Anda di halaman 1dari 42

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang masih

banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan perhatian (neglected

diseases). Penyakit yang termasuk dalam kelompok neglected diseases memang tidak

menyebabkan wabah yang muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak

korban, tetapi merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan

manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak dan pada

akhirnya dapat pula menyebabkan kematian (Sudomo, M. 2008).

Menurut Depkes RI (2008), penyakit kecacingan ini masih merupakan

problema kesehatan dan ekonomi yang utama pada masyarakat, pekerja maupun

individu. Diseluruh dunia diperkirakan masih banyak kasus penyakit kecacingan,

penyakit kecacingan yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides lebih dari 1 milyar

kasus, Trichuris trichiura sebanyak 795 juta kasus, dan cacing tambang

(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sebanyak 740. Distribusi

prevalensi kecacingan menurut jenis cacing di kabupaten terpilih di 27 provinsi tahun

2002-2008 menunjukan bahwa prevalensi kecacingan akibat infeksi cacing gelang

atau Ascaris lumbricoides tertinggi dibandingkan infeksi oleh cacing cambuk atau

Trichuris trichiura dan cacing tambang atau Necator americanus. Kecacingan masih

1
2

dianggap sebagai hal sepele oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal jika

dilihat dampak jangka panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian yang cukup

besar bagi penderita dan keluarganya. Kecacingan dapat menyebabkan anemia, lesu,

prestasi belajar menurun. Pengetahuan yang baik tentang suatu penyakit akan

mengurangi tingginya kejadian akan penyakit tersebut. Pengetahuan yang baik akan

mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. ( Singgih 2011).

Penyakit kecacingan atau biasa disebut cacingan masih dianggap sebagai hal

sepele oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal jika dilihat dampak jangka

panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi penderita

dan keluarganya. Kecacingan dapat menyebabkan anemia, lesu, prestasi belajar

menurun. (Wawolumaya C, 2001).

Kecacingan pada anak juga menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena

penyakit lainnya. Pada anak-anak sekolah kecacingan akan menghambat dalam mengikuti

pelajaran dikarenakan anak akan merasa cepat lelah, menurunnya daya konsentrasi, malas

belajar dan pusing (Wibowo, 2008).

Pengetahuan yang baik tentang suatu penyakit akan mengurangi tingginya

kejadian akan penyakit terebut. Pengetahuan yang baik akan mempengaruhi sikap dan

perilaku seseorang. (Notoatmodjo, 2007).

Di negara kaya dan maju, banyak penyakit parasit yang dapat diberantas.

Sebaliknya pada negara miskin dan terbelakang memperlihatkan prevalensi parasit

yang lebih tinggi. Dengan demikian, penyakit parasit sangat erat hubungannya
3

dengan kemiskinan dan rendahnya pengetahuan masyarakat. Mekanisme penularan

berkaitan dengan higienis dan sanitasi lingkungan yang buruk, aspek social ekonomi,

dan tingkat pengetahuan seseorang. ( Brefiani 2011). Dan menurut Aria Gusti (2004)

Kejadian infeksi kecacingan pada anak), berhubungan negatif signifikan dengan

perilaku sehat.

Di Indonesia, angka nasional prevalensi kecacingan pada tahun 1987 sebesar

78,6 % masih relatif cukup tinggi. Program pemberantasan penyakit kecacingan pada

anak yang dicanangkan tahun 1995 efektif menurunkan prevalensi kecacingan

menjadi 33,0 % pada tahun 2003. Angka prevalensi kecacingan pada tahun 2006

32,6%. (Depkes, 2006).

Berdasarkan data Dinkes Aceh pada tahun (2012), yang mendapatkan obat

cacing pada anak sekolah dilaksanakan di 5 kabupaten yang ada di Provinsi Aceh

yaitu Kota Banda Aceh 1.200 orang , Kabupaten Aceh Besar 443, Kabupaten Aceh

Barat 784, Kabupaten Nagan Raya 643 orang, Kabupaten Aceh Barat Daya 543 orang.

Data pasti kejadian infeksi cacing tambang di Provinsi Aceh tidak ditemukan

dalam profil kesehatan provinsi. Demikian pula data kejadian di Kabupaten Nagan

Raya. Penelusuran data ke Dinas Kesehatan Nagan Raya bahkan beberapa Puskesmas

di Kabupaten Nagan Raya tidak menemukan data kejadian infeksi kecacingan.

Beberapa data yang dapat dijadikan rujukan adalah data pemberian obat cacing di

beberapa puskesmas.

Berdasarkan informasi dari Puskesmas Kuala Pesisir yang baru di beroprasi


4

pada tahun 2014 diperoleh informasi bahwa penyuluhan mengenai kecacingan

sudah jarang dilakukan lagi, hal ini bisa menyebabkan angka kejadian

kecacingan meningkat lagi. Berdasarkan data yang diperoleh di Puskesmas Tadu

didapatkan bahwa pada bulan Mei 2014 terdapat 4 anak terjangkit kecacingan.

Berdasarkan masalah yang ada peneliti ingin mengetahui bagaimanakah

hubungan prilaku orang tua terhadap kejadian kecacingan pada SMP kelas I

terhadap penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah di SMP Negeri 5

Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya?

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana perilaku orang tua terhadap kejadian kecacingan pada SMP

kelas I terhadap penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah di SMP

Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya.

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui perilaku orang tua terhadap kejadian kecacingan pada

SMP kelas I terhadap penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah di

SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya .

1.3.1 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengetahuan orang tua terhadap kejadian kecacingan pada


5

SMP kelas I terhadap penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah

di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya.

2. Untuk mengetahui sikap orang tua terhadap kejadian kecacingan pada SMP

kelas I terhadap penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah di

SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya .

3. Untuk mengetahui tindakan orang tua terhadap kejadian kecacingan pada

SMP kelas I terhadap penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah

di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya .

1.4 Hipotesis

Adapun ketentuan yang dipakai pada uji statistik ini adalah:

a. Ho diterima, jika p value > 0,05, artinya tidak ada hubungan antara variabel

dependen dengan varibel indevenden

b. Ho ditolak, jika p value < 0,05, artinya ada hubungan antara variabel dependen

dengan varibel indevenden.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Penulis


Penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan, khususnya

tentang pengetahuan, sikap dan perilaku orang tua siswa SMP Negeri 5 Tadu

Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya tentang penyakit kecacingan yang

ditularkan melalui tanah.


6

1.5.2 Bagi tempat penelitian SMP Negeri 5 Tadu

Meningkatkan paran orang tua siswa SMP kelas I terhadap penyakit

kecacingan yang ditularkan melalui tanah di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan

Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya mengenai upaya pencegahan serta bahaya

akibat penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah. Serta sebagai sumber

informasi bagi orang tua siswa mengenai tingkat pengetahuan sikap dan perilaku

anak-anak mereka terhadap kecacingan yang ditularkan melalui tanah, sehingga

diharapkan dengan informasi ini orang tua siswa bisa turut serta dalam upaya

meningkatkan pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap kecacingan yang ditularkan

melalui tanah.

BAB II
7

TINJAUAN PUS TAKA

2.1. Penyakit Kecacingan

Menurut Crompton ( 2003), cacing usus yang menyebabkan masalah kesehatan

masyarakat di daerah tropic dengan keadaan sanitasi yang kurang memadai adalah

kelompok cacing yang disebut Soil Transmitted Helminthes. Disebut demikian

karena perkembangan mulai dari telur sampai menjadi bentuk infektif, terjadi di

tanah. Cacinga perut yang ditularkan melalui tanah, menurut cara infeksinya dibagi

menjadi:

a.Human Infection by Ingestion Ova, yakni yang terdiri dari Ascaris lumbricoides

(cacing gelang) dan Trichuris trichiura (cacing cambuk).

b.Human Infection by Penetration of Skin by Larva, yakni yang terdiri dari

Ancylostoma duodenale, Necator americanus (cacing tambang) dan

Strongyloides stercoralis (cacing benang).

Dari jenis-jenis cacing diatas, yang paling utama menyebabkan penyakit

cacing perut di Indonesia meliputi tiga jenis, yaitu a). Cacing Gelang (Ascaris

lumbricoides) b). Cacing Cambuk (Trichuris trichiura) c). Cacing Tambang

(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale).

2.1.1 Lingkaran Hidup Cacing Usus


8

1. Ascaris lumbricoides (Cacing Gelang)

Cacing dewasa hidup dalam rongga usus halus manusia. Cacing betinanya

mempunyai kemampuan mengeluarkan telur sebanyak 26 juta telur, dan

rata-rata sehari dikeluarkan 140.000 butir telur, yang terdiri dari telur

yang sudah dibuahi. (Herdiman TP, 2007). Telur-telur ini akan dikeluarkan

dari dalam usus manusia bersama-sama kotoran/tinja. Telur-telur yang

sudah dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih

3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan oleh manusia baik melalui

makanan atau minuman, menetas di usus halus menuju pembuluh darah atau

saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke

paru-paru. Sejak telur matang sampai cacing betina bertelur diperlukan

waktu kurang lebih 2 bulan. (Wawolumaya C.2001). Di daerah endemis

tinggi, dalam usus seseorang bisa terdapat 100 atau lebih cacing dewasa.

Jika cacing betina dibuahi oleh cacing jantan maka telur-telur ini akan

menjadi subur, yang akan keluar bersama tinja. Jika penderita

kecacingan ini tidak buang air besar di toilet melainkan di kebun-kebun atau

tempat-tempat yang terbuka maka telur cacing akan jatuh ke tanah bersama

tinja. Setelah 2-3 minggu di tanah, di dalam telur akan tumbuh larva yang

berbentuk cacing yang sangat kecil.jika telur yang infektif ini diterbangkan

angin bersama debu atau terbawa arus air atau terbawa oleh binatang seperti

tikus, lalat, kecoa, lalu mengenai makanan atau minuman, maka selanjutnya
9

akan ikut tertelan masuk ke dalam usus. (Wawolumaya C, 2001)

2. Trichuris trichiura

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan kira-kira 4

cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5

dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada

cacing betina bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar

dan terdapat satu spikulum. Trichiuris trichiura memiliki esophagus yang

panjang, mencakup 2/3 panjang badan, dikelilingi oleh dinding yang tipis,

kelenjar unicellular, atau stichocytes. Cacing dewasa ini hidup di kolon

asendens dan sekum dengan bagian anteriornya yang seperti cambuk masuk

ke dalam mukosa usus. Seekor cacing betina diperkirakan menghasilkan telur

setiap hari antara 3000 – 10.000 butir. Telur berukuran 50 – 54 mikron x 32

mikron, berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang

jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan

dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes

bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3 sampai 6

minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang lembab dan

tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan

bentuk infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan

telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk kedalam usus halus.

Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke
10

daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyain siklus paru.

Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina

meletakan telur kira-kira 30 – 90 hari. (WHO, 2011).

3. Necator americanus

Lingkaran hidup Necator americanus hampi sama dengan cacing gelang.

Bentuk dewasa juga berdiam di dalam usus halus dan yang betina

mengeluarkan 10.000 telur sehari. Telur inipun akan dikeluarkan bersama

tinja. Berbeda dengan telur cacing gelang, telur cacing tambang bila jatuh ke

tanah yang sesuai akan menetas dalam waktu 1-2 hari, tetapi pada tanah yang

kurang baik kadang-kadang telur tersebut baru menetas dalam waktu 3

minggu. (Notoatmodjo, 2007)

Larva ini akan menunggu manusia bila ada manusia yang berjalan tanpa alas

kaki atau memegang-megang tanah, maka larva akan menembus kulit kaki

atau kulit tangan dan masuk kedalam jaringan bawah kulit, kemudian memasuki

saluran limfe dan pembuluh rambut/kapiler. Dari kapiler mencari jalan

menembus ke jantung kanan, paru, tenggorokan, dibatukan dan tertelan ke

dalam lambung terus ke usus halus. Dalam usus halus ini larva tumbuh

menjadi cacing dewasa.(WHO, 2011).

2.1.2 Morfologi

Cacing dewasa berbentuk silindris dengan kepala membengkok tajam ke

belakang. Cacing jantan lebih kecil dari cacing dewasa. Spesies cacing tambang dapat
11

dibedakan terutama karena rongga mulutnya dan susunan rusuknya pada bursa.

Namun telur – telurnya tidak dapat dibedakan. Telur – telurnya berbentuk ovoid

dengan kulit yang jernih dan berukuran 74 –76 μ x 36 – 40 μ. Bila baru dikeluarkan

di dalam usus telurnya mengandung satu sel tapi bila dikeluarkan bersama tinja sudah

mengandung 4 – 8 sel, dan dalam beberapa jam tumbuh menjadi stadium morula dan

kemudian menjadi larva rabditiform (stadium pertama). (Gandahusada S, 2003).

2.1.3 Gejala Klinis dan Komplikasi Infeksi Cacing Usus

a. Ascaris lumbricoides (cacing gelang)

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan

larva. Gangguan pada larva biasanya terjadi pada saat berada di paru.

Selama bermigrasi larva dapat menimbulkan gej ala bila merusak kapiler atau

dinding alveolus paru. Keadaan tersebut akan menyebabkan terjadinya

perdarahan, penggumpalan sel leukosit dan eksudat, yang akan menghasilkan

konsolidasi paru dengan gejala panas, batuk, batuk darah, sesak nafas dan

pneumonitis askaris. Pada foto toraks tampak infiltrat yang mirip pneumonia

viral yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini disebut sindrom

loeffler. Larva cacing ini dapat menyebar dan menyerang organ lain seperti

otak, ginjal, mata, sumsum tulang belakang dan kulit. Dalam jumlah yang

sedikit cacing dewasa akan menimbulkan gejala. Kadang-kadang penderita

mengalami gej ala gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang,

diare atau konstipasi. Bila infestasi tersebut berat dapat menyebabkan cacing-
12

cacing ini menggumpal dalam usus sehingga terjadi obstruksi usus (ileus).

Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual,

nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi. Cacing dewasa dapat juga

menyebabkan gangguan nutrisi terutama pada anakanak. Pada infeksi berat,

terutama pada anak dapat terjadi malabsorbsi sehinga memperberat keadaan

malnutrisi. Cacing ini dapat mengadakan sumbatan pada saluran empedu,

saluran pankreas, divertikel dan usus buntu. Selain hal tersebut diatas, cacing

ini dapat juga menimbulkan gej ala alergik seperti urtikaria, gatal-gatal dan

eosinofilia. Cacing dewasa dapat keluar melalui mulut dengan perantara

batuk, muntah atau langsung keluar melalui hidung. (Herdiman TP, 2007).

b. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk)

Infeksi ringan cacing ini tidak menimbulkan gejala klinis yang jelas. Pada

infeksi yang berat terutama pada anak, cacing ini tersebar ke seluruh kolon

dan rektum. Terdapat keluhan nyeri di daerah perut, dapat disertai muntah-

muntah, susah buang air besar, dan perut kembung. Kadang-kadang diare

dengan tinja bergarisgaris merah darah. Bagian belakang atau ekor cacing ini

melekat erat pada dinding usus, sehingga menyebabkan perdarahan kronik

dan kerusakan selaput lender dinding usus.Penderita dengan infeksi cacing

cambuk menahun sangat berat menunjukan suatu gambaran klinis yang

khas yang terdiri dari anemia berat, diare yang terusmenerus, sakit perut,

mual dan muntah, berat badan turun, dan kadang-kadang pro laps recti dengan
13

cacing di dalam mukosa. .(WHO, 2011).

c. Necator americanus

1) Stadium larva

Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi

perubahan kulit yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya

ringan.

2) Stadium dewasa

Gejala tegantung pada (1) spesies dan jumlah cacing dan (2) keadaan

gizi penderita (Fe dan protein). Tiap cacing Necator americanus

menyebabkan kehilangan darah sebanyak 0,005 – 0,1 cc sehari.

Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang

menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kemaatian,

tetapi daya tahan berkurang dan prestasi kerja menurun. Anmenia

akan terjadi 10-20 minggu setelah infestasi cacing dan walaupun

diperlukan lebih dari 500 cacing dewasa untuk menimbulkan gejala

anemnia tersebut tentunya bergantung pula pada keadaan gizi pasien.

(Herdiman TP. 2007).

2.1.4 Respons Imun Terhadap Infeksi Cacing Tambang

Respon imun dari tubuh manusia sebagai host definitif tergantung dari

stadium cacing tambang yang menginfeksi.

a. Terhadap larva filariform


14

Saat menembus kulit, larva filariform melepaskan bagian luar kutikula dan

mensekresi berbagai enzim yang mempermudah migrasinya. Pada proses ini

banyak larva yang mati dan mengakibatkan pelepasan berbagai molekul

imunoreaktif oleh tubuh. Saat memasuki sirkulasi, terutama sirkulasi peparu,

larva filariform menghasilkan berbagai antigen yang bereaksi dengan system

imun peparu dan menyebabkan penembusan sejumlah kecil alveoli. Pada

infeksi zoonotik (melalui vektor), terjadi creeping eruption atau ground itch

akibat terperangkapnya larva dalam lapisan kulit, yang menyebabkan reaksi

hipersensitivitas tipe I (alergi). Jumlah larva yang masuk ke sirkulasi jauh

lebih banyak dari yang berdiam di kulit. Pada infeksi antropofilik (langsung

pada manusia) tidak terjadi kumpulan larva di kulit. (Loukas A, Prociv

P,2001). Antibodi humoral terhadap N. americanus hanya reaktif terhadap

lapisan dalam kutikula, hal ini menjelaskan mengenai minimnya reaksi kulit

terhadap parasit ini. Antibodi yang berperan ialah Imunoglobulin M (IgM),

IgG1 dan IgE. Yang paling spesifik ialah IgE yang bersifat cross reactive.

Diduga reaksi hipersensitivitas tipe II (antibody dependent cell mediated

cytotoxicity) juga berperan disini. (Hotez PJ, Broker S, Bethony JM, 2004).

Sistem kekebalan seluler pada infeksi cacing tambang terutama dilakukan

oleh eosinofil. Hal ini dicerminkan oleh tingginya kadar eosinofil darah tepi.

Eosinofil melepaskan superoksida yang dapat membunuh larva filariform.

Jumlah eosinofil makin meningkat saat larva berkembang menjadi bentuk


15

dewasa (cacing) di saluran cerna. Sistem komplemen berperan dalam

perlekatan larva pada eosinofil.29) Bukti-bukti penelitian menunjukkan

bahwa eosinofil lebih berperan dalam membunuh larva filariform, bukan

terhadap bentuk dewasa. Interleukin-5 (IL-5) yang berperan dalam

pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil meningkat pada infeksi larva yang

diinokulasikan pada tikus percobaan. Pada manusia hal tersebut belum

terbukti. (Loukas A, Prociv P,2001).

b. Respons terhadap infeksi cacing tambang dewasa

Respons humoral dilakukan oleh IgG1, IgG4 dan IgE, yang dikontrol oleh

pelepasan sitokin pengatur sel Th2. Sitokin yang utama, ialah IL-4. Pada

percobaan, setelah 1 tahun pemberian terapi terhadap infeksi N. americanus,

didapatkan bahwa kadar IgG terus menurun sementara kadar IgM dapat

meningkat kembali meskipun tidak setinggi seperti sebelum dilakukan terapi.

Di sini kadar IgE hanya menurun sedikit, sedangkan kadar IgA dan IgD

meningkat setelah 2 tahun pasca terapi. Para pakar menyimpulkan bahwa

dibutuhkan lebih sedikit paparan antigen untuk meningkatkan IgE, IgA dan

IgD dibandingkan untuk meningkatkan IgG dan IgM. Selain itu disimpulkan

bahwa kadar IgG dan IgM merupakan indikator terbaik untuk infeksi cacing

tambang dewasa dan untuk menilai efikasi pengobatan. Hanya sedikit bukti

yang menyatakan bahwa kadar antibodi berhubungan dengan imunoproteksi

terhadap infeksi cacing tambang dewasa.3) Sitokin perangsang sel T helper 2


16

(Th2), yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13 yang merangsang sintesis IgE, merupakan

sitokin yang predominan, sedangkan sitokin perangsang sel Th1 seperti

interferon yang menghambat produksi IgE, lebih sedikit ditemukan. Para

peneliti membuktikan bahwa IgE lebih sensitif untuk menentukan adanya

infeksi baik infeksi larva maupun cacing tambang dewasa, sedangkan IgG4

lebih spesifik sebagai marker infeksi cacing dewasa N. americanus. Pada

infeksi A. caninum, ternyata IgE lebih spesifik dibandingkan IgG4. Peran

IgG4 belum diketahui sepenuhnya. Kemungkinan IgG4 berperan menghambat

respons imun dengan inhibisi kompetitif terhadap mekanisme kekebalan

tubuh yang dimediasi oleg IgE, misalnya aktivasi sel mast. Imunoglobulin G4

tidak mengikat komplemen dan hanya mengikat reseptor Fc-g secara lemah.

Pada infeksi cacing tambang didapatkan fenomena pembentukan autoantibody

IgG terhadap IgE.3 Respons imun seluler terhadap infeksi cacing tambang

dewasa adalah terutama oleh adanya respons sel Th2 yang mengatur produksi

IgE dan menyebabkan eosinofilia. Terjadinya eosinofilia dimulai segera

setelah L3 menembus kulit dengan puncak pada hari ke 38 sampai hari ke 64

setelah infeksi. (MacDonald AS, 2002).

c. Bentuk larva hipobiosis

Pada infeksi A. duodenale dapat terjadi bentuk hipobiosis di mana terjadi

penghentian pertumbuhan larva pada jaringan otot. Pada waktu tertentu,

misalnya saat mulai bersinarnya bulan ini, merupakan saat yang optimal untuk
17

pelepasan larva A. doudenale. Penyebab fenomena tersebut tidak diketahui.

Pada bentuk hipobiosis pelepasan telur cacing melalui feses baru terjadi 40

minggu setelah masuknya larva A. duodenale melalui kulit. Fenomena ini juga

terjadi pada infeksi A. caninum pada anjing. Bukti-bukti menunjukkan bahwa

aktivasi bentuk hipobiosis pada akhir kehamilan yang berakhir dengan

penularan transmamaria/transplasental dari A. duodenale.19) Proteksi sistem

imun terhadap infeksi cacing tambang, tidak terdapat bukti yang jelas

mengenai proteksi imunologis tubuh terhadap infeksi cacing tambang.

Beberapa penelitian di Papua New Guinea menunjukkan bahwa penderita

yang memiliki titer IgE lebih tinggi, lebih jarang mengalami reinfeksi N.

americanus. (Mac Donald AS, 2002).

2.1.5 Faktor-faktor yang Dapat Menyebabkan Endemi Cacing Usus

a. Faktor Alam

1) Iklim atau suhu, iklim tropic sangat menunjang pertumbuhan telur dan

larva.

2) Tanah, tanah liat merupakan tanah yang sesuai untuk pertumbuhan

cacing gelang dan cacing cambuk, sedangakan tanah pasir untuk cacing

tambang.

3) Kelembaban, kelembaban yang tinggi menunjang pertumbuhan telur.

4) Sinar matahari dan angin, dapat mempercepat pengeringan dan

menyebarkan telur cacing cambuk dalam debu. ( WHO, 2011).


18

b. Faktor Manusia

Pembuangan tinja di halaman sekitar rumah akan memungkinkan telur dan

larva berkembang terus menjadi bentuk infektif. Terlebih lagi bila ada

anakanak yang membuang air besar di selokan yang terbuka. Kebiasaan

yang tidak menggunakan alas kaki merupakan faktor utama pada infeksi cacing

tambang. Kulit kaki yang tidak terlindung akan dimasuki larva-larva yang

infektif. Kebiasaan yang dapat menyebarkan cacing usus adalah pemakaian

tinja sebagai pupuk tanpa diolah terlebih dahulu, sehingga seseorang yang

makan sayuran yang tidak direbus akan terkena infeksi cacing perut. Didaerah

dengan keadaan sanitasi yang tidak memadai, manusia, khusus anak,

berdefekasi di sekitar rumah, di kebaun, dibawah pohon yang teduh, di

selokan, di comberan, dan di kali. Main-main di halaman akan menyebabkan

anak terinfeksi telur atau larva. Tangan kotor dengan tanah masuk mulut anak.

Makanan atau mainan yang dibawa anak bermain di halaman sekitar rumah

merupakan sumber infeksi yang penting. Pencemaran tanah oleh telur

cacing gelang di halaman rumah terbanyak ditemukan di sekitar umpukan

sampah (55%) dan di tempat teduh di bawah pohon (33,3%). Pinggiran

selokan juga dianggap tempat enak untuk membuang hajat besar (22,5%)

dan (17,2%) dari sejumlah pemeriksaan tanah ditemukan positif dengan

telur cacing gelang. Kebiasaan memotong kuku panjang dan bila makan

tidak mencuci tangan terlebih dahulu, merupakan kebiasaan yang mendukung


19

seseorang mudah terkena infeksi cacing usus. WHO, 2011).

c. Cara Mencegah dan Memberantas Infeksi Cacing Usus menurut WHO

(2011), prinsip dari pemberantasan penyakit menular adalah memutuskan

rantai penularan dari prinsip ini berlaku juga pemberantasan infeksi cacing

usus, pemutusan rantai penularan pada infeksi cacing usus pada dasarnya

adalah mencegah telur infektif atau larfa infektif memasuki tubuh manusia.

Pemutusan rantai penularan dilakukan dengan jalan a). Menjaga kebersihan

perorangan/diri, seperti mencuci tangan sebelum makan (sebaiknya

memakai sabun), menggunting dan membersihkan kuku, memakai alas

kaki bila keluar rumah, mandi dan membersihkan badan paling sedikit 2

kali sehari. b). Menjaga kebersihan lingkungan, seperti membuang air besar

di jamban agar tidak mngotori tanah dan lingkungan, jangan membuang

sampah sembarangan, membersihkan selokan air secara teratur-

Memberantas binatang yang dapat menyebarkan telur cacing, menjaga

kebersihan rumah. c). Menjaga Kebersihan Makanan dan Minuman, seperti

menutup makanan dan minuman agar tidak dihinggapi lalat dan terkena

debu,jangan minum air yang tidak dimasak terlebih dahulu, mencuci buah-

buahan dengan air bersih sebelum dimakan, bila makan sayuran

sebaiknya direbus lebih dahulu.

2.2. Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007), perilaku kesehatan adalah suatu respon


20

seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit

dan penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta

lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga

kelompok yaitu 1). Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health maintance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau

menjaga kesahatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.

2). Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau

sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). Perilaku ini

adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan

atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri (self

treatment) atau mencari pengobatan ke luar negri. 3). Perilaku kesehatan lingkungan

adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun

lingkungan sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak

mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang

mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga

atau masyarakatnya.

2.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang

melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
21

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian

dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seeorang

makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi. Dengan pendidikan

tinggi maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari

orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak informasi yang masuk

semakin banyak pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan

sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan

seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas

pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa seorang yang

berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan rendah pula.

Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di pendidikan formal, akan

tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan non formal. Pengetahuan seseorang

tentang sesat obyek juga mengandung duaaspek yaitu aspek positif dan negatif.
6
Kedua aspek inilah yang akhirnya akan menentukan sikap seseorang terhadap

obyek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari obyek yang diketahui, akan

menumbuhkan sikap makin positif terhadap obyek tersebut .

b. Informasi

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga


22

menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi

akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi

pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi,

berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan

lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan

kepercayan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya,

media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat

mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu

hal memberikan landasan kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan

terhadap hal tersebut.

c. Sosial Budaya dan Ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan

bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi

seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan

untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan mempengaruhi

pengetahuan seseorang.

d. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap

proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam


23

lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun

tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

e. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali

pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi

masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan memberikan

pengetahuan dan keterampilan professional serta pengalaman belajar selama

bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil keputusan yang

merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang

bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.

f. Usia

Usia mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola

pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada

usia madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan

sosial serta lebih banyak melakukan persiapan demi suksesnya upaya

menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia madya akan lebih

banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca. (Notoatmodjo. 2007).

2.2.2. Sikap

Menurut Notoatmodjo (2007), indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan


24

dengan pengetahuan kesehatan, antara lain:

a.Sikap terhadap sakit dan penyakit adalah bagaimana penilaian atau pendapat

seseorang tehadap gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit,

cara penularan penyakit dan sebagainya.

b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat adalah penilaian atau pendapat

seseorang terhadap caracara memelihara dan cara-cara (berperilaku) hidup sehat.

Dengan perkataan lain pendapat atau penilaian terhadap makanan, minuman,

olahraga, istirahat cukup dan sebagainya.

c.Sikap terhadap kesehatan lingkungan adalah pendapat atau penilaian seseorang

terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Misalnya pendapat

atau penilaian terhadap air bersih, pembuangan limbah, polusi dan sebagainya.

2.2.3. Tindakan (Practice)

Setelah seseorang mengetahui situmulus atau objek kesehatan kemudian

mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya

diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan apa yang dikatahui atau di

sikapinya. Indikator tindakan kesehatan mencakup :

a. Tindakan sehubungan dengan penyakit yaitu pencegahan penyakit,

mengimunisasi anak, melakukan pengurasan bak mandi seminggu sekali,

mengunakan masker waktu bekerja di tempat yang berdebu, penyembuhan

penyakit seperti minum obat sesuai dengan petunjuk dokter, berobat

kefasilitas pelayanan kesehatan yang tepat.


25

b. Tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mencakup antara lain

mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, melakukan olahraga

secara teratur, tidak merokok, tidak minum minumam keras dan narkoba.

c. Tindakan kesehatan lingkungan mencakup antara lain membuang air besar

di jamban (WC), membuang sampah di tempat sampah, mengunakan air

bersih untuk madi, cuci,masak. Notoatmodjo, 2007).

2.3 Kerangka Teori

Menurut WHO, (2011)


Agent
 Telur
 Larva
 Cacing dewasa
Environment
 Lingkungan di dalam rumah
 Lingkungan dalam rumah
 Lingkungan sekitar rumah
 Program kesehatan setempat
Kecacingan
Notoatmodjo, (2007)
 Pengetahuan
 Sikap
 Tindakan
 Usia
 Jenis Kelmin
 Pendidikan
 Informasi
 Sosial ekonomi

Gambar 2.1. Krangka Teori Menurut WHO, (2011) dan Notoatmodjo, (2007).
26

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep ini terdiri dari variabel independent dan variabel dependent.

variabel independentnya pengetahuan, sikap tindakan dan dependentnya penyakit

kecacingan berdasarkan WHO, (2011) dan Notoadmojo, (2007). Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat dalam kerangka konsep berikut ini.

Variabel Independen Variabel Dependen

Perilaku Orang Tua


- Pengetahuan Penyakit Kecacingan
- Sikap
- Tindakan

Gambar 2.2. Krangka Konsep


27

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survai dengan jenis penelitian studi analitik,

dengan pendekatan Cross sectional Survey. untuk mengetahui hubungan prilaku

orang tua terhadap kejadian kecacingan pada SMP kelas I terhadap penyakit

kecacingan yang ditularkan melalui tanah di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu

Raya Kebupaten Nagan Raya

3.2 Lakasi dan Waktu Penelitian.

Lokasi penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya

Kebupaten Nagan Raya pada bulan Januari 2015.

3.3 Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Populasi penelitian ini adalah keseluruhan orang tua siswa

Kelas I SMP Negeri 5 Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya dengan jumlah

38 Siswa.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan

27
25
28

dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Sampel penelitian ini

adalah semua orang tua siswa kelas I SMP Negeri 5 Kecamatan Tadu Raya

Kebupaten Nagan Raya sebanyak 38 siswa.

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Data Primer

Data primer data yang dikumpulkan berdasarkan hasil wawancara

menggunakan kuesioner terstruktur berupa informasi variabel-variabel

bebas pada penelitian ini.

3.4.2 Data Skunder

Data sekunder data pendukung dari Dinas Kesehatan Kabupaten Nagan Raya,

Puskesmas Tadu dan Dinas Pendidikan dan SMP Negeri 5 Tadu Raya. Dalam

penelitian ini data sekunder berupa data jumlah Siswa SMP Negeri 5 Tadu, serta

data tentang gambaran umum wilayah penelitian serta data lain yang berguna

untuk mendukung pembahasan data primer.

3.5 Definisi Oprasioanal


Tabel 3.1. Definisi Oprasional
N Variabel Definisi Orasional Cara Ukur Alat Hasil Ukur Skala
o Ukur Ukur
Variabel Dependen
1 Penyakit Penyakit cacing adalah Wawancara Kuesioner 1.Pernah > Ordinal
kecacingan cacing tersebar ke seluruh 50%
kolon dan rektum. 2.Tidak Pernah
Terdapat keluhan nyeri di < 50 %
daerah perut, dapat
disertai muntah-muntah,
susah buang air besar,
dan perut kembung.
29

Variabel Indevenden
2 Perilaku Orang Tua
a Pengetahuan Hal-hal yang diketahui Wawancara Kuesioner 1.Baik, > 50% Ordinal
responden berkaitan 2.Kurang, <50
. dengan penyakit %
kecacingan yang
ditularkan melalui tanah.
b Sikap Sikap adalah merupakan Wawancara Kuesioner 1. Positif, > Ordinal
reaksi atau respon 50%
. responden yang masih 2. Negatif , <
tertutup terhadap suatu 50%
stimulus atau objek
c TIndakan Tindakan adalah Wawancara Kusioner 1. Positif > Ordinal
tanggapan atau reaksi 50%
. responden yang terwujud 2.Negatif
dalam gerakan (sikap), <50 %
tidak hanya badan atau
ucapan

3.6 Aspek Pengukuran

1. Jika pertanyaan yang dijawab responden ya / benar maka diberi nilai skor 1

2. Jika pertanyaan yang dijawab tidak / salah diberi nilai skor 0 . (Arikunto,

1998).

3.7 Teknik Analisa Data

3.7.1 Pengolahan Data

Proses pengolahan data dilakukan setelah data terkumpul dari lapangan.

Sebelum melakukan proses Entry Data, terlebih dahulu dilakukan proses:

1. Editing yaitu data-data yang sudah terkumpul dilakukan pengeditan

sehingga apabila data tersebut belum lengkap dapat segara dilakukan

pelengkapan data di lapangan.

2. Cleaning yaitu data yang sudah terkumpul dilakukan pembersihan data


30

untuk menghindari banyaknya data-data yang sekiranya tidak diperlukan (data

sampah).

3. Coding yaitu data yang sudah dibersihkan kemudian diberikan koding untuk

memudahkan pengentri data dalam memasukkan data ke komputer.

4. Scoring yaitu pemberian skor pada item-item pertanyaan yang sekiranya

memerlukan penskoran.

5. Entry Data yaitu memasukkan data-data yang sudah terkumpul dan siap untuk

diolah ke dalam program komputer. Selanjutnya data dianalisis secara deskriptif

maupun analitik.

3.8 Analisis Data

3.8.1. Analisis Univariat

Menganalisis variabel-variabel karakteristik individu yang ada secara

deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsinya untuk

mengetahui karakteristik dari subyek penelitian.

3.8.2. Analisis Bivariat

Analisis yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara variabel

independen dan dependen mengunakan chi-square tingkat kemaknaan 95 % (α=0,05),

dengan rumus sebagai berikut:

(fo-fe)²
X² =∑
fe
Dimana : X² : Nilai chi-square
31

∑ : Jumlah

fo : Frekuensi harapan

fe : Frekuensi pengamatan

Menurut Sastroasmoro dan Ismal, (2011).Yang dimaksud dengan risiko relatif

pada Cross Sectonal adalah perbandianagan antara prevalens penyakit (efek) pada

kelompok dengan resiko, dengan prevalens efek pada kelompok tampa risiko. Rasio

prevalens dapat dihitung dengan mengunakan rumus sebagai berikut :

RP = a/(a+b) : c/(c+d)

a/(a+b) = Proporsi (prevalens) Subyek yang mempunyai faktor risiko yang

mengalami efek

c/(c+d) = Proporsi (prevalens) subjek tanpa foktor risiko yang mengalami efek

Interpretasi hasil rasio prvalens sebagai berikut:

a. Bila rasio prevalens (RP) = 1 berarti variabel yang diduga sebagai faktor resiko

dalam terjadinya efek atau dikatakan bersifat netral.

b. Bila rasio prevalens (RP) >1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup 1,

berarti variabel tersebut merupakan faktor risiko.

c. Bila rasio prevalens (RP) <1 dan rentang interval kepercayaan tidak mencakup 1,

berarti variabel tersebut merupakan faktor protektif.

d. Bila nilai interval kepercayaan rasio prevalens mencakup angka 1, maka berarti

pada populasi yang diwakili oleh sampel tersebut masih mungkin nilai

prvalensnya = 1, ini berarti bahwa dari data yang ada belum dapat disimpulkan
32

bahwa faktor yang dikaji benar-benar merupakan faktor risiko atau faktor protetif.

BAB IV
33

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

SMP Negeri 5 Tadu terletak di Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya

dengan batas lokasi sebagai berikut

a. Sebelah utara berbatasan dengan jalan desa

b. Sebelah selatan berbatasan dengan perkebunan

c. Sebelah barat berbatasan dengan pemukiman penduduk

d. Sebelah timur berbatasan dengan pemukiman penduduk

SMP Negeri 5 Tadu Raya memiliki 21 orang guru, sejak SMP negeri 5 di buka

7 kelas yaitu kelas I dua kelas, kelas II tiga kelas kelas III dua kelas, adapun jumlah

murid yang di bersekolah di SMP negeri 5 Tadu Raya merupakan masyarakat yang

ada di sekitar kecamatan Tadu Raya.

4.2 Univariat

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi responden berdasarkan menderita cacingan di


SMP Negeri 5 Tadu Raya Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Aceh
Barat Tahun 2014.

No Cacingan f %
1 Tidak pernah 29 76,3

2 Pernah 9 23,7
Jumlah 38 100

Berdarkan tabel 4.1 murid di SMP negeri 5 Tadu Raya Kecamatan Tadu Raya
34
Kabupaten Nagan Raya yang tidak pernah menderita kecacingan 29 siswa (76,3%)
34

dan yang pernah menderita cacingan 9 siswa (23,7%).

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi responden berdasarkan pengetahuan orang tua


siswa SMP Negeri 5 Tadu Raya Kecamatan Tadu Raya Kabupaten
Aceh Barat Tahun 2014.

No Pengetahuan f %
1 Baik 16 42,1

2 Kurang 22 57,9
Jumlah 38 100

Berdarkan tabel 4.2 pengetahuan orang tua siswa SMP negeri 5 Tadu Raya

Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya terhadap kecacingan yang

berpengatuan biak 16 responden (42,1%) dan yang berpengetahuan kuarang 22

responden (57,9%).

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi responden berdasarkan sikap siswa SMP Negeri 5
Tadu Raya Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Aceh barat Tahun
2014.

No Sikap f %
1 Negatif 12 31,6

2 Positif 26 68,4

Jumlah 38 100

Berdarkan tabel 4.3 sikap orang tua siswa SMP Negeri 5 Tadu Raya

Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya terhadap kecacingan yang negatif 12

Responden (31,6%) dan yang mempunyai sikap positif 26 responden (68,4%).

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi responden berdasarkan tindakan siswa SMP


Negeri 5 Tadu Raya Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Aceh barat
35

Tahun 2014.

No Tindakan f %
1 Negatif 15 29,5

2 Positif 23 60,5
Jumlah 38 100

Berdarkan tabel 4.5 tindakan orang tua siswa SMP Negeri 5 Tadu Raya

Kecamatan Tadu Raya Kabupaten Nagan Raya terhadap kecacingan yang negatif 15

responden (29,5%) dan yang mempunyai sikap positif 23 responden (60,5%).

4.3 Bivariat

4.3.1 Hubungan Pengetahuan orang tua siswa terhadap kejadian penyakit


kecacingan yang ditularkan melalui tanah

Hubungan pengetahuan terhadap kejadian penyakit kecacingan yang di

tularkan melalui tanah menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara

pengetahuan orang tua dengan kejadian penyakit kecacingan dengan nilai chi-square

( X² ) 8,223 dan nilai p sebesar 0,004 (p>0,005) dengan RP 6,517 (1,013-41,927).

Tabel 4.7 Hubungan pengetahuan orang tua terhadap kejadian penyakit kecacingan yang
ditularkan melalui tanah di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan
Raya tahun 2014
Pengetahuan
Kurang Baik RP (95%CI)
Cacingan Jumlah X² p
n % n % n %
36

Tidak Pernah 8 27,6 21 72,4 29 100


Pernah 8 88,9 1 11,1 9 100 8,223 0,004 6,517
(1,013 - 41,927)

4.3.2 Hubungan sikap terhadap kejadian penyakit kecacingan yang ditularkan


melalui tanah

Hubungan sikap terhadap kejadian penyakit kecacingan yang di tularkan

melalui tanah menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan

kejadian penyakit kecacingan dengan nilai chi-square ( X² ) 9,016 dan nilai p sebesar

0,003 (p>0,005) dengan RP 3,724 (1,085-12,786).

Tabel 4.8 Hubungan sikap terhadap kejadian penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah di
SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya tahun 2014
Sikap
Negatif Positif RP (95%CI)
Cacingan Jumlah X² p
n % n % n %

Tidak Pernah 5 17,2 24 82,8 29 100 3,724


9,016 0,003 (1,085 - 12,786)
Pernah 7 77,8 2 22,2 9 100

4.3.3 Hubungan tindakan terhadap kejadian penyakit kecacingan yang


ditularkan melalui tanah

Hubungan tindakan terhadap kejadian penyakit kecacingan yang di tularkan

melalui tanah menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tindakan

dengan kejadian penyakit kecacingan dengan nilai chi-square ( X² ) 2,311 dan nilai p

sebesar 0,128 (p<0,005) dengan RP 2,069 (0,796-5,380).

Tabel 4.9 Hubungan tindakan orang tua terhadap kejadian penyakit kecacingan yang
ditularkan melalui tanah di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya Kebupaten
Nagan Raya tahun 2014
37

Sikap
Negatif Positif RP (95%CI)
Cacingan Jumlah X² p
n % n % n %

Tidak Pernah 9 31,0 20 69,0 29 100 2,069


2,311 0,128 (0,796 - 5,380)
Pernah 6 66,7 3 33,3 9 100

4.4 Pembahasan

4.4.1 Hubungan pengetahuan orang tua siswa terhadap kejadian penyakit


kecacingan yang ditularkan melalui tanah di SMP Negeri 5 Tadu
Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya

Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui oleh manusia atau

kepandaian dari manusia dan segala sesuatu yang ada dalam pikiran seseorang untuk

mengenal dan mengetahui berbagai hal. Hasil analisis univariat diperoleh bahwa

kebanyakan siswa memiliki pengetahuan kurang (75,9%). Hal ini mengindikasikan

bahwa informasi yang diterima masih kurang atau kurangnya minat siswa untuk

meningkatkan pengetahuannya. (Depkes. 2008).

Dari hasil bivariat dengan mengunakan uji Chi-Squere didapatkan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan penyakit kecacingan

dengan (p=0,004). Hasil ini berarti bahwa semakin baik pengetahuan seseorang

tentang kesehatan terutama penyakit kecacingan maka semakin tinggi keinginan

seseorang untuk hidup sehat hal ini juga dibuktikan dengan RP 6,517 (CI 1,013 -

41,927) ini menunjukan semakin baik pengetahuan orang tua siswa terhadap penyakit

kecacingan maka dapat terhindar dari penyakit cacingan sebesar (1,013-41,927) kali

dari pada berpengetahun kurang.


38

4.4.2 Hubungan sikap orang tua terhadap kejadian penyakit kecacingan yang
ditularkan melalui tanah di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kebupaten Nagan Raya

Sikap adalah kecendrungan untuk merespon secara positif meaupun secara

negatif terhadap objek, manusia ataupun situasi. Sikap adalah cara menempatkan

atau membawa diri, atau cara merasakan, jalan pikiran dan perilaku. Sikap adalah

kondisi mental yang kompleks yang melibatkan keyakinan dan perasaan, serta

disposisi untuk bertindak dengan cara tertentu (Wawan, 2010). Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa sikap orang tua siswa SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya

Kebupaten Nagan Raya menunjukan mayoritas memiliki sikap yang positif (68,4%)

terhadap penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah.

Hasil analisis bivariat dengan mengunakan uji Chi-Square didapatkan bahwa

sikap terdapat hubungan dengan signifikan terhadap penyakit kecacingan melalui

tanah (p=0,003). Hasil ini mengambarkan bahwa semakin positif sikap orang tua

siswa terhdap penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah semakin terhindar

siswa dari penyakit kecacingan hal ini dibuktikan juga RP 3,724 (CI 1,085-12786)

kali kemungkinan seseorang terhindar dari penyakit kecacingan yang ditularkan

melalui tanah.

4.4.3 Hubungan tindakan terhadap kejadian penyakit kecacingan yang


ditularkan melalui tanah di SMP Negeri 5 Tadu Kecamatan Tadu Raya
Kebupaten Nagan Raya

Tindakan adalah setelah seseorang mengetahui situmulus atau objek

kesehatan kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang


39

diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktekkan

apa yang dikatahui atau di sikapinya. Indikator tindakan kesehatan mencakup

tindakan sehubungan dengan penyakit yaitu pencegahan penyakit, mengimunisasi

anak, melakukan pengurasan bak mandi seminggu sekali, mengunakan masker waktu

bekerja di tempat yang berdebu, penyembuhan penyakit seperti minum obat sesuai

dengan petunjuk dokter, berobat kefasilitas pelayanan kesehatan yang tepat, tindakan

pemeliharaan dan peningkatan kesehatan mencakup antara lain mengkonsumsi

makanan dengan gizi seimbang, melakukan olahraga secara teratur, tidak merokok,

tidak minum minumam keras dan narkoba. Tindakan kesehatan lingkungan mencakup

antara lain membuang air besar di jamban (WC), membuang sampah di tempat

sampah, mengunakan air bersih untuk madi, cuci,masak. Notoatmodjo, 2007). Hasil

penelitian ini menunjukan bahwa tindakan orang tua siswa SMP Negeri 5 Tadu

Kecamatan Tadu Raya Kebupaten Nagan Raya menunjukan mayoritas orang tua

siswa memiliki tindakan yang positif (60,5%) terhadap penyakit kecacingan yang

ditularkan melalui tanah.

Hasil analisis bivariat dengan mengunakan uji Chi-Square didapatkan bahwa

tindakan tidak terdapat hubungan terhadap penyakit kecacingan melalui tanah

(p=0,128). Hasil ini mengambarkan bahwa tindakan yang positif belum tentu dapat

terhindar dari penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah hal ini dibuktikan

RP 2,069 (CI 0,796-5,380) berarti tindak posif siswa terhadap penyakit kecacingan

belum menajamin siswa dapat terhindar dari penyakit kecacingan yang ditularkan
40

melaui tanah atau juga disebut faktor protiktif.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian penyakit

kecacingan dengan nilai chi-square ( X² ) 8,223 dan nilai p sebesar 0,004

(p>0,005) dengan RP 6,517 (1,013-41,927).


41

b. Ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan kejadian penyakit

kecacingan dengan nilai chi-square ( X² ) 9,016 dan nilai p sebesar 0,003

(p>0,005) dengan RP 3,724 (1,085-12,786).

c. Tidak ada hubungan yang bermakna antara tindakan dengan kejadian penyakit

kecacingan dengan nilai chi-square ( X² ) 2,311 dan nilai p sebesar 0,128

(p<0,005) dengan RP 2,069 (0,796-5,380).

d. Tidak ada hubungan yang bermakna antara dekungan keluarga dengan

kejadian penyakit kecacingan dengan nilai chi-square (X²) 6,344 dan nilai p

sebesar 0,012 (p<0,005) dengan RP 3,414 (0,989-11,789).

5.2 SARAN

a. Upaya peningkatan pendidikan kesehatan di masyarakat harus lebih

ditingktakan terutama mengenain penyakit kecacingan baik dari segi

frekuensi, materi ataupun metode yang diberikan melalui penyuluhan

kesehatan, agar tingkat pengetahuan masyarakat lebih tinggi, sehingga orang


44
tua dapat berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit

kecacingan.

b. Para guru agar meningkatkan pemberian pemberian pendidikan kesehatan,

dalam hal ini pendidikan tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit

kecacingan serta lebih memperhatikan kebiasaan siswa sehari-hari ketika

berada di sekolah, seperti memperhatikan kebersihan tangan dan kuku siswa.


42

c. Di bentuk seperti suatu wadah perkumpulan dari para orang tua siswa di

sekolah terutama untuk para ibu agar dapat dengan mudah diberikan

penyuluhan mengenai pendidikan kesehatan dalam upaya meningkatkan

pengetahuan orangtua siswa mengeani kesehatan terutama pengetahuan

mengenai pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan dengan tujuan

agar ibu dapat memberikan informasi yang benar kepada anak (siswa).

Anda mungkin juga menyukai