Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ATONIA UTERI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Kegawatdaruratan Maternal Neonatal
Dosen Pengampu: Desi Hidayanti, S.ST., MPH

Disusun oleh :
Kelompok 8

Aulia Nur Insani P173241180


Azni Azhari P173241180
Mutiara Putri Horison P173241180
Riska Melianingtias P173241180
Sarah Balqis Shafira P17324118011
Shofa Hasya Sabila P173241180
Syifa Krisna Hasnamumtaz P173241180

Tingkat II-A

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG


PRODI DIII KEBIDANAN BANDUNG
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Penyusunan makalah ini
merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Semester III yaitu
Asuhan Kebidanan Kehamilan dengan judul makalah “Deteksi Dini Komplikasi
dan Penanganan Awal Kegawatdaruratan Kala IV” di Poltekkes Kemenkes
Bandung Jurusan Kebidanan Bandung.
Dengan tersusunnya makalah ini, kami mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Desi Hidayanti, S.ST., MPH selaku koordinator mata kuliah serta dosen
pengampu mata kuliah Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.
2. Rekan kelompok yang telah berkontribusi dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Kami menyadari bahwa dalam tugas ini masih
jauh dari kesempurnaan, hal ini karena adanya kekurangan dan keterbatasan
kemampuan pengalaman maupun pengetahuan kami.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
kami harapkan demi kesempurnaan tugas makalah ini.

Bandung, Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN...............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................1
1.2 Tujuan ..........................................................................................................2
BAB II. KAJIAN PUSTAKA.........................................................................................3
2.1 Perdarahan Postpartum.................................................................................3
2.2 Atonia Uteri..................................................................................................4
BAB III. PENUTUPAN.................................................................................................12
3.1 Kesimpulan.................................................................................................12
3.2 Saran...........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kematian Ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan ibu
di Indonesia dewasa ini masih tinggi bila dibandingkan dengan AKI di negara
ASEAN lainnya, menurut data dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Hal
ini disebabkan oleh kejadian yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan
dan nifas (SDKI, 2007). Angka kematian Ibu turun dari 4.999 tahun 2015
menjadi 4912 di tahun 2016 dan di tahun 2017 (semester I) sebanyak 1712
kasus (SDKI, 2017).
Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa sekitar 20 persen
persalinan berisiko mengalami komplikasi kehamilan dan persalinan yang
kejadiannya tidak selalu dapat diduga sebelumnya (Kementerian Kesehatan,
2009). Komplikasi pada persalinan dapat diketahui dengan mengenali tanda-
tanda bahaya pada persalinan, yaitu adanya perdarahan lewat jalan lahir, ibu
mengalami kejang, air ketuban keruh dan bau, ibu tidak kuat mengejan dan
ibu gelisah atau mengalami kesakitan yang hebat sebelum waktu persalinan
(Kementerian Kesehatan, 2009). Selain keluhan tersebut, terdapat juga
masalah atau gangguan persalinan lainnya yang tidak berhubungan dengan
kehamilan ataupun persalinan, seperti ibu yang bersalin dengan HIV, diabetes
melitus, tuberkulosis atau gangguan kesehatan lainnya (SDKI, 2017).
Dinegara berkembang, kematian ibu bersalin akibat perdarahan
antepartum mencapai 50% dari seluruh kematian ibu bersalin
(Kemenkes,2016). Perdarahan pascapersalinan primer (Early HPP) terjadi
dalam 24 jam pertama. Sedangkan perdarahan pascapersalinan sekunder
(Late HPP) terjadi setelah 24 jam pertama. Atonia uteri merupakan penyebab
terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling
sering untuk melakukan histerektomi peripartum. Kontraksi uterus
merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan.

1
Penyebab PPS yang paling sering adalah uterus tidak dapat
berkontraksi dengan baik untuk menghentikan perdarahan dari bekas insersi
plasenta (tone), trauma jalan lahir (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah
yang menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan
pembekuan darah (thrombin). Pada praktiknya, jumlah PPS jarang sekali
diukur secara objektif dan tidak diketahui secara jelas manfaatnya dalam
penatalaksanaan PPS, serta luaran yang dihasilkan. Selain itu, beberapa
pasien mungkin saja membutuhkan intervensi yang lebih walaupun jumlah
perdarahan yang dialaminya lebih sedikit apabila pasien tersebut berada
dalam kondisi anemis (PNKP, 2016).
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui Perdarahan Postpartum.
2. Mahasiswa mengetahui pengertian Atonia Uteri.
3. Mahasiswa mengetahui gejala klinis Atonia Uteri.
4. Mahasiswa mampu melakukan penatalaksanaan pada kasus Atonia Uteri.

2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perdarahan Postpartum


2.1.1 Definisi
Secara tradisional perdarahan postpartum didefinisikan sebagai
kehilangan darah sebanyak 500 mL atau lebih setelah selesainya kala
III. Perdarahan obstetri merupakan penyebab utama kematian ibu hamil
maupun ibu bersalin (Kemenkes,2013).
Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan
500 ml atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml
atau lebih setelah seksio sesaria (Leveno, 2009; WHO, 2012).
Perdarahan pascasalin primer terjadi dalam 24 jam pertama
setelah persalinan, sementara perdarahan pascasalin sekunder adalah
perdarahan pervaginam yang lebih banyak dari normal antara 24 jam
hingga 12 minggu setelah persalinan (Kemenkes, 2014).
Perdarahan pasca-salin (PPS) secara umum didefmisikan
sebagai kehilangan darah dari saluran genitalia >500 ml setelah
melahirkan pervaginam atau >1000 ml setelah melahirkan secara seksio
sesarea.2 Perdarahan pasca-salin dapat bersifat minor (500-1000 ml)
atau pun mayor (>1000 ml). Perdarahan mayor dapat dibagi menjadi
sedang (1000-2000 ml) atau berat (>2000 ml) (PNKP, 2016).
Perdarahan pasca-salin dapat disebabkan oleh 4 faktor yaitu
kelemahan tonus uterus untuk menghentikan perdarahan dari bekas
insersi plasenta (tone), robekan jalan lahir dari perineum, vagina,
sampai uterus (trauma), sisa plasenta atau bekuan darah yang
menghalangi kontraksi uterus yang adekuat (tissue), dan gangguan
faktor pembekuan darah (thrombin). (PNKP, 2016).
2.1.2 Klasifikasi Perdarahan Post Partum
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (PNKP, 2016) :
1. Perdarahan Postpartum Primer (Primary Postpartum
haemorrhage) yaitu perdarahan postpartum yang terjadi dalam 24

3
jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum
primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan
jalan lahir dan inversio uteri.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder (Scondary Postpartum
Haemorrhage) yaitu perdarahan postpartum yang terjadi setelah 24
jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum sekunder
disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau
sisa plasenta yang tertinggal.
Pada umumnya, PPS primer/dini lebih berat dan lebih tinggi
tingkat morbiditas dan mortalitasnya dibandingkan PPS
sekunder/lanjut.
2.1.3 Penyebab Perdarahan Postpartum
Penyebab dari PPS adalah 4T yang merupakan singkatan dari
Tone, Trauma, Tissue dan Thrombin. Tone merupakan masalah pada
70% kasus PPS, yaitu diakibatkan oleh atonia dari uterus. Sedangkan,
20% kasus PPS disebabkan oleh trauma. Trauma dapat disebabkan oleh
laserasi serviks, vagina dan perineum, perluasan laserasi pada SC,
ruptur atau inversi uteri dan trauma non traktus genitalia, seperti ruptur
subkapsular hepar. Sementara itu, 10% kasus lainnya dapat disebabkan
oleh faktor tissue yaitu seperti retensi produk konsepsi, plasenta
(kotiledon) selaput atau bekuan, dan plasenta abnormal. Faktor
penyebab dari thrombin diantaranya abnormalitas koagulasi yang
sangat jarang terjadi yaitu sekitar <1% kasus. (PNKP,2016).

2.2 Atonia Uteri


2.2.1 Pengertian
Atonia uteri terjadi jika miometroium tidak berkontraksi. Dalam
hal ini uterus menjadi lunak dan pembuluh darah pada daerah bekas
perlekatan plasenta menjadi terbuka lebar. Penyebab perdarahan post
partum ini lebih banyak (2/3 dari semua kasus perdarahan post partum)
oleh Atonia Uteri. Atonia uteri didefinisikan sebagai suatu kondisi

4
kegagalan berkontraksi dengan baik setelah persalinan (Kemenkes,
2016)
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta syok hipovolemik.
Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan oleh kelelahan
karena persalinan lama atau persalinan yang terlalu cepat, terutama jika
dirangsang. Selain itu, obat-obatan seperti obat anti-inflamasi
nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik, dan nifedipin juga
dapat menghambat kontraksi miometrium. Penyebab lainadalah situs
implantasi plasenta di segmen bawah rahim, korioamnionitis,
endomiometritis, septikemia, hipoksiapada solusio plasenta, dan
hipotermia karena resusitasi massif (Rueda et al., 2013).
Pada kondisi normal setelah plasenta lahir, otot-otot rahim akan
berkontraksi secara sinergis. Otot – otot tersebut saling bekerja sama
untuk menghentikan perdarahan yang berasal dari tempat implantasi
plasenta. Namun sebaliknya pada kondisi tertentu otot – otot rahim
tersebut tidak mampu untuk berkontraksi/kalaupun ada kontraksi
kurang kuat. Kondisi demikian akan menyebabkan perdarahan yang
terjadi dari tempat implantasi plasenta tidak akan berhenti dan
akibatnya akan sangat membahayakan ibu.
Sebagian besar perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah
akibat adanya atonia uteri. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah
uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500 – 800 ml/menit,
sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi
selama beberapa menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah
yang sangat banyak. Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar
5-6 liter saja. (Kemenkes, 2016).
2.2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Atonia Uteri
Menurut (Kemenkes, 2016) beberapa penyebab yang terkait
dengan perdarahan pasca persalinan yang disebabkan oleh Atonia Uteri,
diantaranya adalah:

5
1) Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan yang akan
mengakibatkan uterus tidk mampu berkontraksi segera setelah
plasenta lahir, diantaranya :
a. Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
b. Kehamilan gemelli
c. Janin besar (makrosomia)
2) Kala satu atau kala 2 memanjang
Pada pasrtus lama, uterus dalam kondisi yang sangat lelah,
sehingga otot-otot Rahim tidak akan mampu melakukan kontraksi
segera setelah plasenta lahir.
3) Persalinan cepat (partus presipitatus)
4) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
5) Infeksi intrapartum
6) Paritas tinggi
Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan
berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan
berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir
7) Magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang
pada   preeklamsia atau eklamsia.
8) Umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun)
Penelitian di Padang pada periode Januari 2016- September 2017.
Ibu yang paling banyak mengalami Atonia Uteri ditemukan pada
ibu dengan usia diatas 35 tahun. (Ramadhan, et all, 2018)
9) Anestesi yang dalam dan lama menyebabkan terjadinya relaksasi
miometrium yang berlebihan, kegagalan kontraksi dan retraksi
menyebabkan atonia uteri dan perdarahan postpartum.
10) Penatalaksanaan yang salah pada kala plasenta, mencoba
mempercepat kala III, dorongan dan pemijatan uterus mengganggu
mekanisme fisiologis pelepasan plasenta dan dapat menyebabkan
pemisahan sebagian plasenta yang mengakibatkan perdarahan.

6
Gambar: Atonia Uteri
Sumber : http://cytomedical.com/atonia-uteri

Atonia Uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III
persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam
usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya belum terlepas dari
uterus.

2.2.3 Gejala Klinis Atonia Uteri


Tanda dan gejala atonia uteri sendiri menurut Kemenkes 2014,
di antaranya:
1) Uterus tidak berkontraksi dan lembek
Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang
membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya.
2) Perdarahan terjadi segera setelah anak lahir
Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia sangat banyak dan
darah tidak merembes. Yang sering terjadi pada kondisi ini adalah
darah keluar disertai gumpalan. Hal ini terjadi karena tromboplastin
sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah.
3) Fundus uteri naik    
4) Tanda dan gejala lainnya adalah terjadinya syok
a. Nadi cepat dan lemah (110 kali/ menit atau lebih)
b. Tekanan darah sangat rendah : tekanan sistolik < 90 mmHg
c. Pucat

7
d. Keriangat/ kulit terasa dingin dan lembap
e. Pernafasan cepat frekuensi30 kali/ menit atau lebih
f. Gelisah, binggung atau kehilangan kesadaran
g. Urine yang sedikit ( < 30 cc/ jam)               
        
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakan bila setelah bayi dan plasenta lahir  ternyata
perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan
kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada saat atonia uteri
didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-
1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih
terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi
pemberian darah pengganti.
Diagnosis perdarahan pasca persalinan :

1. Palpasi uterus: bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus


uteri.
2. Memeriksa plasenta dan ketuban apakah lengkap atau tidak
3. Lakukan eksplorasi cavum uteri untuk mencari: Sisa plasenta
atau selaput ketuban, Robekan rahim, Plasenta suksenturiata
4. Inspekulo: untuk melihat robekan pada serviks, vagina, dan
varises yang pecah
5. Pemeriksaan Laboratorium periksa darah yaitu Hb, COT (Clot
Observation Test), (Walyani, 2015)

2.2.5 Penatalaksanaan
Menurut Kemenkes, 2016 dalam pelayanan kesehatan ibu,
Penatalaksanaan Atoni Uteri, yaitu :
1. Lakukan pemijatan uterus (masase uterus).
Dengan menggosok fundus secara sirkular mengunkan bagian
palmar 4 jam tangan kiri hingga kontraksi uterus baik (fundus
terasa keras).

8
2. Pastikan bahwa kantung kemih kosong
3. Lakukan kompresi bimanual interna selama 5 menit.
Kompresi uterus ini akan memberikan tekanan langsung pada
pembuluh terbuka di dinding dalam uterus dan merangsang
miometrium untuk berkontraksi.
4. Anjurkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanual
eksterna.
5. Keluarkan tangan perlahan – lahan.

Sumber :

Kemenkes,2014

6. Berikan ergometrin 0,2 mg IM (jangan diberikan bila


hipertensi).
7. Ergometrin akan bekerja selama 5-7 menit dan
menyebabkan kontraksi uterus.
8. Pasang infuse menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan
berikan 500 cc ringer laktat +20 unit oksitosin
9. Ulangi kompresi bimanual interna (KBI) yang digunakan
bersama ergometrin dan oksitosin akan membantu uterus
berkontraksi.
10. Dampingi ibu ketempat rujukan. Teruskan melakukan KBI.
Kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh
terbuka dinding uterus dan merangsang miometrium untuk
berkontraksi.
11. Lanjutkan infuse ringer laktat +20 unit oksitosin dalam 500
ml larutan dengan laju 500 ml/jam hingga tiba ditempat rujukan.

9
Ringer laktat kan membantu memulihkan volume cairan yang
hilang selama perdarahan.
12. Siapkan tindakan operatif atau rujuk ke fasilitas yang lebih
memadai sebagai antisipasi bila perdarahan tidak berhenti.
13. Di rumah sakit rujukan, lakukan tindakan operatif bila
kontraksi uterus tidak membaik, dimulai dari yang konservatif.
Pilihan-pilihan tindakan operatif yang dapat dilakukan antara lain
prosedur jahitan B-lynch, embolisasi arteri uterina, ligasi arteri
uterina dan arteri ovarika, atau prosedur histerektomi subtotal.

Jahitan B-lynch
Sumber:http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/54798/Chapter%20II.pdf?
sequence=4&isAllowed=y

Bila perdarahan melampaui 1000 cc meski sudah dilakukan


usaha yang lazim dan kemungkinan robekan serviks atau robekan
rahim telah disingkirkan perdarahan, kemungkinan koagulopati
dalam kala IV harus dipikirkan, walau darah yang keluar dari jalan
lahir membeku.

Dalam hal ini kita suntikkan Trasilol 200.000 unit IV


(penghambat proteinase). Bila masih ada perdarahan, kompresi
bimanual Hamilton dilakukan: satu tangan masuk ke dalam vagina
dan dijadikan tinju dengan rotasi gunamerangsang dinding depan
rahim, sedangkan tangan luar menekan dinding perut di atas fundus
agar dapat merangsang dinding belakang rahim Dengan demikian,
uterus ditekan dan dirangsang di antara tangan dalam dan tangan
luar Perasat ini sekurang-kurangnya dilakukan selama 15 menit.

10
Selama perasat-perasat ini dilakukan, transfusi darah dapat turut
dilakukan bersamaan, sehingga bila ternyata kompresi bimanual
tidak berhasil, keadaan pasien masih cukup baik untuk menjalani
histerektomi. Tentunya, upaya melakukan jahitan B Lynch atau
jahitan ligasi arteri uterina (bila kondisi pasien memungkinkan)
dapat dilakukan terlebih dahulu (Tim Fakultas Kedokteran UNPAD,
2013)

Dalam manajemen PPS akibat atonia uteri, beberapa obat


yang biasanya diberikan diantaranya uterotonika injeksi (oksitosin,
ergometrin, kombinasi oksitosin dan ergometrin dosis tetap),
misoprostol (bentuk tablet yang digunakan via oral, sublingual dan
rektal), asam traneksamat injeksi, serta injeksi rekombinan faktor
VIIa. Khususnya oksitosin dan ergometrin, telah disetujui dosis yang
direkomendasikan oleh (WHO Managing complications in
pregnancy and childbirth: a guide for midwives and doctors.
Geneva; 2007) (PNKP, 2016)

11
Gambar : Tatalaksana Atonia Uteri
Sumber : Kemenkes, 2016

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan

3.2 Saran

12
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI. (2014). Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan
Rujukan. Jakarta: Kemenkes RI.
Kemenkes RI. (2016). Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal.
Jakarta: Kemenkes RI.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. (2016). Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Perdarahan Pasca Salin. Jakarta : -
Rueda CM, Rodriguez L, Jarquin JD, Barboza A, Bustillo MC, Marin F,et al.
(2013). Severe postpartum hemorrhage from uterine atony: a multicentric
study. Journal of Pregnancy
BKKBN. (2018). SDIDTK. 2017. Jakarta : Kemenkes RI.

13
Walyani, Proastuti. (2015) Asuhan Kbidanan Persalinan dan Bayi Baru Lahir,
Yogyakarta: Pustaka Medika.
WHO. (2012) .WHO recommendations for theprevention and treatment
ofpostpartum haemorrhage. Geneva: WHO Library Cataloguing-in-
Publication Data.

14

Anda mungkin juga menyukai