Anda di halaman 1dari 8

CRITICAL APPRAISAL

JURNAL DIAGNOSTIK
BLOK MASALAH PADA DEWASA II (3.5)

TA 2017 – 2018

Disusun Oleh :

1. Hisyam Ilham 15711101


2. Harfit Ishak Malombasang 15711116

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2018
Kasus 4

Seorang perempuan berusia 50 tahun dating dengan keluhan nyeri perut


kanan atas. Nyeri hilang timbul. Tidak disertai keluhan BAB dan BAK. Namun
pasien gemar mengkonsumsi gorengan dan makanan bersantan. Hasil
pemeriksaan fisik menunjukan Murphy sign (+). Dokter merencanakan
pemeriksaan lanjutan laboratorium, diantaranya ALP (alkali phosphatase) dan
GGT (gamma glutamil transferase), serta pemeriksaan radiologi (rontgen dan
USG) untuk melihat apakah terjadi radang atau terdapat batu di saluran empedu
pasien. Suami pasien menanyakan apakah dari pemeriksaan fisik saja tidak cukup
untuk menegakan diagnosis, sejauh mana kemampuan pemeriksaan laboratorium
atau radiologi abdomen dalam menegakkan penyakit pasien.
PICO

Patient Wanita 50 tahun cholecystitis


Intervention Pemeriksaan radiologi CT scan
Comparison Pemeriksaan radiologi USG
Outcome Apakah pemeriksaan radiologi CT scan dapat
mempengaruhi diagnosis cholecystitis ?

Pencarian literatur (Screenshot cara pencarian jurnal)


Introduction
Dewasa ini kejadian cholecystitis berhubungan dengan cholelithiasis,
bahkan sekitar 2/3 dari populasi cholelithiasis atau 90 – 95 % akan berlanjut
menjadi cholecystitis akut. Cholecystitis akut biasanya dihitung berdasarkan
kriteria sekunder meliputi obstruksi pada ductus cysticus, peningkatan tekanan
intraluminal, dan pembesaran kandung empedu yang bisa diikuti iritasi pada
dinding kadung empedu oleh produk pemecah batu empedu maupun infeksi. Jika
obstruksi pada ductus cysticus tetap berlanjut maka necrosis dan perforasi dapat
terjadi. Kira-kira 90 % orang yang melakukan operasi dengan keluhan nyeri perut
atas didasari pada keluhan cholecystitis akut, appendicitis, cholic pada saluran
urinary, ulkus pepticum, dan pankreatitis akut. Sehingga didapatkan ciri spesifik
cholecystitis akut bermanifestasi nyeri perut pada kuadran kanan atas. Sehingga
diperlukan alternatif diagnosis untuk menegakan cholecystitis akut, pemeriksaan
imaging sering berguna karena membantu efisiensi waktu untuk mempermudah
diagnosis sehingga tidak berlanjut pada komplikasi dan dapat mengungkap
komplikasi seperti cholecystitis gangrene dan perforasi yang berakibat
mengancam jiwa.

USG masih digunakan sebagai lini pertama dalam mengevaluasi


cholecystitis berdasarkan modalitas pencitraannya. Sensitivitas dan spesifisitasnya
dilaporkan sebesar 50 – 100 % dan 33 – 100 % sehingga disimpulkan estimasinya
sebesar 81 % dan 83 %. Namun penggunaan CT scan sebagai alternative
diagnosis nampaknya menunjukan hasil yang signifikan walaupun belum terdapat
bukti nyata yang dapat menjelaskan hasil sensitivitas dan spesifisitas tersebut.
Hasil dari penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas deteksi dini kasus
cholecystitis sehingga nantinya dapat bermanfaat dan diterapkan diseluruh
element.

Material and Metode

Penelitian ini merupakan bagian dari Spesialis dan Bedah Care


Collaborative (SSCC) pada lembaga Veteran Administrasi (VA) yang
beranggotakan ahli bedah, ahli radiologi di pusat medis Raymond G. Murphy
Albuquerque. Metodologi penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan
subjek pasien bagian dari SSCC. Tercatat sejak 1 juli 2013 sampai 1 juli 2015
sebanyak 62 pasien terdiagnosis cholecystitis akut. Ultrasound dapat
mendiagnosis 56 pasien dari 62 pasien atau sekitar (90 %). Sedangkan CT scan
mendiagnosis 48 pasien dari 62 pasien (77 %). Dari hasil tersebut sudah dilakukan
modifikasi pada CT scan dengan tidak menambahkan bahan kontras sekunder
untuk fungsi ginjal yang buruk pada 11 pasien (23 %) dan 37 pasien (77 %)
dilakukan dengan bahan kontras.

Langkah selanjutnya membandingkan hasil pemeriksaan pada periode


waktu yang sama namun pasien dipilih acak bertujuan untuk pencitraan nyeri
perut. Karakteristik demografi dari kelompok pembanding serupa dengan grup
pasien cholecystitis akut. Kelompok pembanding dan kelompok pasien AC
digabungkan kemudian di acak dan memberikan gambaran kualitas masing –
masing alat diagnostic. Pemeriksaan menggunakan Ultrasound berdasarkan
visualisasi dari seluruh kantong empedu dan leher kantong empedu dinilai sangat
baik, umum, dan fleksibel dengan marker distensi kandung empedu didefinisikan
> 4 cm dalam dimensi transversal, penebalan kandung empedu didefinisikan >
3mm, dan dilatasi saluran empedu didefinisikan > 6 mm disertai adanya gambaran
dirty shadowing sebagai akibat dari udara yang terdapat di dalam lumen atau
diniding kandung empedu.

Hasil dari CT scan dengan kontras IV hampir sama dengan


Ultrasonography hanya saja choledocholithiasis, dinding kandung empedu tidak
jelas, disertai visualisasi udara dalam kandung empedu dan peningkatan dinding
kandung empedu yang buruk. Diagnosis positif dari cholecystitis akut dibuat
berdasarkan hasil pengamatan setidaknya dua dari temuan yang disebutkan,
meskipun tidak ada temuan yang spesifik untuk membuat diagnosis cholecystitis
akut. Bahan kontras yang digunakan 100 mL iopromide 300 dengan laju 3 ml/s.
para dokter juga menggunakan guideline Tokyo sebagai acuan dalam management
untuk melibatkan ahli bedah umum ketika pasien berada di triase sehingga akan
sesuai dengan algoritma yang dikembangkan. Pasien dengan cholecystitis akut
selain diberikan terapi farmakologi juga dipersiapkan untuk dilakukannya
tindakan operatif kolesistostomi sebagai tindak lanjut dari tatalaksana. Pada
akhirnya diagnosis dibuat menggunakan kriteria klinis dan radilogis dengan
mempertimbangkan tinjauan grafik setiap pasien.

Result

Sensitivitas USG adalah 68% dengan NPV 77% sedangkan CT scan


adalah 85% dengan NPV 90%. Tidak ditemukan positif palsu sehingga spesifitas
dan PPV keduanya 100%. Penggunaan USG dan CT scan bersamaan mampu
mendiagnosis 60% pasien dengan hasil positif terdeteksi di kedua pemeriksaan,
24% pasien hanya terdeteksi pada CT scan, 5% pasien hanya terdeteksi pada
USG, dan 12% pasien tidak terdeteksi pada keduanya.

Discussion

Banyak faktor yang mungkin memengaruhi perbedaan pada penelitian ini


dengan penelitian lain terkait subyek penelitian. USG dapat dijadikan
pemeriksaan penunjang awal untuk mendiagnosis kolesistitis karena memiliki
banyak keuntungan. CT scan dapat digunakan jika keluhan belum jelas terarah
pada kolesistitis. USG memiliki spesifitas lebih tinggi dibanding CT scan, namun
hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor seperti subyek penelitian dan penilai dari
hasil pemeriksaan.

Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu tidak adanya blinding dari


penilai hasil pemeriksaan. Diagnosis kolesistitis berdasarkan gambaran radiologis
sendiri belum memiliki panduan yang pasti, meskipun The Tokyo Guideline
sering dijadikan acuan. Diagnosis koloesistitis memerlukan gabungan dari
beberapa pemeriksaan. Beberapa penelitian merekomendasikan USG untuk
mengoreksi hasil pemeriksaan CT scan, beberapa lainnya sebaliknya.

Conclusion
Sensitivitas alat diagnostic Ultrasound (68 %) sedangkan CT scan (85 %)
untuk US memang tidak sebagus yang dilaporkan studi sebelumnya. Dari lembaga
peneliti CT scan secara statistic dan signifikan lebih baik untuk mendiagnosis
cholecystitis acute dari pada Ultrasound, kemungkinan besar diakibatkan oleh
gambaran klinis yang tidak jelas, populasi pasien, dan lain-lain. Namun
Ultrasound masih menjadi pilihan utama jika masih ditemukan gambaran klinis,
namun jika sudah tidak ditemukan gambaran klinis dapat dilakukan CT scan.

Anda mungkin juga menyukai