Dokumen
Dokumen
Puji syukur patut kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat,
penyertaan dan bimbinganNya kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul
BINTANG DAN DINAMIKANYA ini dengan baik. Kami juga berterimakasih kepada semua
orang, baik secara langsung maupun tidak langsung telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah kami.
Makalah ini memuat dan membahas tentang salah satu benda langit yang utama, yaitu
bintang, beserta dengan dinamika dan penjelasan-penjelasan terkait mengenai bintang,
termasuk di dalamnya adalah matahari yang merupakan salah satu dari bintang dalam suatu
sistem tata surya.
Semoga makalah Ilmu Planet Bumi dan Antariksa ini dapat bermanfaat dan dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya. Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I PEMBAHASAN.........................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
BAGIAN 1 : MATAHARI SEBAGAI BINTANG..................................................................4
BAGIAN 2 : JARAK BINTANG 9
BAGIAN 3 : GERAK BINTANG 12
KESIMPULAN........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................27
BAB I PENDAHULUAN
Matahari adalah bola raksasa yang terbentuk dari gas hidrogen dan helium. Matahari
termasuk bintang berwarna putih yang berperan sebagai pusat tata surya. Seluruh komponen
tata surya termasuk 8 planet dan satelit masing-masing, planet-planet kerdil, asteroid, komet,
dan debu angkasa berputar mengelilingi matahari. Di samping sebagai pusat peredaran,
matahari juga merupakan sumber energi untuk kehidupan yang berkelanjutan. Panas matahari
menghangatkan bumi dan membentuk iklim, sedangkan cahayanya menerangi Bumi serta
dipakai oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Tanpa matahari, tidak akan ada kehidupan
di bumi karena banyak reaksi kimia yang tidak dapat berlangsung.
BAB II PEMBAHASAN
BAGIAN 1
Benda langit di jagat raya ini jumlahnya banyak sekali. Ada yang dapat memancarkan
cahaya sendiri ada juga yang tidak dapat memancarkan cahaya sendiri, tetapi hanya
memantulkan cahaya dari benda lain. Bintang adalah benda langit yang memancarkan cahaya
sendiri (sumber cahaya). Matahari dan bintang mempunyai persamaan, yaitu dapat
memancarkan cahaya sendiri. Matahari merupakan sebuah bintang yang tampak sangat besar
karena letaknya paling dekat dengan bumi.
Matahari memancarkan energi yang sangat besar dalam bentuk gelombang
elektromagnet. Gelombang elektromagnet tersebut adalah gelombang cahaya tampak, sinar
X, sinar gamma, sinar ultraviolet, sinar inframerah, dan gelombang mikro.
Bintang adalah benda langit yang memancarkan cahaya sendiri (sumber cahaya).
Matahari dan bintang mempunyai persamaan, yaitu dapat memancarkan cahaya sendiri.
Matahari merupakan sebuah bintang yang tampak sangat besar karena letaknya paling dekat
dengan bumi.
2. Lapisan-Lapisan Matahari
Matahari adalah bola gas pijar yang sangat panas. Matahari terdiri atas empat lapisan,
yaitu inti matahari, fotosfer, kromosfer, dan korona.
(1) Inti (2) Zona radiatif (3) Zona konvektif (4) Fotosfer (5) Kromosfer (6) Korona (7)
Bintik matahari (8) Granula (9) Prominensa.
a. Inti Matahari
Bagian dalam dari matahari, yaitu inti matahari. Pada bagian ini terjadi reaksi fusi
sebagai sumber energi matahari. Suhu pada inti matahari dapat mencapai 15 juta derajat
celcius. Berdasarkan perbandingan radius/diameter, bagian inti berukuran seperempat jarak
dari pusat ke permukaan dan 1/64 total volume matahari. Kepadatannya adalah sekitar 150
g/cm3. Suhu dan tekanan yang sedemikian tingginya memungkinkan adanya pemecahan
atom-atom menjadi elektron, proton, dan neutron. Neutron yang tidak bermuatan akan
meninggalkan inti menuju bagian matahari yang lebih luar. Sementara itu, energi panas di
dalam inti menyebabkan pergerakan elektron dan proton sangat cepat dan bertabrakan satu
dengan yang lain menyebabkan reaksi fusi nuklir (sering juga disebut termonuklir). Inti
matahari adalah tempat berlangsungnya reaksi fusi nuklir helium menjadi hidrogen. Energi
hasil reaksi termonuklir di inti berupa sinar gamma dan neutrino memberi tenaga sangat besar
sekaligus menghasilkan seluruh energi panas dan cahaya yang diterima di bumi. Energi
tersebut dibawa keluar dari matahari melalui radiasi.
b. Zona radiatif
Zona radiatif adalah daerah yang menyelubungi inti matahari. Energi dari inti dalam
bentuk radiasi berkumpul di daerah ini sebelum diteruskan ke bagian matahari yang lebih
luar. Kepadatan zona radiatif adalah sekitar 20 g/cm 3 dengan suhu dari bagian dalam ke luar
antara 7 juta hingga 2 juta derajat Celcius. Suhu dan densitas zona radiatif masih cukup
tinggi, namun tidak memungkinkan terjadinya reaksi fusi nuklir.
c. Zona konvektif
Zona konvektif adalah lapisan di mana suhu mulai menurun. Suhu zona konvektif
adalah sekitar 2 juta derajat Celcius (3,5 juta derajat Fahrenheit). Setelah keluar dari zona
radiatif, atom-atom berenergi dari inti matahari akan bergerak menuju lapisan lebih luar yang
memiliki suhu lebih rendah. Penurunan suhu tersebut menyebabkan terjadinya perlambatan
gerakan atom sehingga pergerakan secara radiasi menjadi kurang efisien lagi. Energi dari inti
matahari membutuhkan waktu 170.000 tahun untuk mencapai zona konvektif. Saat berada di
zona konvektif, pergerakan atom akan terjadi secara konveksi di area sepanjang beberapa
ratus kilometer yang tersusun atas sel-sel gas raksasa yang terus bersirkulasi. Atom-atom
bersuhu tinggi yang baru keluar dari zona radiatif akan bergerak dengan lambat mencapai
lapisan terluar zona konvektif yang lebih dingin menyebabakan atom-atom tersebut "jatuh"
kembali ke lapisan teratas zona radiatif yang panas yang kemudian kembali naik lagi.
Peristiwa ini terus berulang menyebabkan adanya pergerakan bolak-balik yang
menyebabakan transfer energi seperti yang terjadi saat memanaskan air dalam panci. Oleh
sebab itu, zona konvektif dikenal juga dengan nama zona pendidihan (the boiling zone).
Materi energi akan mencapai bagian atas zona konvektif dalam waktu beberapa minggu.
d. Fotosfer
e. Kromosfer
Kromosfer adalah lapisan di atas fotosfer dan bertindak sebagai atmosfer matahari.
Kromosfer mempunyai ketebalan 16.000 km dan suhunya mencapai lebih kurang 9.800
derajat C. Kromosfer terlihat berbentuk gelang merah yang mengelilingi bulan pada waktu
terjadi gerhana matahari total.
f. Korona
Korona adalah lapisan luar atmosfer matahari. Suhu korona mampu mencapai lebih
kurang 1.000.000 derajat C. Warnanya keabu-abuan yang dihasilkan dari adanya ionisasi
pada atom-atom akibat suhunya yang sangat tinggi. Korona tampak ketika terjadi gerhana
matahari total, karena pada saat itu hampir seluruh cahaya matahari tertutup oleh bulan.
Bentuk korona, seperti mahkota dengan warna keabu-abuan.
3. Pergerakan matahari
Matahari berotasi pada sumbunya dengan selama sekitar 27 hari untuk mencapai satu kali
putaran. Gerakan rotasi ini pertama kali diketahui melalui pengamatan terhadap
perubahan posisi bintik matahari. Sumbu rotasi matahari miring sejauh 7,25° dari sumbu
orbit bumi sehingga kutub utara matahari akan lebih terlihat di bulan September
sementara kutub selatan matahari lebih terlihat di bulan Maret. Matahari bukanlah bola
padat, melainkan bola gas, sehingga matahari tidak berotasi dengan kecepatan yang
seragam. Ahli astronomi mengemukakan bahwa rotasi bagian interior matahari tidak
sama dengan bagian permukaannya. Bagian inti dan zona radiatif berotasi bersamaan,
sedangkan zona konvektif dan fotosfer juga berotasi bersama namun dengan kecepatan
yang berbeda. Bagian ekuatorial (tengah) memakan waktu rotasi sekitar 24 hari
sedangkan bagian kutubnya berotasi selama sekitar 31 hari. Sumber perbedaan waktu
rotasi matahari tersebut masih diteliti.
Matahari dan keseluruhan isi tata surya bergerak di orbitnya mengelilingi galaksi
Bimasakti. Matahari terletak sejauh 28.000 tahun cahaya dari pusat galaksi Bimasakti.
Kecepatan rata-rata pergerakan ini adalah 828.000 km/jam sehingga diperkirakan akan
membutuhkan waktu 230 juta tahun untuk mencapai satu putaran sempurna mengelilingi
galaksi.
Gumpalan-gumpalan ini timbul karena rambatan gas panas dari inti matahari ke
permukaan. Akibatnya, permukaan matahari tidak rata melainkan bergumpal-gumpal.
Bintik matahari merupakan daerah tempat munculnya medan magnet yang sangat kuat.
Bintik-bintik ini bentuknya lubang-lubang di permukaan matahari di mana gas panas
menyembur dari dalam inti matahari, sehingga dapat mengganggu telekomunikasi gelombang
radio di permukaan bumi.
Lidah api matahari merupakan hamburan gas dari tepi kromosfer matahari. Lidah api
dapat mencapai ketinggian 10.000 km. Lidah api sering disebut prominensa atau protuberan.
Lidah api terdiri atas massa proton-135 dan elektron atom hidrogen yang bergerak dengan
kecepatan tinggi. Massa partikel ini dapat mencapai permukaan bumi. Sebelum masuk ke
bumi, pancaran partikel ini tertahan oleh medan magnet bumi (sabuk Van Allen), sehingga
kecepatan partikel ini menurun dan bergerak menuju kutub, kemudian lama-kelamaan
partikel berpijar yang disebut aurora. Hamburan partikel ini mengganggu sistem komunikasi
gelombang radio. Aurora di belahan bumi selatan disebut Aurora Australis, sedangkan di
belahan bumi utara disebut Aurora Borealis.
d. Letupan (Flare)
Flare adalah letupan-letupan gas di atas permukaan matahari. Flare dapat menyebabkan
gangguan sistem komunikasi radio, karena letusan gas tersebut terdiri atas partikel-partikel
gas bermuatan listrik.
BAGIAN 2
JARAK BINTANG
Jarak bintang merupakan angka-angka yang sangat besar, sehingga para ahli astronomi
tidak lagi menggunakan satuan kilometer untuk menyatakan jarak bintang, seperti halnya kita
tidak lagi menyatakan jarak antarkota dengan satuan milimeter. Oleh karena itu, para
astronom menggunakan satuan yang lain, yaitu satuan Tahun Cahaya (TC). Tahun Cahaya
didefinisikan sebagai jarak tempuh cahaya dalam periode satu tahun.
Bintang adalah benda angkasa berupa bola gas raksasa yang memancarkanenerginya
sendiri dari reaksi inti dalam bintang, baik berupa panas, cahaya maupun berbagai radiasi
lainnya. Di dalam astronomi, metode yang digunakan dalam penentuan jarak adalah metode
paralaks.
Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang diam
dilihat dari dua tempat yang berbeda. Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi dengan
cara yang sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di depan mata
kita. Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara mata kanan
dan mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah pandang dari
mata kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan latar
belakangnya. “Perpindahan” itulah yang menunjukkan adanya paralaks.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh
Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat
(sejak Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609).
Bintang yang ia amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki
paralaks 0,29″. Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat
kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak
mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta
heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan
paralaks ini menjadikan model tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan
model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM.
Paralaks bintang dapat diartikan sebagai pergeseran suatu bintang yang timbul karena
gerakan bumi mengelilingi matahari. Secara numerik paralaks bintang adalah sudut yang
membentuk jarak 1 SA. Semakin jauh letak bintang, lintasan ellipsnya makin kecil,
paralaksnya juga makin kecil.
Gambar 2. Hubungan Paralaks Bintang dengan Jarak
Dengan menggunakan geometri segitiga, yaitu hubungan antara sebuah sudut dan dua buah
sisi, maka dapat dituliskan persamaan:
p r
=
360 2 πd
°
p 1 SA
⟺ =
360 ° 2 πd
360 ° 1 SA
⟺ d= ×
2π p
1
⟺ d= (dalam parsec )
p
atau kita dapat mendefinisikan paralaks bintang melalui rumus dasar trigonometri, yaitu:
1 SA
=tan p
d
karena nilai p sangat kecil (besar sudutnya adalah dalam satuan detik), maka nilai tan p ≈ p
(dibulatkan menjadi p).
Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan
detik busur sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206.265
SA atau 3,09 · 1013 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec,
parsek), yaitu jarak bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Metode paralaks
trigonometri ini hanya bisa digunakan untuk mendapatkan jarak bintang-bintang terdekat
(untuk jarak ratusan parsec).
Pada kenyataannya, paralaks bintang yang paling besar adalah 0,76″ yang dimiliki oleh
bintang terdekat dari tata surya, yaitu bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang
berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang
diamati dari jarak 270 kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29″ dan
jarak 1,36 TC atau sama dengan 3,45 pc.
BAGIAN 3
GERAK BINTANG
Dalam pergerakan bintang diketahui ada dua garis besar gerak pada bintang, yaitu
gerak sejati bintang (disebabkan oleh pergerakan dari bintang itu sendiri) dan gerak semu
bintang (bintang terlihat bergerak disebabkan oleh pergerakan bumi, yaitu rotasi dan revolusi
bumi).
Bila diamati, bintang selalu bergerak di langit malam, baik itu tiap jam maupun tiap
hari akibat pergerakan Bumi relatif terhadap bintang (rotasi dan revolusi Bumi). Walaupun
begitu, bintang sebenarnya benar-benar bergerak, sebagian besar karena mengitari pusat
galaksi, namun pergerakannya itu sangat kecil sehingga hanya dapat dilihat dalam
pengamatan selama berabad-abad. Gerak semacam inilah yang disebut gerak sejati bintang.
Gerak sejati bintang dibedakan menjadi dua berdasarkan arah geraknya, yaitu:
∆λ c +v r
λo
=
√
c−v r
−1
atau dengan pendekatan untuk vr << c dapat digunakan versi non-relativistik yaitu:
∆λ
v r= ×c
λo
Sebagian besar gerak bintang-bintang yang dapat diamati geraknya memiliki kelajuan yang
jauh di bawah kelajuan cahaya, sehingga dapat digunakan rumus non-relativistik.
Kecepatan radial dinyatakan dalam km/s, bernilai positif apabila bintang menjauhi
Matahari dan bernilai negatif apabila bintang mendekati Matahari. Sebenarnya, baik gerak
bintang atau gerak pengamat maupun kedua-duanya, akan menghasilkan pergeeseran
Doppler. Kecepatan radial sendiri tidak menyimpulkan apakah bintang atau Matahari yang
sedang bergerak, melainkan yang diukur adalah kecepatan di mana jarak bintang dan
Matahari bertambah atau berkurang. Kecepatan radial juga sebenarnya tidak ditentukan
secara langsung, karena kita mengamati gerak bintang dari bumi yang berotasi dan
mengorbit, dan tentu saja hal ini akan memberikan kontribusi terhadap pergeseran Doppler.
Kecepatan tangensial adalah gerak bintang sepanjang garis penglihatan. Misalkan pada
suatu tahun, bintang tersebut berada pada koordinat α,δ sekian, namun pada tahun berikutnya
posisinya berubah. Perubahan koordinat dalam tiap tahun ini disebut proper motion (μ) yang
merupakan kecepatan sudut bintang (perubahan sudut per perubahan waktu). Kecepatan
liniernya dinyatakan dalam satuan kilometer per detik (km/s). Kecepatan linier inilah yang
dikatakan kecepatan tangensial, yang dapat dicari dengan menggunakan rumus keliling
lingkaran. Misal perubahan posisi bintang dari x ke x’, yaitu sebesar μ (detik busur) setiap
tahunnya. Jarak bumi-bintang adalah d (dalam parsec), dan μ (dalam detik)
μ
s= × 2 πd
1296000 ' '
μ 2π
v t= × parsec /tahun
1296000
''
p
μ 3,086 ∙ 1013 km
v t= ×
1296000'' ( 365 ×24 ×60 ×60 ) s
4,74 μ
v t=
p
3. Kecepatan Total (total velocity)
Kecepatan total atau kecepatan ruang (space velocity) merupakan resultan dari
kecepatan radial dan kecepatan tangensial. Karena arah sumbu radial dan tangensial tegak
lurus, maka dapat diselesaikan dengan mudah menggunakan dalil Pythagoras atau
trigonometri. Sudut yang dibentuk antara sumbu radial dan vektor kecepatan bintang disebut
sudut β.
v=√ v 2r +v 2t
v r=v cos β
v t=v sin β
Akibat gerak Bumi mengelilingi Matahari, suatu bintang dapat bergerak dengan membentuk
lintasan berupa garis lurus, lingkaran, atau elips, tergantung pada posisi bintang tersebut.
GerakKecepatan
Gambar 4. Hubungan tersebut disebabkan oleh dua hal, yaitu bidang ekliptika (bidang orbit bumi
Radial, Kecepatan Tangensial,
dan Kecepatan Total
mengelilingi matahari) dan kutub ekliptika (garis yang melalui pusat orbit bumi, yaitu
matahari, dan berposisi tegak lurus terhadap bidang ekliptika).
Bintang yang terletak pada bidang ekliptika, apabila diamati selama satu tahun
penuh, maka lintasannya akan membentuk garis lurus
Bintang yang terletak pada kutub ekliptika, apabila diamati selama satu tahun penuh,
maka lintasannya akan membentuk lingkaran
Bintang yang terletak antara bidang ekliptika dan kutub ekliptika, apabila diamati
selama satu tahun penuh, maka lintasannya akan membentuk elips
Matahari merupakan anggota dari galaksi Bima Sakti yang terdiri dari ratusan miliar
bintang. Galaksi itu sendiri berbentuk cakram dan berotasi. Matahari ikut serta dalam gerakan
rotasi galaksi dengan kecepatan 250 km/s, sekali mengorbit terhadap pusat galaksi dengan
periode 200 miliar tahun. Pengamatan kita terhadap proper motion dan kecepatan radial tidak
secara langsung memberikan gambaran gerak terhadap pusat galaksi.
Ahli astronomi telah mendefinisikan sistem acuan di mana perbedaan gerakan bintang-
bintang di mana matahari berada rata-ratanya nol atau dengan kata lain, lingkungan tersebut
relatif diam. Kerangka ini disebut dengan Standar Diam Lokal (Local Standard of Rest,
LSR). Menurut definisi, LSR adalah suatu titik dalam ruang dekat Matahari, di mana bintang-
bintang di sekitar titik tersebut terdistribusi secara seragam, dan jumlah total kecepatannya
terhadap titik tersebut adalah nol.
Matahari bergerak terhadap LSR dengan kecepatan 20 km/s. Kecepatan ini diukur
dengan mengamati gerakan bintang-bintang di sekitar Matahari. Gerak bintang-bintang di
sekitar Matahari merupakan pencerminan dari gerakan Matahari dan bintang-bintang itu
sendiri. Jadi, kecepatan Matahari diukur terhadap suatu titik yang relatif diam terhadap
bintang-bintang di sekitar Matahari.
BAGIAN 4
MAGNITUDO BINTANG
Sekitar tahun 150 SM, seorang astronom Yunani bernama Hipparchus membuat
sistem klasifikasi kecemerlangan bintang yang pertama. Saat itu, ia mengelompokkan
kecemerlangan bintang menjadi enam kategori dalam bentuk yang kurang lebih seperti ini:
paling terang, terang, tidak begitu terang, tidak begitu redup, redup dan paling redup. Hal
tersebut dilakukannya dengan membuat katalog bintang yang pertama. Sistem tersebut
kemudian berkembang dengan penambahan angka sebagai penentu kecemerlangan. Yang
paling terang memiliki nilai 1, berikutnya 2, 3, hingga yang paling redup bernilai 6.
Klasifikasi inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem magnitudo. Skala dalam sistem
magnitudo ini terbalik sejak pertama kali dibuat. Semakin terang sebuah bintang,
magnitudonya semakin kecil. Dan sebaliknya semakin redup bintang, magnitudonya semakin
besar.
Seiring dengan semakin majunya teknologi teleskop, magnitudo untuk bintang paling
redup yang dapat kita amati semakin besar. Contohnya, Hubble Space Telescope memiliki
kemampuan untuk mengamati objek dengan magnitudo 31. Tetapi walaupun bukan lagi nilai
terbesar, magnitudo 6 tetap menjadi nilai penting hingga kini karena inilah batas magnitudo
bintang yang paling redup yang dapat diamati dengan mata telanjang. Tentunya dengan
syarat langit, lingkungan, dan kondisi mata yang masih bagus.
Sama seperti perkembangan yang terjadi pada magnitudo besar, magnitudo kecil juga
mengalami ekspansi seiring dengan semakin majunya teknologi detektor. Dalam kelompok
magnitudo 1 kemudian diketahui terdapat beberapa bintang tampak lebih terang dari yang
lainnya sehingga muncullah magnitudo 0. Bahkan magnitudo negatif juga diperlukan untuk
objek langit yang lebih terang lagi. Kini diketahui bahwa bintang paling terang di langit
malam adalah Sirius, dengan magnitudo -1,47. Magnitudo Venus dapat mencapai -4,89,
Bulan purnama -12,92, dan magnitudo Matahari mencapai -26,74.
Magnitudo yang kita bicarakan di atas disebut juga dengan magnitudo semu, karena
menunjukkan kecemerlangan bintang yang dilihat dari Bumi, tidak peduli seberapa jauh
jaraknya. Jadi, sebuah bintang bisa terlihat terang karena jaraknya dekat atau jaraknya jauh
tapi berukuran besar. Sebaliknya, sebuah bintang bisa terlihat redup karena jaraknya jauh atau
jaraknya dekat tapi berukuran kecil. Sistem ini membuat kecemerlangan bintang yang kita
lihat bukan kecemerlangan bintang yang sesungguhnya. Untuk mengoreksinya, faktor jarak
itu harus dihilangkan. Maka muncullah sistem magnitudo mutlak.
Magnitudo mutlak adalah magnitudo bintang jika bintang tersebut berada pada jarak 10
parsec. Nilainya dapat ditentukan apabila magnitudo semu dan jarak bintang diketahui.
Dengan “menempatkan” bintang-bintang pada jarak yang sama, kita bisa tahu bintang mana
yang benar-benar terang. Sebagai perbandingan, Matahari, yang memiliki magnitudo semu
-26,74, hanya memiliki magnitudo mutlak 4,75. Jauh lebih redup daripada Betelgeuse yang
memiliki magnitudo semu 0,58 tetapi memiliki magnitudo mutlak -6,05 (135.000 kali lebih
terang dari Matahari).
E1
m 1−m 2=−2,5 log
E2
Pengukuran magnitudo berdasarkan keadaan yang tampak dari Bumi seperti di atas
adalah magnitudo semu (m). Magnitudo mutlak (M) adalah perbandingan nilai terang bintang
yang sesungguhnya. Seperti yang Anda ketahui, jarak antara bintang yang satu dan bintang
yang lain dengan Bumi tidaklah sama. Akibatnya, bintang terang sekalipun akan nampak
redup bila jaraknya sangat jauh. Oleh karena itu, dibuatlah perhitungan magnitudo mutlak,
yaitu tingkat kecemerlangan bintang apabila bintang itu diletakkan hingga berjarak 10 parsec
dari Bumi. Dengan mengingat persamaan radiasi E = L / 4πr2 , dengan E adalah energi
radiasi, L adalah luminositas (daya) dan r jarak, maka perhitungan jarak bintang, magnitudo
semu dan magnitudo mutlak (absolut) adalah:
E1
m−M =−2,5 log
E2
L
4 π d2
m−M =−2,5 log
L
4 π 102
2
10
m−M =−2,5 log ( ) d
Perlu diingat jarak dalam persamaan modulus di atas (d) harus dinyatakan dalam satuan
parsec. Satu parsec ialah jarak suatu bintang yang mempunyai sudut paralaks satu detik
busur, yang sebanding dengan 3,26 tahun cahaya (TC) atau 206.265 satuan astronomi (SA).
Jika yang ditanyakan ialah jarak, maka rumus diatas dapat dibalik menjadi:
0,2(m− M +5)
d=10
Jika magnitudo absolut dan magnitudo semunya diketahui, jaraknya dapat dihitung.
Kuantitas m – M dikenal sebagai modulus jarak. Adapun hubungan antara magnitudo mutlak
dan luminositas (daya) bintang, L dapat diterapkan berdasarkan rumus Pogson.
L1
M 1−M 2=−2,5 log
L2
Misalkan magnitudo semu matahari tampak dari Bumi, m = -26,83, maka magnitudo
mutlak matahari, M ialah:
M =m+5−5 log d
M =4,74
Berikut ini adalah tabel skala magnitudo tampak beberapa benda langit:
Canopus -0,7
Polaris +2,0
Uranus +5,6
Neptunus +8,2
Pluto +13,7
BAGIAN 5
KONSTELASI BINTANG
Rasi bintang diidentifikasikan untuk menandai acuan arah mata angin (tentunya yang akan berfungsi
terutama saat malam hari) dengan berbagai bentuknya. Metode kuno yang terbukti akurat hingga
sekarang.
Berikut ini beberapa rasi bintang yang dapat dijadikan acuan sebagai penunjuk arah mata angin :
Rasi bintang ini berbentuk seperti ikan pari, layang-layang, atau salib dan bisa kita lihat pada
langit malam dengan arah agak ke selatan. Sehingga Rasi bintang yang satu ini desbut juga sebagai
Rasi bintang Salib Selatan. Pada rasi bintang ini, ada satu bintang yang paling terang, dan biasanya
dalam peta rasi bintang diberi simbol α (lihat gambar dibawah).
KESIMPULAN
Matahari dan bintang mempunyai persamaan, yaitu dapat memancarkan cahaya
sendiri. Matahari merupakan sebuah bintang yang tampak sangat besar karena letaknya
paling dekat dengan bumi.
= 9,46 · 1012 km
pergerakan bintang diketahui ada dua garis besar gerak pada bintang, yaitu gerak
sejati bintang (disebabkan oleh pergerakan dari bintang itu sendiri) dan gerak semu bintang
(bintang terlihat bergerak disebabkan oleh pergerakan bumi, yaitu rotasi dan revolusi bumi).
DAFTAR PUSTAKA
Esposito, John L. (Ed), Sains Sains Islam, Depok : Inisiasi Press, cet. I. 2004.
HK Tjasyono Bayong. 2009. Ilmu kebumian dan Antariksa. Bandung : UPI & PT Remaja
Rodaskarya