Anda di halaman 1dari 2

RUANG LINGKUP SYARI’AH

Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut:

1. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual), yang
terdiri dari: Rukun Islam: mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji.

Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rukun Islam.

a. Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudhu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis,
peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan
mayit, dan lain-lain.

b. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain.

2. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-
menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja
sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan,
wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.

3. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan
berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian,
pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari
suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain.

4. Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan,
zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.

5. Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya : ukhuwa


(persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu
(toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-
lain.

6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, (rendah hati),
pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu),
dan lain-lain.

7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar,


pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.

Maqashid Syariah Imam Syatibi dan Pancasila

Seorang pakar bisnis syariah di Indonesia pernah mengungkapkan bahwa ilmu maqashid syariah Imam
Syatibi bisa dibilang sebagai Pancasilanya Indonesia. Begitu pun dengan apa yang disampaikan sebagian
tokoh-tokoh Islam di negeri ini yang menyimpulkan bahwa Pancasila sejalan dengan maksud atau tujuan
syariah sebagaimana yang disimpulkan oleh Imam Syatibi dengan lima penjagaan: hifzhud din (agama),
nafs (jiwa), nasl (keturunan), aqal (akal), dan maal (harta).

Mereka mencocokkan antara lima penjagaan itu dengan sila-sila yang ada di Pancasila. Sila pertama
cocok dengan hifzhud din, sila kedua cocok dengan hifzhun nafs, sila ketiga dengan hifzhun nasl, sila
keempat dengan hifzhul aqal, dan sila kelima dengan hifzul maal.

Entah apa yang melatarbelakangi pencocokan itu, bisa karena sebuah kamuflase atau strategi dakwah di
negeri yang bukan negara Islam, bisa juga karena memang seperti itulah pemahaman aslinya; tapi dari
sudut pandang sejarah dan isi antara Pancasila dan maqashid syariah Imam Syatibi mempunyai
kandungan yang sangat berbeda. Bahkan, mungkin bertolak belakang.

Hal tersebut dilihat dari dasar pemikiran Imam Syatibi terhadap lingkungannya yang tidak lagi bisa
membedakan mana yang ushul dan mana yang furu’ dalam menilai kehidupan berislam. Hanya karena
berbeda mazhab fikih, mereka seperti berbeda agama dan keyakinan. Dan bukan karena banyaknya
perbedaan agama dan keyakinan seperti yang dipersepsikan oleh para pencetus Pancasila di awal
kemerdekaan Indonesia.

Kedua, maqashid syariah Imam Syatibi berfungsi sebagai ilmu yang menyadarkan kesalahpahaman
masyarakat muslim saat itu terhadap integralitas syariah Islam. Dan bukan sebagai kontrak sosial antar
warga negara, apalagi sebagai ideologi umat. Dengan kata lain, maqashid syariah Imam Syatibi hanya
untuk mengurai kebekuan berpikir umat Islam waktu itu. Dan bukan untuk membuat ajaran baru yang
menyederhanakan isi dan pengamalan syariat Islam.

Anda mungkin juga menyukai