Anda di halaman 1dari 24

FUNGSI DAN PERAN KELUARGA

Adrianus Nabung
Lecture and social researcher at Politeknik eLBajo Commodus, Labuan Bajo, Indonesia

“Jantung martabat manusia ada dalam keluarga .... Ibu kita adalah guru pertama dan
terutama, baru kemudian negara. Rumah kita adalah tempat tanaman bernama manusia
itu lahir. Orangtua kita adalah pekerja kebun yang menyirami tanaman ini dengan air kasih
sayang. Tidak ada sekolah paling baik bagi anak kecuali rumah dan keluarga”

(Rodriguez: 2009).

This article is aimed to supply comprehensive undertanding on one of very basic units of
social life, a family. In order to get good understanding about a family, sosial researchers state
that education and parents’ role play an important part. In this research, writer enhance this
perspective into two subjects. They are about functions and the roles of a family. Since the social
problems, (like criminals, violences and children sexual harrashment,etc.), increasing significantly
in the era of social media nowadays, so it needs involvement of many stakeholders
quintessentially. In such cases, there must be something wrong happened in our families today
due to their functions and roles. Thus, this paper tries to enhance more deeply discussion toward
a comprehensive awarness among parents. Parents should befriend to children as well as the
adults.
Key word: Family, functions, roles and social life.

Pengantar: Keluarga dan Pembentukan Kepribadian

Jati diri insani terpancar dalam cara pandang dan prilaku sosial individu dalam pertautan
sosial antar individu. Cara pandang bisa saja berbeda dari dua individu yang lahir dan besar dalam
satu keluarga yang sama. Demikian pula halnya dengan perilaku dan sikap sosialnya menghadapi
tantangan lingkungan pergaulannya. Keragaman dan kekhasan itulah yang membedakan
kepribadian orang satu terhadap yang lain. Dengan rekaman proses awali dalam keluarga plus
interaksi sosialnya dengan lingkungan pergaulannya dengan orang-orang lain di sekitarnya, maka
produk akhir bernama kepribadian itu bisa positif-konstruktif tapi bisa pula negatif-destruktif.
Sikap permisif dalam keluarga dan pengaruh lingkungan yang buruk akan cenderung
menghasilkan kepribadian yang menyimpang. Sebaliknya pengedepanan etika dan prinsip moral
yang tegas serta pengaruh lingkungan yang baik bisa dipastikan akan menghasilkan individu

1
berkepribadian baik dan positif. Di atas semua produk kepribadian itu, baik atau buruk,
ditenggarai oleh apa yang terjadi dan berlangsung dalam keluarga batihnya, yakni bahwa
keluargalah seyogyanya yang menjadi tempat atau benteng terakhir infiltrasi keras dari
lingkungan luar sekaligus ranah filterasi terhadap semua pengaruh-pengaruh itu. (bdk. Florence
Littauer, Personality Plus, (edisi terj. A.Adiwiyoto), Jakarta: Binarupa Aksara, 2016: 2-20).

Tentu tidak mudah untuk melakukan semua proses ini. Akan tetapi meletakkan kembali
peran keluarga sebagai pilar pokok pembentukan kepribadian akan jauh lebih mudah daripada
mengobati luka yang disebabkan oleh terabaikan dan terlantarnya hidup seorang anak manusia
lantaran keretakan dalam keluarga. Setiap manusia punya hak untuk hidup bersama, saling
mengasihi, melangsungkan keturunan, beriman, dan mendapatkan kehidupan yang pantas
sebagai manusia. Hal-hak ini menemukan ungkapan yang kodrati dan vital dalam keluarga. Carl
Gustav Jung, seorang psiko-analis terkemuka, mengatakan bahwa akar pembentukan
kepribadian paling kuat dibentuk dalam keluarga terutama pada masa kecil.

Proses perekaman nilai-nilai hidup begitu melekat dan mengikat selama tahun-tahun
pada periode awal pertumbuhan fisik dan perkembangan mental seseorang sedemikian rupa
sehingga outcome karakter dan output perilaku akan turut memberi pengaruh (impact) terhadap
cara hidup individu itu di kemudian hari. Proses etik dalam tumbuh kembang seorang anak tentu
mengarah pada suatu kemanfaatan (benefit) bagi orang lain di masa depannya.

Injeksi pengaruh awali orangtua terhadap anak mengkristal menjadi cara pandang anak.
Orangtua yang menanamkan sifat jujur dan bertanggung jawab adalah bagian penting dalam
proses menaburkan benih-benih moral yang menjadi dasar pembentukan karakter
kepemimpinan sang anak di masa depan. Cara pandang itulah potret dirinya. Potret diri yang
utuh akan terlihat dalam tindakan. Tindakan mengandaikan kesadaran. Kesadaran adalah
rekaman otomatis untuk menilai tindakan itu benar atau salah, baik atau buruk. Jika rekamannya
baik dan selalu mengutamakan kualitas jujur dan benar, maka tindakan akan cenderung positif
dan bermartabat. Akan tetapi, jika rekamannya kabur, tindakannya menjadi kacau dan plin-plan.
Apabila rekamannya buruk, tindakan akan negatif dan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Setting keluarga harmonis akan membentuk pribadi sosial anak yang menghargai nilai-nilai
kesetaraan, penghargaan, dan hormat terhadap hak-hak orang lain. Relasi antarpribadi yang
2
mengedepankan kejujuran dalam keluarga membentuk pribadi yang merasa bersalah apabila
berbuat curang atau membohongi sesama.

Pada taraf kesadaran moral yang mewarisi prilaku hidup seseorang, peran keluarga
mengambil tempat yang besar. Lompatan kemajuan teknologi informasi dewasa ini tentu juga
turut mempengaruhi dan mengharuskan bergesernya paradigma mendidik anak dalam keluarga.
Karena itu orang tua membutuhkan suatu kepastian dan keyakinan bahwa ajaran dan didikannya
dalam keluarga meluas dari sekedar mengikuti tradisi cara duduk orang-orang tua terdahulu
(paham konservatif-tradisional) menuju paham baru yang lebih kompleks dalam warna dan
bentuk perilaku hidup anak oleh hadirnya era baru komunikasi sosial melalui media sosial yang
saat ini menjadi persoalan faktual yang hampir tidak bisa lagi dikendalikan (paham digital-
millenial) yang dalam banyak hal jauh berbeda dari masa lalu atau era orang-orang tua kelahiran
abad ke-20. Hal ini bisa disimak dari ragam informasi problem sosial yang timbul akibat
penyalahgunaan media on-line (cyber-crime).

Akhir-akhir ini negeri kita dihantam erosi ketidakjujuran dimulai dari anak-anak kecil
hingga orang dewasa. Kekerasan meningkat. Oleh begitu mudahnya akses informasi on line
dewasa ini, maka lahirlah berbagai penyimpangan prilaku individu manusia. Maka modernisasi
digital sebagai produk revolusi industri teknologi informasi menghadirkan dirinya sebagai pedang
bermata dua dan pada saat yang sama melahirkan dualisme pemahaman soal pantas atau tidak
pantas, baik atau buruk dan benar atau salah. Hampir bisa dipastikan bahwa dengan
menjamurnya media sosial on line, maka setiap individu secara kasat mata bisa merekam, meniru
atau mndistorsi informasi apa saja yang muncul setiap detik. Itu sebabnya, bahkan berita hoax
pun bisa memicu perpecahan sosial dan memacu aksi-aksi kejahatan yang lebih canggih karena
sulit terkendali dalam jutaan informasi yang muncul hampir setiap detik dari seluruh penjuru
dunia ini.

Berita-berita dan isu-isu profokatif begitu mudah mengakses dan mengisi ruang-ruang
publik. Alhasil, media-media sosial cenderung menyulut perpecahan. Ketidakjujuran dalam
beragam bentuk seperti korupsi, penipuan, manipulasi, menjadi-jadi hingga titik ultim. Ada anak-
anak sekolah yang datang ke sekolah bukannya untuk mendapatkan pendidikan kognitif dan
vokasional dari guru, malah untuk beradu otot demi menjaga nama baik atau gengsi kelompok,
3
kompetisi antargeng yang berujung baku hantam dan tawuran. Kekerasan seksual terhadap
kaum perempuan dan anak-anak meningkat. Belum lagi munculnya kejahatan baru yang lebih
kompleks melalui rekayasa komunikasi media sosial, seperti kelompok pedophil yang setiap saat
bisa mengancam masa depan anak-anak bangsa; ada kelompok bisnis jual-beli ilegal organ-organ
tubuh dari anak-anak atas iming-iming uang ratusan juta hingga milyaran rupiah. Di sini tanggung
jawab sosial dan moral kejujuran ditabrak tanpa ampun. Masih tak terhitung, untuk tidak
menyebut satu persatu, kompleksnya pergaulan dan interaksi manusia di zaman digital ini. Akan
tetapi kesemua persoalan ini, bukanlah tanpa solusi. Dimensi tanggung jawab moral dan sosial
yang seharusnya menjadi landasan pembentukan karakter anak bangsa mendapat tantangan dan
ancaman luar biasa dewasa ini. Meskipun demikian, dimensi ini akan senantiasa berlaku relevan
dalam mengandalikan potensi-potensi penyimpangan sosial dari pergaulan yang tidak sehat
dalam dunia maya, dunia digital.

Setiap tindakan pasti berkorelasi langsung dengan pelaku. Maka setiap individu harus
bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam terang logika seperti ini tindakan negatif menjadi
urusan sendiri-sendiri, kesalahan personal, sehingga pendekatan terapis juga individual. Akan
tetapi, kita melihat ada pola yang sama yang dilakukan banyak orang dan dilakukan secara
berulang. Itu berarti ada sumber yang sama sebagai sebab bagi adanya prilaku menyimpang yang
sama untuk kasus yang sama. Hal-hal yang terjadi secara masif itu memiliki sebab utama yang
menyebabkan yang lain menjadi ada. Itulah mismanajemen keluarga, asal dan sumber yang
menyulut masalah pada berbagai sisi. Dalam ranah keluarga, urusan meluruskan tindakan pada
anak yang menyimpang dan mengintrodusir nilai-nilai hidup yang baik sama pentingnya dengan
urusan menafkahi kehidupan lahiriah sang anak sampai ia benar-benar mencapai kedewasaan
dan bisa hidup mandiri.

Sinar kepribadian anggota keluarga selalu terpancar dari orangtua. Ibu dan Ayah tidak
hanya jadi senioritas karena usia tapi terutama corong dan nahkoda yang membawa kapal
keluarga ke pelabuhan hidup bahagia sesuai visi dan cita-cita mereka. Tergapainya pelabuhan
keluarga bahagia tentu saja harus dilandasi cinta dan kasih sayang yang utuh. Segala perlakuan
terhadap anak bermula dari cinta. Oleh karena itu, tanggung jawab orangtua bagi pembentukan
kepribadian anak bagi masa depannya bukan tanpa alasan, tetapi merupakan proyeksi dari

4
unsur-unsur subjektif orangtua yakni kasih sayang. Dasar pembentukan keluarga adalah kasih
sayang, sehingga pendidikan terhadap anak merupakan ekspresi kasih sayang, dengan harapan
si anak akan menjadi warga masyarakat dan negara yang baik dan penuh kasih di kemudian hari.
Keluarga sebagai fondasi dan miniatur negara, tempat pendidikan pertama dan utama serta
penyemaian benih-benih negarawan, mempunyai dasar antropologis yang jelas.

Kita tidak dapat menemukan lembaga mana pun yang memenuhi hak-hak dasar dalam
membentuk kepribadian manusia, selain keluarga. Sekolah lebih banyak berurusan dengan
interaksi formal untuk persiapan intelek-kognitif dan kompetensi. Lembaga agama lebih
mendapat porsi lebih pada relasi spiritual manusia dengan Sang Ilahi. Bermacam-macam pranata
hanya mengambil sebagian. Tetapi simpul semua jejaring itu tetaplah keluarga. Keluarga adalah
lembaga kodrati, yang satu-satunya mendapatkan kepercayaan untuk meneruskan hidup.
Keluarga ada sebelum negara dan lembaga-lembaga lain. Hak dan tanggung jawab persekutuan
lain, termasuk negara, hanya melengkapi hak dan tanggung jawab keluarga, tetapi tidak dapat
menggantikan, apalagi mengintervensinya. Keluarga, lebih dari sekadar persekutuan yuridis,
sosial, dan ekonomis, merupakan suatu persekutuan kasih dan solidaritas, sehingga lembaga ini
secara istimewa pantas untuk mengajarkan dan mewariskan nilai-nilai kultural, etis, sosial, rohani
dan religius, yang adalah dasar untuk perkembangan perkembangan dan kesejahteraan anggota
dan seluruh masyarakat (Piagam Hak-Hak Keluarga, 2007).

Tanggung Jawab Negara atas Keluarga

Membentuk kepribadian manusia merupakan tugas dan wewenang utama orangtua.


Negara cukup memfasilitasi, melindungi, dan menjamin terselenggaranya tugas orangtua bagi
perkembangan anak menjadi warga negara yang baik. Setiap warga negara dilatih dalam keluarga
untuk berpartisipasi dalam menata kehidupan bersama. Negara mesti memastikan harapan masa
depan generasi bangsa dengan memastikan harapan generasi anggota keluarga.

Setiap orang dilahirkan dalam keluarga, kemudian individu yang telah dilahirkan itu pada
saat yang sama adalah warga negara yang sedang bertumbuh, maka kita sebenarnya
menyandang dua status sekaligus: anggota keluarga dan warga negara pada saat yang sama.
Keluarga adalah basis utama dan lingkungan perdana pembentukan jati diri manusia. Ia

5
merupakan embrio, unit produksi sumber daya manusia, organisasi primer bagi bangunan
raksasa sekunder yang dinamakan negara. Tidak heran ada orang yang melihat keluarga sebagai
“institusi politik” (Ringen, 2007: 157). Keluarga melahirkan anak manusia, dengan seperangkat
hak dan kewajibannya. Melalui keluarga, si anak mengenal disiplin, hukum, dan otoritas. Dalam
perkembangannya, melalui kerja sama dalam keseimbangan dan simetri, ia menikmati
kebebasannya. Status sebagai anggota keluarga sekaligus warga negara menyiratkan bahwa
fungsi dan peran keluarga berkiblat pada pencapaian tata kehidupan bersama yang lebih baik
(Heilman, 1941: 57).

Setiap kita mempunyai hak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan yang layak sebagai
anggota keluarga dan warga negara. Kita pun berkewajiban menaati norma dan
memperjuangkan kehidupan keluarga dan negara agar berjalan harmonis. Kita tidak dapat
memilih yang satu dan mengabaikan yang lain. Terlalu sibuk mengurus kepentingan keluarga
akan jatuh pada kolektivisme yang lamban. Tetapi, terlalu sibuk mengurus negara sampai lupa
menata keluarga berpotensi pada keretakan rumah tangga yang pada gilirannya keretakan itu
terbawa-bawa hingga dunia profesi dan kehidupan bernegara.

Tugas para pemimpin negara adalah memperhatikan konsistensi orangtua dalam


membesarkan anaknya melalui dinas-dinas atau pihak-pihak terkait. Para pemimpin perlu
melindungi anak-anak bangsanya dengan memperhatikan pendidikan orangtua terhadap anak-
anak dalam keluarga. Meski anak itu lahir dari orangtua dan sangat membutuhkan perhatian
orangtua, orangtua tidak boleh memperlakukan si anak dengan cara-cara yang menghalangi
perkembangannya yang normal sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Orangtua tidak
boleh membuat dia kelaparan, menganiaya, atau menghalangi haknya untuk memperoleh
keterampilan dasar dalam hal berbahasa, bergaul, dan mengembangkan diri. Anak bukan, seperti
dikatakan Charles Fried, sekadar kepanjangan kepribadian dari orangtua mereka, apalagi
makhluk yang diciptakan negara (Baghi, 2009: 316), melainkan pribadi otonom yang mempunyai
orisinalitas dan individualitas yang unik.

Orangtua dan semua anggota keluarga perlu menciptakan suasana hidup rukun,
solidaritas dan kebebasan. John Locke (Baghi, 2009: 323-324) menekankan pentingnya kebebasan
rasional. Rasionalitas menunjuk pada kebebasan apa saja yang mutlak diperlukan untuk hidup
6
dengan baik di dalam sebuah masyarakat yang baik secara moral. Orangtua sebagai penanggung
jawab keluarga diharapkan dapat menciptakan suasana bebas kepada setiap anggota agar ia
berkembang baik sebagai insan yang beradab di tengah komunitas sosial. John Dewey, pedagog
asal Amerika, mengkritik setiap kewenangan mengajar orangtua bagi anak-anak yang
bermetamorfosis menjadi tirani dan mendukung upaya-upaya positif dan kondusif.

Di dalam keluarga, para orangtua bebas untuk memajukan di dalam diri anak-anak
berbagai keyakinan tentang cara-cara hidup tertentu, tetapi membesarkan anak juga berurusan
dengan nasib negara di masa depan. Negara demokratis menentang pandangan bahwa orangtua
memiliki kewenangan tertinggi menyangkut perkembangan anak mereka, bahwa mereka boleh
memakai haknya sebagai orangtua untuk mencegah anak mereka dengan cara hidup atau pola
pikir yang berlawanan dengan komitmen pribadi mereka (Baghi: 2009).

Fungsi dan Peran Keluarga

Sebagai salah satu pilar pembentukan jati diri dan kepribadian anak, keluarga mengambil
tugas yang jauh lebih besar daripada semua tugas lain dalam menumbuh-kembangkan generasi
masa depan sebuah bangsa. Bangsa dan negara Indonesia akan berdiri tegak jika terdiri dari
keluarga-keluarga yang sehat. Plato melihat pentingnya eksistensi keluarga bagi kemajuan
bangsa. Bagi Plato, negara perlu menghidupkan semangat kekeluargaan. “Di dalam negara, kamu
semua bersaudara.” Filsuf Thomas Aquinas mengatakan hal yang sama. Dalam perspektif
Aquinas, negara adalah persekutuan hidup manusia, koinonia politike, dan dibentuk untuk
kesejahteraan bersama. Bentuk persekutuan terkecil, lanjut Aquinas, adalah keluarga dan bentuk
persekutuan tertinggi adalah negara. Baik keluarga maupun negara harus bertindak berdasarkan
hukum yang menjamin kebebasan, inisiatif, keadilan, dan kebenaran.

Untuk memperkuat status dan eksistensi keluarga, sebaiknya para orangtua menyadri
fungi dan peran keluarga yang dijadikan rujukan ideal untuk bertindak. Rujukan ini penting tidak
sekadar menjadi landasan aksi, melainkan juga sarana otokritik. Berikut beberapa fungsi dan
peran keluarga.

a. Memberi Rasa Aman Secara Seksual

7
Rasa aman dan nyaman adalah persyaratan mutlak diperluka dalam mengyomi hidup
keluarga. Demikian halnya dengan tugas pokok keluarga, yakni proliferasi yang mengedepankan
tujuan pembentukan keluarga sebagai sebuah wadah pengembang-biakan anak-anak bangsa.
Keluarga diberi mandat untuk mempertahankan spesies manusia yang bermartabat. Moralitas
perkawinan dalam keluarga berkorelasi dengan cita-cita meproduk manusia berkualitas dalam
segala hal. Cita-cita ini meneruskan keturunan yang bermoral sebenarnya merupakan buah kasih
sayang orangtua dan bukan sekadar luapan hawa nafsu. Keturunan yang baik yang berlangsung
dalam keluarga mesti menopang harmoni sosial dalam kehidupan bernegara, tidak membebani
masyarakat, dan tidak merusak. Alasannya adalah seksualitas mempunyai nilai dasar personal
dan sosial. Itulah sebabnya, manifestasi seksualitas merupakan hak asasi. Namun, sekali lagi,
penghayatan itu hanya disebut manusiawi kalau berlangsung mantap, heterokseksual, dan diakui
masyarakat. Hubungan seksual tidak dibenarkan dilakukan di luar institusi perkawinan.
Alasannya, seksualitas itu ambivalen. Ia bersifat kreatif tapi juga destruktif. Kreativitas seksualitas
tampak dalam daya prokreatifnya, dorongan untuk meneruskan keturunan. Dengan seksualitas,
manusia dapat menciptakan manusia baru yang secitra dengan dirinya dan mempertahankan
keberlangsungan spesiesnya (Groenen, 1993: 22-24).

Seksualitas manusia berbeda dengan seksualitas binatang. Seksualitas manusia dituntun


oleh akal budi dan hati nurani, seksualitas binatang diatur oleh alam. Manusia tidak mengenal
musim kawin atau tidak kawin seperti binatang. Seksualitas manusia selalu dapat diransang
kapan dan di mana saja. Tetapi seksualitas yang tidak dikendalikan dengan akal sehat akan
merugikan orang lain. Dorongan seksual memang sukar dikontrol. Justru pada puncak esktase
seksual, kontrol itu (biasanya) tidak ada lagi sama sekali. Maka, pada saat menjadi paling kreatif,
seksualitas menjadi tidak manusiawi lagi, menjadi lepas kendali (Groenen, 22-24).

Jadi, manusia terjepit dan tertekan oleh dorongan seksual, di pihak lain sukar, bahkan
mustahil bahwa seluruhnya dikontrol oleh manusia, dan oleh karena tidak terkontrol, dorongan
seksual tidak menyatakan kemanusiaan manusia. Apa yang mesti tertuju kepada teman, menjadi
tertuju kepada segi manusia yang tidak khusus manusiawi. Lembaga perkawinan diciptakan
manusia dan dilegalisasi masyarakat guna memelihara kreativitas seksualitas dan mengendalikan
sedikit segi destruktifnya (Groenen, 193: 25).

8
Fungsi keluarga sebagai lembaga prokreasi tak tergantikan. Francis Fukuyama (2005)
mengatakan, keluarga adalah unit sosial paling mendasar. Ibu dan ayah, lanjutnya, harus bekerja
sama untuk menghasilkan keturunan, menanamkan nilai-nilai, dan mendidik anak. Keluarga
membentuk dalam diri anak modal sosial yang akan berguna bagi kehidupannya di tengah
komunitas yang lebih luas. Modal sosial, mengutip sosiolog James Coleman, dalam arti luas
merupakan seperangkat sumber daya yang tertanam dalam hubungan keluarga dan organisasi
sosial serta berguna untuk membangun kognitif atau sosial anak.

b. Memberikan Pendidikan

Pendidikan adalah kunci pembuka kontak pandora untuk keluar dari situasi hidup
terjajah, terkekang dan terbelenggu akibat kebodohan dan kurangnya ilmu pengetahuan.
Berbagai pemikiran dan eksperimen telah dilakukan mengenai bagaimana anak dididik secara
komunal dididik dan dilatih agar keberadaannya akan menjadi jaminan kualitas kehidupan
bangsa. Plato menganjurkan bahwa agar anak-anak dapat menjadi negarawan dan pemimpin
yang baik, maka pada tahun-tahun pertama mereka harus mendapat pendidikan gimnastik dan
musik untuk mengasah keberanian dan kepekaan sosial. Sesudah itu, mereka dibekali dengan
pendidikan berhitung, matematika, dan latihan dialektika dasar. Mereka juga perlu diberi
tantangan dan mengalami masa-masa sulit untuk menumbuhkan ketangguhan dalam diri
mereka. Mereka harus tegar dan mampu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.

Dalam usia 20 tahun, anak-anak itu diseleksi. Anak-anak yang lulus seleksi dididik hingga
mencapai usia 30 tahun. Seleksi kemudian dibuat lagi dan yang lolos akan menjalani masa
pembinaan intelektual dalam bidang filsafat selama 5 tahun. Orang dewasa yang sudah seleksi
35 tahun ini dididik lagi karena memiliki kekurangan, yaitu pengalaman dan keluwesan dalam
hidup praktis. Mereka dilatih dalam bidang-bidang praksis kemasyarakatan selama 15 tahun.
Baru pada usia 50 tahun, setelah mereka cakap secara teoretis dan praktis, mereka diberi peran-
peran kepemimpinan. Mereka tidak boleh terikat dalam pernikahan dengan seorang wanita,
tetapi dengan wanita yang telah terpilih sebagai milik semu a orang sehingga anak yang
dilahirkan tidak akan mengenal siapa orangtuanya dan KKN pun tidak terhindari.

9
Gagasan Plato itu memang baik. Bahkan pernah ada eksperimen-eksperimen untuk
mendidik anak secara komunal seperti itu. Misalnya, setelah Revolusi Rusia, Uni Soviet mencoba
memisahkan anak-anak dari orangtua mereka dan memelihara mereka di tempat khusus, dengan
harapan ibu mereka dapat bebas bekerja dan anak-anak dapat dididik dengan pengetahuan-
pengetahuan ilmiah. Namun, Rusia tidak pernah mempraktikkan gagasan itu secara massal,
segera menghentikannya, dan memperkuat fungsi keluarga. Di Uni Soviet kemudian, sekolah dan
keluarga bekerja sama dalam mendidik anak-anak (Horton, 275).

Di Israel modern, anak-anak dibesarkan dalam Koperasi Petani (Kibbutz). Para orangtua
akan bertemu mereka dua jam dalam sehari dan sepanjang hari pada hari Sabtu, tetapi upaya ini
tidak berhasil. Jumlah anak-anak yang ingin belajar di koperasi itu makin lama makin kurang dan
lenyap, dan mereka merasa upaya itu tidak berguna. Kini di Israel keluarga memperoleh kembali
fungsinya dan menjadi lembaga yang baku untuk membesarkan anak-anak (Horton, 1991: 276).

Meskipun berbagai gagasan dan eksperimen untuk mendidik para anggota keluarga,
semua itu kurang efektif dibandingkan dengan peran keluarga. Orangtualah pendidik utama bagi
anak, bukan orang atau lembaga lain. Karena memberikan hidup kepada anaknya, orangtua
mempunyai hak asali, pertama, dan tidak dapat dialihkan untuk mendidik anak, maka orangtua
harus diakui sebagai pendidik pertama dan terutama untuk anak-anak (Horton, 1991: 276;
Ringen, 2007: 158).

Dengan berkembangnya lembaga-lembaga pendidikan, entah formal, non-formal atau


informal, anak dapat memilih lembaga pendidikan yang cocok dengan minat dan potensinya.
Anak-anak dapat belajar di lembaga-lembaga yang sehat yang membantunya berkembang
dengan baik sebagai anggota masyarakat dan warga negara. Tugas orangtua adalah
membesarkan anak dan mencari lembaga-lembaga pendidikan yang cocok sebagai kelanjutan
pendidikan di keluarga. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB Artikel 16 menekankan hak
orangtua untuk memilih dan mengarahkan pendidikan anaknya. Namun, perlu ditekankan,
pendidikan formal tidak menggantikan pendidikan dalam keluarga. Keluarga dan lembaga lain
perlu memperhatikan prinsip subsidiaritas sebagai dasar interelasi edukatif antar-institusi.
Prinsip subsidiaritas artinya, “semua partisipan [lembaga] lain dalam proses pendidikan hanya
bisa menjalankan tanggung jawab mereka atas nama orangtua, dengan persetujuan mereka dan,
10
sampai pada tingkat tertentu, dengan otoritasasi mereka.” (Piagam Hak-hak Keluarga, E). Keluarga
tetap menjadi tempat pendidikan utama yang tak tergantikan. Lembaga-lembaga lain hanya
melengkapi pendidikan keluarga demi mendukung perkembangan anak, tanpa bermaksud
menggantikannya.

Orangtua bagaikan pelita di kala gelap. Tingkah laku dan tutur katanya mampu menerangi
jiwa dan raga putra-putrinya. Orangtua yang bijak membekali anak-anaknya dengan pendidikan.
Tidak penting apa latar belakang pendidikan mereka. Tetapi sebagai anak yang memimpikan
rumah tangganya sebagai “Taman Firdaus”, adalah penting bercermin dari keluarganya. Kata ibu
saya ketika saya masih berusia kecil: “Pengetahuan adalah penjagamu yang terbaik”. Ibuku
hanyalah seorang ibu rumah tangga. Dalam segala kekurangannya, ia berusaha membekali saya
dengan kebijakannya. Saya menyadari apa makna dari pesan ibuku.

c. Pembentukan Kedisiplinan

Penelitian menemukan bahwa jika orangtua membiarkan anak-anak mereka membuat


pilihan mereka sendiri sehubungan dengan hal-hal seperti waktu makan, waktu tidur, dan
menonton televisi, maka anak-anak akan cenderung bertumbuh menjadi impulsif, pembangkang,
pemberontak, suka menuntut, anak yang malang, dan memiliki angka yang tinggi dalam
penggunaan obat-obatan terlarang. Ini disebut orangtua yang permisif. Orangtua membiarkan
anak-anak mereka melakukan kesenangan mereka. Baumrind menemukan bahwa otoritas
orangtua yang kuat baik kasih sayang maupun kedisiplinan cenderung meningkatkan kesehatan
dan kebahagiaan serta membentuk anak-anak yang berguna bagi keluarga dan anggota
masyarakat.

Disiplin harus dilihat dalam porsi yang jelas, dan tidak boleh dipahami salah sebagai
larangan dan batasan terhadap kebebasan, seperti yang biasa dipakai dalam pendekatan
tradisional dalam mendidik anak yang menganggap bahwa dengan disiplin dan sangsi yang keras,
anak akan bersikap sopan, bijak, dan taat. Pendekatan tradisional yang rigoristik itu keliru karena
berlatar garis kekuasaan. Anak dianggap tidak banyak tahu. Akhirnya, banyak anak mencapai
masa dewasa dengan beban perasaan terluka karena pola disiplin yang kaku dan keras akibat
pemahaman orangtua yang salah tentang pedagogi dan psikologi anak.

11
Disiplin akan berdampak positif jika lahir dari pilihan bebas dan komitmen pada pilihan
itu. Jika orangtua ingin anak anaknya berkembang baik, dengan cara yang baik pula, maka disiplin
harus merupakan konsekuensi atas pilihan itu. Anak yang hidup dalam keluarga otoriter akan
melihat disiplin sebagai paksaan. Karena itu, ia menerimanya dengan terpaksa dan menimbulkan
goresan luka dalam batinnya. Ia juga melihat orangtua sebagai monster kejam melakukan
kekerasan atas dirinya. Jika ia menerima dengan terpaksa, kepribadiannya terbentuk secara
ganda. Di rumah alim, di luar rumah ia kasar, kacau, plin-plan, dan agresif.

Dalam menghadapi masalah pergaulan bebas atau hal-hal berbahaya lain, orangtua dapat
menerapkan kebijakan “tidak kenal toleransi” (zero tolerancy policy) kepada anak. Orangtua
harus memberitahukan kegiatan-kegiatan yang sama sekali tidak boleh diikuti anak, seperti
melakukan hubungan seksual dengan pacar sebelum menikah untuk mencari kesenangan. Jika
ketahuan, ia harus bertindak dengan sanksi yang tegas. Sanksi itu semacam tebusan atas
pelanggaran yang sudah terjadi sekaligus efek jera yang berpotensi terulang kembali hal yang
sama.

Orangtua harus menanamkan secara disiplin saat masa anak mengenai nilai penghargaan
terhadap dan martabat manusia. Baik-buruknya pergaulan seorang di kemudian hari sangat erat
kaitan dengan pendidikan orangtua di rumah. Dan masa anak merupakan momen perekaman
dan pembantinan nilai. Salah jika orangtua membiarkan anak begitu saja tanpa kontrol dan
berharap akan dewasa dengan sendirinya bersama teman-teman lain di sekolah dan masyarakat.
Seorang penulis dan sosiolog Prancis, Allen Biro, menulis, "Muatan disiplin merupakan fenomena dari
segala sesuatu yang hadir dalam pikiran, di mana semua itu berada pada posisi proporsionalnya dan
sepenuhnya teratur. Oleh karena itu, disiplin dalam kelompok manusia berarti ketenangan, keteraturan,
dan kepatuhan.“

Sebuah keluarga akan meraih kesuksesan dan mencapai tujuan-tujuannya ketika seluruh
anggotanya disiplin dan patuh. Dengan kata lain, sebuah keluarga ideal akan terbentuk ketika
kedisiplinan dan keteraturan menjadi prioritas khusus. Salah satu interpretasi terkait disiplin
adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya atau melaksanakan kewajiban dan tugas tepat
pada waktunya, tanpa ada penundaan. Dalam kehidupan berkeluarga setiap anggota memiliki
hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Laki-laki akan menjalankan perannya sebagai seorang

12
pria dan ayah, sementara perempuan akan menunaikan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu,
anak-anak juga memiliki peran dan posisi khusus mereka.

Secara umum, seluruh anggota keluarga saling mengetahui kedudukan, hak, dan
kewajiban masing-masing dan menghormatinya. Kehidupan damai di tengah keluarga tidak akan
tercipta kecuali dengan menjaga hak satu sama lain serta menerima aturan dan tatanan hidup
berumah tangga. Ketidaktahuan terhadap hak dan kewajiban masing-masing anggota dan
ketidakpedulian terhadap disiplin akan menyebabkan munculnya gesekan dan getaran yang bisa
mengguncang fondasi keluarga. Hak dan kewajiban orang-tua merupakan contoh nyata dari
kedisiplinan di tengah keluarga. Sikap komitmen terhadap semua masalah tersebut membuat
kehidupan keluarga lebih indah dan damai.

d. Mendorong Kesejahteraan

Keberlangsungan keluarga tidak terlepas dari keadaan ekonomis. Mati-hidupnya keluarga


salah satunya bergantung pada suplai makanan dan minuman yang dinikmati para anggota.
Kesehatan, pendidikan, dan harmoni amat berkaitan dengan ketercukupan ekonomi. Keluarga
tentu akan berurusan dengan kebutuhan dasar dalam hal sandang, pangan, dan papan. Bila
kebutuhan ini terpenuhi, biasanya keluarga akan leluasa melakukan kegiatan-kegiatan lain untuk
mengembangkan diri. Dalam masyarakat tradisional, fungsi ekonomi disatukan dalam bidang
pertanian. Anak-anak dapat membantu orangtua bekerja. Para petani melihat bidangnya sebagai
potensi investasi.

Dewasa ini, berbarengan dengan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan, pilihan
terhadap pekerjaan tidak tergantung dari hasil pertanian. Peluang pasar kerja semakin terbuka.
Pilihan menapaki karier terbentang lebar. Jika pertumbuhan ekonomi dipengaruhi minimal 2%
pelaku usaha, bukankah hal yang sama terjadi dalam keluarga? Minimal ibu dan bapa di rumah
menjadi tulang punggung untuk seluruh anak mereka. Seiring bertambah usia, orangtua itu perlu
perlu membekali anak-anak dengan pendidikan dan keterampilan wiraswasta agar bisa hidup
tanpa bergantung pada orangtua. Banyak orangtua yang sakit dan tua sebelum waktunya karena
diterpa beban berat tanggungan ekonomi yang kelewat batas. Beban yang begitu sulit dipikul
namun harus dijalankan semata-mata karena rasa cinta terhadap anak-anak.

13
Tidaklah mudah mengajarkan anak untuk rajin dan mencintai pekerjaan ketika
berhadapan dengan kultur modernisme yang serba instan dan konsumeristis, yang mendorong
keluarga-keluarga untuk lebih banyak belanja ketimbang hidup hemat. Seperti dilansir Jean
Baudrillad (Ule, 2011), di era masyarakat konsumtif sekarang ini, banyak orang, termasuk
keluarga-keluarga, sering menderita “sakit”, yakni “sakit kelelahan” kronis yang tampak kasat
mata di mana-mana. Kelelahan yang dimaksud adalah “kelelahan saraf”, kelelahan psikosomatik,
yang mengarah pada depresivitas. Budaya membeli barang individu dan rumah tangga yang
tinggi, tekanan dan paksaan di tempat kerja, persaingan, dan ambisi memaksimalkan
kenikmatan, semua itu menimbulkan kelelahan. Kelelahan, bagi Baudrillad, adalah persoalan
global, seperti halnya kemiskinan.

Keluarga-keluarga tengah dihantam badai membeli barang dan merias diri untuk tampil
lebih modis. Bukan hanya rumah yang didandani, tubuh juga dirias penuh warna. Para
perempuan atau ibu-ibu memoles tubuh untuk kemudian diubah dan dibentuk seindah mungkin
untuk mendulang kekayaan dan status. Semakin tinggi karier seseorang, keinginan untuk
memoles diri semakin bessar. Parasnya diusahakan mirip mawar, dahlia, anggrek, bulan, dsb,
mendorong para perempuan untuk mendekorasi tubuh mereka agar tampak lebih modis. Tubuh
sebagai suatu mikrokosmik yang estetik menyata dalam estetika artifisial tubuh seperti anting,
rambut bercat, dan sejumlah asesoris di telinga, hidung, alis.

Fenomena untuk tampil beda kaum modern sebagai bentuk penegasan identitas diri dan
subjektivisme atas tubuh dan kebertubuhan, mendapatkan muaranya pada arus perkembangan
fashion. Inilah era pemujaan, pemanjaan dan peremajaan atas tubuh sekaligus sebagai sebentuk
perlawanan melalui fashion. Baudrillard (www.yunansyahpora.blogspot.com) mengungkapkan
bahwa fashion mengendalikan orang muda zaman sekarang, sebagai perlawanan bagi setiap
bentuk perintah, perlawanan tanpa ideologi, tanpa tujuan. Orang tidak lagi hanya mempersepsi
tubuh sebagai sekadar pemberian Tuhan dan menjadi kendaraan bagi jiwa, malah secara radikal
tubuh diperlakukan sebagai materi biasa belaka dan tak ubahnya seperti plastik dan bionik.
Sekiranya, keluarga-keluarga modern pandai untuk mengatur keuangan. Iklim kompetisi yang
makin ketat akan menggeser setiap orang dari akses publik. Sebagian kecil akan mendapatkan
keuntungan, sedangkan yang lain menderita lantaran ditolak, terabaikan, dan ditekan.

14
e. Keluarga Menumbuhkan Iman

Sekularisme dan ateisme yang menjadi tren dewasa ini tampak mencekik leher orangtua
ketika memikirkan kedekatan dengan Sang Ilahi. Kematangan religius orangtua tentang
intervensi kekuatan supranatural dalam realitas kehidupan, menggugah orangtua untuk
mengajarkan kepada anak tentang pentingnya pengalaman spiritual. Iman berkaitan dengan
penghayatan dari totalitas nilai religius yang diyakini. Esensi kehidupan beriman adalah mampu
memahami premis-premis agama dan melakukan interpretasi atas konteks sosial untuk karya
keadilan bagi semua orang.

Negara yang kokoh terdiri dari keluarga-keluarga di mana para anggotanya kuat dari segi
iman. Iman sendiri bukan sesuatu yang diyakini begitu saja, tetapi suatu pergulatan hidup di
dalam terang akal budi. Akal budi tanpa iman menyesatkan, dan iman tanpa akal cenderung pada
fanatisme. Di negara kita, ada banyak kelompok fanatisme dan fundamentalisme yang
menganggap diri suci, saleh, dan sedangkan orang lain tidak ada apa-apanya, kafir. Mereka
biasanya melakukan perlawanan terhadap kecenderungan politis sekuler yang melangkah jauh
dari nilai-nilai agama. Mereka menafsirkan premis-premis agama, lebih tepat atas nama agama,
dan melakukan aksi-aksi teror. Ini suatu bentuk infantilisme hidup beragama, sekaligus
merefleksikan latar belakang pendidikan iman di keluarga yang kurang berjalan baik.

Dalam masyarakat sekuler seperti sekarang yang menuntut pertanggungjawaban


rasional, orangtua tidak cukup mengajarkan anaknya tentang cara berdoa yang baik. Orangtua
harus mengajarkan anak pengetahuan iman. Anak yang diajarkan dengan baik dalam hal ritus-
ritus keagamaan dan pengetahuan kognitif-intelektual akan lebih kuat dan kritis terhadap
pertanyaan-pertanyaan seputar iman. Bahkan ia mempertanyakan imannya sendiri dan hakekat
berbagai pergulatan sosial yang tengah berlangsung. Pendidikan iman penting ditanamkan di
dalam keluarga karena keluarga adalah komunitas hidup manusia yang senantiasa mencari
penjelasan terakhir dan ultim atas segala sesuatu yang terjadi.

Pendidikan iman penting di dalam keluarga agar kehidupan semua anggotanya mencapai
keselamatan, baik keselamatan, baik keselamatan di dunia sosial kemasyarakatan maupun di
akhirat nanti, baik keselamatan diri maupun orang lain, masyarakat, alam, dan lingkungan

15
semesta secara keseluruhan. Pendidikan iman dalam keluarga membantu seseorang untuk
memahami unitas sejarah, satu kesatuan antara sejarah dunia dan sejarah akhirat. Pendidikan
iman membantu anak dalam menyeimbangkan kecerdasan spiritual dan kecerdasan sosial,
kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual. Negara yang kokoh pasti berdiri di atas
prinsip-prinsip etis-religius yang telah ditanamkan dalam keluarga.

f. Keluarga Memberi Perlindungan

Dalam setiap masyarakat, keluarga memberi perlindungan ekonomis, psikologis, dan fisik
kepada segenap anggotanya. Perlindungan bahkan dilihat sebagai kewajiban. Perlindungan
merupakan bagian dari kasih sayang antaranggota keluarga. Orangtua melindungi anak-anak.
Anak-anak yang lebih tua melindungi adik-adiknya. Orangtua berusaha mendapatkan makanan
agar anak-anaknya tidak kelaparan. Juga berusaha untuk meneguhkan anak-anak yang lemah dan
menyembuhkan yang sakit. Dalam beberapa masyarakat yang ikatan sosialnya masih kuat, setiap
anggota keluarga wajib saling memperhatikan yang lain. Serangan dari kelompok luar terhadap
salah satu anggota keluarga dianggap serangan terhadap keluarga dan masyarakat sekitar.
Anggota yang diserang akan dibela dan dilindungi. Mereka tak menginginkan salah satu
anggotanya menderita.

Perlindungan dalam keluarga tampak dalam rasa solidaritas. Lapar dan kenyang dirasakan
sama-sama. Susah-senang ditanggung bersama. Cemoohan atas salah satu anggota keluarga
menjadi beban semua. Lebih jauh, perlindungan membantu anak bertumbuh secara normal.
Anak yang lahir dari keluarga yang nyaman dan solider akan menjadi pribadi tampak tenang dan
cinta pada sesama. Sedangkan anak yang lahir dari keluarga yang retak akan membentuk anak
yang berkepribadian retak. Dalam sejumlah masyarakat, orangtua perlu tahu ke mana setiap
anak-anaknya pergi, dengan siapa, dan pulang jam berapa. Kewajiban anak adalah memberitahu
orangtua jika ia hendak bepergian. Orangtua mesti memastikan keselamatan anak-anaknya
dalam hal apa saja, dan tidak berkedok di balik paham kebebasan anak untuk mengelak dari
tanggung jawab atas kecelakaan yang dialami anak.

g. Keluarga Sumber Kasih Sayang

16
Setiap orang, apalagi anak-anak, pasti ingin dikasihi dan diperhatikan. Keinginan ini sangat
manusiawi. Rasa saling membutuhkan, saling membantu, dan rasa rindu ketika berjauhan
membuat keluarga tetap eksis. Thomas Gordon (1987) mengatakan, orang tua utamanya harus
mengasihi anaknya. Kasih sayang membantu pertumbuhan diri sekaligus merupakan kekuatan
terapeutis paling efektif ketika sang anak ditimpa goncangan emosional.

Berbagai riset membuktikan, anak yang tidak mendapat perhatian, kasih sayang, dan
sapaan hangat akan berimplikasi pada gangguan kesehatan fisik dan psikis. Seorang bayi yang
mendapatkan jaminan fisik dan gizi secara sangat baik, tetapi tidak ditimang dan diperhatikan,
kemungkinan sekali akan berkembang ke kondisi yang secara medis disebut marasmus, artinya
merana. Dia akan merengek, lesu, kehilangan berat badan, bahkan berujung pada kematian anak
(Horton, 1991: 277).

Kasih sayang erat kaitan dengan daya tahan tubuh. Kekuatan terbesar manusia
terpendam jauh dalam alam bawah sadar (unconscious mind). Kecerdasan dan kemampuan yang
terlihat hanyalah sebagian kecil dari kemampuan bawah sadar. Peran kasih sayang adalah
memberi gairah dan semangat kepada seseorang untuk bertumbuh menjadi pribadi yang utuh.
Berbagai riset menunjukkan, banyak remaja yang kawin muda atau lari dari rumah antara lain
karena mereka tidak menemukan cinta di rumah (Konseng, 1995). Para pujangga membuatnya
romantis: “Allah menyatakan dengan sepenuhnya, dan kita merasakan dentingannya di dalam
dawai hati kita.” Apakah itu? Ya, Cinta kasih! Cinta kasih atau kasih sayang bagaikan embun yang
menyejukkan di pagi hari. Penulis ternama, Gary Chapman mengusulkan lima cara untuk
mengekpresikan cinta. Dia menyebutnya dengan istilah “bahasa cinta”.

▪ Peneguhan

Pada akhir pekan ketika seorang anak termenung dan menyendiri karena merasakan
kelelahan fisik selama sepekan, tiba-tiba saja orangtuanya muncul dan mengatakan, “Kami
sangat merindukanmu. Karena kamu tidak datang, jadi saya yang datang. Cobalah luangkan
sedikit waktumu untuk pulang. Saya dan ibumu sangat mencemaskanmu dan
merindukanmu. Akhir-akhir ini sepertinya kamu jarang pulang rumah. Sepertinya banyak
pekerjaan yang sangat menyita waktumu. Semuanya akan baik-baik saja. Kamu pasti bisa

17
selesaikan semuanya.” Jadi, suatu hal sudah sangat jelas bahwa kata-kata sang ayah telah
menguat dan meneguhkan hati anaknya.

▪ Menghabiskan waktu bersama

Tak bisa dipungkiri bahwa kita semua diburu dan dikejar waktu dan tugas kita masing-
masing. Tak ada lagi ruang buat orang-orang yang kita sayangi. Cobalah sesekali
membahagiakan orang yang kita anggap spesial, anak-anak kita, ataukah orangtua kita
untuk mengakiri pekan bersama mereka. Manfaatkan waktu kita untuk berkumpul dengan
mereka. Kehadiran kita sudah membuat mereka sangat bahagia. Itulah cara kita
mengekspresikan rasa cinta kepada mereka.

▪ Memberikan hadiah

Ungkapan rasa cinta yang paling sempurna adalah memberikan sebuah bingkisan kado buat
seseorang. Orangtua yang baik perlu mendidik putra dan putrinya sejak dini tentang seni
memberi, bukan menerima. Menerima hadiah dari seseorang merupakan pengalaman
yang sangat istimewa. Apalagi yang memberikannya itu adalah seseorang yang sangat
disayangi. Asosiasi hadiah berbeda-beda. Tergantung siapa yang memberi dan
menerimanya. Misalnya, seorang pencinta fashion akan merasa bahagia ketika seseorang
memberinya baju yang lagi tren. Seorang kutu buku (a warm book) akan sangat bahagia
menerima buku dari seseorang. Bahkan akan sangat bahagia jikalau mendapatkan
kontribusi intelektual dari seseorang. Berbagai macam perasaan menguasai hatinya.
Seseorang merasa penting dan istimewa di mata orang yang memberikannya.

▪ Melayani orang lain

Hidup harus saling melayani tanpa mengharapkan imbalan, sekalipun hal itu membutuhkan
pengorbanan, seperti kemampuan, waktu, dan dedikasi. Indahnya hidup bukan seberapa
yang saya terima dari orang lain melainkan seberapa yang saya berikan buat orang lain.

▪ Sentuhan secara fisik

Cara yang paling produktif dalam mengekspresikan cinta bagi anak-anak adalah
merangkulnya dengan kasih, menepuk bahunya, dan mengatakan “Ada apa denganmu?”

18
“Kamu baik-baik saja?” “Apa yang kamu cemas dan risaukan?” Bahasa-bahasa cinta ini
memampukan dia untuk kembali bangkit menapaki jejak kehidupannya.

Diskriminasi Peran dan Fungsi Keluarga

Potret kehidupan modern menunjukkan eksploitasi dan upaya pelenyapan sistematis


terhadap keluarga pada tingkat akar rumput. Keluarga-keluarga tampak seperti penonton dan
bahkan korban episode politik yang dilakoni para penguasa. Sistem-sistem sosial dicekoki sifat
monopoli dan mencari untung untuk melanggengkan struktur kekuasaan. Ketika seorang anak
dari suatu keluarga masuk ke sekolah dasar, ia didikte guru. Masuk universitas, diplonco senior
dan ketemu dosen killer. Mau lulus ujian, mesti servis pembimbing. Urus izin usaha, kena biaya
siluman. Sewa tempat usaha, modal kontraknya melambung. Ikut koperasi, pengurusnya
kapitalis. Berwirausaha di agrobisnis, ketemu tengkulak pengijon. Alih kerja di industri, bosnya
one man show. Berprestasi kerja mati-matian, karier terhambat intrik dan klik-klikan. Ikut tender
proyek, kalah kencang sogoknya. Sesungguhnya, kita masih berada pada kondisi “menabur benih
dan mengharapkan tumbuhnya embrio raja” dalam diri generasi masa depan. Kita belum
mencapai transformasi integral.

Negeri kita ini “salah urus”. Ada sesuatu yang hilang dalam mewujudkan proyek
pembangunan pasca Revolusi 45. Dalam konteks sosio-historis bangsa kita yang mengedepankan
kekeluargaan, pembangunan diharapkan berjalan melalui dua cara: aktualisasi dan
institusionalisasi. Aktualisasi berhubungan dengan peng-aktual-an, pengungkapan, perwujudan,
dan penghayatan nilai-nilai kekeluargaan dalam praksis kehidupan berbangsa. Aktualisasi berarti
menghidupkan kembali, merevitalisasi, dan menempatkan nilai-nilai kekeluargaan sebagai dasar
dalam menjawabi tuntutan-tuntutan hidup berbangsa masa ini, sambil mengoreksi pola-pola
keluarga tradisional yang sarat dengan kompromi, sentralisme, dan kekuasaan. Jika aktualisasi
dilakukan, maka institusionalisasi dapat berjalan lebih mudah.

Persoalan-persoalan yang melanda kehidupan kita sekarang ini erat kaitannya dengan
mindset para pemimpin yang tidak melihat keluarga sebagai jiwa dan fondasi kehidupan
bernegara. Mereka tidak mampu melihat keluarga sebagai spirit bagi praksis kehidupan sosial
politik aktual. Tak heran kita melihat adanya disparitas antara cita-cita pembangunan dan praksis.

19
Kita menyaksikan perilaku elite politik, kita memandang resah pada makin tergerusnya semangat
nasionalisme dan runtuhnya etika hidup berbangsa. Karakter dan perilaku yang dipertontonkan
lebih cenderung kepada drama kuda troya daripada sebuah terobosan baru dalam iklim politik
demokrasi. Nurani publik diusik dengan adanya saling lempar, saling tuding, yang lebih banyak
membingungkan daripada menjernihkan pikiran. Banyak hal masih harus dipelajari dan terutama
banyak segi kehidupan yang masih harus dimaknai. Vandalisme politik jelas mencerminkan
lemahnya otoritas akal budi di hadapan insting cari selamat dan kehendak cari aman bagi diri
sendiri.

Kurangnya perhatian negara untuk mereformasi kepemimpinan tradisional dalam


keluarga yang rajais, akan menjadi petaka munculnya pemimpin-pemimpin bangsa berwajah
tiran. Dan akar dari semua itu adalah asumsi yang keliru terhadap hakekat keluarga sehingga
tidak mampu membaca sisi-sisi positifnya yang dapat dijadikan referensi dalam kehidupan
negara. Asumsi itu menyangkut keluarga sebagai penjaga tulen nilai iman, moral, kejujuran,
kepercayaan, dan toleransi. Asumsi lain bahwa keanggotaan keluarga terdiri dari orang-orang
dewasa dan anak-anak, orang-orang sakit dan tua, lembaga dengan administrasi minimalis,
manajemen warung kopi, gaya kepemimpinan komando. Sementara itu, organisasi sekunder
lebih banyak menuntut profesionalisme sempit, yang anggotanya terdiri dari orang-orang
dewasa yang sehat, kaum adam berbakat, yang sanggup memproduksi dan berkompetisi,
memiliki pendidikan teknis, relasi yang rasional, dan manajemennya profesional. Keuntungan
sebagai rasionalitas tertinggi, sementara moral, iman, kepercayaan dan toleransi tidak menjadi
ukuran.

Posisi orgasisasi keluarga yang relatif lemah dengan organisasi sekunder profesional
dapat disimpulkan sebagai cikal bakal diskriminasi organisasi keluarga (yang pada umumnya
diurus istri) oleh organisasi sekuder (yang pada umumnya diurus suami, apalagi yang feodalistis).
Dalam hal profesi, misalnya, kita bisa melihat tanda-tanda diskriminasi dari sikap para suami atau
orangtua yang selalu pulang kerja larut malam dan di akhir minggu masih mengurus pekerjaan,
mencuri jam-jam yang menjadi hak keluarga, dengan alasan “konsekuensi profesi”. Hal lain
misalnya, stigmatisasi nepotisme yang memvonis keluarga sebagai penghambat profesionalisme
di tempat kerja, juga misalnya status organisasi keluarga sebagai subjek hukum yang masih belum

20
jelas, dan kenyataannya rencana-rencana strategis reformasi kita masih parsial karena belum
melibatkan organisasi keluarga, baik sebagai subjek maupun objek reformasi. Itu pula sebabnya
demokratisasi kehidupan berbangsa tersendat-sendat. Diskriminasi organisasi sekunder-
profesional terhadap organisasi primer-emosional keluarga adalah gambaran diskriminasi suami
terhadap istri atau orangtua terhadap anak-anak.

Hal yang mau disorot adalah bahwa seperti itulah kehidupan keluarga kita, di suatu pihak
diamini bahwa feodalisme yang masih terpelihara dalam keluarga melahirkan sistem dan praktik
kekuasaan dalam negara, tetapi juga diskriminasi yang dilakukan negara terhadap keluarga.
Keluarga-keluarga kita umumnya “bahtera yang karam”. Indonesia yang indah ini, sebuah negara
kekeluargaan, negara yang bertopang pada nilai-nilai keluarga, oleh Orde Baru, menjadi negara
keluarga (Abdullah, 2009: 498).

Dalam tatapan psikologi sosial budaya terkini, anak-anak sekarang memang terlahir dan
hidup dalam era generasi Z ketika lompatan kemajuan teknologi terjadi begitu jauh dibandingkan
dengan sejumlah dekade sebelumnya. Anak-anak yang lahir dalam generasi ini, sama sekali tidak
mengenal realitas zaman dari orang tuanya yang lahir dalam generasi Y secara kasat mata. Akan
tetapi generasi Y tetap bersyukur karena melewati semua dan tetap aktif dalam era generasi Z.
Generasi Y adalah generasi yang membidani lahirnya generasi Z. Dan karena itu, seharusnya
generasi Y mengenal betul seluk-beluk dan tuntutan kepribadian generasi Z. Dengan demikian,
jika cara pandang, fungsi dan peran sosial keluarga terus berkutat pada pusaran arus tradisional
generasi Y, maka lompatan kemajuan itu akan meninggalkan retakan dan mudah goyah pada
derasnya prilaku dan tuntutan genersi Z.

Rumah tangga yang adaptif dan tanggap terhadap perubahan zaman akan selalu mampu
memposisikan dirinya untuk berteguh pada prinsip-prinsip etika dan moral sosial yang terukur.
Pada saat yang sama ia menjadi sebuah titian yang kokoh untuk mengendalikan liarnya tawaran
pengaruh kemajuan dunia, khususnya pusaran arus digitalisme global yang kian kuat menggerus
tembok-tembok dan pilar-pilar pranata sosial termasuk keluarga. Akan tetapi entitas keluarga
dalam peran dan fungsinya akan tetap kokoh dalam pilar-pilar demokrasi yang dibangunnya.
Maka saatnya setiap keluarga harus kembali mengevaluasi dirinya, mengoreksi dan terus
menerus mengembangkan peran dan fungsinya. Hanya dengan itu keluarga modern dapat
21
menentukan sikap dan pilihannya untuk menjadi entah “batu karang” atau “pasir apung” dalam
kedudukan, fungsi dan peran sosialnya. (Bdk. Norman Vincent Peale, 2000: 182-228). **

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Indonesia: Toward Democracy, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies
Publishing, 2009.

Backman, Michael. Asia Future Shock, Cetakan II, terj. Ufuk Publishing House, Jakarta: Ufuk
Press, 2008.

Balswick, Jack O dan Balswick Judith K. A Model of Marriage: Covenant, Grace, Empowerment
and Intimacy, Illionis: InterVarsity Press, 2006.

Baghi, Felix (Ed.). Kewarganegaraan Demokratis: Dalam Sorotan Filsafat Politik, Maumere:
Ledalero, 2009.

Beaty, Sally V (Ed). Family Potrait: A Study of Contemporary Lifestyle, Fourth Edition,
California: Wodsworth Publishing Company Belmont, 1986.

Bone, Edouard. Bioteknologi dan Bioetika, terj. R Haryono Imam, Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Borradori, Giovanna. Philosophy In a Time of Terror: Dialogues With Jürgen Habermas and
Jacques Derrida, Chicago: University of Chicago Press, 2004.

El-Saadawi, Nawal, Perempuan di Titik Nol, terj. Amir Sutaarga, Cetakan ke-9, Jakarta: Yayasan
Obor, 2006.

Fukuyama, Francis. Guncangan Besar, terj. Masri Maris, Jakarta: Gramedia, 2005.
_________________. The End of History and the Last Man, London: Penguin Books, 1992.

Giddens, Anthony. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj.
Andry Kristiawan S dan Yustina Koen S, Jakarta: Gramedia, 2003.

Gordon, Thomas, Menjadi Orangtua Efektif, terj. Farida Lestari Subardja, Jakarta: Gramedia,
1984.

Groenen, C. Perkawinan Sakramental: Anthropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik,


Spiritualitas, Pastoral, Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Havighurst, Robert J. Human Development and Education, New York: David MacKay Company
Inc., 1953.

22
Heilman, Robert B (ed.). Aspects of Democracy, USA: Louisiana State University Press, 1941.

Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L. Sosiologi Jilid I, Edisi VI, terj. Aminuddin Ram dan Tita
Sobari, Jakarta: Erlangga, 1991.

Huntington, Samuel P. Benturan Antarperadaban, terj. M. Sadat Ismail, Yogyakarta: Qalam,


2003.

Janara, Laura. Democracy Growing Up: Authority, Autonomy, and Passion in Tocqueville’s
Democracy in America, Albany: State University of New York Press, 2002.

Jefrries, Vincent dan Ransford, H. Edward. Sosial Stratification: A Multiple Hierarchy Approach,
Boston-London-Sydney-Toronto: Allyn and Bacon Inc, 1980.

Meehan, Elileen R, dan Riordan Ellen (Ed.), Sex and Money: Feminism and Political Economy in
the Media, Minneapolis/London: University of Minnesota Press, 2002.

Pack, Spencer J. Aristotle, Adam Smith and Karl Marx on Some Fundamental Issues in 21st
Century Political Economy, USA: Edward Edgar Publishing Inc, 2010.

Pearson, Gerald HJ. Adolescence and the Conflict of Generation, New York: WW Norton &
Company Inc, 1958.

Peter, Val J. Seven Secular Challenges Facing 21-st Century Chatolics, USA: Paulist Press,
2009.

Piagam Hak-hak Keluarga, terj. RP Piet Go O.Carm, Cetakan II, Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2007.

Ringen, Stein. What Democracy is For: On Freedom and Moral Goverment, New Jersey:
Princeton University Press, 2007.

Rodriguez, Richard T. Next of Kin: The Family in Chicano/a Cultural Politics, USA: Duke
University Press, 2009.

Semiawan, Cony R, Setiawan, Th I, dan Yufiarti, Spirit Inovasi dalam Filsafat Ilmu, Cetakan
I, Jakarta: Index, 2010.

Sipe, James W. Dan Frick, Don M. Seven Pillars of Servant Leadership, Practicing the
Wisdom of Leading by Serving, New York: Penguin Books, Ltd., 2003.

Smith, WO Lester. Education, Australia-USA: Penguin Books, 1961.

Dave Pelzer (2006). A Child Called ‘It’. Jakarta: Gramedia

Diane Tillman (2007). Living Values: An Educational Program. Jakarta: Grasindo

23
H. Nursal Luth dan Daniel Fernandez (2009). Sosiologi SMA/MA Kelas X. Jakarta: Galaxy Puspa Mega

H. Nursal Luth dan Daniel Fernandez (2009). Sosiologi SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Galaxy Puspa Mega

Jarot Wijanarko (2007). Mendidik Anak. Jakarta: Gramedia

John Gottman dan Joan DeClaire (2008). Kiat-Kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan
Emosional. Jakarta: Gramedia

John Gray (2009). Children are from Heaven. Jakarta: Gramedia

Ken West (2008). Guidbook for Parents. Jakarta: Elex Media Komputindo

Penney Hames (2007). Menghadapi dan Mengatasi Anak yang Ngamuk. Jakarta: Gramedia.

24

Anda mungkin juga menyukai