Anda di halaman 1dari 17

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA

GUNA MENCEGAH MASUKNYA PENGARUH RADIKALISME


PADA PESERTA DIDIK
Oleh : Dr Tjeppy MMPd
Dosen Fkip Universitas Suryakancana Cianjur

A. Latar Belakang
Dari survei nasional yang dilakukan Wahid Foundation dan LSI
diketahui bahwa terdapat 600.000 orang pernah melakukan aksi radikalisme
atas nama agama dan 11 juta jiwa berpotensi berbuat radikal jika ada
kesempatan. (Kompas , 16 Februari 2017, hlm.7).r
Selanjutnya dari survei di kalangan kerohanian Islam di Sekolah, lebih
dari 60 % responden setuju berjihad saat ini ataupun di masa depan.(Kompas
17 Februari 2017, hlm.7).
Data survey tersebut dapat menjadi indikator bahwa 60 % peserta didik
pada lembaga pendidikan sudah terpengaruh paham radikalisme, dan salah
satu pintu gerbang masuknya paham radikalisme yang cukup efektif adalah
melalui media sosial dan media elektronik.
Pengurus Pusat Lembaga Dakwah PBNU KH. Ahmad Shodiq
mengatakan, radikalisme agama berawal dari keinginan memaksakan
kehendak bahwa orang lain harus sama pemikiran, sama pedoman. Sehingga
ketika perbedaan tersebut dianggap prinsipil, maka akan timbul sifat
intoleransi. Sehingga, bisa terjadi sikap keras dan brutal yang sering kita
sebut radikal. (Sumber: https://www.kabar-banten.com/media-sosial-
pengaruhi-radikalisme/)
Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Azyumardi Azra
mengungkapkan paham radikal yang menganggap pemahamannya paling
benar juga telah menyusup ke sekolah menengah melalui guru. (Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia
_lapsus_radikalisme_anakmuda_sekolah)
Selanjutnya, Peneliti Maarif Institute, Abdullah Darraz, mengatakan
bahwa melemahnya nilai Pancasila dan kebangsaan di sekolah berbanding
lurus dengan maraknya radikalisme itu.
"Institusi sekolah ini dalam pandangan kami, dari aspek sisi kebijakan,
proses pembelajaran di kelas dan proses eskrakulikuler yang membuat
radikalisme itu menguat di sekolah negeri. Ada sekolah yang terlalu permisif
yang membolehkan kelompok radikal masuk situ, itu mengatasnamakan
bimbingan belajar dan konseling," jelas Darraz.
Masuknya paham radikalisme melalui guru sebagai pendidik, juga
melalui media sosial serta media elektronik. Pakar komunikasi, Gabriel
Weimann (2014), menduga salah satu alasan kelompok teroris menyukai
media sosial sebagai media propaganda karena secara demografis banyak
dihuni kalangan muda yang menjadi target dan sasaran potensial radikalisasi
dan rekrutmen.(Sumber: https://www.republika.co.id/berita/koran/opini-
koran/15/03/16/nlarob4-media-sosial-dan-radikalisasi)
Hal tersebut cukup beralasan mengingat efektivitas media sosial karena
lebih komunikatif, interaktif, dan langsung menyasar ke sasaran. Dari proses
itulah radikalisasi berjalan di dunia maya.
Gary R Bunt mengulas fenomena ini dengan istilah Islamic Authority
Online, yakni munculnya fatwa online dengan ragam ideologi, termasuk yang
radikal sekalipun. Otoritas keagamaan online selain meruntuhkan otoritas
keagamaan offline ternyata memiliki pengaruh besar mengubah pemahaman
dan ekspresi keagamaan seseorang.
Sebenarnya fenemona belajar Islam online bukanlah persoalan, justru
sebagai media dan pendekatan baru pembelajaran. Namun, berapa banyak
dari remaja yang concern pada latar belakang dan validitas situs dan media
sosial yang dikunjungi. Harus dipahami bahwa situs dan media sosial radikal
dewasa ini telah masif dan intensif menggunakan media baru ini sebagai
media penyebaran paham dan ajarannya.
Maraknya radikalisme di dunia maya menandai perubahan pola dan
strategi baru radikalisasi. Remaja tidak lagi-meskipun masih ada-mengalami
proses radikalisasi di tempat ibadah dan ruang rahasia. Dewasa ini,
kebanyakan remaja telah teradikalisasi di dunia maya saat waktu senggang di
kamar tidur, ruang sekolah, dan tempat istirahat. Proses radikalisasi melalui
dunia maya tentu akan masif terjadi dan sulit diidentifikasi dan dikontrol.
Karena itulah, kita banyak berharap dari tumbuhnya pertahanan diri
remaja yang dengan cerdas dan bijak mampu membandingkan berita dan
konten situs sehingga ada keseimbangan perspektif dan pengayaan
pengetahuan. Gerakan cerdas media menjadi keniscayaan di tengah kian
gencarnya tebaran propaganda terorisme di media online.

B. Pembatasan Masalah
Dengan bertitik tolak dari latar belakang di atas, karya ilmiah ini mengkaji
permasalahan denga batasan masalah yaitu, bagaimana seharusnya
implementasi nilai-nilai Pancasila guna mencegah masuknya pengaruh
radikalisme pada kalangan pelajar dan mahasiswa ?

C. Landasan Teoritis
1. Kebijakan Pendidikan
Dalam Pasal 2, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, diakui bahwa Pancasila
merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara. Selanjutnya
Pancasila dijadikan dasar untuk terbentuknya Undang-undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Makna pendidikan tersebut tentunya searah dengan nilai-nilai
Pancasila dan wajib diimplementasikan oleh pendidik dalam rangka
mencerdaskan masyarakat.
Dengan didasarkan kebijakan tersebut, tentunya masuknya paham
radikalisme oleh guru bertentangan dengan makna pendidikan
tersebut. Peserta didik yang terpengaruh paham radikal tidak memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Ketidakmampuan lembaga pendidikan mengimplementasikan
kebijakan pendidikan menyebabkan tidak tercegahnya pengaruh
paham radikalisme masuk ke sekolah. Kebijakan pendidikan
seharusnya dipahami oleh para pendidik sebagai suatu pedoman untuk
mendidik peserta didik.
Dalam hal kebijakan pendidikan telah kita lihat berkaitan dengan
wilayah etika melihat kenyataan tindakan pendidikan sebagai suatu
proses pemberdayaan peserta-didik. Oleh karena pendidikan
merupakan suatu ilmu praksis yang berarti kesatuan teori dan praktik
maka kebijakan pendidikan terletak dalam tatanan normatif dan tatanan
deskriptif.
Aspek-aspek yang tercakup dalam kebijakan pendidikan antara
lain yaitu (H.A.R Tillar, 2008: 140) :
a. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan deliberasi
mengenai hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadi
manusia dalam lingkungan kemanusiaan. Proses pendidikan
sebagai proses pemanusiaan terjadi dalam lingkungan alam serta
lingkungan sosialnya. Oleh sebab itu, kebijakan pendidikan
merupakan penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam
masyarakat tertentu.
b. Keterbukaan (openness). Proses pendidikan sebagai proses
pemanusiaan terjadi dalam interaksi sosial. Hal ini berarti bahwa
pendidikan merupakan milik masyarakat. Apabila pendidikan itu
merupakan milik masyarakat maka suara masyarakat dalam
berbagai tingkat perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan
pendidikan perlu mendengar suara atau saran-saran dari
masyarakat. Kebijakan pendidikan yang bisu dari suara-suara
dalam masyarakat merupakan penggerhanaan dari hakikat
pendidikan itu sendiri. Hal ini terjadi dalam suatu masyarakat
diktator atau otoritarian yang kebijakan pendidikannya ditentukan
dari atas atau dari seseorang atau dari kelompok masyarakat
tertentu saja berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya. Kebijakan
pendidikan yang dilahirkan dalam kondisi masyarakat yang
demikian adalah kebijakan pendidikan yang didasarkan kepada
pemaksaan dan hal itu berarti pembelengguan dari hakikat
manusia yang paling hakiki yaitu kemerdekaan. Dilihat dari sifat
keterbukaan kebijakan pendidikan bukan berarti kebijakan
pendidikan tidak mempunyai arah. Kebijakan pendidikan dalam
prosesnya telah melalui pertimbangan-pertimbangan dari
berbagai pihak sehingga keputusan yang diambil akan mem-
berikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat banyak.
Kebijakan pendidikan yang elitis bertentangan dengan kehidupan
sosial yang menghargai akan kemerdekaan manusia. Hanya
dalam masyarakat demokratis yang memiliki keterbukaan dalam
kebijakan pendidikan sehingga memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya untuk rakyat banyak.
c. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang
tepat. Kebijakan pendidikan yang kurang jelas arahnya akan
mengorbankan kepentingan peserta didik. Seperti yang telah
dijelaskan, proses pendidikan adalah proses yang menghormati
kebebasan peserta didik. Peserta didik bukanlah objek dari suatu
proyek pendidikan tetapi subjek dengan nilai-nilai moralnya.
2. Nilai-nilai Pancasila
Menurut Suwarma Al Muchtar (2018) , nilai-nilai Pancasila sebagai
Suatu Sistem Nilai-nilai yang terkandung dalam sila satu sampai dengan sila
lima merupakan cita-cita harapan dan dambaan bangsa Indonesia yang akan
diwujudkannya dalam kehidupan.
Pancasila secara konsep dapatlah disebut sebagai suatu sistem
tentang segala hal, karena secara konseptual seluruh yang tertuang
dalam sila berkaitan erat dan saling tidak dapat dipisahkan, suatu
kebulatan yang utuh dan dapat digambarkan sebagai berikut.

Bahwa seluruh sila digambarkan sebagai lingkaran mulai dari sila


pertama yang merupakan bagian terdalam, kemudian lingkaran
selanjutnya yang diberi nomor sesuai dengan sila dalam pancasila dan
seterusnya. Jiwa seluruh sila ada pada bagian yang paling dalam yaitu
merupakan core (inti) dari seluruh sila, adalah Sila Pertama. Karena
Sila Pertama itu mencerminkan nilai-nilai spiritual yang paling dalam,
maka secara substansial tidak mudah berubah. Sila berikutnya
digambarkan sebagai lingkaran lain di luar dari lingkaran inti tersebut,
dengan substansi mulai dari kemanusiaan, persatuan, musyawarah
mufakat, juga adil dan makmur. Arah panah dalam gambar tersebut
memperlihatkan suatu korelasi yang bermakna proses timbal balik dan
perubahan. Arah panah dari luar ke dalam menunjukan bahwa
perubahan akan dimulai oleh bagian yaitu menyangkut masalah
ekonomi atau kesejahteraan masyarakat, kemudian disusul sunstansi
lainnya sesuai dengan gambar lingkaran di atas. Arah panah dari dalam
keluar memperlihatkan sebuah hubungan, bahwa sila-sila dalam
Pancasila bahwa sila-sila dalam Pancasila seluruhnya dijiwai oleh Sila
Pertama. Apabila dilihat secara bulat atau holistik (satu kesatuan), yaitu
dengan melihat dasar pikiran dalam Sila Pertama, Ketiga dan Kelima,
maka keseimbangan (balance) merupakan substansi pokok yang
terkandung di dalamnya. Keseimbangan yang dijelaskan dalam
keseluruhan silanya adalah, keseimbangan antara kepentingan individu
dengan kepentingan masyarakat serta kepentingan penguasa, yang
dituntun oleh Sila Ketuhanan.
Model keseimbangan yang demikian itu pula pada dasarnya
dikembangkan dalam sistem ketatanegaraan atau pemerintahan Islam
ketika masa pemerintahan Rasulullah. Keseimbangan individu,
masyarakat, penguasam yang dikontrol oleh Kehendak Illahiah.
Kesemuanya mengandung beberapa prinsip sebagai berikut :
a. Prinsip-prinsip Umat, bahwa orang-orang mukmin adalah umat
yang satu, tidak termasuk golongan lain, orang-orang Yahudi dan
sekutunya adalah satu umat dengan orang mukmin.
b. Prinsip persatuan dan persaudaraan, yakni persatuan dan
persaudaraan seagama maupun persatuan dan persaudaraan
sosial, atau persatuan dan persaudaraan kemanusiaan;
c. Prinsip persamaan, yaitu pengakuan hak-hak yang sama antara
kaum muslimin dan bukan muslim;
d. Prinsip kebebasan, Islam memberikan kebebasan dalam banyak
hal untuk terpeliharanya masyarakat yang sangat pluralistik;
e. Prinsip hubungan antar pemeluk agama, pemeluk agama baik
Islam atau di luar Islam pada dasarnya wajib menjalin hubungan
baik dalam berbagai hal.
f. Prinsip pertahanan, kedaulatan dari berbagai ancaman musuh,
dan menciptakan rasa aman kepada seluruh warga.
g. Prinsip hidup bertetangga, Orang yang dapat perlindungan
memperoleh hak-hak dan kewajiban yang sama dengan
pelindungnya.
h. Prinsip tolong menolong, membela yang lemah dan teraniaya;
sebagai aktualisasi adanya kebersamaan dan persahabatan yang
harmonis.
i. Prinsip perdamaian, perdamaian di antara komunitas muslim,
juga perdamaian muslim dengan komunitas lainnya, sebagai
implementasi bahwa Islam adalah agama perdamaian.
j. Prinsip musyawarah, adanya kesepakatan dan dapat diterima
substansinya oleh orang yang mengadakan perjanjian.
k. Prinsip keadilan, perlakuan adil harus diberlakukan pada muslim
atau non muslim.
l. Prinsip pelaksanaan hukum, Pelaksanaan hukum yang
merupakan konsekuensi dari penerimaan terhadap substansi (isi)
Konstitusi Medinah sebagai perjanjian yang disepakati dan
ditandatangani oleh seluruh Kelompok Yahudi.
m. Prinsip kepemimpinan; yaitu posisi Rasulullah, sebagai
pemimpin umat juga pemimpin masyarakat yang terdiri dari
banyak suku dan agama.
n. Prinsip ketaqwaan, sebuah prinsip hubungan yang bersifat
horisontal dan vertikal dalam Islam.
Implementasi cita-cita tersebut diupayakan oleh bangsa Indonesia agar
terwujud Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kondisi dimana
munculnya neo ideologi mampu mempengaruhi daya mampu implementasi
dan kemurnian aktualitas dasar dan ideologi negara ideologi negara negara
berkembang serta mempengaruhi daya mampu warga negara sebagai subyek
ideologi mengaktualisasikan ideologi Pancasila.

D. Pembahasan
Masuknya paham radikalisme melalui guru dapat berarti guru tersebut
tidak memahami nilai-nilai Pancasila sehingga mengabaikan tuntutan
kebijakan pendidikan nasional.
Falsafah Pancasila sulit dipahami bagi guru oleh karenanya diperlukan
adanya manajemen perubahan di sekolah / lembaga pendidikan. Oleh
karenanya diperlukan pemahaman mengenai nilai-nilai Pancasila agar
mampu mencegah masuknya pengaruh radikalisme. Guru yang telah
membiarkan bahkan menyetujui masuknya paham radikalisme perlu
diberikan pembinaan secara khusus untuk dapat memahami makna spiritual
dalam Pancasila.
Sementara landasan hukum, terkandung dalam UUD 1945 dan
Pancasila mengamanahkan untuk "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Bagaimana hal tersebut dapat terwujud jika guru tidak memahami falsafah
Pancasila sebagai landasan berfikir untuk mencerdaskan peserta didiknya
agar mampu menghindari dan mengabaikan paham radikalisme yang didapat
baik dari guru maupun dari media sosial ?
Kondisi terdapat kelemahan dalam implementasi nilai-nilai Pancasila
disebabkan karena :
a. Nilai Nilai Pancasila Lebih banyak diketahui dari pada dipahami
b. Kajian pengetahuan lebih kuat dari pada kajian ideologi dan filosofik
c. Kajian pragmatik lebih kuat dari pada kajian historis dan aktualisasi
d. Kajian formalistik lebih kuat dari pada subtantif -kelangkaan teori aktualisasi
Pancasila
e. Nilai Nilai Pancasila belum teraktualisasikan pelaksanaan sistem
Pendidikanan, sistem politik, sistem ekonomi, sistem keamanan
f. Pemahaman warga negara terhadap Nilai-Nilai Pancasila dan UUD 1945 dan
kemampuan implementasi masih rendah
g. kegagalan dalam pelaksanaan Implementasi , karena lemahnya pemahaman
warga negara dan daya aktualisasi nilai-nilai Pancasila.
h. Terdapat hambatan dalam aktualisasi Pancasila sebagai sumber nilai, dasar
moral etik bagi Negara dan aparat pelaksana Negara
i. Pancasila sebagai dasar nilai pengembangan IPTEKS
j. Sinergitas Pemikiran Pancasila sebagai Filsafat, dasar dan ideologi negara.
Selanjutnya Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT)
Komjen Pol Suhardi Alius mengatakan penyebaran radikalisme marak
dilakukan melalui media sosial sehingga masyarakat diminta agar lebih
berhati-hati. (Sumber: https://www.republika.co.id/berita/nasional/
hukum/18/03/01/p4x4kc382-bnpt-sebut-radikalisme-disebarkan-lewat-media-
sosial)
"Kita imbau masyarakat apabila menerima informasi harus memilah-
milah betul karena media sosial saat ini dijadikan alat penyebar paham
radikal," ujarnya usai acara Bedah Buku Ahmad Syafii Maarif di Padang,
Kamis (1/3).
Ia menilai konten-konten yang ada di media sosial memang
memprovokasi masyarakat baik melalui hoaks, ketidakbenaran, dan
sebagainya. Ia menyebutkan menyebarkan hoaks merupakan provokasi
terhadap masyarakat dan masuk dalam kategori tindakan radikalisme.
"Apalagi memprovokasi orang yang pengetahuannya setengah-setengah
maka mereka menganggap provokasi itu merupakan sebuah kebenaran,"
katanya.
Media sosial dinilai sebagai sarana efektif oleh kelompok radikal dalam
penyebaran faham radikalisme dan terorisme. Sejumlah cara pendekatan
dilakukan melalui media sosial guna merekrut para calon pengikut.
Direktur Pencegahan badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) Brigjen Pol. Hamli, M.E mengatakan, kelompok-kelompok
radikalisme manfaatkan perkembangan teknologi informasi. Awalnya
gerakannya hanya offline, tetapi kemudian dalam beberapa tahun terakhir
sudah memiliki metode-metode dengan memanfaatkan media sosial dan lain-
lain. (Sumber: https://www.merdeka.com/peristiwa/media-sosial-sarana-
efektif-sebarkan-radikalisme-dan-terorisme.html) .
Kata Hamli, gerakan yang dilakukan semakin rapi dengan
memanfaatkan hubungan Sosial emosional tertentu. Patron guru-murid,
idola-penggemar, keluarga, pertemanan dan perkawinan menjadi jalan dan
ruang untuk menyebarkan faham tersebut. "Karena yang online itu tetep
diselesaikan dengan offline. Itu nantinya mesti ketemu dulu untuk
prosesnya," katanya.
Biasanya kalau lewat media sosial, kelompok tersebut akan
menawarkan bergabung dalam grup Facebook, WA dan sebagainya. Selama
dalam grup mulai berinteraksi dan berdiskusi dengan tema-tema yang
mengarah.
Hampir tak ada lagi sekat yang menghalangi ruang berinteraksi satu
dengan yang lain di dunia ini. Transformasi pola komunikasi dan interaksi
sosial sedemikian cepat seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Bagi Indonesia, lebih dari separuh penduduknya telah
memanfaatkan jaringan internet dalam aktivitas sehari-hari. Hasil survei Data
Statistik Pengguna Internet Indonesia oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2016
adalah 132,7 juta pengguna atau sekitar 51,5% dari total jumlah penduduk
Indonesia sebesar 256,2 juta. Dari jumlah itu, pengguna terbanyak adalah
generasi muda (usia 17-34 tahun), yaitu 56,7 juta atau 42,8%. Pengguna usia
35-44 tahun sebesar 29,2%, sedangkan pengguna paling sedikit adalah usia
55 tahun ke atas hanya sebesar 10%. Paling banyak pengguna internet
menggunakan perangkat mobile (smartphone) sebesar 63,1 juta atau sekitar
47,6%. (Sumber: http://mediaindonesia.com/read/detail/103385-terorisme-
menyasar-generasi-muda)
Persentase yang besar pengguna dari kalangan anak muda mengakses
internet merupakan perkembangan positif sebagai generasi melek digital
(digital literate generation). Generasi masa depan bangsa turut andil
mengikuti kecanggihan teknologi. Namun, ada sisi lain yang menjadi
keresahan. Konten-konten internet ataupun jejaring media sosial tidak
sepenuhnya memberikan dampak positif. Data dari Kementerian Komunikasi
dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan ada 814.594 situs internet
berkategori negatif termasuk konten radikalisme telah diblokir dari 2010
sampai 2015. Bahkan pada 2016 saja Kemenkominfo telah memblokir 773
ribu situs. Artinya, jumlah situs yang diblokir itu hampir mencapai jumlah
selama lima tahun sebelumnya. Ada juga laporan konten negatif terhadap
media sosial seperti Facebook, Twitter, Whatsapp, dan Youtube.
Berbagai faktor yang memungkinkan generasi muda rentan terjaring
radikalisme dan terorisme melalui jejaring online. Pertama, kemudahan
mengakses informasi dari internet dan jejaring media sosial tidak dibarengi
dengan kemampuan untuk menyaring informasi tersebut. Lewat internet dan
media sosial, konten hoax (berita bohong) lebih masif dan fenomenal saat ini.
Itu seakan berlomba dengan konten hate speech (ujaran kebencian) dalam
memenuhi internet dan jejaring media sosial. Intensitas tinggi tetapi literasi
yang lemah di kalangan anak muda akan menyebabkan mereka mudah
terjaring dan terprovokasi oleh konten yang mereka akses. Kedua, kemahiran
kelompok-kelompok teroris menyusupkan beragam propaganda mampu
memikat pengguna internet dan media sosial. Mereka mampu memanfaatkan
media sosial untuk menggalang, merekrut, memengaruhi, dan mengajak,
terutama anak-anak remaja. Banyak anak yang masih remaja direkrut untuk
ikut bergabung dengan kelompok IS yang ada di Suriah. Bahkan beberapa
pelaku teroris melakukan aksi berangkat dari apa yang didapatkan dari
internet.
Ketiga, krisis figur yang dapat diteladani juga turut memengaruhi
kalangan generasi muda. Media TV ataupun media online hampir tak pernah
lepas dari berita yang memuat figur publik dengan beragam latar belakang
profesi terjerat kasus pidana atau masalah-masalah lainnya. Sangatlah sulit
menemukan sosok-sosok pribadi figur publik yang mampu diteladani. Ketiga
faktor tersebut hanya merupakan bagian dari berbagai faktor lain yang turut
memengaruhi generasi muda terjerat ke dalam radikalisme. Bahkan dunia
pendidikan tidak lepas dari pengaruh tersebut. Awal 2016 yang lalu, kita
tercengang oleh temuan buku-buku mengandung unsur radikalisme yang
sudah menjamah pendidikan prasekolah dasar (TK) di Depok. Begitu pula
temuan data seorang siswa kelas 5 SD di Sukabumi sudah terpapar
radikalisme dan terhubung dengan jejaring terorisme di Suriah. Sebelum itu,
Setara Institute pernah mengungkap data pada 2015 bahwa satu dari 14 siswa
SMA di Jakarta dan Bandung setuju dengan gerakan IS.
Terkait dengan permasalahan di atas, dapat diketahui bahwa penerapan
nilai-nilai Pancasila tidak dilakukan karena Pancasila tidak dipahami sebagai
sebuah nilai falsafah oleh guru. Dengan demikian guru tidak mampu
mencegah masuknya paham radikalisme yang mempengaruhi peserta didik.
Khususnya guru agama yang menjadi ujung tombak dalam menyampaikan
pelajaran agama seharusnya mampu menjelaskan intisari pelajaran agama
yang penuh dengan nilai toleransi.
Oleh karenanya, beberapa aspek kebijakan pendidikan yang perlu
diimplementasikan agar nilai-nilai Pancasila dapat dipahami dan dapat
mencegah masuknya paham radikalisme adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan pendidikan merupakan suatu keseluruhan deliberasi
mengenai hakikat manusia sebagai makhluk yang menjadi manusia
dalam lingkungan kemanusiaan. Untuk memanusiakan manusia,
Pancasila melalui nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, dapat
diimplementasikan dengan pemahaman menghormati kebebasan
beragama dan memahami bahwa tidak terdapat ajaran Agama yang
mengajarkan kebencian kepada umat manusia.
2. Keterbukaan (openness). Proses pendidikan sebagai proses
pemanusiaan terjadi dalam interaksi sosial. Dalam berinteraksi antara
guru dan murid, harus terbuka, tidak boleh adanya pemberian
pemahaman tanpa ada tanggungjawab sebagai seorang pendidik. Guru
harus mampu menjelaskan bahwa materi pelajaran Agama searah
dengan nilai-nilai Pancasila mengingat dalam Pancasila terdapat nilai-
nilai saling menghormati sesama manusia.
3. Kejelasan tujuan akan melahirkan kebijakan pendidikan yang tepat.
Dalam hal ini, seharusnya guru mampu memfilter tujuan paham radikal
disebarkan, dan bukan terpengaruh oleh paham radikal tersebut.
Sebagai pendidik dan pengajar; bahwa setiap guru harus memiliki
kestabilan emosi, ingin memajukan peserta didik, bersikap realitas,
jujur dan terbuka, serta peka terhadap perkembangan. Untuk mencapai
semua itu, guru harus memiliki pengetahuan yang luas sehingga
mampu mendidik peserta didiknya sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional. Kejelasan tujuan dapat dijelaskan melalui pemahaman Prinsip
persatuan dan persaudaraan, yakni persatuan dan persaudaraan seagama
maupun persatuan dan persaudaraan sosial, atau persatuan dan
persaudaraan kemanusiaan.
Selanjutnya, guru harus mampu melakukan deradikalisasi melalui
diskusi yang kritis dengan mengangkat nilai-nilai Pancasila yang
menghendaki adanya toleransi. Untuk itu manajemen sekolah / lembaga
pendidikan perlu melakukan manajemen perubahan yang terfokus pada
implementasi nilai-nilai Pancasila. Oleh karena itu setiap guru harus mampu
menghayati perilaku dan etika yang sesuai dengan moral Pancasila dan
mengamalkannya dalam pergaulan hidup sehari-hari.

E. Simpulan
Paham radikalisme mudah mempengaruhi guru sehingga upaya
mencegah masuknya pengaruh paham tersebut ke peserta didik menjadi lebih
sulit. Dengan demikian lembaga pendidikan justru mencetak sumber daya
manusia yang radikal dan intoleran sehingga negara akan dihadapi masalah
yang kompleks mengingat pelajar atau pemuda yang diharapkan mampu
meneruskan cita-cita para pendiri bangsa harus rusak dan menjadi bagian dari
rencana upaya memecah belah bangsa.
DAFTAR PUSTAKA

Kompas , 16 Februari 2017

Kompas , 17 Februari 2017

Muchtar, Suwarma Al, 2018, Implementasi Nilai-nilai Pancasila dan UUD 45


dalam Membentuk Karakter Bangsa, Lembang 14 Mei 2018.

Susanto F. Anton , Salman Otje, 2004, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan


dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung.

Tilaar .H.A.R. , Nugroho Riant, (2008). Kebijakan Pendidikan, Pengantar untuk


Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai
Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Websites :

https://www.kabar-banten.com/media-sosial-pengaruhi-radikalisme/

https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160519_indonesia_lapsu
s_radikalisme_anakmuda_sekolah

https://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/03/16/nlarob4-media-
sosial-dan-radikalisasi

https://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/03/01/p4x4kc382-bnpt-
sebut-radikalisme-disebarkan-lewat-media-sosial
https://www.merdeka.com/peristiwa/media-sosial-sarana-efektif-sebarkan-
radikalisme-dan-terorisme.html

http://mediaindonesia.com/read/detail/103385-terorisme-menyasar-generasi-muda

Nama : Dr. Tjeppy M.M.Pd


PTS : FKIP Universitas Suryakancana Cianjur
Email : tjeppysulaeman21@gmail.com
Tilp : 081320753922

ABSTRAK

Menurut Survey Wahid Foundation diketahui bahwa 60 % peserta didik pada


lembaga pendidikan sudah terpengaruh paham radikalisme, dan salah satu pintu
gerbang masuknya paham radikalisme yang cukup efektif adalah melalui media
sosial dan media elektronik.
Hal tersebut cukup beralasan mengingat efektivitas media sosial karena lebih
komunikatif, interaktif, dan langsung menyasar ke sasaran. Dari proses itulah
radikalisasi berjalan di dunia maya.
Dalam Pasal 2, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, diakui bahwa Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum Negara. Selanjutnya Pancasila dijadikan dasar untuk
terbentuknya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.
Dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Makna pendidikan tersebut tentunya searah dengan nilai-nilai Pancasila dan
wajib diimplementasikan oleh pendidik dalam rangka mencerdaskan masyarakat.
Dengan didasarkan kebijakan tersebut, tentunya masuknya paham
radikalisme oleh guru bertentangan dengan makna pendidikan tersebut. Peserta
didik yang terpengaruh paham radikal tidak memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Ketidakmampuan lembaga pendidikan mengimplementasikan kebijakan
pendidikan menyebabkan tidak tercegahnya pengaruh paham radikalisme masuk
ke sekolah. Kebijakan pendidikan seharusnya dipahami oleh para pendidik sebagai
suatu pedoman untuk mendidik peserta didik.

Anda mungkin juga menyukai