Anda di halaman 1dari 17

MATA KULIAH

“KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III ”

“PENYAKIT TEDIA CAPITIS”

Disusun oleh :

Nada Geta Pratiwi

NIM 11161025

S1 Keperawatan (Reguler 9A)

STIKes Pertamina Bina Medika

Jalan Bintaro Raya No. 10 Tanah Kusir, Kebayoran Lama Utara, Jakarta Selatan
No. Telepon : (021) 7234122, (021) 7207184
Tahun Ajaran 2016/2017
A. DEFINISI
Tinea capitis adalah infeksi jamur pada rambut dan kulit kepala, alis mata, dan bulu mata yang
disebabkan oleh jamur dermatofita spesies Tricophyton dan Microsporum.

Tinea capitis

B. ETIOLOGI
Tinea capitis disebabkan oleh jamur golongan Dermatofita yang mempunyai sifat mencernakan
keratin. Dematofita yang dapat menyebabkan infeksi pada kulit kepala dan rambut adalah genus
Tricophyton dan Microsporum. Jamur penyebab tinea capitis ini ada yang bersifat antropofilik,
geofilik, dan zoofilik.
Jamur yang bersifat antropofilik atau hanya mentransmisikan penyakit antar manusia antara lain
adalah Tricophyton violaceum yang banyak ditemukan pada orang Afrika, Tricophyton schoenleinii,
Tricophyton rubrum, Tricophyton megninii, Trichophyton soudanense, Tricophyton yaoundei,
Microsporum audouinii, dan Microsporum ferrugineum.
Jamur geofilik merupakan jamur yang hidup di tanah dan dapat menyebabkan radang yang
moderat pada manusia. Golongan jamur ini antara lain adalah Microsporum gypseum dan
Microsporum fulvum.
Jamur zoofilik merupakan jamur yang hidup pada hewan, namun dapat mentransmisikan penyakit
pada manusia. Jamur zoofilik penyebab tinea capitis antara lain Microsporum canis yang berasal dari
kucing, Microsporum nanum yang berasal dari babi, Microsporum distortum yang merupakan varian
dari Microsporum canis, Tricophyton verrucosum yang berasal dari sapi, dan Tricophyton
mentagrophytes var. equinum yang berasal dari kuda.
Jamur Microsporum
Jamur Trichophyton

C. CARA PENULARAN
Penularan infeksi jamur dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Penularan langsung melalui epitel kulit dan rambut yang mengandung jamur baik dari
manusia, binatang, atau tanah. Penularan tak langsung dapat melalui tanaman, kayu,
pakaian, dan barang-barang lain yang dihinggapi jamur, atau dapat juga melalui debu dan
air.
Ada beberapa faktor yang dapat mempermudah penularan infeksi jamur :
1. Faktor virulensi dari jamur
Virulensi jamur tergantung dari sifatnya apakah antropofilik, zoofilik, atau
geofilik. Jamur antropofilik menyebabkan perjalanan penyakit yang kronik dan residif
karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan. Sementara jamur geofilik
menyebabkan gejala akut ringan sampai sedang dan mudah sembuh.
2. Keutuhan kulit
Kulit yang intak tanpa adanya lesi lebih sulit untuk terinfeksi jamur.
3. Faktor suhu dan kelembapan
Kondisi tubuh yang banyak berkeringat menyebabkan lingkungan menjadi
lembap sehingga mempermudah tumbuhnya jamur.
4. Faktor sosial ekonomi
Infeksi jamur secara umum lebih banyak menyerang masyarakat golongan sosial
ekonomi menengah ke bawah karena rendahnya kesadaran dan kurangnya
kemampuan untuk memelihara kebersihan diri dan lingkungan.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Tinea capitis sering terjadi pada anak-anak dan lebih banyak ditemukan pada
anak laki-laki dibandingkan perempuan.

D. PATOFISIOLOGI
Tinea capitis berhubungan dengan Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale,
yaitu flora normal pada kulit kepala yang dapat berubah sesuai dengan keadaan
lingkungan, seperti suhu, media, dan kelembapan. Selain itu, adanya zat fungistatik
berupa asam lemak rantai pendek dari sekret yang dihasilkan oleh kelenjar sebacea pada
masa post pubertal juga menjadi faktor yang berperan dalam terjadinya tinea capitis.
Hifa jamur bertumbuh secara sentrifugal dari tempat inokulasi awalnya ke dalam
lapisan startum korneum, kemudian mencernakan keratin yang terdapat pada rambut.
Pertumbuhan jamur meluas seiring dengan pertumbuhan rambut. Pada hari ke 12 – 14,
mulai tampak kelainan pada kulit kepala. Rambut yang terkena infeksi jamur menjadi
rapuh dan pecah. Kerusakan rambut mulai tampak pada minggu ketiga. Sementara rambut
menjadi rapuh, infeksi pada stratum korneum juga terus meluas. Pada minggu ke 8 – 10,
pertumbuhan jamur pada kulit kepala bisa mencapai diameter 3,5 – 7 cm sehingga
menginfeksi bagian rambut lain.
Ada 3 tipe invasi pertumbuhan jamur pada rambut :
1. Invasi ektotriks
Biasanya disebabkan oleh M.canis, M.gypseum, T.equinum, dan T.verrucosum.
Pada jenis ini, jamur menginvasi hingga ke luar batang rambut karena terjadi
penghancuran kutikula rambut. Pada pemeriksaan dengan sinar Wood, tampak rambut
yang terinfeksi memberikan fluoresensi berwarna hijau kekuningan.
2. Invasi endotriks
Disebabkan oleh jamur yang bersifat antropofilik, yaitu T.tonsurans dan
T.violaceum. Invasi jamur terbatas hanya di dalam batang rambut saja dan kutikula
rambut masih utuh. Pada penyinaran dengan sinar Wood tidak tampak fluoresensi.
3. Favus
Disebabkan oleh T.schoenleinii yang memproduksi krusta sehingga
mengakibatkan kerontokan rambut.

E . GEJALA KLINIK
Pasien dengan tinea capitis umumnya mengeluh gatal pada kepala dan terkadang
juga terasa nyeri. Kulit kepala yang terinfeksi tampak kemerahan, membengkak, dan
adanya sisik yang mengelupas seperti ketombe. Rambut menjadi rontok sehingga terjadi
kebotakan yang sering menetap.Terkadang ditemukan adanya pembesaran kelenjar getah
bening pada leher.
Pada beberapa kasus, gejala tidak ditemukan secara menyeluruh. Terkadang
ditemukan tinea capitis hanya dengan gejala kerontokan rambut tanpa adanya reaksi
apapun pada kulit kepala, atau bahkan hanya terjadi pengelupasan kulit kepala tanpa
adanya kerontokan rambut sehingga seringkali dikira sebagai ketombe.

Dalam klinis, tinea capitis terbagi menjadi 4 bentuk :


1. Grey patch ringworm
Tinea capitis jenis ini disebabkan oleh jamur Microsporum dan lebih sering
ditemukan pada anak-anak. Gejala diawali dengan adanya papula merah kecil di sekitar
muara rambut yang melebar secara sirkular dan membentuk bercak, kemudian menjadi
pucat dan bersisik. Papula dan perkembangannya tersebut bersifat kering dan tidak
meradang.
Rambut menjadi berwarna abu-abu dan suram, mudah patah, dan mudah dicabut
tanpa rasa nyeri sehingga tampak alopesia setempat yang terlihat sebagai grey patch.
Pemeriksaan yang cukup membantu diagnosis tinea capitis bentuk ini adalah
pemeriksaan dengan sinar Wood, di mana rambut yang sakit tampak menunjukkan
fluoresensi hijau kekuningan melampaui batas grey patch tersebut.

Grey patch ringworm

2. Black dot ringworm


Tinea capitis jenis ini disebabkan oleh jamur golongan Trichophyton, terutama
T.tonsurans dan T.violaceum. Gejala pada permulaan penyakit menyerupai tinea capitis
bentuk grey patch ringworm.
Rambut yang terkena infeksi menjadi sangat rapuh dan patah tepat pada muara
folikel sehingga meninggalkan ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam
di dalam folikel rambut ini memberikan gambaran black dot atau seperti titik-titik hitam.
Sebagai pemeriksaan penunjang dapat dibuat preparat langsung dari rambut
untuk menemukan adanya hifa atau spora jamur. Namun terkadang ujung rambut yang
patah tumbuh masuk ke bawah permukaan kulit sehingga untuk mendapat sediaannya
perlu dilakukan irisan kulit.
Black dot ringworm
3. Kerion
Kerion merupakan reaksi peradangan berat pada tinea capitis berupa bisul-bisul
kecil dan pembengkakan menyerupai sarang lebah yang nyeri disertai dengan skuamasi
dan sebukan sel radang yang padat di sekitarnya. Reaksi ini lebih sering ditemukan pada
infeksi yang disebabkan oleh Microsporum dibandingkan Tricophyton.
Kerion sering dikira sebagai abses pada kulit kepala karena adanya pustula dan
krusta. Rambut yang terinfeksi menjadi mudah putus dan dapat meninggalkan jaringan
parut sehingga mengakibatkan alopesia yang menetap. Terkadang jaringan parut dapat
membentuk suatu penonjolan.
Beberapa ahli meyakini reaksi peradangan pada kerion terjadi akibat respon dari
sistem imun yang berlebihan atau akibat terjadinya reaksi alergi terhadap jamur. Gejala
lokal pada kerion seringkali disertai gejala sistemik berupa demam.

Gambar 6. Kerion
4. Tinea favosa
Bentuk tinea capitis ini jarang ditemukan, terutama disebabkan oleh T.violaceum
dan T.gypsum. Merupakan proses lanjut dari kerion disertai penghancuran batang rambut
yang sangat parah.
Kelainan pada kepala dimulai dengan bintik-bintik kecil berwarna merah
kekuningan di bawah kulit yang kemudian berkembang menjadi krusta yang berbentuk
cawan atau skutula. Rambut di atas skutula ini menjadi tidak berkilau, putus-putus, dan
mudah dicabut.
Yang khas dari bentuk infeksi ini adalah lesinya yang berbau seperti tikus atau
sering disebut mousy odor. Bila menyembuh, lesi meninggalkan jaringan parut dan
menyebabkan alopesia yang permanen.

Tinea favosa

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan dengan sinar Wood. Pada infeksi jamur dengan tipe invasi
ektotriks, rambut yang terinfeksi tampak memberikan fluoresensi hijau kekuningan.
Sedangkan pada tipe invasi endotriks penyinaran dengan sinar Wood tidak memberikan
fluoresensi.
Pemeriksaan dengan sinar Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk
pemeriksaan mikologik agar dapat mengetahui lebih jelas batas daerah yang terkena
infeksi.
Tinea capitis dengan pemeriksaan sinar Wood
Pemeriksaan mikologik baik dalam bentuk sediaan basah maupun biakan diperlukan
untuk membantu menegakkan diagnosis. Pengambilan bahan dilakukan dengan mencabut
rambut pada bagian kulit yang mengalami kelainan dan kulit daerah tersebut dikerok
untuk mengumpulkan sisik kulit. Untuk membuat sediaan basah, bahan yang telah
diambil untuk sediaan diletakkan di atas gelas alas kemudian diberikan larutan KOH 10%
untuk melarutkan keratin.
Melalui mikroskop dapat terlihat adanya makrospora maupun mikrospora pada
sediaan yang diambil dari rambut. Spora tersebut dapat tersusun di luar rambut pada tipe
invasi ektotriks maupun di dalam rambut pada invasi endotriks. Terkadang dapat juga
ditemukan adanya hifa.
Sementara pada sediaan yang diambil dari kerokan kulit, tampak adanya hifa sebagai
2 garis sejajar yang terbagi oleh sekat dan bercabang. Pada infeksi kulit yang sudah lama
atau telah diobati, tampak adanya spora yang berderet atau artrospora.

Sediaan jamur dengan KOH


Gambaran mikroskopik hifa

H. DIAGNOSIS
Diagnosis tinea capitis ditegakkan berdasarkan gejala yang dikeluhkan pasien,
tanda-tanda infeksi jamur yang ditemukan, ditambah dengan pemeriksaan penunjang
untuk memastikan diagnosis. Gejala yang sering dikeluhkan pasien adalah rasa gatal
atau pasien merasa berketombe. Sementara tanda klinis bervariasi tergantung dari
bentuk klinis infeksinya. Pemeriksaan penunjang yang mudah dilakukan adalah
melalui penyinaran dengan lampu Wood.

I. DIAGNOSIS BANDING
1. Alopesia areata
Terdapat daerah di kepala tanpa adanya rambut atau hanya tampak pertumbuhan
rambut yang pendek seperti bercak. Pada alopesia areata, daerah lesi tampak lebih
halus dan tidak bersisik.
2. Dermatitis seboroik
Kerontokan rambut tidak hanya pada satu daerah, tetapi menyebar di beberapa
tempat. Selain itu juga terdapat lesi berupa pengelupasan kulit namun tampak
berminyak yang juga bersifat difus.
3. Impetigo dan karbunkel
Lesi menunjukkan tanda-tanda radan yang lebih jelas disertai rambut yang patah.
Terjadinya impetigo dan karbunkel pada kulit kepala dapat memicu terjadinya kerion.
4. Diskoid lupus eritematosus
Merupakan suatu kelainan yang berjalan kronis dan berakhir dengan alopesia
disertai pembentukan sikatriks. Tampak adanya pengelupasan kulit yang bersisik
dengan bercak-bercak kemerahan, dan kulit wajah juga ikut terlibat. Pemeriksaan
mikologik memberikan hasil yang negatif.
5. Lichen planus
Lesi berbentuk papula dengan puncak yang agak mendatar, terutama pada
ekstremitas dan daerah pipi. Kelainan ini dapat berakhir dengan alopesia yang disertai
pembentukan sikatriks.

J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal yang mudah dilakukan dan memberikan hasil yang cukup
baik adalah dengan memotong rambut yang terkena infeksi jamur. Pengobatan tinea
capitis melalui obat-obatan dilakukan dengan pemberian terapi sistemik maupun
topikal. Anti jamur sistemik yang dapat diberikan antara lain :
1. Griseofulvin
Merupakan obat pilihan utama untuk tinea capitis. Griseofulvin adalah metabolit
sekunder dari jamur Penicillium griseofulvin. Obat ini menghambat pertumbuhan dan
reproduksi jamur dengan menghambat pembentukan mikrotubula di sitoplasma.
Dosis griseofulvin untuk dewasa adalah 0,5 – 1 gram, sedangkan untuk anak-
anak diberikan 10 mg/kg BB/hari. Pada kasus tinea capitis yang disebabkan oleh
T.tonsurans, dosis dapat ditingkatkan hingga 20 mg/kg BB/hari. Untuk mempertinggi
absorpsi dalam usus, obat sebaiknya dimakan bersama makanan yang banyak
mengandung lemak. Terapi griseofulvin membutuhkan waktu hingga 6 minggu agar
obat mencapai pembuluh darah di stratum basale dari kulit. Setelah sembuh klinis,
terapi dilanjutkan selama 2 minggu agar tidak menjadi residif.
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, namun pada beberapa penderita dapat
terjadi sakit kepala dan gangguan pencernaan berupa nausea, vomitus, dan diare.
2. Ketokonazol
Ketokonazol merupakan anti jamur spektrum luas yangd apat digunakan pada
kasus infeksi jamur yang resisten terhadap griseofulvin. Dosis sebesar 200 – 400 mg
per hari diberikan pada pagi hari setelah makan selama 10 hari hingga 2 minggu.
Selama terapi dengan ketokonazol, perlu dilakukan pemeriksaan enzim hepar
secara rutin minimal sebulan sekali karena obat ini bersifat hepatotoksik. Terapi harus
segera dihentikan apabila terjadi peningkatan SGPT hingga 2 – 3 x nilai normal.
Selain bersifat hepatotoksik, ketokonazol memberikan efek samping berupa sakit
kepala, rasa mual, dan terhambatnya sintesis hormon androgen.
Ketokonazol merupakan kontraindikasi pada pasien dengan hipersensitivitas, ibu
hamil dan menyusui, serta pasien dengan gangguan hepar.
3. Itrakonazol
Merupakan anti jamur derivat azol yang cukup efektif dengan efek hepatotoksik
yang lebih rendah. Obat diberikan dengan dosis 100 – 200 mg per hari selama 2
minggu. Efek samping itrakonazol antara lain berupa gangguan pencernaan, sakit
kepala, dan terkadang ditemukan adanya dermatitis eksfoliatif.
4. Terbinafin
Terbinafin merupakan salah satu anti jamur dari golongan alilamin yang efektif
untuk dermatofitosis. Obat ini bekerja menghambat pembentukan skualen, yaitu suatu
zat hidrokarbon tidak jenuh yang membentuk membran sel. Beberapa ahli
mengatakan terbinafin dapat mengurangi kemungkinan terjadinya relaps dari infeksi
jamur.
Dosis terbinafin untuk anak-anak tergantung dari berat badannya. Pada anak
dengan berat badan di bawah 20 kg diberikan terbinafin 62,5 mg per hari, dan pada
anak dengan berat badan 20 – 40 kg diberikan 125 mg per hari. Sementara untuk
orang dewasa diberikan dosis 250 mg per hari.
Efek samping terbinafin yang tersering adalah gangguan pencernaan berupa
nausea, vomitus, nyeri lambung, serta diare atau konstipasi. Gangguan pengecapan
dan sefalgia ringan dapat terjadi namun presentasinya lebih kecil.
Pemberian kortikosteroid sistemik sebagai anti inflamasi diindikasikan pada
kerion stadium dini. Dapat diberikan adalah prednison 3 x 5 mg sehari atau
prednisolon 3 x 4 mg sehari selama 2 minggu. Kortikosteroid diberikan bersama-
sama dengan griseofulvin atau terbinafin.
Di samping pengobatan secara sistemik, diperlukan pengobatan topikal untuk
membantu mempercepat penyembuhan. Mencuci rambut dengan shampo yang
mengandung selenium sulfida dapat mengurangi penyebaran infeksi pada stadium
awal karena mengurangi jumlah spora yang viabel dalam rambut.
Obat-obatan topikal konvensional yang masih banyak digunakan sebagai terapi
tinea capitis antara ain asam salisil 2 – 4%, asam benzoat 6 – 12%, sulfur 4 – 6%,
vioform3%, asam undesilenat 2 – 5%, dan zat warna hijau brilian 1% dalam cat
Castellani. Selain obat tersebut, kini banyak ditemukan obat topikal baru seperti
tolnaftat 2%, derivat imidazol, siklopiroksolamin, dan naftilin 1%.
K. PENCEGAHAN
Untuk mencegah terkena infeksi tinea capitis dapat dilakukan dengan :
1.Menghindari kontak yang erat dengan penderita tinea capitis
2.Menjaga kebersihan diri dengan mandi setelah beraktivitas dan berkeringat
3.Mengeringkan badan dengan baik setiap setelah mandi
4.Mencuci pakaian, sprei, dan barang-barang pribadi lainnya secara rutin
5.Tidak menggunakan sisir, alat cukur, dan handuk secara bersama-sama.

L. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Pengumpulan data
 Nyeri dan kenyaman
Gejala:
a). Klien mengeluh rasa gatal pada daerah kepala (rambut kepala).
b). Klien mengeluh warna rambutnya menjadi abu-abu dan tidak berkilat
lagi.
c). Klien mengeluh rambut mudah patah dan terlepas dari akarnya.
Tanda:
a). tampak papul merah yang kecil disekitar rambut.
b). tampak pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebutan
sel radang yang padat disekitarnya.
c). tampak rambut yang terkena infeksi patah, tepat pada rambut yang
penuh spora.
d). tampak klien menggaruk kepala.
e). rambut klien mudah patah dan tercabut.
 Intregitas ego
Gejala: klien mengatakan malu dengan keadaan penyakitnya
Tanda: klien tampak cemas dengan keadaan kulit dan rambutnya.
b. Pengelompokan data
Gejala:
a). klien mengeluh rasa gatal pada daerah kepala (rambut kepala)
b). klien mengeluh warna rambutnya menjadi abu-abu dan tidak berkilat
lagi
c). klien mengeluh rambutnya mudah patah dan terlepas dari akarnya.
d). klien mengatakan malu dengan keadaan penyakitnya.
Tanda:
a). tampak papul merah yang kecil disekitar rambut
b). tampak pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan serbukan
sel radang yang padat disekitarnya.
c). tampak rambut yang terkena infeksi yang patah, tepat menyerupai
sarang lebah dengan serbukan sel radang yang padat disekitarnya.
d). tampak klien mengaruh dikepala
e). rambut klien mudah patah dan tercabut.
f). klien tampak menarik diri dari lingkungannya.
c. Analisa data
DATA ETIOLOGI MASALAH

Ds: kuman spesies dermatofita Gangguan rasa nyaman gatal


1. Klien mengeluh rasa (genus triphophyton dan
gatal pada daerah microsporun).
kepala (rambut kepala)
2. klien mengeluh warna
rambutnya menjadi
abu-abu dan tidak
berkilat lagi.
3. klien mengeluh
rambutnya mudah
patah dan terlepas dari
akarnya
Do:
1. tampak papul merah
yang kecil disekitar
rambut
2. tampak pembengkakan
yang menyerupai
sarang lebah.
3. tampak rambut yang
terkena infeksi yang
patah, tepat
menyerupai sarang
lebah dengan serbukan
sel radang yang padat. Gangguan harga diri
Ds: Perubahan penampilan kulit
1. klien mengatan malu
dengan keadaan
penyakitnya.
Do:
1. klien tampak menarik
diri dari lingkungan
d. prioritas masalah
1). Gangguan rasa nyaman gatal
2). Gangguan harga diri
2. Diagnosa keperawatan
a. gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kerusakan struktur kulit disertai
gatal-gatal
b. gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan penampilan kulit
3. Rencana Keperawatan
Dx1:
Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kerusakan struktur kulit disertai
gatal-gatal.
Tujuan:
Setelah diberikan tindakan keperawatan gangguan rasa nyaman gatal dapat
teratasi
Kriteria hasil:
Tidak terjadi lecet dikulit pasien dan berkurangnya gatal.
Intervensi:
NO INTERVENSI RASIONAL
1. Beritahu pasien untuk tidak menggaruk saat Mencegah terjadinya luka pada
gatal kepala

2. Mandikan seluruh badan pasien Memberikan rasa nyaman pada


klien
3. Oleskan badan pasien dengan minyak dan salep Untuk mencegah kelembaban
setelah memakai Nacl kulit klien.

4. Jaga kebersihan kulit pasien Membantu mencegah timbulnya


gatal dan menjadi kebersihan
kulit.

5. Kolaborasi oleh dokter untuk pemberian obat Membantu menghilangkan rasa


pengurang rasa gatal gatal
Dx 2
gangguan harga diri berhubungan dengan perubahan penampilan kulit
Tujuan:
Setalah diberikan tindakan keperawatan gangguan harga diri teratasi
Intervensi :
NO INTERVENSI RASIONAL
1. Berikan motovasi untuk menerima keadaannya Memberikan klien semangat
dengan realita untuk mengobati penyakitnya

Untuk mengetahui penerimaan


2. Identifikasi metode koping dan penanganan klien terhadap gangguan pada
situasi stress sebelumnya kulit kepalanya

Agar klien tidak merasa dijauhi


oleh orang disekitarnya
3. Bertindak tidak menilai pada penerimaan klien
dan keluarga

Anda mungkin juga menyukai