Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN THYPOID

1. KONSEP PENYAKIT

1. DEFINISI

Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi Salmonella Thypi
Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses
dan urine dari orang yang terinfeksi kuman Salmonella(Smeltzer, 2014).
Typhus abdominalis atau demam typhoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya
mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran
cerna, gangguan kesadaran, dan lebih banyak menyerang pada anak usia 12 – 13 tahun ( 70%
- 80% ), pada usia 30 - 40 tahun ( 10%-20% ) dan diatas usia pada anak 12-13 tahun
sebanyak (5%-10%) (Arief, 2010).
Demam typhoid atau Typhus abdominalis adalah suatu penyakit infeksi akut yang
biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran (Price A. Sylvia, 2006).
Demam typhoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negative
Salmonella typhi selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel fagositik
mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah (Darmowandowo, 2006).

2. ETIOLOGI
Penyakit demam thypoid umumnya di sebabkan oleh bakteri gram negatif, bentuk batang,
tidak berkapsul, bersifat aerobik, dan anaerobik fakultif, memiliki flagela dan tidak berspora,
Bakteri tersebut memasuki tubuh manusia melalui saluran pencernaan dan manusia
merupakan sumber utama infeksi yang mengeluarkan mikroorganisme penyebab penyakit saat
sedang sakit atau dalam pemulihan dinamakan salmonella typhi atau salmonella enterica
serotipe Typhi , salmenolla paratyphi A, dan salmonell paratyphi B. Bakteri ini dapat hidup
dengan baik sekali pada tubuh manusia maupun pada suhu yang lebih rendah sedikit, namun
mati pada suhu 70°C maupun oleh antiseptik. Kadang-kadang juga di sebabkan oleh jenis
salmonella yang lain, namun demam tifoid yang di sebabkan oleh salmonella thypi lah yang
cenderung untuk berkembang menjadi peyakit yang lebih berat.
Salmonella sp memeiliki ciri khas amtigen O, H dan Vi. Penyakit tifoid ini sering di
hubungkan dengan paratifoid, yang biasanya lebih ringan dan menunjukkan gambaran klinis
yang sama, atau meyebabkan interitis akut di sebabkan oleh genus bakteri yang sama dengan
subspesies paratyphi A, B, C. Salmonella typhi hanya menginfeksi manusia dan hewan
peliharaan. Salmonella yang berasal dari telur mentah atau tidak matang juga dapat
menyebabkan keracunan makanan. Terdapat ratusan jenis bakteri Salmonella, tetapi hanya 4
jenis yang dapat menimbulkan typhoid yaitu:

1. Salmonella thypi, basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora.
Bakteri ini mempunyai sekurang-kurangnya tiga macam antigen yaitu:
a. Antigen O (somatik, terdiri dari zat komplek liopolisakarida) : Merupakan
polisakarida yang sifatnya spesifik untuk grup Salmonella dan berada pada
permukaan organisme dan juga merupakan somatik antigen yang tidak menyebar.
b. Antigen H : Terdapat pada flagella dan dan bersifat termolabil
c. Antigen V1 : Merupakan kapsul yang meliputi tubuh bakteri dan melindungi antigen
O terhadap fagositosis dan protein membrane hialin.
2. Salmonella paratyphi A
3. Salmonella paratyphi B
4. Salmonella paratyphi C
Typhoid dapat ditularkan melalui feses dan urin dari penderita thypus atau juga carier
(Rahmad Juwono, 1996). Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid dan masih
terus mengekskresi Salmonella typhi dalam feses dan urin selama lebih dari 1 tahun.

3. PATOFIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri
yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis
reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan
mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus
halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus
dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi
Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel
limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati
sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi
mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar
limfe mesenterika, hati dan limfe.
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar
dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara
ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai
oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan
Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung
dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat
menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam
patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya
endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin
dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus
halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk
dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil,
demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik. (Soedarmo, dkk., 2012)

4. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala menurut (Nurarif & Kusuma, 2015, p. 178).

1. Gejala pada anak : Inkubasi antara 5-40 hari dengan rata-rata 10-14 hari.
2. Demam meninggi sampai akhir minggu pertama.
3. Demam turun pada minggu ke empat, kecuali demam tidak tertangani akan
menyebabkan syok, Stupor dan Koma.
4. Ruam muncul pada hari hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.
5. Nyeri kepala, nyeri perut
6. Kembung, mual, muntah, diare, konstipasi.
7. Pusing, bradikardi, nyeri otot.
8. Batuk
9. Epistaksis
10. Lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor)
11. Hepatomegaly, splenomegali, meteroismus
12. Gangguan mental berupa samnolen
13. Delirium atau psikosis
14. Dapat timbul dengan gejala yang tidak tipikal terutama pada bayi muda sebagai penyakit
demam akut dengan disertai syok dan hipotermia.

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :

1. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia
dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada
kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada
batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi
atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam typhoid.

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT


SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali
normal setelah sembuhnya typhoid.

3. Biakan darah
Bila biakan darah positif, hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan
darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini
dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
a. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu
pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat
bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit.
c. Biakan darah terhadap Salmonella typhi terutama positif pada minggu pertama dan
berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat
positif kembali.
b. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi
dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
c. Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba,
pertumbuhan bakteri dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin
negatif.
1. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin).
Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum klien dengan
typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan
pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh Salmonella typhi,
klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :
a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh bakteri).
b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel bakteri).
c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai bakteri)
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

Faktor – faktor yang mempengaruhi uji widal :


a. Faktor yang berhubungan dengan klien :
1) Keadaan umum : Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2) Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakitA: aglutinin baru dijumpai dalam
darah setelah klien sakit 1 minggu dan mencapai puncaknya pada minggu ke-5
atau ke-6.
3) Penyakit – penyakit tertentu : Ada beberapa penyakit yang dapat menyertai
demam typhoid yang tidak dapat menimbulkan antibodi seperti
agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.
4) Pengobatan dini dengan antibiotika : Pengobatan dini dengan obat anti mikroba
dapat menghambat pembentukan antibodi.
5) Obat-obatan imunosupresif atau kortikosteroid : obat-obat tersebut dapat
menghambat terjadinya pembentukan antibodi karena supresi sistem
retikuloendotelial.
6) Vaksinasi dengan kotipa atau tipa : seseorang yang divaksinasi dengan kotipa
atau tipa, titer aglutinin O dan H dapat meningkat. Aglutinin O biasanya
menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H
menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh sebab itu titer aglutinin H
pada orang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
7) Infeksi klien dengan klinis / subklinis oleh Salmonella sebelumnya : Keadaan
ini dapat mendukung hasil uji widal yang positif, walaupun dengan hasil titer
yang rendah.
8) Reaksi anamnesa : keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap
Salmonella typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan typhoid
pada seseorang yang pernah tertular Salmonella di masa lalu.
b. Faktor-faktor Teknis
1) Aglutinasi silang : beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O
dan H yang sama, sehingga reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat
menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain.
2) Konsentrasi suspensi antigen:konsentrasi ini akan mempengaruhi hasil uji widal
3) Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen : ada penelitian yang
berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain Salmonella
setempat lebih baik dari suspensi dari strain lain.
2. Kultur
a. Kultur darah : Bisa positif pada minggu pertama
b. Kultur urin : Bisa positif pada akhir minggu kedua
c. Kultur feses : Bisa positif dari minggu kedua hingga minggu ketiga
3. Anti Salmonella typhi IgM
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi secara dini infeksi akut Salmonella typhi,
karena antibodi IgM muncul pada hari ketiga dan keempat terjadinya demam.

6. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan typoid sampai saat ini masih menganut Trilogi penatalaksanaan demam
thypoid, yaitu  :
a. Kloramphenikol : dosis hari pertama 4 x 250 mg, hari kedua 4 x 500 mg, diberikan
selama demam berkanjut sampai 2 hari bebas demam, kemudian dosis diturunkan
menjadi 4 x 250 mg selama 5 hari kemudian
b. Ampisilin/Amoksisilin : dosis 50 – 15- mg/Kg/BB/hari, diberikan selama 2 minggu
c. Kotrimoksasol : 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung 400 mg sulfametosazol-80 mg
trimetropim), diberikan selama dua minggu.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Diet
1. Cukup kalori dan tinggi protein
2. Pada keadaan akut klien diberikan bubur saring, setelah bebas panas dapat
diberikan bubur kasar, dan akhirnya diberikan nasi sesuai tingkat kesembuhan.
Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini,
yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (pantang sayuran dengan serat kasar)
dapat diberikan secara aman.
3. Pada kasus perforasi intestinal dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif
dengan nutrisi parenteral total.
d. Istirahat
Bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Klien harus tirah
baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari.
Mobilisasi dilakukan bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan kondisi. Klien dengan
kondisi kesadaran menurun perlu diubah posisinya setiap 2 jam untuk mencegah
dekubitus dan pneumonia hipostatik. Defekasi dan buang air kecil perlu perhatian
karena kadang – kadang terjadi obstipasi dan retensi urine.
e. Perawatan sehari – hari
Dalam perawatan selalu dijaga personal hygiene, kebersihan tempat tidur, pakaian,
dan peralatan yang digunakan oleh klien.

7. PENCEGAHAN
A.Pencegahan
Cara pencegahan yang dilakukan pada demam typhoid adalah cuci tangan setelah dari
toilet dan khususnya sebelum makan atau mempersiapkan makanan, hindari minum susu
mentah (yang belum dipsteurisasi), hindari minum air mentah, rebus air sampai mendidih dan
hindari makanan pedas.
1.  Istirahat dan Perawatan
Bertujuan untuk mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring
dengan perawatan dilakukan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, dan
BAB/BAK. Posisi pasien diawasi untuk mencegah dukubitus dan pnemonia orthostatik
serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
2.    Diet dan Terapi Penunjang
a. Mempertahankan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
b. Memberikan diet bebas yang rendah serat pada penderita tanpa gejala meteorismus
( kembung perut), dan diet bubur saring pada penderita dengan meteorismus. Hal ini
dilakukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.
Gizi penderita juga diperhatikan agar meningkatkan keadaan umum dan mempercepat
proses penyembuhan.b. Cairan yang adequat untuk mencegah dehidrasi akibat muntah
dan diare.
c. Primperan (metoclopramide) diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah dengan
dosis 3 x 5 ml setiap sebelum makan dan dapat dihentikan kapan saja penderita sudah
tidak mengalami mual lagi
8. PATHWAY
2. KONSEP KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
1) Identitas, sering ditemukan pada anak berumur di atas satu tahun.
2) Keluhan utama berupa perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing, dan
kurang bersemangat, serta nafsu makan kurang (terutama selama masa inkubasi).
3) Suhu tubuh. Pada kasus yang khas, demam berlangsung selama tiga minggu,
bersifat febris remiten, dan suhunya tidak tinggi sekali. Selama minggu pertama
suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap harinya, biasanya menurun pada pagi hari
dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, pasien terus
berada dalam keadaan demam. Pada minggu ketiga, suhu berangsur turun dan
normal kembali pada akhir minggu ketiga.
4) Kesadaran. Umumnya kesadaran pasien menurun walaupun tidak beberapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi spoor, koma, atau gelisah (kecuali bila
penyakitnya berat dan terlambat mendapat pengobatan). Di samping gejala-gejala
tersebut mungkin terdapat gejala lainnya. Pada punggung dan anggota gerak dapat
ditemukan reseola, yaitu bintik-bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler
kulit yang dapat ditemukan pada minggu pertama demam. Kadang-kadang
ditemukan pula bradikardia dan epistaksis pada anak besar.
5) Pemeriksaan fisik
1) Mulut, terdapat napas yang berbau tidak sedap serta bibir kering dan pecah-
pecah (ragaden). Lidah tertutup selaput putih kotor (Cated tongue), sementara
ujung dan tepinya berwarna kemerahan, dan jarang disertai tremor.
2) Abdomen, dapat ditemukan keadaan perut kembung (Meteorismus). Bisa
terjadi konstipasi, atau mungkin diare atau normal.
3) Hati dan limpa membesar disertai dengan nyeri pada perabaan.
6) Pemeriksaan laboratorium
1) Pada pemeriksaan darah tepi terdapat gambaran leukopenia, limfositosis
relative, dan aneosiniofilia pada permulaan sakit.
2) Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal.
3) Bukan empedu basil Salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah pasien
pada minggu pertama sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urin
dan feces.
4) Pemeriksaan widal
Untuk membuat diagnosis, pemeriksaan yang diperlukan ialah liter zat anti
terhadap antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih menunjukkan kenaikan
yang progresif (Nursalam, 2005).

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
4. Intoleransi aktivitas
5. Defisit perawatan diri

3. RENCANA INTERVENSI
1. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan : Dapat menujukkan TTV dalam batas normal dalam 24 jam
Kriteria hasil :
a. Suhu tubuh dalam rentan normal 36,5 C
b. Nadi dan RR dalam rentan normal
c. Tidak ada perubahan warna kulit dan pusing
Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya
Rasional : Agar terjalin kepercayaan pasien pada perawat
2) Atur jumlah pengunjung
Rasional : Agar pasien tidak merasa panas di dalam ruangan
3) Observasi, suhu, nadi, tekanan darah, dan pernafasan
Rasional : untuk mengetahui perkembangan tanda-tanda vital pasien
4) Beri minum yang cukup
Rasional : Agar pasien tidak dehidrasi (kekurangan cairan)
5) Kompres air biasa
Rasional : untuk menurunkan panas tubuh pasien
6) Pakaikan baju yang tipis dan menyerap keringat
Rasional : mempercepat proses penurunan suhu karena keringat di serap oleh kain
7) kolaborasi pemberian obat antipireksia
Rasional : mempercepat proses penurunan suhu
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis
Tujuan : Masalah nyeri akut teratasi seluruhnya
Kriteria Hasil :
a. Mampu mengontrol nyeri
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
c. Mampu mengenali nyeri
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Intervensi :
1) Catat dan kaji lokasi dan intensitas nyeri (skala 0-10). Selidiki perubahan
karakteristik nyeri
Rasional : mengetahui respon dan sejauh mana tingkat nyeri pasien
1) Berikan tindakan kenyamanan (contoh : ubah posisi)
Rasional : mencegah penekanan pada jaringan yang luka
2) Berikan lingkungan yang tenang
Rasional : agar pasien dapat beristirahat
3) Kolaborasi dengan dokter tentang pemberian analetik, kaji efektifitas dari
tindakan penurunan rasa nyeri
Rasional : untuk mengurangi rasa sakit/nyeri
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan
Tujuan : Dapat menunjukkan tanda-tanda kebutuhan nutrisi terpenuhi dalam 24 jam
dan Berat Badan meningkat
Kriteria Hasil :
d. Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
e. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
f. Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
g. Tidak ada tanda-tanda malnutrisi
h. Tidak terjadi penurunan berat badan
Intervensi :
1) Menjelaskan pentingnya intake nutrisi yang adekuat untuk penyembuhan
penyakit.
Rasional : membantu proses peningkatan intake nutrisi yang adekuat.
2) Kaji status nutrisi pasien
Rasional : untuk mengetahui dan memantau nutrisi pasien.
3) Berikan makanan yang di sukai dan sesuai dengan nutrisi yang di butuhkan
Rasional : meningkatkan kualitas intake nutrisi.
4) Anjurkan kepada orang tua pasien untuk memberikan makan dengan porsi sedikit
tapi sering
Rasional : agar kebutuhan nutrisi pasien dapat terpenuhi
5) Timbang Berat Badan setiap hari pada waktu yang sama
Rasional : untuk mengetahui peningkatan berat badan.
6) Pertahankan kebersihan mulut pasien
Rasional : meningkatkan nafsu makan pada pasien.
7) Kolaborasi dengan tim gizi
Rasional : untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien
4. Intoleransi aktivitas
Tujuan : intoleransi aktifitas pasien teratasi
Kriteria hasil :pasien dapat melakukan aktifiatsnya sendiri tanpa bantuan orang lain,
pasien dapat bergerak bebas.
Intervensi:
1) Jelaskan tentang penyebab intoleransi aktifitas pada pasien
Rasional : agar pasien mengetahui penyebab intoleransi aktifitas
2) Observasi ttv sebelum dan sesudah aktifitas
Rasional : agar mengetahui pemeriksaan ttv sebelum dan sesudah melakukan
aktifitas
3) Berikan lingkungan yang tenang
Rasional : agar pasien bisa merasakan ketenangan
4) Anjurkan klien istirahat bila terjadi kelelahan dan anjurkan pasien melakukan
aktifitas semampunya
Rasional ; untuk menghindari kelelahan karna aktifitas yang berlebihan

5. Defisit perawatan diri

Tujuan : defisit perawatan diri teratasi


Kriteria hasil : ttv dalam batas normal, pasien merasakan kenyamanan karna badan
pasien tidak bau lagi, pasien tampak lebih segar
Intervensi :
1) Kaji kemampuan pasien dalam melakukan perawatan diri
Rasional : untuk mengetahui kemampuan pasien dalam melakukan perawatan
diri
2) Bantu pasien mengganti pakaian yang bersih
Rasional : untuk memberikan rasa nyaman kepada pasien dan agar terlihat rapi
3) Bimbing untuk memandikan atau menyeka pasien dan personal hygiene
Rasional ; untuk meningkatkan kebersihan diri pasien
4) Berikan pujian tentang kebersihan diri pasien
Rasional : meningkatkan harga diri dan memberi semangat untuk berusaha
terus menerus

Anda mungkin juga menyukai