Anda di halaman 1dari 8

Di sore itu, sang penerang mulai tergelincir ke arah barat, seakan dia mulai lelah

menerangi bumi, warnanya pun sangat menawan ketika ia kembali ke tempat yang sudah di
tentukan oleh Allah SWT. Banyak orang terpana menyaksikan keindahan dirinya ketika
bersama orang yang mereka sayangi, dan mungkin ada sebagian orang yang sedang diuji
melalui sakit yang dideritanya. Termasuk aku, adalah seorang anak yang hanya bisa
menikmati sunset lewat jendela kecil kamarku, dengan diiringi rasa sakit yang entah kapan
akan berakhir dari atas tempat tidurku, tapi ya sudahlah aku harus mensyukuri segala nikmat
yang telah Allah berikan slama ini kepadaku.

Tak lama kemudian aku merasakan ada seseorang yang mendekati kamarku.

“Krek”, suara pintu itu bergerak sangat pelan, lalu terlihatlah wajah yang tak asing
lagi bagiku, wajah seseorang malaikat yang selama ini merawatku dengan selalu disertai
senyum manisnya ketika aku mulai merengek merasa sakit kepala yang luar biasa. Malaikat
itu membawa sepiring nasi serta lauk pauknya mendekat pelan ke arahku.

“Ica, makan dulu yuk, Ica kan belum pernah makan loh dari tadi” (ucap malaikat itu sangat
lembut, yang tidak lain adalah ibuku).

“Ica lagi gak mau makan bu, Ica lagi mikirin apa sih penyakit Ica ini? Kepala Ica sakit banget
bu” (jawabku dengan memegang kepala yang sakit ini).

“Eh, Ica gak boleh ngeluh begitu, Ica tuh gak sakit apa-apa, Ica itu cuma sakit kepala biasa
aja kok” (jawabnya menenangkan ku).

“Tapi bu, jika Ica hanya sakit kepala biasa saja, mengapa Ica merasa kepala ini sudah hampir
mau pecah? Bahkan hidung Sarah juga sering mengeluarkan banyak darah, bu” (jawabku
dengan nada agak tinggi).

“ya sudah, jika Ica tidak percaya nanti kita ke dokter, tapi Ica makan dulu yah” (jawabnya
singkat sambil membujukku untuk menghabiskan makanan yang dibawanya itu).

“iya bu” (jawabku singkat sambil menyantap makanan itu dengan tidak punya selera
sedikitpun karena terpaksa).
“ AllahhuAkbar…AllahhuAkbar”itulah kalimat yang ku dengar dari luar rumah setelah
menyantap masakan bidadari itu. Aku langsung bersiap untuk sholat maghrib. dengan kondisi
tubuh yang lemah seakan aku sudah tidak mempunyai tenaga untuk berdiri tegak, tapi dengan
izin Allah, mungkin Dia telah mengantarkan satu, dua, atau beberapa malaikat untuk
menopangku sehingga aku tidak terjatuh pada saat berdiri.

Sholat sudah ku laksanakan, sekarang saatnya aku menagih janji ibuku. Ia dan ayah akan
mengantarku ke rumah sakit, walaupun aku sudah tidak bisa melangkah lagi, tapi mereka
berdua menopangku, hingga aku sampai di RSUDB (Rumah Sakit Umum Daerah Belitung).
Disana aku bertemu dengan dokter yang entah siapa namanya, tapi yang penting dia harus
memeriksaku terlebih dahulu, karena aku sudah tidak tahan dengan sakit kepala ini.

Dokter itu sempat menanyakan tentang kondisiku, dan memutuskan untuk meronsen
kepalaku, tapi hasil ronsen itu tidak bisa ku lihat karena katanya cukup ayah dan ibuku saja
yang melihat hasil ronsen itu, sehingga akupun hanya menunggu dan menanti info apa yang
nanti akan aku dapatkan di ruang tunggu sendirian dengan harap-harap cemas, sementara
ayah dan ibuku masih di dalam bersama dokter tadi.

Didalam penantianku terlihat seorang seorang ibu memimpin seorang anak kecil kira-kira
usianya baru berumur 9 tahun tanpa mempunyai rambut sehelaipun dikepalanya. Dengan rasa
penasaran yang tinggi akhirnya aku mendekati dan bertanya kepada ibunya.

“Permisi bu, boleh saya duduk disini?” (tanyaku sambil menunjuk kursi yang ada di
sebelahnya).

“boleh-boleh, silahkan nak” (jawabnya ramah).

“Adek ini kok rambutnya sudah tidak ada bu? Apa memang dari lahir tidak mempunyai
rambut?” (tanyaku sambil menunjuk kearah anaknya dengan berwajah yang tidak berdosa
itu)

“Oh, dia baru selesai menjalankan kemothrapy beberapa minggu yang lalu nak”, (jawab ibu
itu singkat kepadaku).
“Memangnya anak ibu sakit apa?” (tanyaku selanjutnya penasaran, yang bertepatan dengan
ayah dan ibuku keluar dari ruang dokter, sehingga akupun spontan berdiri mau menghampiri
mereka).

“hm…maaf bu, lain kali saja ya kita berbincang lagi, ayah dan ibuku sudah keluar
ini,”(jawabku sambil membungkukkan badan kemudian berjalan tidak sabar mendekati ibu
dan ayahku).

“Eh,iyaa nak” (jawabnya singkat).

Aku langsung berjalan cepat dengan tenaga seadanya sambil mendekati ayah dan ibuku
dengan harapan mereka akan memberitahuku tentang penyakit kepalaku, namun mereka
malah tidak mau memberi kesempatan untukku bertanya, dan mereka hanya memberikan
penjelasan singkat bahwa aku hanya sakit kepala biasa, dan itu hanya karena aku kecapekan
saja.

“kepalamu hanya sakit biasa Ica, mungkin kamu kecapekan beberapa hari terakhir ini”, kata
ayahku dan diiringi anggukan dan senyum mesra dari ibuku.

Aku selalu mempercayai kata-kata ayah dan ibu, hingga sampai ke rumahpun banyak obat
yang harus ku minum, tapi apadaya aku harus meminum obat ini karna hanya obat ini yang
bisa membuat aku sembuh menurut mereka. Dengan wajah memelas akupun memakan 5
macam obat itu, dan langsung menelannya hingga tidak tersisa lagi. Akupun kemudian masuk
ke kamar dan langsung tidur dengan berharap aku bisa bermimpi indah, untuk melepaskan
bebanku hari ini.

Malam pun terasa berlalu begitu saja, seakan-akan aku tertidur hanya beberapa menit tanpa
terasa. Suara kokok ayam itu membangunkanku dari tidur singkatku.

Ku awali pagi itu dengan sholat subuh, dengan doa semoga saja rasa sakit didalam organ
tubuhku ini hilang. Selesai sholat aku kemudian berberes-beres dan lalu bersiap ke sekolah.
Sholat sudah, beres-beres sudah, makan sudah, mandi sudah, bajuku juga sudah sangat rapi
hari itu, sehingga aku siap untuk pergi ke sekolah, (gumamku dalam hati).

Alhamdulillah berkat kerja kerasku dalam belajar ditambah dengan mendalami siyuasi dan
kondisi tentang Negara tetangga, bahkan kebanyakan buku-buku berserakan di kamaku itu
adalah buku non pelajaran di sekolah. Setelah melewati seleksi yang berat dan panjang
hingga ke tingkat nasional untuk mendapatkan beasiswa selama 1 tahun di USA akupun
akhirnya berhasil lolos, dan itu merupakan prestasi yang luar biasa karena membanggakan
provinsiku, sehingga direncanakanlah waktu berangkat ke Amerika pada 10 bulan kedepan.
Alhamduillah aku masih bisa membanggakan orang tuaku, walaupun mereka sndiri
menurutku tidak pernah tahu kalau penyakit di kepalaku ini sudah tidak bisa aku tahan
sebenarnya.

Saatnya aku bergegas dan mengayuh sepedaku dengan sangat cepat, hanya sekitar 15 menit
aku sampai di depan gerbang sekolah, entah mengapa aku merasa aneh, semua teman-teman
di sekolah melihat diriku dengan wajah kasihan, apa yang terjadi pada diriku? Ternyata
mereka melihat ada darah yang keluar dari hidungku, aku pun langsung mengelap sebagian
darah itu dengan menggunakan tisu.

“ Dub..dub…dub” suara sepatuku berbunyi sangat cepat dan terdengar oleh banyak orang,
aku langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan darah di hidung itu.dengan melihat
ke kaca kamar mandi aku menatap wajahku yang pucat serta kantung mataku yang terlihat
agak hitam, layaknya hewan panda.

Aku yakin hari ini aku akan baik-baik saja, aku kuat, aku sehat, aku gak sakit! Semangat itu
tiba tiba bergejolak dan muncul secra tiba-tiba dalam diriku, sehingga aku langsung pergi ke
kelas untuk menempatkan tasku disebelah sahabatku Winda. Pemandangan yang anehpun
diperlihatkan oleh karibku ini, mungkin dia tadi mengetahui juga kalau banyak teman-teman
yang melihatku dengan kondisi hidungku yang berdarah.

“Ica, kamu gak papa?, hidung kamu kenapa?”(tanyanya cemas sambil melihat wajahku)

“Enggak kok win, tadi Cuma mimisan sedikit, aku cuma kecapekan aja win” (jawabku agar
winda tidah kembali cemas).

“oh gtu, kalo ada apa-apa bilang yah ca, jangan mendem sendiri, kan ada aku disini”
(sahutnya menghibur diriku).

“hehehe, siap Komandan” (jawabku sambil mengangkat tangan dan hormat, layaknya
seorang prajuirt berhadapan dengan komandannya).
Hari demi hari kulewati, keadaanku semakin memburuk, pendengaranku agak berkurang,
pengelihatan agak buram, bahkan darah yang keluar dari hidung ini semakin banyak,
kepalaku juga hampir setiap menit merasakan kesakitan yang luar biasa. Dengan dibekali
buku pelajaran yang ku pelajari sendiri karena aku sudah hmpir 2 bulan tidak bersekolah, aku
banyak tahu tentang dunia ini. hingga akhirnya suatu hari ayah dan ibuku memberi tahu apa
penyakit yang sebenarnya ada pada diriku. Sempat ku menangis ketika mengetahui
keadaanku yang sebenarnya, sempat kecewa kepada orang tua ku, mengapa mereka tidak
memberi tahu keadaanku dari awal.

KANKER OTAK? Apa itu kanker otak? Aku tidak mengetahui jelas mengenai penyakit
kanker otak. Apakah ini penyakit yang ganas? Apakah aku akan mati karena penyakit ini?
Sebenarnya apa yang diinginkan penyakit ini? Mengapa dia masuk ke dalam tubuhku? Apa
aku selama ini banyak berbuat dosakah, sehingga Allah menghukumku dengan penyakit ini?
aku tidak pernah mendapat penjelasan tentang kanker otak ini. apakah dia akan merusak
semua organ dalam tubuhku? aku selalu bertanya-tanya tentang hal ini kepada diriku sendiri.

Buku Anatomi Manusia? Buku ini memberi penjelasan tentang semua organ tubuh termasuk
otak kita. Buku medis lainnya menyebutkan jalan satu-satunya untuk membunuh sel-sel
kanker adalah dengan Kemothrapy. Waduh… sungguh menyeramkan, sementara waktuku
untuk mempersiapkan beasiswa ke Amerika sudah hampir habis, hanya tinggal beberapa
bulan lagi. Apakah aku akan sembuh secepat aku? Kepalaku pusing sekali hingga tanpa sadar
aku menjatuhkan piring di atas meja hingga pecah?

Ayah dan ibuku akhirnya membawaku ke Rumah Sakit, mereka berdua menyesal karena
tidak memberi tahu tentang penyakit ini kepadaku dar awal sebelumnya, apalagi ayahku
terlihat sekali sangat menyesali dengan keadaanku yang sekarang.

“Ica, maafkan ayah, karena tidak memberitahumu dari awal, ayah hanya takut kamu akan
trauma dan berpikiran yang tidak-tidak dengan keadaan sakitmu sehingga akan memperparah
kondisi kesehatanmu lainnya, ayah juga tidak berfikir panjang karna ayah fikir kanker ini
akan hilang dengan sendirinya, maafkan ayah Ica”(ucapnya terbata-bata dengan meneteskan
air mata)

“sudahlah yah, lupakan saja masa lalu, Ica sudah memaafkan ayah dan ibu kok” (jawabku
singkat).
Mendengar kalimat singkatku itu, tanpa aku mengerti ayahku menangis sejadi-jadinya
berbarengan dengan isak tangis ibuku yang seakan-akan ada suatu beban yang baru lepas dari
emosi mereka masing-masing. “pak, bu, Ica harus secepatnya di kemothrapy bila perlu besok
jika Ica sudah siap, saya akan menyiapkan alat-alat untuk kemothrapynya, karena yang saya
takutkan penyakit ini akan memakan sel-sel lain sehingga bisa merenggut nyawanya” (jelas
sang dokter).

“Ica siap kok dok, besok kita akan kemothrapy” (jawabku tegas kepada dokter itu).

“Ica? Apa kamu yakin? (Tanya ibuku)

“Ica yakin bu, Ica kan anak yang kuat, ayah dan ibu tidak perlu khawatir” (jawabku dengan
menahan air mata ini)

Akhirnya diputuskan bahwa besok aku akan dikemothrapy, mungkin akan ada alat-alat
dokter yang menusuk, membelah, bahkan membuat bagian kepalaku tidak sesempurna
sebelumnya. malam itu aku ditemani buku yang sangat banyak mulai dari buku fisika, bahasa
inggris, anatomi manusia hingga mengenai negara-negara tetangga lainnya seakan mereka
semua ini adalah sahabat keduaku, karena setiap hari aku ditemani buku-buku ini.

Setelah kurang lebih 3 jam aku membaca semua buku itu tanpa henti, aku berdoa kepada
Allah agar di lancarkan untuk kemothrapy besok, aku yakin, Allah tidak akan pernah
memberi cobaan diluar batas kemampuan mahluknya, hingga saat itu aku tertidur pulas dan
melupakan apa yang terjadi hari ini.

Pagi itu dengan kursi roda yang didorong oleh ayahku dan didampingi ibuku dan suster
perawat, tibalah aku diruang tunggu operasi. Hiruk-pikuk rumah sakit saat itu menambah
semangatku sesaat untuk segera di kemothrapy. Doa dan dzikir sudah tak terhitung lagi aku
lakukan dan kupanjatkan didalam hati, yang pasti pikiranku tidak harus dan tidak boleh
mengganggu keadaan otakku yang sebentar lagi sudah sangat genting akan terjadi dalam
hidupku.

Dari kejauhan aku melihat seorang ibu yang dulu pernah berbincang kepadaku dengan wajah
agak sedih seperti orang yang kehilangan sesuatu, dan aku merasa aneh karena aku sudah
tidak melihat anak kecil yang selalu bersamanya. kemudian aku mendekati ibu tersebut
dengan perasaan ingin mengetahui apa yang terjadi.
“Bu, bagaimana kabarnya?”(Tanya ku ramah kepada ibu tersebut).

“baik kok nak, loh, kamu kan yang dulu itu pernah berbincang dengan ibu”(jawabnya dengan
nada agak lemah dan kaget).

“hah? Ibu masih ingat ya?, dimana bu anak kecil itu, apa dia sudah sehat sekarang, dimana
dia bu?”(tanyaku sambil tersenyum kepada ibu tersebut)

“dia, dia sudah meninggal kemaren lusa ketika menjalani kemothrapy yang ke tiga kalinya
nak” (jawabnya kepadaku sambil meneteskan air mata).

“Innalillahi wa innailaihi rojiun, yaAllah bu, maafkan aku ya bu, aku tidak tau bu, maafkan
Ica” (jawabku tak sanggup membendung air mata).

Apa aku akan bernasib sama seperti adik tersebut? YaAllah lancarkanlah proses
kemothrapyku hari ini gumamku dalam hati.

Anda mungkin juga menyukai