Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Stroke Non Hemoragic

1. Anatomi fungsional otak

Otak merupakan bagian depan dari sistem pusat yang mengalami

perubahan dan pembesaran. Bagian ini dilindungi oleh tiga selaput pelindung

(meningen) dan berada di dalam rongga tulang tengkorak (Chusid, 1983).

Otak memiliki selaput yang disebut dengan meningen dan berfungsi

sebagai proteksi bagi otak saat terjadi benturan. Selaput otak akan menahan dan

mencegah kontak antara otak dengan tulang. Selaput otak terdiri dari 3 lapisan

yaitu : duramater, araknoidmater, piamater (Bahrudin, 2012).

Otak menjadi inti dari sistem saraf dengan beberapa komponen bagian

yaitu cerebrum, cerebellum dan brainsteam yang dibagi lagi menjadi

dienchepalon, mesenchepalon, pons farolli dan medulla oblongata (Irfan, 2012).

a. Cerebrum

Merupakan bagian otak yang paling besar dan paling menonjol. Di sini

terletak pusat saraf yang mengatur semua kegiatan sensorik dan motorik,

mengatur proses penalaran, ingatan dan intelgensia. dibagi menjadi hemispher

dextra dan sinistra oleh suatu lekuk atau celah dalam yang disebut fisura

longitudinalis mayor. Bagian luar hemispher cerebri terdiri dari substansia grisea

yang disebut sebagai cortex cerebri, terletak diatas substansia alba yang

7
8

merupakan bagian dalam (inti) hemispher dan dinamakan pusat medulla. Kedua

hemispher saling dihubungkan oleh suatu pita serabut lebar yang disebut korpus

kolasum. Di dalam substansia alba tertanam kelompokan masa substansia grisea

yang disebut ganglia basalis. Hemispher cerebri dextra mengatur bagian tubuh

sebelah sinistra dan hemispher cerebri sinistra mengatur bagian tubuh dextra,

konsep fungsional ini disebut pengendalian contralateral (Wilson, 1995).

1) Cortex cerebri

Cortex cerebri mempunyai banyak lipatan yang disebut giri (tunggal,

gyrus). Gyrus tersebut membentuk celah-celah/lekukan yang disebut dengan

sulcus, dan membagi setiap hemispher menjadi daerah-daerah tertentu yang

dikenal sebagai lobus frontalis, parietalis, okspital, dan temporal (Wilson, 1995).

2) Area fungsional dari cortex cerebri

Beberapa daerah tertentu dari cortex cerebri telah diketahui memiliki

fungsi spesifik. Pada tahun 1909 Brodmann, seorang neuropsikiater bangsa

jerman telah membagi menjadi 47 area (Wilson, 1995).

a) Lobus frontalis

Area 4 bertanggung jawab untuk gerakan gerakan voluntar, area 6

merupakan bagian dari sirkuit ekstrapiramidalis dan bertanggung jawab atas

gerakan terlatih, Area 8 mengatur pergerakan mata dan perubahan pupil, area 44

dan 45 dikenal sebagai area bicara motorik broca.

b) Lobus parientalis

Merupakan daerah sensorik postcentralis utama yakni area 3, 1, 2; area 5

dan 7 menduduki lobus parientalis atas dan meluas sampai permukaan medial
9

hemispher dan bagian ini menerima serta mengintegrasi berbagai modalitas

sensorik, area 39 bertanggung jawab terhadap bahasa.

c) Lobus temporalis

Area 41 dan 42 (cortex pendengaran primer) berfungsi sebagai area

penerima suara, area 22 (area wernicke) berperan untuk proses pemahaman.

d) Lobus oksipital

Pada area 17 merupakan cortex visual utama yaitu menerima informasi

penglihatan dan menyadari sensasi warna, Area 18, 19 mengatur daerah asosiasi

visual yaitu dimana informasi penglihatan menjadi berarti.

b. Cerebellum

Merupakan pusat koordinasi untuk keseimbangan dan bagian penting dari

susunan saraf pusat secara tidak sadar mengendalikan kontraksi otot volunter

secara optimal (Irfan, 2012).

c. Brainsteam

Ke arah kaudal berlanjut sebagai medulla spinalis. Bagian brainsteam dari

bawah ke atas adalah: (1) medulla oblngata, merupakan struktur batang otak yang

paling bawah dan akan melanjutkan ke kaudal sebagai medulla spinalis, (2) pons,

merupakan jembatan penghubung antara mesenfalon dan medula oblongata yang

fungsinya membantu dalam regulasi pernafasan dan rasa raba, rasa nyeri dan rasa

suhu dan (3) mesenchefalon (otak tengah), merupakan penghubung antara pons

dan cerebellum dengan cerebrum (Irfan, 2012).


10

Sistem neurofisiologi dapat dikategorikan menjadi dua yaitu sistem

piramidal dan sistem ekstrapiramidal.sistem-sistem tersebut akan dijelaskan

sebagai berikut:

a. Sistem piramidal

Kebanyakan serat traktus piramidalis berasal dari sel piramida kecil atau

sel fusiformis dalam area motorik 4 dan 6. Motorneuron area 4 mengatur gerakan

volunter yang halus dari otot otot rangka separuh tubuh contralateral, karena

kebanyakan serat traktus piramidalis menyeberang ke sisi yang berlawanan dalam

medulla oblongata yang lebih rendah (lihat gambar 2.1) (Duus, 1996).

Impuls dalam sel piramida cortex motorik, dalam kenyataannya berjalan

dalam dua jaras yang terletak pada bagian rostral traktus piramidalis yaitu berkas

cortikonuklear yang berakhir pada nukleus saraf cranialis motorik dalam pusat

otak dan berkas cortikospinalis yang berakhir pada cornu anterior medulla

spinalis. Sistem motorik piramidalis berperan terhadap gerakan ketangkasan atau

yang dikehendaki. Lesi pada traktus ini berakibat hilangnya gerakan volunter

yang paling halus. Hilangnya gerakan volunter ini paling baik diamati pada

tangan, jari-jari dan wajah (Duus, 1996).

Gerakan yang ditimbulkan oleh impuls piramidalis adalah gerakan

yang halus, jitu, dan tangkas. Agar gerakan tangkas it dapat berlangsung maka

diperlukan tonus otot yang memadai (bukan hipotonus atau hipertonus), hal ini

hanya dapat terlaksana bila penghantaran impuls umpan balik berlangsung dengan

sempurna. Hal ini dapat terwujud bila susunan saraf ekstrapiramidalis berfungsi

dengan baik (Ngoerah, 1991).


11

Pada medulla oblongata, traktus piramidalis mengadakan penyilangan

pada garis tengah di dalam decussatio pyramidium, dimana 80% bagian serabut-

serabut piramidalis sebelah kanan dari otak menuju atau menyilang ke sebelah kiri

dan menuju ke anterior horn cell (AHC) dari medulla spinalis dan sebaliknya,

traktus piramidalis yang menyilang disebut tractus corticospinalislateralis.

Disamping itu juga 20% bagian dari serabut-serabut piramidalis yang tidak

menyilang tapi langsung menuju ke medulla spinalis pada AHC disebut dengan

tractus corticospinal anterior (Duus, 1996).


12

Gambar 2.1
Perjalanan traktus piramidalis (Duss, 1996)
13

b. Sistem ekstrapiramidal

Istilah motorik sistem ekstrapiramidalis secara sederhana mewakili semua

jaras motorik yang tidak berjalan melewati piramida medula (lihat gambar 2.2)

dan penting karena mempengaruhi sirkuit umpan balik motorik reguator dalam

medulla spinalis, pusat otak, cerebellum dan cortex cerebri (Duus, 1996).

Tonus otot ditentukan oleh keadaan susunan ekstrapiramidalis. Dengan

demikian, susunan ekstrapiramidalis memegang peranan dalam hal menentukan

kedudukan (postur) tubuh dan anggota tubuh. Fungsi sistem ekstrapiramidal yakni

berhubungan dengan gerakan yang berkaitan pengaturan sikap tubuh dan

integrasi otonom. Lesi pada setiap tingkat dalam sistem ekstrapiramidal dapat

mengaburkan atau menghilangkan gerakan di bawah sadar dan menggantikannya

dengan gerakan di luar sadar (involunter movement ) (Duus,2003; Ngoerah,1991).


14

Gambar 2.2
Perjalanan traktus ekstrapiramidalis (Duss, 1996)
15

2. Vaskularisasi otak

Darah mengalir ke otak melalui 2 pembuluh darah besar yaitu sepasang

arteri carotis interna dan sepasang arteri vertebralis (lihat gambar 2.4). darah

vena mengalir ke sinus duralis, kembali ke jantung melalui vena jugularis

(Bahrudin, 2012).

a. Arteri

Sepasang arteri carotis interna dan sepasang arteri vertebralis bebas satu

sama lain hingga memasuki kranium dan menjadi saling berhubungan melalui

sistem anastomosis yaitu sirkulus arteri willisi dan arteri basilaris. Di perifer

sistem ini diikuti oleh arteri-arteri cerebri propia (Duus, 1996).

Pada bagian cirkulus arteri willisi keluar arteria cerebri anterior, arteria

cerebri media dan arteria cerebri posterior untuk menyuplai darah ke otak (lihat

gambar 2.3). Pembentukan sistem saling terkait (anastomosis) berguna untuk

menjamin lancarnya suplai darah ke otak. Kekurangan satu cabang akan segera

diatasi oleh aliran darah yang berasal dari cabang yang lain yang ikut membentuk

lingkaran dari Willisi (Bahrudin, 2012).

Faktor yang mempengaruhi aliran darah di otak, di antaranya ialah: (1)

keadaan arteri, dapat menyempit oleh karena proses aterosklerosis atau tersumbat

oleh trombus atau emboli, (2) keadaan darah, darah yang bertambah kental,

peningkatan viskositas darah, peningkatan hematokrit dapat melambatkan aliran

darah, (3) keadaan jantung, bila denyut jantung tidak teratur dan tidak efesien

(misal pada fibrilasi, blok jantung) maka curahnya akan menurun dan

mengakibatkan aliran darah di otak berkurang. Jantung yang sakit dapat pula
16

melepaskan trombus (kepingan darah) yang kemudian tersangkut di pembuluh

darah/arteri otak sehingga mengakibatkan emboli (Lumbantobing, 1994).

Gambar 2.3
Sistem artei otak (Duus, 1996)
17

Gambar 2.4
Arteri willisi (Bahrudin, 2012)

b. Vena

Aliran vena batang otak atau brainstem dan cerebellum berjalan sejajar

dengan distribusi pembuluh arterinya. Sebagian besar drainase vena cerebrum

adalah melalui vena-vena dalam, yang mengalirkan darah ke plexsus vena

superfisialis dan ke sinus-sinus dura. Akhirnya, sinus-sinus ini mengalirkan darah

ke vena jugularis interna pada dasar tengkorak dan bersatu dengan sirkulasi

umum. Sinus-sinus dura terdiri atas sinus sagitalis superior dan inferior, sinus

sigmoideus transversus (lateral), sinus rectus dan sinus cavernous (lihat gambar

2.6) (Wilson, 1995).


18

Gambar 2.5
Sistem vena di otak (Wilson, 1995)

3. Plastisitas otak

Beberapa asumsi dasar tentang struktur dan fungsi pada otak terkait

dengan plastisitas diantaranya adalah: (1) Otak memiliki struktur tertentu dan

memiliki fungsi tertentu sesuai dengan penataannya (model hierarki), (2) Otak

yang normal akan berkembang sesuai dengan kebutuhan (apabila

dibutuhkan/digunakan maka otak akan berkembang dan sebaliknya), (3)

Pengaturan fungsi tertentu pada otak terdapat pada beberapa tingkat/area,

sehingga bila ada yang rusak, masih ada yang mengatur fungsi yang rusak, (4)

Daerah yang tak memiliki fungsi khusus pada otak dapat belajar atau mengambil

alih fungsi dari daerah yang mengalami kerusakan (Carr & Shepherd, 1987, 1998;

Cohen 1993).
19

Menurut Setiawan (2007) reorganisasi pada sistem saraf dapat terjadi

dalam beberapa bentuk sebagai berikut :

a. Diachisis (neural shock) atau pemuliahan spontan

Merupakan gangguan laten dari aktifitas neural di dekat area kerusakan

serta adanya penurunan suplai darah dan metabolisme pada area tersebut.

Biasanya pasien menunjukan getala flacid. Pemuliahan terjadi secara dini yaitu 3-

4 minggu setelah lesi disebabkan oleh resolusi dari diaschisis. Hilangnya edema

serebri, perbaikan fungsi sel saraf daerah perumbra serta adanya kolateral

berlangsung tidak lama.

b. Perbaikan yang terus berlangsung dalam beberapa bulan bahkan

beberapa tahun (plastisitas otak)

1) Pengefektifan sinapsis laten (silent synapsis recruitment)

Merupakan pembukaan jalur yang sebelumnya telah ada tetapi secara

fungsional terdepresi, dapat terbuka melalui proses pembelajaran. Dalam keadaan

normal, banyak akson dan sinapsis yang tidak aktif (laten). Apabila jalur utama

mengalami kerusakan barulah akson dan sinapsis-sinapsis ini bekerja.

2) Peningkatan sensitivitas hubbungan saraf (Denervation

supersensitivity)

Merupakan peningkatan sensitivitas hubungan saraf paska sinapsis

menjadi sangat sensitif sehingga impuls saraf minimal mampu diterima,

perubahan dalam konduksi dendrit termasuk pengeluaran transmiter dan di

inhibisi terminal eksitatori.


20

3) Axonalregeneration

Terjadinya regenerasi pada serabut saraf dari proksimal menuju ke distal.

4) Collateral sprouting

Merupakan pertunasan dari sel yang utuh atau tidak rusak yang berdekatan

dengan jaringan saraf yang rusak, ke darah denervasi setelah sebagian atau semua

input normalnya rusak.

Gambar 2.6
Plastisitas otak (Setiawan, 2007)
21

4. Etiologi

Hampir 85 % stroke non hemoragic disebabkan oleh sumbatan,

penyempitan arteri atau beberapa arteri yang menuju otak atau emboli yang

terlepas dari jantung atau arteri ekstrakrani sehingga menyebabkan sumbatan di

arteri intrakrani (Irfan, 2012). Pada orang berusia lanjut lebih dari 65 tahun,

penyumbatan atau penyempitan dapat disebabkan oleh Aterosklerosis

(mengerasnya arteri). Hal inilah yang terjadi hampir 2/3 pasien stroke non

hemoragic. Emboli cenderung terjadi pada orang yang mengidap jantung dan ¼

pasien stroke non hemoragic disebabkan oleh emboli. Penyebab lain seperti

gangguan darah, peradangan dan infeksi merupakan penyebab sekitar 5-10 %

kasus stroke non hemoragic dan menjadi penyebab tersering pada orang muda

(Wahyudin, 2008).

Faktor resiko stroke dibagi menjadi dua yaitu faktor yang tidak dapat

dikontrol dan faktor yang dapat dikontrol. Adapun faktor yang tidak dapat

dikontrol meliputi umur, ras/bangsa, jenis kelamin dan riwayat keluarga.

Sedangkan faktor yang dapat dikontrol meliputi hipertensi, diabetes melitus,

hiperlipidemia dan kolesterol, alkohol, kelainan anatomis, penyakit jantung, dan

merokok (Junaidi, 2003).

5. Patofisiologi

Stroke ischemic disebabkan oleh penyumbatan aliran darah, sumbatan ini

terjadi karena penumpukan timbunan lemak yang mengandung kolesterol (disebut

plak) pada pembuluh darah besar (arteri carotis) atau pembuluh darah sedang
22

(arteri cerebri) atau pembuluh darah kecil (Alam, Sustrani dan Hardibroto, 2004).

Akibat adanya sumbatan pada pembuluh darah, maka terjadi serangkaian proses

patologik pada daerah ischemic. Perubahan ini dimulai di tingkat seluler berupa

perubahan fungsi dan struktural sel yang diikuti kerusakan pada fungsi utama

serta integritasfisik dari susunan sel, selanjutnya akan berakhir kematian neuron.

Ischemic di otak dapat bersifat fokal atau global, pada ischemic global aliran otak

secara keseluruhan menurun akibat tekanan perfusi sedangkan ischemic fokal

terjadi akibat menurunnya tekanan perfusi otak regional. Tekanan perfusi otak

ditentukan oleh tekanan darah sistemik dikurangi dengan tekanan intrakranial

(Misbach, 2011).

Proses patologi stroke terbagi menjadi tiga zona yaitu: (1) zona

oedematosa (6 hari-10 hari), bersifat riversibel, (2) zona degenerasi (recovery 3

minggu- 6-8 bulan), disebut juga zona penumbra dan bersifat riversibel, (3) zona

nekrotik (>8 bulan), disebut juga area umbra dan bersifat iriversibel (Kuntono,

2014). Proporsi luas zona umbra dan penumbra bisa sangat bervariasi tergantung

tipe lesi pada otak. kejadian mendadak, terlokalisi (misal stroke) proporsi hampir

sama antara keduanya, tetapi pada kejadian yang lambat (misal tumor) mungkin

hanya ada area umbra tanpa ada penumbra. sedangkan suatu trauma (misal

traumatic brain injury) mungkin mengakibatkan area penumbra lebih dominan

(Held in Cohen, 1993, dikutip oleh Setiawan, 2007).

Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke ischemic (stroke non hemoragic)

dikelompokkan menjadi : (1) Transient Ischemic Attack (TIA) yaitu serangan

stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam, (2) Reversible Iscemic
23

Neurological Deficit (RIND) yaitu gejala neurologis akan menghilang antara > 24

jam sampai 21 hari, (3) Progressing stroke atau stroke in evolution yaitu kelainan

atau deficit neurologis berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai yang

berat, (4) stroke complete yaitu kelainan neurologis sudah menetap dan tidak

berkembang lagi (Junaidi, 2003).

Serabut desenden yang menghantarkan impuls untuk mempengaruhi

kegiatan AHC dikenal sebagai Upper Motor Neuron (UMN). Apabila serabut

saraf ini rusak maka Lower Motor Neuron (LMN) tidak dapat menerima dan

meneruskan impuls, terutama impuls yang mengendalikan gerakan volunter,

keadaan ini disebut Paresis. Sebaliknya pengaruh neuron yang bersifat inhibisi

juga akan melepaskan impuls dari AHC ke otot yang lebih dari biasanya,

akibatnya otot menjadi spastik (Kartono dan Sidharta, 1997).

6. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala stroke yang muncul sangat komplek dan bervariasi,

tergantung derajat lesi dan penyakit penyerta. Namun secara umum tanda dan

gejala dapat digambarkan secara umum meliputi: (1) aspek sensomotorik, pada

aspek motorik yang timbul adalah tonus abnormal baik hipotonus maupun

hipertonus, penurunan kekuatan otot, gangguan gerak volunter, gangguan

keseimbangan, gangguan koordinasi, gangguan ketahanan dan pada aspek

sensoris gangguan yang timbul adalah gangguan propioceptif, gangguan

kinestetik, gangguan diskriminatif, (2) aspek kognitif memori, gangguan yang

timbul adalah adanya penurunan perhatian, penurunan pemahaman, lupa, kurang


24

motivasi, (3) aspek psikiatrik emosi, gangguan yang timbul adalah emosional

yang labil, mudah putus asa dan kurang bekerja sama (Feigin, 2007).

7. Komplikasi

Apabila pasien stroke tidak mendapat penanganan yang baik bisa

menimbulkan akibat yang buruk, misalnya kekakuan sendi, nyeri gerak,

pemendekan otot, pengecilan otot (Misbach J dan Kalim H, 2007).

8. Prognosis

Prognosis penderita paska stroke tergantung dari luas dan letak lesi, umur,

motivasi pasien, terapi yang diberikan, peran keluarga dan keadaan lingkungan

sosial penderita. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dukungangan pihak keluarga

dan masyarakat, terutama untuk memberikan motivasi kepada pasien dalam

menjalani terapi.

Keadaan paska stroke dalam perjalanannya sangat beragam, bisa pulih

sempurna atau bisa sembuh dengan cacat ringan, sedang, cacat berat dan memang

stroke merupakan penyakit yang paling banyak menyebabkan cacat terutama pada

kelompok umur diatas 45 tahun. Biasanya pemulihan gangguan saraf pada stroke

terjadi dalam hari-hari, minggu-minggu pertama, dan setelah 6 bulan masih

terdapat cacat maka perbaikan yang terjadi setelah itu tidak akan mencolok lagi,

walaupun perbaikan ringan masih dapat diharapkan sampai 2 tahun. Kira kira

50% dari penderita stroke masih dapat hidup lebih dari 7 tahun, dan sekitar 50%

dari yang hidup tidak lagi bekerja seperti semua, jadi banyak penderita menjadi
25

penyandang cacat yang cukup berat sedang umurnya masih panjang (Junaidi,

2003).

9. Diagnosis banding

Diagnosis banding untuk stroke non hemorhagic adalah stroke

hemorhagik. Secara klinis perbedaan antara stroke non hemoragic dan hemoragic

adalah sebagai berikut

TABEL 2.1

PERBEDAAN STROKE HEMORAGIC DAN STROKE HEMORAGIC


Gejala Stroke hemoragic Stroke non hemoragic
Onset/saat kejadian Mendadak, sedang aktif Mendadak, istirahat
Peringatan/TIA Tidak ada Ada
Nyeri kepala Hebat Ringan/sangat ringan
Kejang Ada Tidak ada
Muntah Ada Tidak ada
Penurunan kesadaran Sangat nyata Ringan/sangat ringan
Tanda
Nadi bradikardia ++ (sejak awal) +/- pada hari ke 4
Papil edema + (sering) -
Kaku kuduk + -
Kernig, Brudzinski ++ -
Sumber : Junaidi (2003)
26

B. Problematik Fisioterapi

Penderita stroke non haemoragic stadium recovery menimbulkan berbagai

gangguan antara lain:

1 Impairment

Impairment yaitu keluhan yang terjadi akibat adanya patofisiologi dari

stroke non hemoragic stadium recovery seperti abnormal tonus, gangguan

koordinasi dan keseimbangan, hilangnya mekanisme reflek postural normal dan

kelainan sensomotoris.

2 Functional limitation

Functional limitation yaitu gangguan atau keterbatasan kemampuan dalam

hal transfer-ambulasi dari terlentang, miring, duduk, berdiri dan berjalan serta

dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari dikarenakan adanya impairment.

3 Participation restriction

Participation restriction yaitu terganggunya atau keterbatasan dalam

mengaktualisasikan diri dan menjalankan perannya di keluarga dan lingkungan

sosial yang menyangkut pekerjaan dan hobi dikarenakan impairment dan

functional Limitation yang dideritanya.

Sesuai dengan apa yang dibahas di atas, penulis ingin mengetahui,

bagaimana pelaksanaan gerak pasif pada penderita stroke non hemoragic stadium

recovery, bagaimana pelaksanaan latihan inhibisi spastisitas penderita stroke non

hemoragic stadium recovery, bagaimana pelaksanaan latihan gerak selektif


27

fungsional penderita stroke non hemoragic stadium recovery, bagaimana

pelaksanaan latihan keseimbangan dan koordinasi penderita stroke non hemoragic

stadium recovery serta bagaimana pelaksanaan transfer ambulasi penderita stroke

non hemoragic stadium recovery.

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi

Teknologi intervensi yang digunakan dalam penanganan kasus stroke non

hemoragic stadium recovery bervariasi antar individu satu dengan individu

lainnya. Latihan yang digunakan berdasarkan patofisiologi dari stroke non

hemoragic stadium recovery meliputi : gerak pasif, inhibisi spastisitas, latihan

gerak selektif fungsional, latihan keseimbangan, latihan koordinasi dan latihan

transfer ambulasi.

1. Gerak pasif

Pemberian latihan gerak pasif dapat diberikan dalam berbagai posisi

seperti tidur terlentang, tidur miring, tidur tengkurap, duduk, berdiri atau posisi

sesuai dengan alat bantu latihan yang digunakan. Latihan dalam gerakan pasif

sangat bermanfaat sebagai tindakan awal atau preliminary exercise, untuk

pembelajaran tentang gerak (Irfan, 2012).

Latihan Range of Motion (ROM) merupakan sebuah teknik dasar yang

digunakan untuk pemeriksaan gerak dan sebagai permulaan program intervensi

terapeutik (Kisner 2007). Latihan pasif pada anggota gerak meliputi fleksi-

ekstensi bahu, abduksi bahu, abduksi-adduksi horizontal, internal-eksternal rotasi


28

bahu, fleksi-ekstensi siku, fleksi-ekstensi pergelangan tangan, elevasi-depresi

bahu dan protraksi-retraksi bahu. Sedangkan latihan pasif pada anggota gerak

bawah meliputi fleksi-ekstensi pinggul dan lutut (Kisner, 2007).

2. Kontrol tonus

Pada kasus stroke non hemoragic stadium recovery salah satu impairment

yang muncul adalah abnormal tonus otot berupa spastisitas. Inhibisi spastisitas

dapat menormalisasi postural tonus. Tonus yang mendekati normal membuat

gerakan lebih mudah dilakukan, hal ini dapat digunakan untuk mengajari pasien

bergerak selektif. Normalisasi tonus merupakan hal yang sulit bagi fisioterapis.

Untuk tahap awal dapat dilakukan inhibisi spastisitas, ketika tonus mendekati

normal gerak selektif dapat dilakukan (Davies, 1985).

a. Inhibisi spastisitas trunk

Sebelum menggerakkan lengan, fisioterapi harus mengurangi spastisitas

pada trunk untuk memudahkan gerakan skapula (Davies, 1985).

b. Inhibisi spastisitas fleksor lengan

Spastisitas pada lengan dapat di inhibisi dari bawah dan atas. Tujuan

inhibisi spastisitas fleksor lengan adalah agar gerakan pasif yang mengarah

fungsional lebih mudah dilakukan tanpa tahanan. Pasien lebih mudah

menggerakkan lengannya (Davies, 1985).


29

c. Inhibisi spastisitas ekstensor pinggul, ekstensor lutut dan plantar

fleksor kaki

Tujuan inhibisi spasitisitas ekstensor pinggul, ekstensor lutut, plantar

fleksor ankle dan memudahkan lutut untuk fleksi hingga tahanan gerak semua

hilang (Davies, 1985).

3. Latihan gerak selektif fungsional

Latihan ini harus diersiapkan untuk membantu persiapan pasien ke arah

gerak fungsional. Pengulangan gerak pada pola fungsional ini bertujuan untuk

memberikan persepsi terhadap bentuk gerakan yang terarah dan bertujuan

(Wirawan, 2009). Pada fase selanjutnya, persepsi gerak yang telah termemori

dapat digunakan sebagai bentuk stimulasi untuk membentuk sirkuit gerak yang

baru. Gerak fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan seluruh bagian otak

sehingga dapat menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan (Wirawan, 2009).

Latihan gerak ini berupa: (1) Meminta pasien meluruskan lengannya

kedepan dengan siku ekstensi, kemudian meletakkan jarinya pada dahi terapis dan

pasien meletakkan tangannya pada bahu yang sehat, (2) Kontrol tungkai LGS

tertentu yaitu menghambat spastisitas dengan mengontrol tungkai pada lingkup

gerak sendi (LGS) tertentu. hal ini untuk mengontrol tonus yang nantinya

digunakan saat bergerak fungsional, (3) menempatkan tungkai pada berbagai

posisi. hal ini dilakukan untuk mengajari pasien gerak selektif fungsional saat

ambulasi, (4) menempatkan dan memfasilitasi tungkai menyilangkan pada tungkai


30

yang sehat. tujuan latihan ini yakni pasien belajar mengontrol tungkai yang

lumpuh belajar menyilangkan tungkai yang sehat. (Davies, 1985).

4. Latihan keseimbangan dan koordinasi

Latihan ini bertujuan untuk mempertahankan anggota tubuh dalam posisi

tertentu. tehniknya bisa berupa fasilitasi tegak dalam posisi duduk dan posisi

berdiri. Latihan keseimbangan dan koordinasi sebaiknya dilakukan dengan

gerakan aktif dari pasien. latihan aktif dapat melatih keseimbangan dan koordinasi

untuk membantu pengembalian fungsi normal serta melalui latihan perbaikan

koordinasi dapat meningkatkan stabilitas postur atau kemampuan

mempertahankan tonus ke arah normal (Surini, 2003). Koordinasi gerakan

membutuhkan aksi normal dari komponen fungsi motoris dan fungsi sensoris,

terutama sensibilitas posisi sendi (propioceptif). Jadi hilangnya sensibilitas posisi

sendi dapat menyebabkan gangguan koordinasi (Ginsberg, 2005).

5. Latihan transfer ambulasi

a. Latihan transfer dari tidur miring ke duduk

Duduk dari posisi miring pada sisi lesi ditekankan karena efek terapi

karena dapat mengurangi retraksi dari bahu dan memfasilitasi tubuh untuk tegak

(Davies, 1985).

b. Latihan transfer dari duduk ke berdiri

Latihan transfer dari duduk ke berdiri dapat dilakukan dengan cara weight

bearing with selective ekstension. pada latihan ini ekstremitas bawah harus
31

dipersiapkan dengan hati-hati untuk menumpu berat badan sehingga memudahkan

pasien untuk berdiri dengan pola gerak yang normal (Davies, 1985).

c. Latihan persiapan ambulasi

1) Latihan menumpu pada sisi yang lesi

Latihan ini berguna untuk menginhibisi plantar fleksi dan efektif untuk

menstimulasi dorsi fleksi serta mencegah pemendekan tendon achiles (Davies,

1985).

2) Latihan melangkah kaki

Latihan ini untuk membantu pasien dalam berjalan serta menumpu berat

badan pada sisi yang lesi pada posisi tertentu (Davies, 1985).
32

Anda mungkin juga menyukai