Anda di halaman 1dari 7

Bedah saraf adalah suatu prosedur medis yang bertujuan untuk melakukan

diagnosis atau mengobati penyakit yang melibatkan sistem saraf. Bedah saraf
tidak hanya dilakukan pada otak, namun juga pada saraf tulang belakang dan
serabut saraf tepi yang menyebar ke seluruh bagian tubuh, seperti pada wajah,
tangan, dan kaki.

Pada tindakan bedah saraf terdapat berbagai jenis teknik diagnosis atau teknik
pengobatan, yang dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:

 Bedah saraf tumor. Ini merupakan prosedur bedah yang bertujuan untuk


mendiagnosis dan mengobati tumor yang terdapat pada sistem saraf.
 Bedah saraf vaskular. Ini merupakan prosedur bedah saraf yang dapat
mendiagnosis dan mengobati penyakit saraf akibat kelainan pembuluh darah
pada otak.
 Bedah saraf fungsional. Ini merupakan prosedur bedah saraf yang dapat
mendiagnosis dan mengobati penyakit saraf akibat kelainan fungsi sistem saraf.
 Bedah saraf traumatik. Ini merupakan prosedur bedah saraf yang dapat
mengobati penyakit saraf pada otak dan tulang belakang akibat cedera.
 Bedah saraf pediatrik. Ini merupakan prosedur bedah saraf untuk menangani
penyakit saraf pada bayi dan anak-anak.
 Bedah saraf spinalis. Ini merupakan prosedur bedah saraf yang menangani
penyakit yang terjadi pada tulang belakang.

Teknik dan metode bedah saraf yang dapat digunakan untuk mengobati berbagai
penyakit saraf tersebut sangat beragam. Terlepas dari jenis penyakit yang diderita,
beberapa metode bedah saraf yang cukup sering dilakukan, di antaranya adalah:
 Stereotactic radiosurgery (SRS). SRS merupakan metode bedah saraf yang
agak berbeda dari metode lainnya, karena tidak membutuhkan teknik invasif
melalui irisan kulit. SRS menggunakan radiasi yang difokuskan pada titik-titik
tertentu di bagian otak untuk menghancurkan sel-sel tumor yang terdapat pada
otak. Radiasi yang dipancarkan akan merusak DNA sel-sel tumor, sehingga sel-
sel tersebut akan mengalami kematian. SRS dapat menggunakan radiasi dalam
bentuk sinar Rontgen, gamma, ataupun tembakan proton.
 Neuroendoskopi. Ini adalah metode bedah yang memfasilitasi dokter untuk
memantau kondisi saraf secara visual dan melakukan operasi tanpa membuka
tulang tengkorak. Neuroendoskopi dilakukan menggunakan endoskop yang
dimasukkan lewat hidung atau mulut hingga mencapai bagian dalam tengkorak.
Neuroendoskopi diterapkan untuk mendiagnosis adanya tumor secara visual dan
mengambil sampel jaringan, serta mengangkat tumor.
 Bedah otak atau kraniotomi. Kraniotomi merupakan prosedur bedah yang
dilakukan dengan cara membuka dan mengangkat sebagian kecil tulang
tengkorak untuk melakukan tindakan medis pada otak. Bagian tulang tengkorak
yang diangkat tersebut dinamakan bone flap atau penutup tulang tengkorak.
Setelah tulang tengkorak dipotong dan bone flap diangkat, dokter dapat
melakukan berbagai prosedur medis, baik untuk keperluan diagnosis atau untuk
tindakan medis. Kraniotomi dilakukan dengan obat bius total sehingga pasien
tidak sadar selama operasi. Kraniotomi diterapkan untuk berbagai keperluan,
seperti mengangkat tumor, membuang abses otak, memperbaiki tulang
tengkorak yang patah, dan membuang gumpalan darah.
 Awake brain surgery (AWS). Ini merupakan prosedur bedah saraf kraniotomi
yang dilakukan pada saat pasien sadar. Berbeda dengan kraniotomi
konvensional yang menggunakan obat bius total, pasien yang menjalani AWS
hanya diberikan obat bius lokal dan obat penenang. AWS biasanya dilakukan
untuk mengobati tumor otak atau kejang epilepsi, terutama jika bagian otak yang
menyebabkan kejang terletak dekat pusat penglihatan, pergerakan anggota
badan, dan pusat berbicara. Kondisi tersebut menyebabkan pasien harus tetap
sadar selama prosedur bedah dilakukan, agar dapat memberikan respons
kepada dokter untuk memastikan bedah saraf dilakukan pada lokasi yang tepat.
 Microsurgery atau bedah mikro. Ini merupakan teknik bedah saraf yang
menggunakan mikroskop untuk memperbaiki saraf tepi pada organ tubuh yang
mengalami kerusakan. Penggunaan mikroskop pada bedah saraf mikro
bertujuan untuk memberikan gambaran visual saraf yang sangat halus dengan
lebih teliti untuk membantu perbaikan saraf.
 Pemasangan ventriculoperitoneal shunt. VP shunt merupakan saluran
khusus yang dipasang melalui prosedur pembedahan untuk mengurangi
penumpukan cairan otak pada penderita hidrosefalus. Alat ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan pada otak akibat penumpukan cairan serebrospinal.

Indikasi Bedah Saraf


Satu kelompok prosedur bedah saraf diperuntukkan khusus bagi satu kelompok
penyakit. Contoh-contoh penyakit yang dapat didiagnosis dan ditangani melalui bedah
saraf, sesuai dengan kelompok prosedurnya, adalah:
 Bedah saraf tumor, untuk menangani penyakit yang disebabkan tumor atau
kanker pada organ saraf, seperti glioma, meningioma, neuroma akustik, tumor
pineal, tumor hipofisis, dan tumor di dasar tulang tengkorak.
 Bedah saraf vaskular, untuk menangani stroke, aneurisma otak, dan
 Bedah saraf fungsional, untuk menangani nyeri tulang belakang, trigeminal
neuralgia, penyakit carpal tunnel syndrome, epilepsi, dan kedutan wajah
(hemifacial spasm).
 Bedah saraf traumatik, untuk menangani perdarahan otak, hematoma
subdural, hematoma epidural, dan patah tulang belakang.
 Bedah saraf pediatrik, untuk menangani penyakit saraf pada bayi dan anak-
anak, seperti hidrosefalus, tumor otak pada anak, spina bifida, cranial
dysraphism, dan kraniosinostosis.
 Bedah saraf spinal, untuk menangani tumor saraf tulang belakang, spondilitis
tuberkulosis, dan kelainan bentuk tulang belakang (misalnya skoliosis, lordosis,
atau kifosis).

Peringatan dan Komplikasi Bedah Saraf


Bedah saraf berisiko menimbulkan komplikasi yang dapat terjadi pada saat operasi
maupun setelah operasi. Komplikasi yang dapat muncul pada pasien yang menjalani
prosedur neuroendoskopi, antara lain adalah:

 Sakit kepala.
 Mual.
 Muntah.
 Edema pada otak.
 Kebocoran cairan serebrospinal.
 Perdarahan.
 Infeksi pada lokasi pembedahan.
 Transient oculomotor palsy.
 Transient hemiparesis.

Bagi pasien yang menjalan bedah saraf yang dikombinasikan dengan radioterapi,


seperti stereotactic radiosurgery (SRS), dapat mengalami komplikasi berupa:

 Merasa lemas dan lelah, terutama beberapa hari setelah menjalani SRS.
 Kulit kepala menjadi kemerahan, terutama di lokasi alat radioterapi ditempel.
 Rambut rontok.
 Pembengkakan di lokasi pengobatan tumor.
 Mual.
 Muntah.
 Peradangan otak.

Pasien yang menjalani kranotomi dapat mengalami komplikasi, seperti :

 Terbentuknya gumpalan darah.


 Kejang.
 Pembengkakan pada otak.
 Otot melemah.
 Kelumpuhan.
 Gangguan gerakan dan keseimbangan tubuh.

Pasien yang menjalani awake brain surgery dapat mengalami komplikasi seperti:

 Kehilangan ingatan.
 Gangguan koordinasi anggota badan.
 Gangguan keseimbangan.
 Stroke.
 Meningitis.
 Gangguan penglihatan.
 Kejang.
 Kesulitan berbicara dan belajar.
 Otot terasa lemah.

Pasien yang menjalani pemasangan VP shunt dapat mengalami komplikasi, seperti:

 Infeksi pada otak atau saluran VP shunt.


 Perdarahan.
 Pembengkakan dan terbentuknya gumpalan darah di otak.
 Kerusakan jaringan otak.

Persiapan Bedah Saraf


Pada dasarnya, tiap teknik bedah saraf memiliki persiapan yang berbeda-beda
tergantung jenis tindakan yang dilakukan. Pada prosedur bedah yang bersifat invasif,
seperti kraniotomi, AWS, atau bedah saraf mikro, pasien akan diminta untuk
menghentikan konsumsi obat-obatan pengencer darah (contohnya aspirin). Tujuannya
adalah untuk meminimalkan kehilangan darah selama proses tindakan bedah saraf
berlangsung. Selain itu, pasien yang akan menjalani bedah saraf invasif juga akan
diberikan antibiotik sebelum menjalani operasi, guna mencegah infeksi pada lokasi
bedah.
Dokter juga akan melakukan pemeriksaan sebelum bedah saraf dilakukan.
Pemeriksaan dilakukan dengan metode pencitraan melalui CT scan dan MRI.
Pencitraan dapat memberikan informasi mengenai kondisi bagian dalam otak dan organ
saraf lainnya secara visual terkait adanya jaringan abnormal, pengapuran, perdarahan,
abses, kista, atau tumor.
Aspek persiapan penting lainnya adalah pemilihan obat bius (anestesi) untuk digunakan
selama operasi. Anestesi yang tepat dapat membantu dokter melaksanakan bedah
saraf secara maksimal, meminimalkan komplikasi yang dapat muncul, serta menjaga
kondisi pasien tetap stabil selama operasi. Anestesi yang diberikan dapat berupa
anestesi umum (bius total), regional, atau lokal. Selain berfungsi untuk menahan rasa
sakit selama operasi, anestesi juga dapat merelaksasi otot pasien serta menekan
refleks saraf selama operasi. Contoh teknik operasi yang membutuhkan anestesi
general adalah kraniotomi dan pemasangan VP shunt. Sedangkan, contoh teknik
operasi yang membutuhkan anestesi lokal adalah AWS.
Pasien harus memberitahukan kepada dokter jika memiliki alergi terhadap anestesi,
obat-obatan tertentu, dan zat lainnya (misalnya lateks). Jika pasien sedang
mengonsumsi obat pengencer darah atau memiliki gangguan pembekuan darah,
beritahukan kepada dokter untuk menghindari komplikasi. Pasien yang memiliki
kebiasaan merokok akan diminta untuk berhenti merokok beberapa hari sebelum
pelaksanaan operasi. Pasien yang akan menjalani kraniotomi atau AWS akan diminta
untuk keramas menggunakan sampo antiseptik, dan rambut kepala akan dicukur.
Hindari menggunakan kosmetik dan perhiasan sebelum menjalani operasi bedah saraf,
terutama pada kepala. Pasien harus melepas gigi palsu, lensa kontak, kaca mata,
rambut palsu (wig), dan kuku palsu sebelum menjalani bedah saraf.

Prosedur Pelaksanaan Bedah Saraf


Pasien yang sudah siap menjalani prosedur bedah saraf akan dibawa ke ruang operasi
dan diminta untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian khusus operasi. Pasien
kemudian diposisikan sesuai dengan teknik bedah saraf yang akan dijalani, baik itu
duduk ataupun terlentang. Dokter akan memosisikan pasien dengan baik dan
senyaman mungkin agar tidak timbul komplikasi akibat posisi pasien yang salah selama
operasi berjalan.
Setelah itu dokter akan memberikan obat bius kepada pasien. Pasien yang sudah
diberikan obat bius total akan dipasang selang bantuan pernapasan yang
disambungkan ke mesin pernapasan. Selama operasi, pasien akan dipantau kondisinya
melalui pemantauan tekanan darah, denyut jantung, dan suhu tubuh.
Kebanyakan metode bedah saraf memerlukan pembuatan irisan kulit atau insisi, kecuali
prosedur stereotactic radiosurgery (SRS). Insisi akan dibuat di daerah yang akan
dibedah. Contohnya pada kraniotomi dan AWS, insisi akan dibuat di daerah kepala dan
diikuti dengan pembukaan tulang tengkorak. Daerah tulang tengkorak yang dibuka
disesuaikan dengan keperluan tindakan medis yang sudah dievaluasi sebelum operasi.
Jika pasien akan menjalani bedah mikro saraf tepi, insisi akan dibuat di daerah anggota
badan yang mengalami gangguan saraf tepi. Jika pasien menderita kelainan saraf
sensorik atau motorik di tangan, maka insisi akan dibuat di tangan, begitu pula jika
kelainan saraf terjadi di kaki. Akan tetapi, kondisi pasien juga memengaruhi kapan
bedah mikro saraf tepi dapat dilakukan. Jika kondisi kesehatan pasien cukup baik,
bedah mikro saraf tepi dapat dilakukan dengan segera. Sebaliknya, jika kondisi
kesehatan pasien cukup buruk atau terdapat luka dan cedera parah pada anggota
badan yang akan menjalani bedah mikro, pasien akan ditunggu higga kondisinya pulih
terlebih dahulu.
Pasien yang menjalani neuroendoskopi akan dibuat sayatan di bagian dalam hidung
diikuti dengan pemotongan sebagian kecil tulang sekitar hidung. Insisi ini dibuat dengan
tujuan untuk memasukkan alat endoskop dari dalam hidung menuju otak.
Pasien yang menjalani pemasangan VP shunt untuk mengatasi hidrosefalus dan
peningkatan tekanan dalam otak akan dibuatkan insisi di bagian belakang telinga.
Kateter akan dipasang dari kepala lalu disambungkan ke rongga perut. Kateter akan
membantu menurunkan penumpukan cairan otak dengan mengalirkan cairan tersebut
dari kepala menuju ke rongga perut.
Prosedur bedah saraf kemudian akan dilakukan setelah insisi atau sayatan dibuat. Jika
pasien menderita tumor pada otak atau saraf tulang belakang, tumor akan diangkat.
Pasien yang menjalani bedah mikro saraf tepi akan menjalani perbaikan saraf motorik
atau sensorik di anggota badan yang mengalami cedera saraf. Pasien yang menjalani
kraniotomi dan AWS akan menjalani berbagai tindakan medis pada bagian otak. Pasien
yang menjalani neuroendoskopi akan menjalani pengangkatan tumor dan tindakan
medis lain pada bagian dalam otak.
Khusus pasien yang menjalani tindakan bedah saraf stereotactic radiosurgery atau
SRS, insisi tidak akan dibuat sama sekali. Pasien akan diposisikan telentang di mesin
SRS. Mesin akan memancarkan memancarkan radiasi berupa sinar gamma yang akan
difokuskan pada tumor di dalam otak, dan memotong serta menghancurkan tumor
tersebut tanpa merusak jaringan otak lainnya. Selama prosedur SRS, pasien akan tetap
sadar namun diberikan obat penenang selama prosedur berlangsung.
Pasien yang menjalani AWS akan diberikan berbagai pertanyaan oleh dokter selama
prosedur berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan tergolong sederhana,
yaitu seputar kata dan gambar. Pasien juga akan diminta untuk menggerakkan anggota
tubuh atau menggerakkan jari selama prosedur AWS. Jika seluruh prosedur bedah
sudah selesai dilakukan, insisi yang dibuat akan ditutup kembali.

Setelah Bedah Saraf


Pasien yang sudah menjalani prosedur bedah saraf akan segera dirawat untuk
menjalani pemulihan pasca operasi. Masa pemulihan pasien yang sudah menjalani
bedah saraf sangatlah penting, terutama untuk menghindari komplikasi dan kematian
pasien.
Tindakan bedah saraf umumnya merupakan operasi besar, sehingga pasien akan
menjalani pemulihan di rumah sakit terlebih dahulu sebelum diperbolehkan untuk
pulang. Pasien dapat menjalani pemulihan di ruang ICU, namun beberapa pasien dapat
menjalani pemulihan di ruang rawat inap biasa. Lamanya waktu pemulihan yang dijalani
oleh pasien berbeda-beda, tergantung prosedur bedah saraf yang dijalani dan anestesi
yang diberikan.
Pasien yang menjalani prosedur bedah otak, seperti kraniotomi atau AWS, akan
diposisikan dengan kepala lebih tinggi dibanding anggota badan yang lain setelah
operasi. Tujuannya adalah untuk mencegah penumpukan cairan dan aliran darah di
bagian kepala, dan menghindari pembengkakan pada kepala dan wajah. Untuk
mencegah penumpukan cairan dan pembengkakan otak, dokter dapat memberikan
obat seperti pengatur tekanan osmotik. Selain itu, pasien juga dapat diberikan obat
pengatur tekanan darah untuk menghindari hipertensi, khususnya pada pasien yang
menjalani kraniotomi.
Pasien kraniotomi dan AWS akan dirawat secara intensif dengan dilakukan
pemantauan terhadap:

 Tekanan darah.
 Kadar oksigen dalam darah.
 Denyut jantung.
 Laju pernapasan.

Pasien yang menjalani pemulihan dari kraniotomi akan dicek fungsi otaknya setelah
menjalani operasi. Dokter akan memeriksa:

 Gerakan mata dan pupil melalui penyinaran senter ke mata.


 Gerakan tangan dan kaki.
 Kekuatan tangan dan kaki.
 Orientasi pasien, dengan menanyakan beberapa pertanyaan sederhana, seperti
nama, tanggal, dan tempat pasien berada.

Selama masa awal pemulihan pasca operasi, pasien kraniotomi tetap akan
dipasangkan alat bantuan pernapasan. Untuk memfasilitasi buang air kecil, pasien akan
dipasangi kateter pada saluran kencingnya. Pasien juga akan dilatih untuk bernapas
setelah alat bantu pernapasan dilepas. Latihan pernapasan ini berfungsi untuk
membantu pasien menggunakan paru-parunya kembali, serta mencegah pneumonia.
Pasien yang menjalani prosedur SRS dapat mengalami efek samping, seperti sakit
kepala, mual, dan muntah-muntah. Dokter akan memberikan obat untuk meringankan
efek samping tersebut selama masa pemulihan. Pasien yang menjalani neuroendoskopi
juga dapat merasakan efek samping yang sama, disertai dengan penyumbatan pada
hidung. Dokter akan memberikan obat-obatan untuk meredakan efek samping selama
pasien menjalani masa pemulihan. Dokter juga akan memantau kadar hormon untuk
mengetahui kinerja kelenjar hipofisis pada otak. Jika dari pemantauan diketahui bahwa
kelenjar hipofisis tidak bekerja menghasilkan hormon dengan baik, maka pasien akan
menjalani terapi penggantian hormon.
Antibiotik akan diberikan kepada pasien, baik sebelum atau sesudah menjalani operasi
bedah saraf, untuk mencegah komplikasi akibat infeksi bakteri. Contoh antibiotik yang
diberikan adalah:

 Clindamycin.
 Cefazolin.
 Vancomycin.

Selain diberikan antibiotik, pasien juga dapat diberikan obat pengencer darah untuk
mencegah terjadinya gumpalan darah, kecuali jika pasien memiliki gangguan
pembekuan darah. Untuk mencegah kejang pada pasien bedah saraf otak, dokter dapat
memberikan obat antikonvulsan sebagai upaya pencegahan kejang.
Setelah selesai menjalani pemulihan di rumah sakit, pasien biasanya dibolehkan untuk
pulang ke rumah dan menjalani rawat jalan. Lamanya waktu perawatan di rumah sakit
bergantung kepada seberapa parah tingkat keparahan penyakit saraf yang diderita dan
jenis prosedur bedah saraf yang dijalani.

Anda mungkin juga menyukai