak sesuaidengan asas-asas Hukum Tanah Nasional
(pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak-hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari
pasal 10 yangmenyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan
dandiusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga
apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut
adalah pemegang hak gadai.
Hak menumpang dimasukkan dalamhak-hak atas tanah dengan eksistensi
yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak
menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari
hukum agraria Indonesia. Dalam hak menumpang terdapat hubungan antara
pemilik tanah dengan orang lain yang menumpang di tanah si A, sehingga ada
hubungan tuan dan budaknya.
Feodalisme masih mengakar kuat sampai sekarang diIndonesia yang oleh
karena Indonesia masih dikuasai oleh berbagai rezim.Sehingga rakyat hanya
menunngu perintah dari penguasa tertinggi. Sultan syahrir dalam diskusinya
dengan Josh Mc. Tunner, pengamat Amerika(1948) mengatakan bahwa
feodalisme itu merupakan warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih
rentan dengan pemerintahan diktatorial. Kemerdekaan Indonesia dari Belanda
merupakan tujuan jangka pendek. Sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah

9
membebaskan Indonesia dari pemerintahan yang sewenang-wenang dan mencapai
kesejahteraan masyarakat. Pada saat itu, Indonesia baru saja selesai dengan
pemberontakan G 30 S/PKI.
Walaupun PKI sudah bisa dieliminir pada tahun1948 tapi ancaman bahaya
totaliter tidak bisa dihilangkan dari Indonesia. Pasal 16 UUPA tidak menyebutkan
hak pengelolaan yang sebetulnya hakatas tanah karena pemegang hak pengelolaan
itu mempunyai hak untuk mempergunakan tanah yang menjadi haknya. Dalam
UUPA, hak-hak atas tanah dikelompokkan sebagai berikut :

1.Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :

1. Hak Milik
2. Hak Guna Usaha
3. Hak Guna Bangunan
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa Tanah Bangunan
6. Hak Pengelolaan

2.Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :

1. Hak Gadai
2. Hak Usaha Bagi Hasil
3. Hak Menumpang
4. Hak Sewa Tanah Pertanian

10
2.2 Pencabutan Atas Tanah

Maksud dari pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara
paksa oleh negara yang mengakibatkan hak atas tanah itu hapus tanpa yang
bersangkutan melakukan pelanggaran atau lalai dalam memenuhi kewajiban
hukum tertentu dari pemilik hak atas tanah tersebut.

Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak


atas tanahdan benda-benda diatasnya hanya dilakukan untuk kepentingan umum
termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama milik rakyat
merupakan wewenang Presiden RI setelah mendengar pertimbangan apakah benar
kepentingan umum mengharuskan hak atas tanah itu harus dicabut, pertimbangan
ini disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri, MenteriHukum dan HAM, serta
menteri lain yang bersangkutan.

Setelah Presiden mendengar pertimbangan tersebut, maka Presiden akan


mengeluarkan Keputusan Presiden yang didalamnya terdapat besarnya ganti rugi
untuk pemilik tanah yang haknya dicabut tadi. Kemudian jika pemilik tanah tidak
setuju dengan besarnya ganti rugi, maka ia bisa mengajukan keberatan dengan
naiknaik banding pada pengadilan tinggi.

11
BAB III
ANALISIS

A. PENGERTIAN-PENGERTIAN

1. Hak milik

Hak milik diatur didalam pasal 20-27 UUPA. Hak milik bersifat turun-
temurun,terkuat, dan terpenuh, berfungsi sosial. Maksudnya adalah, turun
temuruncontohnya dapat diwariskan, terkuat maksudnya dapat
dipertahankan,terpenuh maksudnya adalah tidak mengenal jangka waktu, dan
berfungsisosial yaitu harus sesuai dengan sifat dan tujuannya (pasal 6 UUPA).

Hak milik dapat dialihkan kepada siapa saja, dapat didirikan Hak gunabangunan
diatasnya.

Subjek hak milik :


a. Warga Negara Indonesia
b. Badan hukum tertentu ( PP No. 38 tahun 1963) yaitu, badan hukumperbankan
negara, koperasi pertanian, dan usahasosial/keagamaan.

Luas kepemilikan hak atas tanah dibatasi oleh CEILING yang dibatasisecara
maksimum dan minimum.

Berakhirnya suatu hak milik atas tanah yaitu dapat dengan cara :
a. Pencabutan hak
b. Melanggar prisip nasionalitas
c. Terlantar
d. Penyerahan secara sukarela
e. Tanahnya musnah misalnya karena bencana alam longsor.

12
Dasar hak milik :
a. Konversi dari tanah-tanah eks-BW dan dari tanah eks-tanah adat
b. Dari hasil pengelolaan yang teruang dalam perjanjian pendirian haktersebut
c. SK pemberhentian hak oleh pemerintah BPN

2. Hak guna usaha


Hak guna usaha diatur didalam pasal 28-34 UUPA, dan PP No. 40 tahun1996.
Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasaioleh
negara. Obyeknya merupakan tanah negara.

Subyek hak guna usaha :

1. Warga Negara Indonesia


2. Badan HukumIndonesia

Hak guna usaha dapat dapat dialihkan asal kepada WNI. Hal ini
berdasarkanprinsip asas nasionalitas.Penggunaan hak guna usaha dapat digunakan
untuk pertanian(perkebunan), perikanan, peternakan. Dan dapat dijadikan objek
haktanggunanganataudapat dijaminkan.

Jangkau waktunya : Didalam UUPA 25 tahun, diperpanjang maksimal


35tahun dengan perpanjangan waktu 25 tahun, perpanjangan ataupembaharuan
dapat diberikan sekaligus (pasal 11 PP 40 Tahun 1996) 30tahun diperbaharui.
Berakhirnya hak : waktunya berakhir melanggar syarat pemberian, dilepashaknya,
dicabut haknya untuk kepentingan umum, tanahnya musnah,melanggar prinsip
nasionalitas. Dasar hak : PMDN No 6 Tahun 1972 jo. Peraturan kepala BPN No
16 Tahun1990 sampai dengan 100 HA asal tidak dengan fasilitas penanaman
modaloleh Kanwil BPN ; diatas 100 HA oleh Kepala BPN (Pasal 2 s.d 18 PP No
40Tahun1996).

13
3. Hak guna bangunan
Hak untuk mengusahakan dan mempunyai bangunan atas tanah bukanmilik
sendiri Subyeknya :
1. WNI
2. Badan Hukum Indonesia

Hak guna Bangunan dapat dialihkan asal kepada WNI, berdasarkan asas
nasionalitas Dapat sebagai objek hak tanggungan Jangka waktu hak guna
bangunan : paling lama 30 tahun dapatdiperpanjang 20 tahun, perpanjangan/
pembaharuan dapat diberikansekaligus

Berakhirnya hak guna bangunan:

Jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktu berakhir,dilepas oleh


pemegang hak, dicabut untuk kepentingan umum,ditelantarkan, tanah musnah,
bukan WNI lagi (pasal 30 ayat 2 jo pasal 20PP 40/ 1996.

Alas/ dasar hak guna bangunan :


1. PMDN 6/1972 sampai 2000m2 oleh kepala BPN ps 22 PP 40/1996
2. Hak pengelolaan Vide PMDN 1/77 jo PMDN 6/1972 jo ps 22 ayat (2)
PP40/1996
3. Konversi tanah ex adat
4. Kinversi tanah ex BW : hak eigendom, hak opstal, hak erfacht
5. Karena perjanjian, pemilik HM dan seseorang untuk menimbulkan hakguna
bangunan

14
4. HAK PAKAI

1) Hak pakai keperdataan

Hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah yang dikuasainegara/
tanah yang dikuasai seseorang dengan hak milik

Subjeknya : WNI, Badan Hukum Indonesia, orang asing penduduk


Indonesia( pasal 39 PP 40/ 1996), badan hukum asing yang mempunyai manfaat
bagipenduduk Indonesia dan badan hukum asing yang ada ijin operasional

Dapat dialihkan ; dapat menjadi objek tanggungan

Berakhirnya hak : jangka waktu berakhir, tanah musnah, dicabut


untukkepentingan umum, ditelantarkan

Jangka waktu :
• Tidak jelas ( pasal 41-43 UUPA)

• PMDN 6/1972 = 10 tahun

• Pasal 45 PP 40/ 1996 -25 tahun dengan perpanjangan 20 tahun

• Hak pakai di atas hak milik = 25 tahun dengan pembaharuan 25 tahun

15
2) Hak pakai khusus:
Hak milik mempergunakan tanh untuk pelaksanaan tugas yang berasal daritanah
yang dikuasai negara.

Subjeknya ialah departemen, LPND, PEMDA, perwakilan negara asing,lembaga


keagamaan, dan lembaga sosial (Lembaga pemerintah nondepartemen).

Tidak dapat dialihkan :

Tidak dapat dijadikan objek hak tanggungan

Berakhirnya hak:

Jika tidak dapat dipergunakan lagi kembali kepada negara.

Jangka waktu :

Tidak terbatas selama masih dipergunakan (pasal 45 ayat 1 PP. 40 tahun1996).

Hak-hak sementara

a. Pengertian

Hak-hak yang bersifat sementara dikatakan sementara karena


mengandungsifat-sifat yang bertentangan dengan UUPA (mengandung unsur
pemerasan). Maka hal-hal tersebut diusahakan agar dapat dihapus dalamwaktu
singkat, sebelum ada peraturan-peraturan yang baru, sementaraketentuan yang
sudah ada dianggap masih berlaku.

16
Hak-hak tersebutadalah:

1. Hak Usaha Bagi Hasil, berasal dari hukum adat “hak menggarap”, yaituhak
seseorang untuk mengusahakan pertanian diatas tanah milik oranglain dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi bagi kedua belah pihak berdasarkan
perjanjian. Diatur dalam Undang-Undang No.2 tahun 1960tentang perjanjian bagi
hasil, Permenag No. 8 tahun 1964, Inpres No.13tahun 1980.

2. Hak Gadai, berasal dari hukum adat “Jual Gadai”, yaitu penyerahansebidang
tanah oleh pemilik kepada pihak lain dengan membayar uangkepada pemilik
tanah dengan perjanjian, bahwa tanah itu akandikemalikan apabila pemilik
mengembalikan uang kepada pemegangtanah. Hal itu diatur lebih lanjut dalam
Undang-Undang No.56/ Prp/ 1960tentang penetapan luas tanah pertanian, pasal
7 : “Barangsiapamenguasai tanah pertanian dengan hak gadai, sudah berlangsung
7 tahunatau lebih, wajjib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya
dalamwaktu sebulan stelah tanaman selesai dipanen. Dengan tidak ada hakuntuk
menuntut pembayaran uang tebusan.”

3. Hak Menumpang, yaitu hak yang mengizinkan seseorang untukmendirikan


serta untuk menempati rumah diatas tanah pekarangan oranglain dengan tidak
membayar kepada pemilik pekarangan tersebut, sepertihak pakai, tetapi sifatnya
sangat lemah, karena setiap saat pemilik dapatmengambil kembali tanahnya

4. Hak Sewa Tanah Pertanian, bersifat sementara karena berkaitan denganpasal 10


ayat 1 UUPA yang menghendaki setiap orang atau badan hukumyang mempunyai
suatu hak atas tanah pertanian. Pada asasnyadiwajibkan mengerjakan atau
mengusahakan sendiri secara aktif dengancara mencegah cara pemerasan.

17
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Kewenangan Pertanahan antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam

1. pemerintah Kota Batam


Pada tahun 1983 pulau batam menjadi kota adminitrasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1983 dengan tiga sub distrik (kecamatan),
yakni Belakang Padang, Batam Barat, dan Batam Timur.10
Derasnya tuntutan otonomi dan kisah melunaknya kekuasaan sentralistik
mendorong perubahan sejarah pemerintah di Batam, tanggal 4 Oktober 1999
menjadi momentum perubahan Kota Batam. Wilayah semula berstatus pemerintah
kota administratif dengan keunikan sebagai daerah khusus industri ditetapkan
menjadi pemerintah yang otonom melalui Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999
tentang pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan
Hilir, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna,
Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam.
Diberikannya status kota otonom kepada Batam, juga sesuai dengan
kehendak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
pada masa itu. Sehingga Batam memiliki kewenangan untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa sendiri sesuai
denga aspirasi masyarakat.
Pemerintah Kota Batam melaksanakan kewenangan bidang pertanahan
melalui Dinas Pertanahan berdasarkan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 3
Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang
menerangkan tentang bagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang
dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang dijabarkan lebih lanjut dalam
keputusan Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan
Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenagan Pemerintah di Bidang
Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan
tersebut antara lain :

18
a. Pemebrian izin lokasi
b. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pemebangunan,
c. Penyelesaian sengketa tanah garapan
d. Penyelesaian tanah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan,
e. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah,
f. Ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee
g. Penetapan dan penyelesaian tanah ulayat,
h. Pemanfaatan penyelesaian tanah kosong
i. Pemeberian izin membuka tanah
j. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Berkaitan dengan adanya hak pengolahan yang dimiliki oleh Otorita


Batam atas seluruh tanah di Pulau Batam, kewenangan Pemerintah Kota Batam
yang di selenggarakan oleh Dinas Pertanahan berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan dalam
hal ini izin lokasi tidak berlaku.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan


Nasional Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasidalam pasal 2 ayat 2 disebut
bahwa izin lokasi tidak diperlukan dan dianggap sudah dimiliki oleh perusahaan
yang bersangkutan dalam hal tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau
badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata
ruang kawasan pengembang tersebut.
Namun, kewenangan lainnya di luar pemberian izin lokasi tersebut tetap dapat
dilaksanakan oleh pemerintah Kota Batam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
2003 yang dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksaan
Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang Dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota.

19
2. Otorita Batam.

Keberadaan Otorita Batam tidak terlepas dari kebijakan pemerintah pusat


untuk memperlakukan Pulau Batam secara Khusus demi memacu iklim investasi
dan pertumbuhan ekonomi nasional dengan memanfaatkan potensi dan letak
strategis Pulau Batam.

Berkaitan dengan hal ini, pemerintah menerbitkan sejumlah keputusan


yang menjadi dasar hukum bagi keberadaan Otorita Batam. Keputusan tersebut
antara lain :
a. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1970 tentang Proyek Pengembangan
Pulau Batam Sebagai Dasar Logistik Lepas Pantai Untuk Kegiatan Pengeboran
Oleh Pertamina
b. Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pembangunan Pulau Batam
c. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau
Batam yang sudah lima kali diganti ( Kepres Nomor 45 tahun 1978, Kepres
Nomor 58 Tahun 1989, Kepres Nomor 94 Tahun 1998, Kepres Nomor 113 Tahun
2000, Kepres Nomor 25 Tahun 2005)
d. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1974 tentang Penunjukan Beberapa
Lokasi di Sekupang, Batu Ampat, dan Kabil sebagai Bonded Ware House
e. Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1977 tentang Pengolahan dan
Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam
f. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan Seluru Pulau
Batam Sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone)
g. Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1984 tentang Perluasan Wilayah Kerja
Otorita Batam Meliputi Lima Puluh Pulau Kecil di sekitar Pulau Batam
h. Keputusan Presiden Nomor 7 Thaun 1984 tentang Hubungan Kerja Antara
Pemerintah Kotamadya Batam dengan Otorita Batam,
i. Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 tentang penambahan Wilayah kerja
Otorita Batam Meliputi Pulau Rempang, Pulau Galang Pulau Galan Baru dan
beberapa pulau disekitar dan Penetapannya Sebagai wilayah Usaha Kawasan
Berikut (bonded Zone) .

20
Dalam bidang pertanahan, kepada Otorita Batam diberikan hak
pengolahan Otorita Batam. Hak pengolahan Otorita Batam diatur dalam
Keputusan Presiden Nomor 41 tahun 1973 tentang Industri Pulau Batam dan
Keputusan Mentri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 tentang Pengolahan dan
Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.
Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 tentang Kedudukan Pulau
Batam dan Mengatur Peruntukan dan penggunaan tanah di Pulau Batam. Pada
pasal 6 ayat 1 Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 disebutkan bahwa
peruntukan dan penggunaan tanah di daerah Industri Pulau Batam untuk
keperluan Pembangunan, Usaha, dan Fasilitas yang liannya yang bersangkutan
pada pelaksanaan pembangunan Pulau Batam, didasarkan atas suatu rencana tata
guna tanah dalam rangka pengembangan Pulau Batam menjadi daerah industri.
Dalam pasal 6 ayat 2 Keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 bahwa hal yang
bersangkutan dengan pengurusan tanah di dalam wilayah Daerah Industri Pulau
Batam dalam rangka ketentuan tersebut diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam
Negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang
agraria dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan hak
pengolahan kepada ketua Otorita Pengembang Industri Pulau Batam.
2. Hak Pengelolaan tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam untuk:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut,
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak
pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 UUPA
d. Menerima uang permasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan

Wilayah kerja Otorita Batam yang sebelumnya hanya meliputi Pulau


Batam, ditambah dengan Pulau Rempang dan Pulau Galang Melelui Keputusan
Presiden Nomor 28 Tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja
Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapan Wilayah Uasaha Kawasan Berikut
(Bonded Zone) dengan bunyi Keputusan Sebagai Berikut

21
a. Wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana dimaksud
dengan keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 ditambah dengan Pulau
Rempang dan Pulau Galang
b. Berarapa pulau kecil tertentu di sekitar Pulau Rempang dan Pulau Galang yang
secara teknis diperlukan bagi perencanaan dan pengembangan Pulau Rempang
dan Pulau Galang dengan Keputusan Presiden dapat ditetapkan pula sebagai
bagian dari wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam.
c. Pulau-pulau yang ditambahkan sebagai wilayah lingkungan kerja Dearah
Industri Pulau Batam merupakan wilayah usaha kaasan berikut (bonded zone)
daerah industri Pulau Batam
d. Pelaksanaan penggunaan Pulau Galang ke wilayah lingkungan kerja Daerah
Industri Pulau Batam dilakukan secepatnya dengan memperhatikan penyelesaian
maslah pengungsian di pulau tersebut.
e. Penyusun rencana pengembangan wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang
sebagai wilayah lingkungan kerja Daerah Industri Pulau Batam dilaksanakan
sebagai satu kesatuan dan dalam rangka penyempurnaan Daerah Industri Pulau
Batam yang ditetapkan Presiden.
f. Hal-hal yang bersangkutan dengan pengelolaan dan pengurusan tanah di dalam
wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang, termasuk usaha-usaha pengamanan,
penguasaan, pengalihan, dan pemindahan hak atas tanah diatur lebih lanjut oleh
Kapala Badan Pertanahan Nasional.

4.2. Status Hukum Dalam Pengaturan Pertanahan Di Pulau Batam

1. Status Hukum Kewenangan Bidang Pertanahan di Batam


Pada tahun 1999, Pemerintah bersama DPR RI menerbitkan Undang-Undang
Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Otorita
Batam dalam Pembangunan Batam. Dengan diterbitnya Undang-Undang Nomor
53 Tahun 1999 , posisi Otorita Batam selaku badan pembangunan di Pulau Batam
semakin kuat kedudukannya karena keberadaan dicantumkan dalam Undang-
Undang tersebut.

22
Namun, rumusan beberapa pasal justru makin memperkuat keberadaan
Pemerintah Kota Batam sesuai dengan terbentuknya Otonomi Daerah.
Penetapan Status Pulau Batam sebagai zona industri menyebabkan terjadinya
perubahan dalam kebijakan di bidang industri termasuk bidang pertanahan.
Dengan perubahan tersebut, kebijakan pertanahan menjadi kewenangan Otorita
Batam lewat pengolahan sebagaimana dituangkan pada 43 Tahun 1977 tentang
Pengolahan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam.
Keadaan ini dalam perjalanannya sempat diperuncing dengan
pemberlakuan Otonomi Daerah melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tantang
Pemerintah Daerah. Dimana dijelaskan masing-masing Daerah dapat mengatur
urusan daerahnya masing-masing atau disebut juga Rumah Tangganya masing-
masing.
Sementara itu, Pemerintah Kota Batam dengan semangat otonomi daerah
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-Undang 23
Tahun 2014 tentang Pemeritah Daerah, menyimpulkan bahwa sudah saatnya
kewenangan bidang pertanahan beralih menjadi kewenangan Pemerintah Kota
Batam
Jika sebelumnya, Otorita Batam mengikutsertakan Pemerintah Kota Batam
dalam Menjalankan Tugas pemerintahan dan pembangunan, kini justru sebaliknya
justru Pemerintah Kota Batam diamanatkan untuk mengikutsertakan Otorita
Batam. Pada pertimbangan lainnya juga ditegaskan bahwa mengingat di Kota
Batam pada saat berlakunya Undang-Undang ini, penyelenggara sebagian tugas
dan kewenangan dilaksanakan oleh Otoritas Batam dalam rangka mendudukan
tugas, fungsi, dan kewenangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah, diperlukan pengaturan hubungan kerja antara
Pemerintah Kota Batam dan Badan Otorita Batam untuk menghindari tumpang
tindih penyelenggara pemerintah dan pembangunan.

23
Bahkan dalam penjelesan pasal 21 ayat 1 Undang-Undang Nomor 53
Tahun 1999 dinyatakan bahwa keikutsertaan Badan Otoritas Batam dimaksudkan
untuk kesinambungan berbagai kemajuan pembangunan di kawasan Batam
sebagai kawasan industri, alih kapal, pariwisata, dan perdagangan yang selama ini
dilakukan oleh Badan Otorita Batam. Pada ayat 2 disebutkan bahwa status dan
kedudukan Badan Otorita Batam yang mendukung kemajuan pembangunan
nasional dan daerah Kota Batam.
Sementara itu, hak pengolahan yang dimiliki oleh Otorita Batam
membatasi ruang gerak Pemerintah Kota Batam. Dalam hal pembangunan sarana
pemerintah seperti kantor-kantor dan sekolah-sekolah negeri, Pemerintah Kota
Batam harus mengajukan permohonan kepada Otorita Batam. Sering kali terjadi,
tanah yang dialokasikan tidak sesuai dengan rencana yang dimohonkan oleh
Pemerintah Kota Batam. Bahkan aset-aset Pemerintah Kota Batam bentuk tanah,
tidak memiliki sertifikat termasuk Kantor Walikota Batam
Saat ini kewenangan bidang pertanahan tetap masih kewenangan Otorita
Batam melalui hak pengolahan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun
1973 tentang kedudukan Pulau Batam sebagai Daerah Industri. Hak pengolahan
tersebut memberi wewenang kepada Ketua Otorita Pengembang Industri Pulau
Batam untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah
b. Menggunakan tanah tersebut sebabai keperluan pelaksanaan tugasnya
c. Menyerahkan bagian-bagian tanah tersebut kepada pihak ketiga
d. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan yang langsung
dimaksukkan khas Negara

4.3. Status Hukum Terhadap Peraturan Bidang Pertanahan Apabila Terjadi


Peralihan Kewenangan.

Berdasarkan keputusan Presiden Nomor 25 Tahun 2005 tentang Daerah Industri


Pulau Batam diatur melalui status hak pengolahan tersebut antara lain sebagai
berikut :

24
1. Hak pengolahan diberikan untuk jangka waktu selama tanah digunakan untuk
kepentingan penerima hak dan terhitung sejak didaftarkan pada kantor pertanahan
setempat.
2. Hak pengolahan diberikan untuk dipergunakan sebagai pengembang daerah
industri, pelabuhan, pariwisata, pemukiman, perternakan, perikanan, dan lain-lain
usaha yang berkaitan dengan itu.
3. Penerima hak wajib mengembalikan areal tanah yang dikuasai dengan hak
pengolahan tersebut seluruhnya atau sebagiannya kepada negara apabila areal
tanah tidak digunakan lagi untuk keperluan sebagaimana mestinya.
4. Pemberian hak dapat ditinjau kembali atau dibatalkan apabila :
a. Luas tanah yang diberikan dengan hak pengolahan tersebut ternyata melebihi
keperluan.
b. Tanah tersebut sebagian atau seluruhnya tidak dipergunakan.
c. Tidak dipelihara sebagaimana mestinya
d. Salah satu syarat atau ketentuan dalam surat keputusan ini tidak dipenuhi
sebagaimana mestinya.
Dalam pelaksanaan tugas Otorita Batam seluruh areal seluruh areal tanah
yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan Hak Pengelolaan kepada Ketua
Otorita Batam yang mempunyai wewenang untuk:26
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut;
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya;
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan hak
pakai sesuai dengan ketentuan-ketentuan Pasal 41 sampai dengan Pasal 43
Undang-Undang Pokok Agraria;
d. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan uang wajib tahunan

25
Apabila pemerintah memiliki kebijakan yang lebih menekankan semangat
otonomi daerah, peran Pemerintah Kota Batam perlu lebih dioptimalkan. Apabila
hal ini terjadi, akan timbul permasalahan tentang status hukum terhadap
pengaturan bidang pertanahan di Pulau Batam. Selanjutnya, hak pengolalaan
tersebut dapat diberikan kepada pemerintah Kota Batam atau dikembalikan
menjadi tanah negara. Demi adanya kepastian hukum, perlu juga diatur tentang
bagian hak pengolahan yang telah diberikan kepada pihak ketiga sehingga tidak
menimbulkan permasalahan baru.

26
BAB V
KESIMPULAN

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang
yangmempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas
tanahtersebut. Di dalam pelaksanaannya banyak terdapat masalah-masalah
akibatketidaktahuan atau ketidakmengertian masyarakat terhadap hak-hak atas
tanah.
Masalah tanah bagi manusia seperti tidak ada habisnya karena
tanahmempunyai arti yang sangat penting dalam penghidupan manusiaOleh
karena itu sangat penting bagi kita untuk mengetahui dan mengertimengenai hak-
hak atas tanah agar kejadian-kejadian persengketaan tanah
Tetapi, bicara tentang tanah tidak jarang tanah menjadi suatu pemicu
permasalahan dan konfilik yang terjadi baik masyarakat dengan pemerintah dan
pemerintah dengan pemerintah, salah satunya Kota Batam yang sering juga kita
kenal dengan pulau Batam merupakan wilayah Indonesia yang tidak lepas dari
problematika pertanaham yang kerap terjadi di nusantara. Berbagai khasus Hak
atas tanah masih menyisakan persoalan-persolan yang harus diselesaikan secara
bijak sehingga tidak menimbulkan persoalan baru.
Disamping itu kepemilikan rumah tempat tinggal bagi WNA (Warga
Negara Asing) yang tinggal di Batam juga menambah rumitnya persolan.
Ditambah tumpa tindih antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah menjadi
salah satu penyebab terjadinya permasalahan yang ada dibidang pertanahan di
Pulau Batam yaitu antara Otorita Batam yang dibentuk melalu Keputusan
Presiden Nomor 25 Tahun 2005 dan Pemerintah Daerah melalui Undang-Undang
Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Batam dan Kedudukan Otorita
Batam dalam Pembangunan Batam ditambah dengan berlakunya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Menambah panjang
permasalahan pertanahan yang ada di Pulau Batam.

27
4.2. SARAN

Kota Batam atau yang kita kenal Pulau Batam adalah daerah Industrilisasi
yang perbatasan langsung dengan Negara Singapur yang memiliki potensi
pengembangan perdagangan dan pelabuhan yang sangat pesat melalui
Industralisasi didaerahnya. Namun hal itu juga sering menjadi permasalahan jika
hal itu diatur dan diurus dua pemerintahan didalamnya yaitu Otorita Batam (BP)
dan Pemerintah Kota Batam, terutama pada masalah tanah yang terjadi
didalamnya. Hal ini yang harus cepat diselesaikan oleh Pemerintah Pusat alias
Perkerjaan Rumah agar entarnya tidak menimbulkan problem yang akan timbul
jika harus ditunda-tunda.
Letak yang strategis dan perbatasan langsung dengan Negara Tetangga
melirik beberapa pengusaha dalam melakukan penanaman modal ke Daerah Pulau
Batam, tetapi jika hal yang diharapkan pengusahan alias pemilik modal mendapat
kendala terutama masalah tanah. Bisa-bisa mereka memikir ulang dalam
melakukan penanaman modal dalam pembukaan usaha di daerah tersebut.
Oleh karena itu peran aktif dan saling kordinasi dan berbagi informasi kepublik
yang harus dilakukan pemerintah sangatlah penting dalam permasalahan yang
terjadi jika harus menyangkut tentang pertanahan dalam mengembangkan dan
memajukan Pulau Batam sebagai sentral Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas.’

28
DAFTAR PUSTAKA
1. Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta :Kencana,
2010
2. Muchsin dan Imam Koeswahyono, Aspek Kebijaksanaan Hukum
Penatagunaan Tanah dan Penataan Ruangan,Jakarta : Sinar Grafik,2008
3. Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada
Media, 2005
4. Urip Santoso, Pengaturan Hak Pengelolaan, Yogyakarta : Jurnal Media
Hukum Fakultas Hukum UMY, 2008
5. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak-Hak Atas Tanah, Jakarta :
Kencana, 2008
6. Hambali Thalib, Sangsi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan,Jakarta:
Kencana, 2009

10. http://gambiri67.wordpress.com/2009/03/14/bpk-dan-hak-pengelolaan-otorita-
batam

29
LAMPIRAN
PERATURAN-PERATURAN
1. Peraturan Pemerintah tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, PP No. 41 Tahun 1996
2. Pemerintah Kota Batam, Profil Batam Madani 2004 (Batam: Pemerintah Kota
Batam, 2004)
3. Amirudin A.T, Kepala Dinas Pertanahan Pemkot Batam. , Profil Batam
Madani 2004 (Batam: Pemerintah Kota Batam, 2004)
4. Indonesia, Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan sudah direvisi menjadi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah daerah
5. Kementerian Dalam Negeri, Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang
Pengolahan dan Penggunaan Tanah di Daerah Industri Pulau Batam ,
Kemendagri Nomor 43 Tahun 1977

6. Indonesia, Keputusan Presiden tentang Penambahan Wilayah Lingkungan


Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha
Kawasan Berikat (Bonded Zone), Keppres No.28 Tahun 1992
7. Indonesia, Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999 tentang Pembentukan
kab.Pelalawan, Kab.Siak, Kab.Rohil, Kab.Rohul, Kab.Karimun, Kab.Natuna,
Kab.Kuantan Sengingi dan Kota Batam

30

Anda mungkin juga menyukai